Anda di halaman 1dari 3

Etika Religius (Baik adalah cinta Tuhan dan sesama sebagai bentuk ketaatan pada kehendak tuhan.

Tuhan merupakan sumber nilai) Etika keagamaan tradisional didasarkan pada keyakinan terhadap tuhan dan semesta moral. Sejumlah aliran eksistensialisme religius kontemporer menolak teisme tradisional. Umumnya menolak bentuk supernaturalisme dan otoritarianisme. Sebagai gantinya landasan non teistik disampaikan dalam etika tillich; atau teologi radikal yang melihat agama secara sekuler karena "Tuhan telah mati" membuat etika lebih bersifat humanistik dan universal, serta eksesistensial. Bagi etika keagamaan tradisional, Tuhan dianggap sebagai kebajikan (St. Agustine), atau tebatasi oleh kebajikan (Plato), dan merupakan sumber dan pendukung semua nilai. (bandingkan dalam islam Tuhan sebagian bernama: al-barr; al-muhsin; yang maha baik). Sebagai semesta moral, dunia ini di atur menurut hukum moral yang membangun sesuatu secara fisik (St. Thomas Aquinas) atau mengungkapkan dirinya dalam realitas diri terdalam yang tak-dapatdiketahui (Kant). Dalam etika relijius tradisional, tuhan merupakan pengatur segala sesuatu (al-mudabbir kulla syay'i). apa yang dia kehendaki dalam kedudukannya sebagai tuhan (teisme) adalah baik karena dia menghendakinya (William Ockham). Dilain pihak, yang baik bisa saja tidak semuanya disampaikan oleh tuhan, tetapi terkait dengan "kebahagiaan manusia" (Paley). Dalam banyak hal, ketaatan kepada Tuhan merupakan yang paling utama dalam etika relijius tradisional. (perhatikan arti islam itu sendiri dalam hal ini). Walaupun umumnya etika keagamaan tradisional bersifat teistik, namun ketegangan mistik (terutama yang berasal dari Plotinus) mendasari semua nilai dalam konsep panteisme tentang Tuhan, dimana tujuan hidup adalah menyatu dengan Tuhan ( bandingkan dengan sebagian ajaran sufisme dalam islam tentang wahdat alwujud). Dalam plotinus, dunia merupkan emanasi Tuhan dan karena dunia itu lebih rendah dan kekurangannya dibandingkan dengan kebajikan tertinggi itu sendiri. Sebaliknya dalam filsafat dualistik, dunia ini berjalan bersama dengan kejahatan atau keadaan "terpuruk" (Manichaisme); karenanya yang baik harus membuat jalan untuk melepaskan diri dari dunia "daging dan kejahatan" (Asketisme; alzuhd). Dalam filsafat ini, terdapat penyerta yang menyatukan ide keselamatan dengan ide tentang yang baik. Di lain pihak ketika Tuhan digambarka sebagai pencipta alam ini pada waktu yang lalu dan sekarang secara terus menurus melakukn penciptaan, keterlibatan Tuhan dalam memenuhi tujuan-Nya dapat diartikan sebagai yang baik. Hal ini dibenarkan oleh teori realisasi diri (self-realization) yang berkaitan dengan etika diman relisasi potensi diri merupakan tujuan hidup pada semua etika bahkan ini dapat memancing adanya penempatan kristus secara supernatural (evangelikalisme). Etika relijius tradisional pada dasarnya bersifat deontologis, yakni mendasarkan penekanan pada masalah tugas, kewajiban, atau memahami kebenaran dalam bertindak. Seperti sering dikatakan "lakukanlah sesuatu yang membawa kamu pada kehendak tuhan". Pertanyaan yang mendasar yang muncul adalah, "apa yang seharusnya saya lakukan?" atau "apa yang disebut benar?" dalam melakukan ketaatan pada kehendak tuhan atau tuntutan alasan moral. "apa tugas saya terhadap diri saya sendiri, terhadap orang lain, atau terhadap tuhan?" jawaban yang akan muncul adalah hukum emas (golden rule). Etika yang dikemukakan bersifat agapistik, yakni berdasar pada cinta Tuhan dan sesama manusia, meskipun unsur deontologis dan areteiki dapat ditemukan didalamnya, termasuk unsur otoritarianisme dan supernaturalisme. http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/filsafat-etika.html

Teori Etika Modern (Kognitivisme) 1.UtilitarismeUtilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan sajasatu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut suatu perumusanterkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) criteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. 2.DeontologiDeontologi ( Deontology) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal inikonsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukandilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologimenekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. 3.Teori Hak Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak berkaitan dengan kewajiban. 4.Teori Keutamaan Teori tipe terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagaireaksi atas teori teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut :disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral, misalnya : Kebijaksanaan, Keadilan, Kerendahan hati, Suka bekerja keras. Teori Etika Relijius (Nonkognitivisme) Etika keagamaan tradisional didasarkan pada keyakinan terhadap tuhan dan semesta moral.Sejumlah aliran eksistensialisme religius kontemporer menolak teisme tradisional. Umumnya menolak bentuk supernaturalisme dan otoritarianisme. Sebagai gantinya landasan non teistik disampaikan dalam etika tillich; atau teologi radikal yang melihat agama secara sekuler karena "Tuhan telah mati" membuat etika lebih bersifat humanistik dan universal, serta eksesistensial. Bagi etika keagamaan tradisional, Tuhan dianggap sebagai kebajikan (St.Agustine), atau tebatasi oleh kebajikan (Plato), dan merupakan sumber dan pendukung semuanilai.Etika relijius tradisional pada dasarnya bersifat deontologis, yakni mendasarkan penekanan pada masalah tugas, kewajiban, atau memahami kebenaran dalam bertindak. Etika bersifat agapistik, yakni berdasar pada cinta Tuhan dan sesama manusia, meskipun unsur deontologis dan areteiki dapat ditemukan didalamnya, termasuk unsur otoritarianisme dan supernaturalisme.

http://www.scribd.com/doc/59577976/etika Agil Setiowidarso Leksono11MPAXXIA01

Anda mungkin juga menyukai