Anda di halaman 1dari 13

Bab 2

Tinjauan Pustaka


2.1 $970594.4..:82:9,38

Gambar 2.1. Gambaran mikroskopik streptococcus mutans (Wikipedia,2011)
KlasiIikasi Streptococcus mutans menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah :
Divisi : Firmiculares
Kelas : Firmicutes
Ordo : Lactobacilalles
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Species : Streptococcus mutans (Rachdie, 2005)
Streptococcus mutans adalah salah satu jenis bakteri yang mempunyai
kemampuan dalam proses pembentukan plak dan karies gigi. Bakteri ini pertama kali
diisolasi dari plak gigi oleh Clark pada tahun 1924 yang memiliki kecendrungan
membentuk kokus dengan Iormasi rantai panjang apabila ditanam pada medium.
Streptococcus mutans menjadi yang paling banyak menyebabkan gigi berlubang di
sekitar luka tetapi sampai pada tahun 1960-an mikroba tersebut tidak ditemukan.
Kemudiaan gula dan sumber energi lain dimetabolisme, sehingga mikroba
menghasilkan asam yang menyebabkan rongga pada gigi (Nugraha, 2008).
Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positiI, bersiIat nonmotil (tidak
bergerak), bakteri anaerob IakultatiI. Memiliki bentuk kokus berbentuk bulat atau
bulat telur dan tersusun dalam rantai. Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu
sekitar 18C 40C. Streptococcus mutans biasanya ditemukan pada rongga gigi
manusia yang luka dan menjadi bakteri yang paling kondusiI menyebabakan karies
untuk email gigi (Nugraha,2008). Bakteri ini berkembangbiak pada suhu 37C
selama 48 jam di media selektiI. Di dalam mulut, bakteri ini dapat hidup bila terdapat
permukaan padat seperti gigi atas (Yulineri, 2006).
Streptococcus mutans adalah bersiIat asidogenik yaitu menghasilkan asam,
asidodurik, mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu
polisakarida yang dapat melekat, yang disebut dextran. Oleh karena kemampuan ini,
S. mutans bisa menyebabkan melekatnya dan mendukung bakteri lain menuju ke
email gigi. Dengan demikian pH turun dan keadaan pH asam ini dapat melarutkan
email gigi (Nugraha, 2008).
Penyakit yang disebabkan bakteri tersebut adalah karies gigi, beberapa hal
yang menyebabkan karies gigi bertambah parah adalah seperti gula, air liur dan juga
bakteri pembusuknya. Setelah memakan sesuatu yang mengandung gula, terutama
adalah sukrosa dan bahkan setelah beberapa menit penyikatan gigi dilakukan,
glikoprotein yang lengket (kombinasi molekul protein dan karbohidrat) bertahan pada
gigi untuk mulai pembentukan plak pada gigi. Pada waktu yang bersamaan berjuta
juta bakteri yang dikenal sebagai S. mutans juga bertahan pada glikoprotein itu.
Walaupun, banyak bakteri lain yang melekat, hanya S. mutans yang dapat
menyebabkan rongga atau lubang pada gigi (Nugraha, 2008).
Pada langkah selanjutnya, bakteri menggunakan Iruktosa dalam
suatumetabolisme glikolosis untuk memperoleh energi. Hasil akhir dari glikolisis
dibawah kondisi-kondisi anaerob adalah asam laktat. Asam laktat ini
menciptakankadar keasaman yang ekstra untuk menurunkan pH dalam jumlah
tertentumenghancurkan zat kapur IosIat di dalam email gigi untuk mendorong ke
arahpembentukan suatu rongga atau lubang (Nugraha, 2008).
Secara umum S.mutans dikenal kemampuannya untuk mensintesis
polisakarida ekstraseluler dari sukrosa, mengalami agregasi sel ke sel ketika
bercampur dengan sukrosa atau dekstran, dapat berkembang dalam lingkungan yang
mengandung antibiotik sulIadimentin dan bacitracin serta dapat memIermentasi
manitol dan sorbitol. Sedangkan secara khusus S. mutans memiliki siIat dapat
bertahan hidup dalam lingkungan yang bersiIat asam (asidurik) serta dapat
menghasilkan asam (asidogenik). Bakteri ini juga memanIaatkan enzim
dekstransukrase untuk mengubah sukrosa menjadi dekstran (polisakarida perekat
ekstraseluler/pelikel). Melalui pelikel ini bakteri membuat kolonisasi awal di
permukaan gigi dan membentuk lapisan dasar untuk Iormasi dari kompleks bioIilm
(sekelompok mikroorganisme, yang melekat ke suatu permukaan padat dalam
