Anda di halaman 1dari 10

SINDROMA VAN DER WOUDE: SUATU TIN1AUAN.

TANDA UTAMA,
EPIDEMIOLOGI, GAMBARAN YANG BERHUBUNGAN, DIAGNOSIS
BANDING, EKSPRESIVITAS, KONSELING DAN PERAWATAN GENETIK.


RINGKASAN
Pit kongenital pada bibir bawah merupakan malIormasi developmental yang jarang, terjadi
akibat kelainan autosomal dominan, dengan adanya heterogenitas sebagai ekspresi penyakit
ini. Kelainan tersebut muncul pada sindroma Van der Woude (VWS), di mana seringkali
terdapat celah pada bibir atas dan/atau palatum. Terdapat banyak literatur mengenai
beragam parameter yang berhubungan dan relevan dengan penyakit ini. Tujuan tinjauan ini
adalah untuk melengkapi, membuat, dan mengkategorikan pengetahuan yang telah ada
menjadi suatu entitas yang berbeda, untuk memIasilitasi pemahaman mengenai
etiopatogenesis malIormasi, maniIestasi klinis dan gambaran histologis, epidemiologi
keadaan sindromik dan pendekatan Iundamental untuk diagnosis banding yang integral.
Penekanan khusus diberikan pada dasar perawatan yang disarankan, dan perlunya
konseling genetik, karena penyakit ini menunjukkan aIinitas tinggi terjadinya celah dan
merupakan kejadian tipe turunan.

Pendahuluan
Pit pada bibir dapat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan lokasinya: komisural, tengah
bibir atas dan bawah (Nagore et al, 1998). Pit bibir bawah merupakan malIormasi
kongenital yang paling sering terjadi (Watanabe, et al, 1951; Cervenka et al, 1967). Pada
awalnya pit bibir pertama kali digambarkan oleh Demarquay pada tahun 1845 (dikutip oleh
van der Woude, 1954), oleh De Nancrede (1912) dan ditinjau secara luas oleh van der
Woude (1954). Van der Woude merupakan orang pertama yang mengkombinasikan pit
bibir dengan celah bibir dan/atau dengan celah palatum, memperkenalkan suatu entitas
klinis yang baru dan menunjukkan adanya siIat herediter. Sindroma van der Woude (VWS)
adalah bentuk celah sindromik yang paling sering terjadi, dengan dua persen dari seluruh
kasus celah bibir dan langit-langit (Schutte et al, 1996). Selain itu, telah diketahui bahwa
baik celah bibir dan langit-langit maupun celah langit-langit dapat bergabung dengan pit
bibir bawah pada keturunan yang sama.

VWS
Tanda utama
VWS, suatu bentuk celah sindromik yang paling sering, adalah malIormasi kongenital
devepmental yang jarang, dengan kelainan pada autosom, dominan, penetrasi yang tinggi,
dan ekspresivitas yang beragam. Pit bibir bawah, celah bibir dengan atau tanpa celah langit-
langit, dan celah langit-langit saja adalah tanda utama sindroma ini (gambar 1). Ekspresi
Ienotipik celah bervariasi dari celah bibir unilateral incomplete, celah palatum sub mukus,
uvula biIida, hingga celah bibir dan palatum complete. Tanda utama yang ditemukan pada
kasus yang ada pada literatur dirangkum dalam tabel 1. Kejadian Iamilial telah dipastikan
pada 61 pasien, 47 di antaranya memiliki pit bibit bilateral, sedangkan 18 dan 35
memiliki jenis campuran berbagai morIologi dan mikroIorm (yaitu elevasi konikal pada
bibir) (Rintala and Ranta, 1981). Jenis yang khusus (11) terdiri atas groove transversal
latewral atau ridge pada mukosa bibir, dan pernah disalahartikan sebagai double lip
(Rintala and Ranta, 1981).
Menurut Schinzel and Klausler (1986), pit berhubungan dengan celah pada sekitar separuh
pasien sindroma van der Woude. Di antara separuh pasien tersebut, dua pertiganya
memiliki celah bibir dan celah bibir dan palatu,, dan sepertiganya memiliki hanya celah
palatum saja, serupa dengan proporsi yang ada pada penderita celah non sindromik.

Gambar 1. Pit bibir bawah yang simetris, bersama dnegan celah bilateral pad abibir atas.

