Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Capital Assets Pricing Model (CAPM) adalah suatu model yang dikembangkan untuk
menjelaskan suatu keadaan keseimbangan hubungan antara resiko setiap assets apabila pasar
modal berada dalam keseimbangan. Perhatian mengenai model keseimbangan ini telah secara
menerus dikembangkan. Beberapa diantaranya adalah Sharpe (1964) dan Treynor (1961) yang
mengembangkan Iormulasi mean-variance. Formulasi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut
dan diklariIikasi oleh Lintner (1965), Mossin (1966), Fama (1968) dan Long (1972). Sebagai
tambahan, Treynor (1965), Sharpe (1966), dan Jensen (1968-1969) telah mengembangkan
evaluasi portIolio yang mendasarkan pada Assets Pricing Model ini.
Dalam pengembangan Assets Pricing Model diasumsikan bahwa 1). Para pemodal akan
bertindak semata-mata atas pertimbangan expected value dan deviasi standar tingkat keuntungan
portoIolio 2). Tidak ada pajak atas biaya transaksi 3). Pemodal mempunyai pengharapan yang
homogen, dan sepakat mengenai expected return 4). Terdapat riskless lending dan borrowing rate
sehingga pemodal bisa menyimpan dan meminjam dengan tingkat bunga yang sama.
Hal yang paling utama dari Assets Pricing Model ini adalah pernyataan mengenai hubungan
antara expected risk premum dari individual assets dan systematic risk-nya. Jack Treynor,
William Sharpe dan John Lintner pada sekitar tahun 1960-an memIormulasikan CAPM sebagai:
Rj RI (Rm RI)*bj
Yang juga sering dituliskan sebagai:
Rj RI (Rm RI)*bj
Formulasi di atas mengatakan bahwa tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu saham (Rj)
sama dengan tingkat resiko (RI) ditambah dengan premi resiko |(Rm-RI)*bj|. Semakin besar
resiko saham (b), semakin tinggi resiko yang diharapkan dari saham tersebut dan dengan
demikian semakin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan.
Sesuai dengan konsep CAPM, maka jika kita melakukan suatu pegujian empiris terhadap
CAPM, ada beberapa hipotesa yang perlu dirumuskan:
- Semakin tinggi resiko, maka semakin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan
- Tingkat keuntungan memiliki hubungan yang linier dengan resiko
- Resiko tidak sistematis tidak relevan, dalam artian tidak akan ada imbalan bagi pemodal untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar kalau mereka menanggung resiko tidak sistematis.
- Penyimpangan tingkat keuntungan sekuritas atau portIolio dari equilibrium haruslah bersiIat
acak dan tidak bisa diketemukan cara untuk memanIaatkan penyimpangan guna memperoleh
excess proIit.
PENGUJIAN URUTAN WAKTU DARI MODEL
Model yang digunakan adalah seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu:
Rjt RIt aj (Rmt RIt)*bj e
Dalam hal ini:
aj intercept dari garis regresi
et residual error dari garis regresi
bj resiko sitematis dari suatu saham j
Model yang digunakan ini serupa dengan yang digunakan oleh Black, dkk, dan juga oleh Husnan
ketika menguji Standard CAPM di Bursa EIek Jakarta pada tahun 1990. Dengan model di atas,
kita dapat mengukur beta dari masing-masing sekuritas yang diamati untuk periode 1994-1995.
Dan apabila Standard CAPM berlaku, maka resiko, dalam hal ini 'b, seharusnya bernilai positiI
dan linier, sedangkan intercept 'a seharusnya tidak berbeda secara nyata dari Nol.
DATA
Data yang digunakan adalah data bulanan dari harga saham selama tahun 1994-1995.
Keuntungan bulanan dari portoIolio pasar Rmt dideIiniskan sebagai keuntungan yang dapat
digali dari suatu portoIolio yang terdiri dari seluruh saham yang terdaItar di BEJ, dalam hal ini
adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Risk Free Rate RIt adalah tingkat suku bunga
bulanan dari SertiIikat Bank Indonesia (SBI).
