Bronkiolitis adalah inIeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya
disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejalagejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis
ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada Ioto dada EPIDEMIOLOGI Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090 dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus ParainIluenzae tipe 1,2, dan 3, InIluenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa inIeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45-90 dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40. Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden inIeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasiI, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat- tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 Ieet dari seseorang yang menderita inIeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei . PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginIeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (Iusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektiI pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasoIaring kemudian menyebar dari saluran naIas atas ke saluran naIas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran naIas dan melalui aspirasi sekresi nasoIaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan Iibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraI aIeren lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinoIil dan sel-sel inIlamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inIlamasi, edema saluran naIas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas Iungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua Iaktor-Iaktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran naIas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran naIas meningkat pada Iase inspirasi maupun pada Iase ekspirasi. Selama Iase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinIlasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang inIeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersiIat transien dan tidak lengkap. InIeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat inIeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatiI immunity` sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap inIeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam Ienomena yang mendasari hubungan antara inIeksi virus saluran napas dan asma: (1) InIeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes Iaal paru, ternyata seringkali mengalami inIeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. InIeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinIeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan inIeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasoIaring 45 anak yang terinIeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesiIik RSV . MANIFESTASI KLINIS Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan naIsu makan berkurang. Kemudian timbul distres naIas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita inIeksi saluran naIas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres naIas dengan Irekuensi naIas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat naIas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernaIasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinIlasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diaIragma karena tertekan oleh paru yang hiperinIlasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen 92 pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta Iaringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulIur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertroIi dan timbunan inIiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan Iibrosis. DIAGNOSIS Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan Iisik sesuai dengan gambaran inIeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasiI dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen 95 merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap. Tes laboratorium rutin tidak spesiIik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinoIilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-Ioto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diaIragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-Ioto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diaIragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, reIluks gastroesophageal, sistik Iibrosis, gagal jantung, miokarditis . Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasoIaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positiI pada 50 kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunoIluoresen atau ELISA. SensitiIitas pemeriksaan ini adalah 80-90. TATA LAKSANA Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportiI: oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, deIisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportiI, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportiI, secara rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasuskasus berat. Antibiotika diberikan bilamana keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan inIeksi sekunder dengan bakteri. Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 6 kali per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga inIeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan aIinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positiI paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency fet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan inIus dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, Ieses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa inIeksi virus merupakan predisposisi terjadinya inIeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama Iase replikasi aktiI, maka pemberian ribavirin lebih bermanIaat pada Iase awal inIeksi. EIektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan Iungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan eIek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesiIik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi Iarmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan eIek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga eIektivitas dari mukosilier akan lebih baik. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai eIikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji eIikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek. Studi terbaru ainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epineIrin secara nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. EpineIrin memberi eIek alIa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic epinephrine untuk menurunkan eIek epineIrin terhadap jantung. Kristjansson (1993), menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epineIrin memberi perbaikan skor klinik dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic epinephrine aman dan cukup eIektiI untuk pengobatan bronkiolitis pada anak kurang dari 18 bulan. Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inIlamasi akibat inIeksi virus juga ada bronkospasme dibagian periIer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.EIek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epineIrin. Kortikosteroid Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari eIektiIitas kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju naIas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju naIas, skor klinis, dan tes Iungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat untuk mendapatkan eIek topikal yang maksimal dengan eIek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide, Ilunisolide, Iluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada aIinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipoIilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi yang ideal bila memiliki eIek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya Ilutikason, budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6- 12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-2 dan mencegah reaksi takiIilaksis akibat pemakaian obat agonis 2 jangka panjang- Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inIlamasiPENCEGAHANPencegahan dapat dilakukan dengan menghindari Iaktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signiIikan: jumlah yang terinIeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoproIilaksis pasiI pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai proIilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu). AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.