Pit bibir bawah
Selama dekade terakhir, literatur mengenai celah sangat meluas, meliputi etiologinya yang
beragam, adanya siIat genetik dan perawatan yang sukar dan panjang. Litertatur tersebut
tidak mempertimbangkan adanya pit bibir bawah. Pada artikel ini, bagaimanapun, pit bibir
bawah, yang merupakan ciri utama VWS, akan ditinjau, untuk mengetahui secara lengkap
gambaran mengenai lokasi, morIologi, simptomatologi, etiologi, dan histopatologi.

okasi. Jenis pit bibir bawah yang sering adalah sinus paramedian bilateral pada bibir
bawah, terletak simetris pada kedua sisi garis tengah (gambar 1). Pit juga dapat terjadi
unilateral, di medial, atau bilateral asimetri. Lesi single pada median atau paramedian
dianggap sebagai jenis incomplete.
Jenis unilateral terjadi paling sering pada sisi kiri (Watanabe et al, 1951; Neuman and
Shulman, 1961; Rinatala et al, 1970; HoIIman, 1971; Schneider, 1973) dan jaarang pada
sisi kanan (Ruppe and Magdaleine, 1927; HoIIman, 1971; Kulkarni et al, 1995). Tiga jenis
pi bibir juga telah dikemukakan (Hall, 1964; Ortega-Resinas et al, 1984). Pit bibit biasanya
sirkular atau oval, tetapi dapat juga transversal, atau seperti sulkus. Terkadang sulit untuk
menentukan apakah suatu pit bibir adalah benar-benar median atau paramedian. Ridge
mukosal transersa, elevasi konikal (seperti putting) dan/atau bukaan tanpa kedalaman,
kemungkinan merupakan mikroIorm pit bibir bawah. Elevasi dapat bergabung pada
midline, sehingga membentuk struktur seperti moncong, tetapi jarang (Oberst, 1910;
dikutip Gorlin et al, 1990).
Sinus terletak pada batas atas bibir bawah atau pada bagian antara vermilion border dengan
mukosa bibir pada arah antero-posterior. Biasanya terletak pada vermilion bibir dan pada
garis mukokutan dengan jarak satu sama lain sekitar 5-25 mm (Csiba, 1966). Dasar traktus
sinus ada pada bundel otot rangka, yang seratnya, pada beberapa bagian, telah berorientasi
dalam proyeksi peristaltik sekresi mukus bila berkontraksi (Taylor and Lane, 1966).

Morfologi. Pit bibir membentuk kanal, dibatasi mukosa labial, yang memeanjang di bawah
otot orbicularis oris, panjangnya adalah sekitar 1 hingga 25 mm. IistulograIi menunjukkan
bahwa Iistula ini panjang dengan traktus berbiIurkasi, dengan panjang 5-6 cm, berakhir
pada kulit di bawah otot orbicularis oris (Ortega- Resinaas et al, 1984). Terkadang Iistula ni
divergen, dan, jarang berkonvergensi untuk membentuk sebuah traktus sinus (Taylor and
Lane, 1966). Sinus bibir bawah median yang bipartil, seperti sepasang celana panjang,
dikemukakan oleh Rintala dan Lahti (1973).
OriIis dapat sama tinggi dnegan bibir bawah, membentuk sebuah cekungan (dikelilingi
lipatan epitel), berlokasi pada apeks elevasi seperti putting, atau dua protrusi seperti putting
dapat ditemukan tanpa bukaan sinus pada apeks (Wang and Macomber, 1956). Kontur bibir
sekitarnya normal (Warbrick et al, 1952). Kanal selalu berkahir pada sakus yan dikelilingi
kelenjar mukus )oriIis dapat sangat kecil seperti lubang rambut atau berdiameter 6 mm(De
Nancrede, 1912; Wang and Macomber, 1956).
$imptomatologi. Pit bibir bawah biasanya asimptomatis (Shprintzen et al, 1980); satu-
satuya gejala dapat berupa drainase terus menerus tau intermiten suatu sekresi encer atau
saliva (nagore et al, 1998), terjadi spontan atau disebabkan mastikasi dan rasa takut atau
cemas (Soricelli et al, 1966). Akumulasi mukus terjadi lebih cepat sebelum dan selama
waktu makan (Carter and Johnson, 1952), atau pada balita ketika menangis (Csiba et al,
1966). Pada pasien yang dikemukaan Chewning et al (1988), sekresi lebih buruk pada
bulan musim dingin, sehingga tumbul ekskoriasi pada bibir bawah, sedangkan pada pasien
lain pit dapat terasa sakit bila pasien terkena Ilu (Gurney, 1940). Terkadang terdapat
kumpulan partikel makanan pada sinus, juga menjadi keluhan pasien (HoIIman, 1971).

