Anda di halaman 1dari 7

TUGAS REVIEW PAPER

TEORI NORMATIF MEDIA


Mata Kuliah Teori Komunikasi Massa
Oleh : Dian Rousta Febryanti / 0606094176

Teori Normatif
Seiring dengan perkembangan media diikuti pula dengan polemik yang kemudian
menimbukkan banyak pertanyaan. Media berkembang sesuai dengan perkembangan yang
terjadi pada masyarakat. Bisa dikatakan bahwa media related dengan masyarakat
(society). Dewasa ini media bisa dikatakan berkembang ke arah kaptalis, dimana profit
menjadi tujuan utama operasionalnya. Sebenarnya bagaimana media bekerja atau
‘seharusnya’ bekerja? Panduan kerja media tertuang pada teori normatif yang
berkembang dari teori-teori yang dominan pada tiap masa. Teori normatif adalah sebuah
teori yang menjelaskan tentang bagaimana standar struktur dan mekanisme operasional
yang ideal bagi sistem media.

Asal Mula Teori Normatif Media


Perdebatan tentang aturan main media telah dimulai pada abad ke-20 di Amerika. Kala
itu paham yang berkembang adalah ideologi liberal radikal. Dengan paham ini, orang-
orang beranggapan bahwa media seharusnya bebas dari aturan hukum apapun. Paham ini
berkembang setelah kemerdekaan amerika yang kemudian euforia kebebasan ini
berimbas pula pada peran dan posisi pers / media. Pemikiran ini yang kemudian
melahirkan ”First Amandment Absolutist” yang menjamin kebebasan pers. Dalam
amandemen pertama dari Undang-undang dasar Amerika ini, media, dalam bentuk
apapun harus secara total tidak terikat oleh aturan apapun. Kondisi media yang bebas
tanpa aturan kemudian menimbulkan kritik dari beberapa golongan yang menghendaki
adanya Technocratic Control. Beberapa orang seperti Harold Laswell dan Walter
Lipmann ini percaya bahwa bagaimanapun harus ada aturan yang mengatur media secara
langsung baik dari lembaga atau komisi pemerintah. Hal ini dikarenakan mereka tidak
percaya media bisa bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan publik yang paling
vital. Tetapi dalam perkembangannya ide ini masih belum dapat diterima karena beberapa
kalangan tetap khawatir, adanya campur tangan pemerintah akan memungkinkan
digunakannya media sebagai alat pemerintah untuk kepentingan penguasa. Kemudian
kalangan pers beralih pada paham libertarian, dimana peran dan posisi pers diserahkan
pada pasar. Ide ini berkembang dari asumsi bahwa tiap-tiap orang mampu berpikir secara
logis dan rasional untuk menilai tayangan media mana yang baik dan mana yang buruk.
Isi media dipengaruhi oleh mekanisme pasar, pasar media (audience) yang menentukan
mana program yang ’laku’ dan diterima dan mana yang tidak, dan media akan beropearsi
sesuai kondisi tersebut. (Terdapat kaitan dengan teori Uses and Gratification)

Munculnya Paham Libertarian


Libertarian muncul sebagai counter terhadap paham atau teori authoritarian (abad ke-16).
Paham authoritarian menyatakan bahwa segala bentuk komunikasi berada di bawah
kontrol pemerintah. Sistem ini berlaku di negara-negara dengan model pemerintahan
otoriter. Dalam paham ini, suara minoritas masih bisa dipublikasikan selama tidak
bertentangan dengan kepentingan pemerintah yang saat itu berkuasa. Bisa dikatakan
masih ada kebebasan tetapi sangat terbatas, berbeda dengan sistem totaliter yang memang
meng’haramkan’ kebebasan berpendapat. Awal dari paham Libertarian menyatakan
pemikirannya bahwa tiap-tiap individu berhak untuk bebas dari batasan-batasan yang
ditetapkan oleh negara atau gereja dalam berkomunikasi. Perkembangan paham
Libertarian meligitimasikan revolusi Amerika yang bebasdari pemerintahan kolonial
Inggris. Semangat kebebasan ini yang kemudian mengubah sistem pemerintahan Amerika
menjadi demokrasi yang artinya pers / media memiliki peran penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Prinsip dari Libertarian terangkum dalam Declaration of
Independence and the Bill of Right. Deklarasi ini menjamin kebebasan berkomunikasi
dalam bentuk apapun yang menjadi salah satu elemen penting dari hak-hak individu yang
disebutkan dalam deklarasi tersebut.
Radical Libertarianism
Pers libertarian yang radikal mulai muncul ditandai dengan tumbuhnya era penny pers
dan yellow jurnalisme. Tantangan ekonomi bagi media untuk tetap bisa bertahan
membuat media berupaya agar Koran atau medianya laku terjual. Cara yang dilakukan
kemudian dengan membuat berita yang laku dijual tidak berdasarkan pada aturan dan
etika jurnalisme sebagaimana mestinya lagi. Media membuat aturan sendiri yang disebut
dengan marketplace of idea. Mudahnya, program media dibuat pada mekanisme pasar.
Media dengan bebas membuat program atau isi berita mengenai benar atau salah, baik
atau buruk, diserahkan kepada audience yang memilih. Mekanisme ini juga didukung
oleh doktrin Leissez-Faire yang menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya membiarkan
kegiatan bisnis berjalan dengan bebas dan tanpa campur tangan pemerintah.