lingkungan perairan), yang dikenal sebagai plak gigi. Sukrosa adalah jenis gula yang
dapat dimanIaatkan oleh S.mutans untuk membentuk pelikel. Sebaliknya, banyak
jenis gula seperti glukosa, Iruktosa, laktosa dan sukrosa dapat dicerna oleh S.mutans
untuk menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir. Kombinasi dari kedua hal ini
dapat mengarah pada pembentukan karies gigi (Pratama, 2005).
2.2 Proses Terjadinya Karies
Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin, dan
sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat
yang dapat diragikan. Terdapat empat Iaktor utama yang berperan dalam proses
terjadinya karies, yaitu ost, mikroorganisme, substrat, dan waktu. Faktor-Iaktor
tersebut bekerja bersama dan saling mendukung satu sama lain (Diana Soesilo,2005).
2.2.1 Faktor host atau tuan rumah
Ada beberapa Iaktor yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah
terhadap karies yaitu Iaktor morIologi gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel,
Iaktor kimia dan kristalograIis. Pit dan Iisur pada gigi posterior sangat rentan
terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk di daerah tersebut
terutama pit dan Iisur yang dalam. Selain itu, permukaan gigi yang kasar juga dapat
menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Enamel
merupakan jaringan tubuh dengan susunan kimia kompleks yang mengandung 97
mineral (kalsium, IosIat,karbonat, Iluor), air 1 dan bahan organik 2. Bagian luar
enamel mengalami mineralisasi yang lebih sempurna dan mengandung banyak Iluor,
IosIat dan sedikit karbonat dan air. Kepadatan kristal enamel sangat menentukan
kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung mineral maka kristal enamel
semakin padat dan enamel akan semakin resisten. Gigi susu lebih mudah terserang
karies daripada gigi tetap. Skema yang menunjukkan karies sebagai penyakit
multiIaktorial yang disebabkan Iaktor host, agen, substrat dan waktu. Hal ini
disebabkan karena enamel gigi susu mengandung lebih banyak bahan organik dan air
sedangkan jumlah mineralnya lebih sedikit daripada gigi tetap. Selain itu, secara
kristalograIis kristal-kristal gigi susu tidak sepadat gigi tetap. Mungkin alasan ini
menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi karies pada anak-anak.
(Tseng,2011)
2.2.2 Faktor agen atau mikroorganisme
Plak gigi memegang peranan peranan penting dalam menyebabkan terjadinya
karies. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme
yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Hasil penelitian menunjukkan komposisi
mikroorganisme dalam plak berbeda-beda. Pada awal pembentukan plak, kokus gram
positiI merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus mutans,
Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis dan Streptococcus salivarius serta
beberapa strain lainnya. Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan adanya
Lactobacillus pada plak gigi. Pada penderita karies aktiI, jumlah laktobasilus pada
plak gigi berkisar 104 105 sel/mg plak. Walaupun demikian, S. mutans yang diakui
sebagai penyebab utama karies oleh karena S. mutans mempunyai siIat asidogenik
dan asidurik (resisten terhadap asam).(Tseng,2011)
2.2.3 Faktor substrat atau diet
Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena
membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak
dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta
bahan lain yang aktiI yang menyebabkan timbulnya karies. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa
cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet yang
banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali tidak
mempunyai karies gigi. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat
memegang peranan penting dalam terjadinya karies. (Tseng,2011)
2.2.4 Faktor waktu
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang
dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
diperkirakan 6-48 bulan. (Tseng,2011)