Morfogenesis. Pada laporan awal pit bibir bwah, Demarquay (1845, dikutip Burdick, et al
1987) menujukan impresi Iormasi pit bibir pada bibir bawah ke insisiI sentral atas, dan
banyak pasien cenderung menerima hipotesis tersebut hingga sekarang (Menko et al, 1988).
Berbagai teori lain dikemukakan Wang and Macomber (1956), dan meliputi phylogenetik,
epitelial atau glandular, asal kompensasi dan embrionik. Namun, seluruh teori diatas,
kecuali embrionik, tidak memiliki latar belakang ilmiah. Teori asal embrionik mendukung
konsep bahwa gen deIektiI berperan dalam pembentukan celah bibir dan palatu,, dengan
retardasi atau inhibisi Iase tertentu pada perkembangan normal bibir bawah.
Penelitian modern memberikan pendangan baru, sejauh pertimbangan embriologi sindrom
ini. Teori yang paling sering mengenai mekanisme Iormasi pit bibir bawah selama
perkembangan intrauterin dikemukakan oleh Warbrick et al (1952), berdasarkan sejumlah
potongan (5-16,1 mm) embrio manusia. Seluruh sulkus lateral berobliterasi secara normal,
kecuali ujung cephalic, yang menjadi lebih dalam ketika berkembang. Pada saat yang sama,
ujung alur menjadi lebih prominen dan akhirnya berIusi bersama, dan oleh sebab itu
mengubah alur menjadi suatu kanal tubular yang terbuka pada ujung atasnya. Kanal ini
kemudian bergabung dalam substansi pada bibir bawah, dan berpisah dari massa utama
arkus mandibular dan menjadi Iistula kongenital. Teori ini, bagaimanapun, tidak
menjelaskan adanya bukaan pada sinus pada elevasi konikal yang jelas (Srivastava and
Bang, 1989).
Menurut Kitamura et al (1989), pada embrio 32 hari, pit bibir bawah terdiri dari empat
pusat pertumbuhan, dibagi oleh satu groove median dan dua groove lateral. Pada hari 38
embrio, groove lateral menghilang, kecuali pada kasus terhambatnya pertumbuhan prosesus
mandibula sehingga terjadi pit bibir. Bila suatu kista yang terjadi akibat sisa dinding epitel
berhubungan dengan duktus kelenjar labial, Iistula kongenital pada bibir akan terbentuk.
Perkembangan pit bibir bermula pada hari perkembangan ke 36, celah bibir pada hari ke 40,
dan celah palatum pada hari 50. Periode terjadinya tiga jaringan tersebut kemungkinan
beragam dari segi waktu dan bahkan sekuens, dan mungkin juga tumpang tindih.

istopatologi. Pemerksaan histopatologis pit menunjukkan adanya depresi ekstensiI pada
bagian tengah, dikelilingi batas peninggia yang jelas (vignale et al, 1998). Epitel berlapis
pada batas dan daerah pusat menipis, sedangkan kebanyakan sel basal bervakuola, dengan
perpindahan nukleus, menyerupai sel epitel imatur (Watanabe et al, 1951). Csiba (1966)
menambahkan adanya akantolisis dan degenerasi hidroIik pada epitelium Iistu, sedangkan
Ruppe dan MAgdaleine (1927) melehat adanya spongiosis. Dermis superIisial memiliki
odema interstisial diIus, dilatasi ringan pada papila dermal dan kapiler yang berkongesti. Di
awantara dinding lateral dan dasar cekungan, terdapat sektor silindris kecil sel
parakeratotik. Otot dan serat saraI tidak menunjukkan adanya perubahan yang signiIikan,
berhubungan dengan kualitas, kuantitas dan disposisi (Gambar 2).

5idemiologi JWS
!revalensi. Prevalensi VWS beragam dari 1:100.000 hingga 1:40.000 kelahiran hidup
(Cervenka et al, 1967; Gordon et al, 1969; Janku et al, 1980; Rintala and Ranta, 1981;
Burdick, 1986).