METODOLOGI PENELITIAN
Empat puluh saham dipilih secara acak dan diamati perubahan harga bulanannya dengan
melakukan perhitungan prosentase perubahan dengan Iormula sebagai berikut:
Rj (Pt Pt-1 Dt) / Pt-1
Dalam hal ini:
Pt harga saham j pada waktu t
Pt-1 harga saham j pada waktu t-1
Dt dividen yang dibagikan pada waktu t (jika ada)
Sedangkan tingkat keuntungan pasar dihitung sebagai berikut:
Rm (IHSGt IHSGt-1) / IHSGt-1
Dalam hal ini:
IHSGt indeks harga saham gabungan pada waktu t
IHSGt-1 indeks harga saham gabungan pada waktu t-1
Dengan mengamati harga-harga saham selama tahun 1994-1995 dan kemudian dilakukan proses
regresi dari tingkat keuntungan masing-masing saham terhadap tingkat keuntungan pasar secara
keseluruhan, maka akan diperoleh hasil pengamatan yang dilakukan.
|hasil terdapat pada tabel pengamatan|
HASIL PENGAMATAN
Dapat dilihat dari hasil running data bahwa cukup banyak saham memiliki beta positiI dan
signiIikan secara statistik. Tetapi pengamatan terhadap alpha menunjukkan bahwa alpha berbeda
secara nyata dari nol. Hal ini menunjukkan bahwa Standard CAPM tidak berlaku di BEJ,
setidaknya berdasarkan pengamatan yang dilakukan untuk kurun waktu 1994-1995. Hasil ini
konsisten dengan pengamatan yang dilakukan oleh Husnan pada tahun 1990.
Hal lain yang menarik dari hasil penelitian ini adalah munculnya 8 saham yang memiliki angka
beta negatI dan beberapa diantaranya cukup signiIikan secara statistik. Beta negatI ini tentunya
bertentangan dengan asumsi dari Standard CAPM bahwa seharusnya angka beta bernilai positiI.
Penjelasan yang bisa diberikan mengenai masalah ini adalah bahwa, setelah diamati perubahan
harga bulanan selama 1994-1995, saham yang memiliki beta negatiI tersebut mengalami
penurunan harga yang menerus dan cukup drastis, misalnya saham Kabelindo Murni. Pada
Januari 1994 harga saham Kabelindo Murni adalah Rp12.750 per saham, sedangkan pada akhir
1995 telah jauh menurun menjadi hanya Rp800 per saham. Penurunan harga saham per bulan
yang terjadi relatiI sangat drastis dan dalam beberapa periode pergerakan dari penurunan harga
ini 'melawan pergerakan IHSG. Hal yang juga terjadi pada saham Bakrie & Brothers.
Pada awal tahun 1994, harga saham Bakrie & Brothers adalah Rp16.500 per lembar saham,
sedangkan pada akhir tahun 1995 harga sahamnya telah turun menjadi Rp3.975 per lembar.
Pergerakan melawan harga pasar dari saham Bakrie & Brothers terjadi pada bulan April-Mei
1994, pada saat itu harga saham Bakrie & Brothers telah turun dari Rp16.200 menjadi Rp6.500
per lembar. Sedangkan pada waktu yang sama IHSG naik dari 462,40 menjadi 501,79. Pada
periode Februari-Maret 1995 pergerakan saham Bakrie & Brothers juga melawan pergerakan
pasar. Saat IHSG turun dari 453,57 menjadi 428,64, harga saham Bakrie & Brothers justru naik
dari Rp6.000 menjadi Rp7.275 per lembar.