2.3 Bawang merah
2.3.1 Klasifikasi Bawang Merah

Gambar 2.2. Bawang merah (Gunawan, 2011).

Bawang merah merupakan tanaman berumbi lapis, tinggi 60 1,20 cm, umbi
lapis berkembang baik, berbentuk bulat telur, bulat atau bulat pipih tertekan; bentuk
dan besarnya sangat bervariasi dengan tebal 4 15 cm, dengan atau tanpa umbi lapis
tambahan. Daun roset, akar lebih pendek dari ibu tangkai bunga payung, tangkai
bunga 3 kali panjang mahkota bunga atau lebih, kepala oval sampai bulat memanjang
dan tumpul, dengan garis tengah berwarna hijau di bagian tengahnya putih kehijauan
atau violet, panjang 4-6 mm. Tangkai benang sari mempunyai pangkal lebih besar
dengan bakal buah tiga ruangan.Tanaman ini berasal dari Asia Barat yaitu Palestina
dan masuk ke Indonesia melalui India.(Rahayu, 2004)
Berikut adalah klasiIikasi tanaman bawang merah.
Divisio : Spermathophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Monokotiledon
Ordo : Liliales / LiliIlorae
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : llium cepa var. scalonicum / llium ascalonicum
Keluarga Liliaceae yang termasuk ke dalam genus Allium mempunyai lebih
dari 500 spesies. Dari jumlah tersebut, jeni yang telah dibudidayakan dapat dibagi ke
dalam 7 kelompok.
1. llium cepa L.
Kelompok ini meliputi bawang biasa seperti bawang bombay dan bawang
merah.
2. llium sativum L.
Kelompok ini adalah kelompok bawang putih. Jenis ini mempunyai bentuk
daun seperti pita.
3. llium ampeloprasum L. atau llium parrum L.
Kelompok ini mempunyai bentuk batang yang besar dan bentuk daun seperti
pipa. Jenisnya meliputi bawang prei, bawang timur atau leek, dan kurrat.
4. llium fistulosum L.
Kelompok ini meliputi bawang bakung dan welsh atau sibol. Jenis ini
mempunyai bentuk daun seperti pipa.
5. llium scoenoprasum
Kelompok ini meliputi bawang kucai atau cive. Jenis ini memiliki bentuk
daun jarum.
6. llium cinese G. Don
Bawang ini disebut juga bawang rakkyo.
7. llium tuberosum Rottler ex Sprengel
Bawang ini disebut juga bawang prei cina.
2.3.2 Kandungan dan Manfaat Bawang Merah
Umbi bawang merah mengandung zat-zat gizi dan zat-zat non gizi (Iitokimia).
Zat gizi yang terkandung dalam bawang merah dimanIaatkan oleh tubuh
menyediakan energi, membangun jaringan, dan mengatur Iungsi tubuh. Sementara,
senyawa Iitokimia memiliki eIek Iarmakologis dalam penyembuhan penyakit.
Berikut ini adalah kandungan zat-zat gizi dan non gizi pada 100 gr bawang merah.
Zat Gizi Massa (mg)
Karbohidrat
Protein
Kalsium
FosIor
Vitamin B2
Vitamin B1
Vitamin C
Air
Lemak
Tiamin
RibovlaIin
Niasin
Kalium
Besi
Natrium
200
150
36
45
0,02
0,04
9
88000
0,3
30
0,04
0,3
334
0,8
12
Tabel 2.1. Kandungan zat gizi dalam bawang merah (Anonym,2011)

Zat Iitokimia Konsentrasi (ppm)
Allisin
Allin
Alilpropil disulfida
Asam fenolat
Asam fumarat
Asam kaflirat
Dihidroalin
Floroglusin
Fitosterol
Propilmetil disulfida
Flavonol
330
345
700
390
600
550
240
323
50
632
420
Flavonoid
Kaempfenol
Kuersetin
Kuersetin glikosida
Saponin
Sikloaliin
Tripropanal sulfoksida
Propil disulfida
846
100
330
350
400
400
744
339
Tabel 2.1. Kandungan zat Iitokimia dalam bawang merah (Anonym,2011)

Efek FarmakoIogis Untuk Kesehatan


Bawang merah mengandung zat-zat aktiI yang mempunyai eIek Iarmakologis
terhadap tubuh. Beberapa bahan aktiI yang berguna tersebut adalah sebagai berikut.
1. Allicin dan Alliin

Gambar 2.3. Struktur kimia alliin (Gunawan, 2011)