Rasio fenis kelamin. Tidak adak perbedaan signiIikan antara jenis kelamin dalam hal
prevalensi sindrom ini (Cervenka et al, 1967; Janku et al, 1980; Burdick, 1986). Banyak
penulis meyakini bahwa terdapat prevalnsi lebih tinggi pada wanita, yang kemungkinan
karena adanya Iakta bahwa wanita lebih banyak mengunjungi dokter untuk alasan deIek
kosmetik (Watanabe et al, 1951; Wang and Macomber, 1956; Rintala and Ranta, 1981).
Berlawanan dengannya, Csiba (1966) menemukan bahwa sindrom ini dua kali lebih banyak
pada pria daripada wanita.

Gambar 2. Potongan histologis pada bibir bawah dengan Iistula bilateral. Perhatikan garis
epitelium traktus dan acini kelenjar mukosa yang berhubungan dengannya.

ambaran yang berhubungan dengan JW$ san diagnosis banding
Selain tanda major, terdapat gambaran lain yang berhubungan dnegan VWS. Hipodonsia
dianggap merupakan gambaran utama yang berhubungan dan telah diteliti pada 10-81
dari seluruh pasien VWS (Schneider, 1973; Rintala and Ranta, 1981; Schinzel and
Klausler, 1986), dengan jumlah gigi yang hilang pada rahang atas hampir dua kali lipat
kelompok kontrol (Ranta and Rintala, 1982). Gigi yang hilang pada sekuens Irekuensi
adalah gigi premolar kedua atas, premolar kedua bawah, dan gigi insisiI lateral atas.
Anomali lain yang berhubungan dan sering terjadi adalah sindaktili tangan, politelia,
ankiloglosiam dan symbleIaron (Neuman and Shulman, 1961; Cervenka et al, 1967;
Burdick et al, 1987), lcub Ioot (Ludy and Shirazy, 1937), hipoplasia ibu jari, penyakit
jantung kongenital(Pauli and Hall, 1980), adhesi strand like kongenital pada gumpad atas
dan dan bawah, pit commisura, jari melebar, sinus preaurikular, celah bibir bawah, murmur
jantung, dan abnormalitas cerebral midline, double lower lip, displasia ektodermal, dan
malIormasi sistem saraI pusat. Pasien dengan sindrom Kabuki (Niikawa Kuroki) dan VWS
juga digambarakan oleh FRanceschini et al (1993) dan Kokitsu-Nakata et al (1990).
Tinjauan litertaur mengemukaan adanya berbagai anomali yang harus dibedakan dari VWS:
1. Pit pada komisura dan bibir atas (Baker 1996; Gorlin et al, 1990; Ohishi, et al, 1991;
Neville et al 1995).
Pit komisura terjadi pada daerah horizontal celah Iasial dan dapat menunjukkan
perkembangan deIektiI Iisura embrionik ini (ShaIer et al, 1983). Sinus kongenital
jarang terjadi pada bibir atas dan Iraenanya (Ludy and Shirazy, 1937; Wang and
Macomber, 1956; Mahler and Karev, 1975; Orteg-Resinas et al 1984) (Gambar 3).
2. Celah tanpa pit, akibat variasi ekspresivitas VWS (Gorlin et al, 1990).
3. Sindrom pterigium popliteal (PS), yang meliputi popliteal web, celah bibir dan/atau
palatum, pit bibir bawah pada 60 kasus |71 menurut Audino et al (!984)|, anomali
sistem genitouriner, seperti cryptorchidism dan skrotum biIida pada laki-laki dan
hypoplastik labia mayora dan uterus pada wanita. Soekarman et al (1995) menemukan
23 keluarga yang memiliki PPS, sedangkan tujuh di antaranya menunjukkan gambaran
klinis yang tidak dapat dibedakan dari VWS pada generasi sebelumnya, dengan celah
bibir dan palatum, lip pit dan hipodonsia saja. Hipotesisnya adalah bahwa seluruh
penyakit tersebut merupakan varian alelik kondisi yang sama dan konseling genetik
harus meliputi kemungkinan bahwa pasien dnegan VWS memiliki risiko mendapatkan
keturunan dengan PPS. Lees et al (1990) membuktikan bahwa kedua penyakit ini
adalah alelik dengan menggenotipkan tiga keluarga untuk marker dan dalam regio kritis
1q32-41 dalam 1,6 cM, dan mendapatkan angka LOD 2,7 tanpa bukti rekombinasi.
4. Aganglionik megacolon bersama dengan celah palatum dan pit bibir (Hirschsprung`s
disease) (Schwarz et al, 19779; Goldberg and Shprintzen, 1981; Gorlin et al, 1990).
5. Sindroma oro-Iacio-digital tipe 1, suatu keadaan x-linked dominan, letal pada wanita,
dengan abnormalitas orodental, Iasial, digital, renal, dan sistem saraI pusat. Tanda
orodental meliputi celah palatum, lidah biIida, hipodonsia, dan celah median pada bibir
atas, sedangkan Salinas et al (1991) menambahakan lip pit sebagai variabilitas klinis.
Eksklusi sindrom ini harus didasarkan pada temuan orodigital (Schinzel and Klausler,
1986)
6. Ankyloblepharon IiliIorm adnatum (Srivastava and Bang, 1989).