Harga saham Citra Tubindo, sekalipun tidak mengalami perubahan harga yang drastis, tetapi
'sikap dari harga saham Citra Tubindo cederung 'melawan pasar. Pada saat harga bergerak
naik, pasar justru sedang turun. Secara umum saham-saham yang memiliki beta negatiI tersebut
adalah saham-saham yang pergerakan harga saham bulanannya cenderung 'melawan
pergerakan bulanan dari IHSG.
Dari hasil pengamatan terhadap empat puluh saham yang terdapat dalam tabel, terdapat tiga
golongan nilai beta, yaitu b~1, b1 dan b0. Secara keseluruhan seharusnya pasar memiliki
angka beta 1, sehingga jika suatu saham mempunyai beta sama dengan atau mendekati satu,
maka saham tersebut akan bergerak sesuai dengan pergerakan pasar. Saham-saham yang
memiliki beta sama dengan satu ini disebut sebagai saham-saham netral (neutral stocks). Jika
saham memiliki beta lebih besar dari satu, maka harga sahamnya akan naik lebih tinggi dari
pasar pada saat pasar bergerak naik, dan akan turun lebih rendah dari pasar jika pasar bergerak
turun. Saham-saham yang mempunyai beta lebih besar dari satu ini disebut sebagai saham-saham
yang agresiI (aggresive stocks). Saham dengan beta lebih kecil dari satu biasanya bergerak lebih
lambat dari pergerakan pasar. Saham-saham jenis ini biasa disebut sebagai saham-saham yang
bersiIat deIensiI (deIensiI stocks).
Sedangkan kelompok yang lain, yaitu saham dengan beta negatiI, adalah saham-saham yang
berperilaku khusus dan bertentangan dengan teori pasar modal. Dengan beta yang negatiI, maka
pergerakan harga dari saham-saham ini akan melawan pergerakan pasar. Pada saat pasar naik,
saham-saham jenis ini justru bergerak turun, dan sebaliknya pada saat pasar bergerak turun,
saham-saham ini justru bergerak naik. Dalam konsep pasar modal yang sempurna, seharusnya
tidak ditemui saham dengan beta negatiI. Fenomena saham dengan beta negatiI ini tentu
merupakan obyek yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
KESIMPULAN
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Standard CAPM tidak berlaku di
Bursa EIek Jakarta, setidaknya selama masa pengamatan. Masalah bias dalam pengamatan dan
penggunaan data memang menjadi kendala yang populer dalam penelitian CAPM. Penggunaan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai portIolio pasar sebenarnya juga memiliki
kelemahan, karena dalam penghitungan IHSG di Bursa EIek Jakarta, juga ikut dhitung saham-
saham yang 'tidur alias tidak aktiI diperdagangkan.
EIisiensi pasar dari Bursa EIek Jakarta sendiri perlu dipertimbangkan secara khusus. Penelitian
terhadap eIisiensi Bursa EIek Jakarta sejauh ini menyimpukan bahwa Bursa EIek Jakarta berada
pada tingkatan eIisiensi lemah (weak Iorm eIIiciency) sekalipun secara empiris dari tahun ke
tahun eIisiensinya semakin meningkat. Barangkali, tingkat eIisiensi pasar dari Bursa EIek jakarta
yang baru berada dalam tingkatan eIisiensi lemah ini pulalah yang menyebabkan adanya saham-
saham dengan angka beta negatiI.
Keberatan lain yang sering mengusik para peneliti pasar modal adalah sebuah pertanyaan,
Apakah pengujian CAPM dapat dilakukan?. Kegagalan pada kebanyakan uji empiris terhadap
CAPM didasari pada pemilihan indeks pasar yang tidak tepat mewakili portoIolio pasar
sesungguhnya. Sesuai dengan teori, maka seharusnya indeks pasar mewakili seluruh kesempatan
investasi yang ada seperti saham, obligasi, tanah, emas, investasi modal, dan sebagainya, yang
tentu saja sulit dilakukan, atau bahkan tidak mungkin, untuk dapat digunakan menguji CAPM
secara empiris.

Anda mungkin juga menyukai