Alliin merupakan zat yang terdapat dalam bawang putih utuh (Sunanti,
2007). Alliin (S-llyl-L-cysteine sulpoxide), C
6
H
11
NO
2
S selain
terkandung dalam Bawang Merah juga terkandung dalam Bawang putih
(llium sativum L.) dan jenis-jenis llium Lainnya. Senyawa ini berupa
hemihidrat yang tidak berwarna C
6
H
11
NO
2
S.H
2
O bentuk jarum tumpul
yang diperoleh dari hasil rekristalisasi menggunakan pelarut aseton. Jarak
leburnya 164-166
o
C (dengan mengeluarkan gas), praktis larut dalam air.
Tidak larut dalam etanol mutlak, kloroIorm, aseton, eter dan benzena.
Senyawa ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan segera akan terurai
oleh pengaruh enzim llinase dengan mengeluarkan bau bawang yang
khas. Potensi antibakterinya kira-kira serupa dengan llicin (Gunawan,
2011).

Gambar 2.4. Struktur kimia allicin (Gunawan, 2011)

Allicin adalah salah satu zat aktiI yang diduga dapat membunuh
bakteri. Allicin berperan ganda membunuh bakteri, yaitu bakteri gram
positiI dan gram negatiI karena mempunyai gugus amino para amino
benzoat (Palungkun dan Budiarti, 2001). Allicin pertama kali ditemukan
oleh C.V. Cavalito pada tahun 1944, zat ini berupa minyak tidak berwarna
yang secara kimia tidak stabil dengan dayaguna antibiotik. Menurut
Cavalito (Watanabe, 2001), satu miligram allicin mempunyai suatu daya
kemampuan sebanding dengan 15 unit standar penisilin. Allicin juga dapat
bergabung dengan protein dan mengubah strukturnya agar protein tersebut
mudah dicerna. Kemampuan allicin untuk bergabung dengan protein akan
mendukung daya antibiotiknya, karena allicin menyerang protein mikroba
dan akhirnya membunuh mikroba tersebut.
Feldberg et al (1988) menyatakan bahwa allicin menunjukkan
aktivitas antimikroba dengan menghambat sistesis RNA dengan cepat dan
menyeluruh. Disamping itu, sintesa DNA dan protein juga dihambat
secara partial. Hal ini menunjukkan RNA adalah target utama dari aksi
allicin.
Banyak bakteri tidak resisten terhadap bawang putih karena cara kerja
antibakterinya berbeda dengan antibiotik yang lain. Pembentukan resisten
terhadap antibiotik -laktam 1000 kali lebih mudah bila dibandingkan
allici, sehingga menjadi pilihan utama dalam penggunaan terapeutik
(Higdon, 2005).



2. Flavonoid

Flavonoid merupakan suatu senyawa Ienol dapat ditemukan dalam
bentuk glikosida maupun aglikonnya. Aglikon Ilavonoid mempunyai
kerangka dasar struktur C6-C3-C6. Berdasarkan tingkat oksidasi serta
substituennya kerangka Ilavonoid dibedakan menjadi berbagai jenis
Ilavon, Ilavonol, khalkon, santon, auron, Ilavon, antosianidin dan
leukoantosianidin. (Indah Wahyu Utami, 2008)
Flavonoid mengandung cincin aromatic yang terkonjugasi dan karena
itu menunjukan pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV dan
spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat
pada gula seperti glikosida. Aglikon Ilavonoid umumnya terdapat dalam
tumbuhan, terikat pada gula sperti glikosida. Aglikon Ilavonoid terdapat
dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosoda. (Indah
Wahyu Utami, 2008). Flavonoid bermanIaat sebagai anti viral, anti
alergik, anti platelat, anti inIlamasi, anti tumor dan anti oksidan sebagai
sistem pertahanan tubuh.(Toda,1991) Flavonoid diketahui telah disintesis
oleh tanaman dalam responnya terhadap inIeksi mikroba sehingga eIektiI
secara in vitro terhadap sejumlah mikroorganisme. Aktivitasnya mungkin
disebabkan kemampuannya untuk membentuk senyawa kompleks dengan
protein ekstraseluler, dan dengan dinding sel kuman. Terbentuknya
senyawa tersebut akan menyebabkan terganggunya protein sehingga
protein tidak dapat berIungsi dengan baik. Hal tersebut akan
menyebabkan denaturasi protein dan asam nukleat. Denaturasi tersebut
menyebabkan koagulasi dan pembekuan protein sehingga menyebabkan
gangguan metabolisme dan Iungsi Iisiologis bakteri. Dengan adanya
Gambar 2.5. Struktur kimia Ilavonoid (Anonym,2011)