Gambar 3. Pit bibir pada komisura.

kspresivitas JW$ dan konseling genetik
Ekspresivitas VWS beragam, seluruh tanda dapat hadir, baik secra tunggal atau kombinasi,
atau tanpa abnormalitas yang dapat dideteksi secara klinis. Pada penelitian tujuh turunan
keluarga (JAnku et al, 1980), pit bibir terjadi pada 88 pasien yan gterkena VWS dan
merupakan satu-satunya maniIestasi pada 64, sedangkan celah bibir terjadi pada 21.
Ludy and Shirazy (!937) menunjukkan keluarga dengan lima anggota memiliki hanya pit
bibir saja, di mana terdapat kejadian Iamilial deIormitas. Prevalensi yang dilaporkan
mengenai pit bibir bawah di antara celah berkisar antara 0,37 hingga 6 (van der Woude.
1954; Fogh-Andersen, 1961; Shprintzen, et al, 1980; Rintala and Ranta, 1981; OnoIre et al,
1997).
Pit bibir bawah bilateral tanpa celah dilaporkan terjadi pada keluarga empat generasi oleh
Baker (1964). Kombinasi celah bibir dan hanya pit bibir pada keturunan yang sama sangat
jarang (Lacombe et al, 1995). Satu gambaran yang jarang pada VWS adalah bahwa bentuk
berbeda pada celah terjadi pada arah vertikal dan horizontal pada silsilah yang sama (Fogh-
Andersen, 1961; Sander et al, 1993).
Bila terjadi berbagai jenis pit pada satu pasien, digunakan istilah tipe campuran`.
MikroIorm VWS terjadi sebagai elevasi konikal bibir, Iisura transversa pda bibir, depresi
median dan hipodonsia (Rintala et al, 1970; Rintala , 1981; Rintala and Ranta, 1983; Ranta,
1985).
Konseling genetik, suatu prosedur yang sangat dianjurkan untuk abnormalitas ini, meliputi
inIormasi kecenderungan transmsi genetik, dan jalur yang memungkinkan untuk ekspresi
dan penetrasi. Riwayat lengkap keluarga penting didapat sebelum konseling dapat
diberikan pada pasien dengan kasus celah yang terisolasi (Stricker et al, 1990).
Kompleksitas diturunkan seolah akibat gen tunggal berbagai ekspresivitas. Orang yang
terkena dapat mentransmisikan anomali kepada sekitar satu setengah keturunannya.
Terdapat hubungan yang signiIikan antara tipe celah pada orang tua dan anaknya (Cervenka
et al, 1967). Orang tua yang menderita keparahan cenderung memiliki keturunan yang lebih
parah daripada orang tua yang berpenyakit ebih ringan (van der Woude. 1954; Burdick et
al, 1985). Di sisi lain, orang tua yan tidak terkena dengan adanya riwayat deIek pada
keluarga dapat memiliki keturunan yang menderita penyakit parah (van der Woude. 1954).
Individu yang terkena lebih ringan tidak menderita bentuk yang parah (Cheney et al, 1986).
Bagi pasien VWS, risiko relatiI transmisi celah adalah antara 11.0 dan 22.43 (Cervenka et
al, 1967; Janku et al, 1980; Burdick et al, 1986). Risiko relatiI untuk mentransmisikan pit
bibir bawah saja atau menjadi non penetran adalah antara 24.7 hingga 42.7 (Cervenka et
al, 1967; Janku et al, 1980; Burdick et al, 1986).
RelatiI terhadap Ienoti pasien, risiko celah pada anak (dengan batas kepercayaan 95)
yang memiliki orang tua dengan hanya pit bibir, adalah 22. Bila orang tua memiliki pit
bibir dan celah, risikonya adalah 39. Bila orang tua memiliki hanya celah, ettapi orang
tuanya atau kerabat memiliki pit bibir, risikonya adalah 30 (Cervenka et al, 1967).
Klausler menemukan tidak ada perbedaan pada silsilah, usia orang tua, urutan kelahiran,
riwayat kehamilan, paparan terhadap teratogen dan berat lahir antara pembawa VWS
dengan atau tanpa celah (dikutip Schinzel and Kalusler, 1986).
Karena luasnya variabilitas ekspresi PPS dan heterogenitas etiologikal yang mungkin, maka
harus dilakukan pemeriksaan Iisik yang seksama pada anggota keluarga yang ada, pada
seluruh kasus sporadis, untuk menegakkan diagnosis pada pasien yang memiliki
maniIestasi minor dan untuk mengidentiIikasi kerabat yang terkena dengan lebih ringan
pada pasien yang memiliki ekspresivitas lebih lengkap (Audino, et al, 1984). Karena itu,
pasien dnegan pit dan celah memiliki risiko kecil mendapatkan keturunan yang menderita
popliteal pterygia dan tanda lain PPS, selain yang ada pada oran tuanya (Schinzel and
Kalusler, 1986). Pashayan and Lewis (1980) melaporkan adanya ayah dengan celah
palatum dan pit bibir bawah sedangkan dua dari tiga ankanya memiliki keterlibatan
ekstensiI PPS.
Pasien VWS jarang menunjukkan celah tanpa pit: kasus ini menunjukkan kelompok kecil
pasien celah dengan risiko rekurensi tinggi dan menggarisbawahi perlunya pertanyaan
spesiIik dan pemeriksaan pit bibir, termasuk mikroIorm, pada kerabat pasien celah saaat
konseling genetik (Schinzel and Kalusler, 1986). Menurut Menko et al (1988), pasien
dengan celah bibir dan palatum, bibir bawahnya harus diperiksa secara seksama pada
pasien tersebut dan pada kerabat tingkat pertamanya. Selain itu, patologis bicara-bahasa
dapat berperan penting dalam mengidentiIikasi pasien yang memiliki tanda klinis minimal
VWS, misalnya celah submukus (Galss et al, 1979).