koagulasi protein juga akan menyebakan peningkatan tekanan osmotik


dalam sel. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya hambatan dalam
sintesa dinding sel bakteri sehingga menyebabkan rusaknya sel bakteri
yangpada akhirnya akan menyebabkan kematian bakteri. Flavonoid yang
bersiIat lipoIilik mungkin juga akan merusak membran mikroba.
(Sudarsono P.N, 2002)
Fenol dan derivatnya dapat menghambat bakteri Gram positiI dan
bakteri Gram negatiI secara aktiI, bersiIat bakterisid dan bekteriostatik,
bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak
membran sel bakteri serta menginaktiIkan enzim oleh senyawa yang
teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi dengan grup suIhidril atau
melalui interaksi non spesiIik dengan protein dan menyebabkan
kebocoran sel. Mekanisme Ienol dalam menghambat pertumbuhan
pertumbuhan bakteri adalah dengan cara mengganggu proses sintesa asam
amino dan asam nukleat yang dapat berakibat langsung terhadap sintesis
RNA dan protein (Pelezar dan Chan, 1988).
3. Flavonol

Gambar 2.6. Struktur kimia Ilavonol (Anonym,2011)
Tanin terkondensasi atau Ilavon secara niosintesis dapat dianggap
terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang
membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi
(Indah Wahyu Utami, 2008). Daya antiseptik tanin disebabkan oleh
adanya gugus pirogalol dan gugus galoil yang merupakan gugus Ienol
yang menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya dengan cara
bereaksi dengan sel protein dari sel bakteri sehingga terjadi denaturasi
protein. Adanya koagulasi protein pada dinding sel bakteri tersebut
menyebabkan gangguan metabolism bakteri sehingga terjadi kerusakan
pada dinding sel tersebut dan akhirnya menyebabkan sel lisis (Iwan
Ruhadi, 1983).
4. Saponin

Gambar 2.7. Struktur kimia saponin (Anonym,2011)
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang merupakan
senyawa aktiI permukaan dan bersiIat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuan membentuk busa dan menghemolisis darah,
dapat digunakan sebagai antiinIlamasi dan antimikroba. Senyawa ini
bersiIat bakterisida karena kontaknya terlalu singkat untuk menghasilkan
banyak eIek yang merusak. Sabun lebih eIektiI terhadap bakteri gram
positiI dan bekerja melalui perusakan membrane dan denaturasi protein.
(Indah Wahyu Utami, 2008).

2.4 Antibakteri
Antibakteri adalah bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri,
penghambatan pertumbuhan dapat bersiIat bakteriostatik atau bakterisid. Pada
bakteriostatik, pertumbuhan bakteri akan berlangsung lagi bila bahan kimia tersebut
telah hilang. Pada bakterisid, bakteri yang telah dimatikan tidak dapat tumbuh lagi
meskipun tidak ada hubungan lagi dengan bahan kimia tersebut (Trilaksana, 2009)
2.5 Uji Antimikroba
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode pokok yakni dilusi dan diIusi. Penting sekali untuk
menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua Iaktor yang
mempengaruhi aktivitas antimikroba (Brooks et al., 2005).

2.5.1 Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji
dan dieramkan. Tahap akhir metode ini, antimikroba dilarutkan dengan kadar yang
menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi akan memakan waktu dan
penggunaanya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji kepekaan cara dilusi cair
dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai, namun kini ada
cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai, yakni menggunakan microdilution
plate (Brooks et al.,2005).
2.5.2 Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode diIusi agar. Cakram
kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada medium padat yang
sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah diinkubasi,
diameter zona hambat sekitar cakram digunakan untuk mengukur kekuatan hambatan
obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi beberapa Iaktor Iisik dan kimia,
selain Iaktor antara obat dan organisme (misalnya siIat medium dan kemampuan
diIusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standardisasi
Iaktor Iaktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Brooks
et al.,2005).

Anda mungkin juga menyukai