!erawatan JW$
Perawatan pasien VWS meliputi seluruh kebutuhan bedah dan prosedur multidisipliner
untuk koreksi naomali yan gserius termasuk celah. Sejauh perawatan pit bibir bawah
dipertimbangkan, walaupun pernah dilaporkan pengecilan spontam (Ludy and Shirazy,
1937; Kuster and Lambrecht, 1988), yang membuat pasien menginginkan dieksisinya pit
adalah alasan kosmetik, sekresi mukus dan kemungkinan inIlamasi kronis yang tidak
terkendali. InIeksi sekunder, walaupun jarang dilaporkan, harus dihindari dan pasien yang
tidak mendapatkan koreksi bedah harus diinstruksikan mengenai perawatan kebersihan
yang seksama. Selain itu, kasus karsinoma sel skuamosa yang berkembang dari inIlamasi
kronis sinus bibir pernah dilaporkan oleh Bernier (1955, dikutip Soricelli et al, 1966).
Watanabe et al (1951) meninjau dan mengkatagorikan tekhnik bedah yang ada untuk eksisi
pit bibir. Pada seluruh kasus, eksisi traktus sinus harus secara lengkap, karena bila kelenjar
mukus pada Iistula tertinggal, dapat menyebabkan terjadinya kista mukoid (Wang and
Macomber, 1956; Resinas et al, 1984). Longgarnya otot bibir juga dilaporkan sebagai
kekurnagan operasi (Wang and Macomber, 1956; Campus et al. 1994).
Bila hasil post operasi dievaluasi, seringkali ditemukan bibir yang tidak estetik, dan
memerlukan perawatan berupa dua atau lebih operasi, karena deIormitas residual (Bowers,
1972, dikutip MutaI et al, 1993).

Kesimpulan
VWS biasanya tidak terlaporkan dan jarang terdiagnosis. Fenomena bahwa celah bibir
dan/atau palatum biasanya terjadi pada satu silsilah menjadikannya unik. Pemeriksaan yang
seksama pada pasien dengan pit bibir dapat menunjukkan adanya bentuk celah yang
tersembunyi, misalnya submukus. Selain itu, pemeriksaan Iisik harus meliputi sebanyak
mungkin anggota keluarga pasien VWS. Konseling genetik sangat dianjurkan.

Anda mungkin juga menyukai