Market place of Idea adalah mekanisme self regulating media, yang tidak membutuhkan
peran pemerintah untuk melakukan sensor terhadap pesan yang disampaikan. Audience
tidak akan membeli pesan yang buruk. Tetapi pertanyaannya bagaimana, jika pesan yang
ditawarkan gratis? Hal ini berlaku pada televise dan radio dimana audience tidak
membayar setiap tayangan dan program yang ditawarkan masing-masing stasiun. Kondisi
ini akan membuat audience cenderung menerima begitu saja setiap pesan yang
disampaikan oleh televise (cultivation theory).

Regulasi Pemerintah terhadap Media


Selama tahun 1920an dan 1930an, teori normative baru tentang komunikasi massa
menolak radical libertarianism maupun technocratic control. Media tidak dapat
dibiarkan terlalu bebas tetapi juga tidak bisa dibiarkan berada di bawah kontrol
pemerintah. Jalan keluarnya adalah dengan membentuk komisi dari pemerintah yang
bersifat independen dan dijalankan oleh orang-orang dari kalangan media, akademisi, dan
tokoh-tokoh masyarakat untuk mengawasi dan mengatur operasional media yang
berkaitan dengan kepentingan umum (audiencenya). Salah satu contoh yang telah
dilakukan Amerika adalah dengan membentuk Federal Radio Commision (FRC) dan saat
ini telah berkembang menjadi Federal Communication Commision (FCC). Komisi ini
diberi hak dan wewenang untuk mengawasi operasional media termasuk dalam
pemberian ijin frekuensi siaran. Sedangkan di Indonesia, KPI yang seharusnya menjadi
badan tersebut seolah dipangkas lengan kuasanya dengan adanya ketimpangan kerja
dengan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dan Departemen
perhubungan (dalam pengaturan frekuensi) yang juga tidak dijamin dengan perundangan
yang kuat.

Jurnalisme Profesional
Pers sebagai produk jurnalisme dituntut untuk menjunjung tinggi profesionalistasnya. Hal
ini sesuai dengan amanat yang tersirat dalam sistem demokrasi dimana pers menjadi pilar
keempat yang memegang peranan penting. Dalam hal ini media berfungsi sebagai watch
dog kinerja pemerintah. Media memenuhi kebutuhan publik untuk mendapatkan
informasi dan mengutarakan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam sistem
demokrasi yang dituangkan dalam perundangan negara.
Prinsip dalam Kode Etik Jurnalistik (Laitila 1995) :
1. Kebenaran dari informasi yang disampaikan
2. Informasi yang disampaikan harus jelas
3. Berpihak kepada hak publik untuk tahu
4. bertanggung jawab atas terbentuknya opini publik dari efek pemberitaan
5. Memiliki standar dalam meliput dan mempublikasikan informasi
6. Memperhatikan integritas sumber informasi
Dalam prakteknya terdapat keterbatasan dari Proses Profesionalisasi Kinerja Media :
1. Profesionalisme dikerjakan karena enggan jika dikecam oleh rekan (seprofesi)
jika melanggar standar profesionalisme. Kecenderungan ini membuat
profesionalisme dilakukan saat-saat mendesak atau kritis saja, tidak selalu setiap
waktu dikerjakan.
2. Standar profesional bersifat abstrak dan ambigu. Batasan-batasan mana yang
profesional mana yang tidak menjadi tidak jelas, terutama jika orientasi tiap-tiap
media berbeda.
3. Berbeda dengan bidang kesehatan dan hukum, profesionalitas media tidak disertai
dengan standar yang baik untuk pelatihan dan lisensi. Pelatihan bagi jurnalis
kurang memadai dibandingkan dengan jumlah jurnalis sehingga melahirkan
wartawan yang tidak berkualitas. Pentingnya lisensi sebagai kontrol juga tidak
terdapat di perusahaan media, karena tiap-tiap perusahaan punya kebijakan sendiri
dan di atasnya tidak ada lembaga dengan regulasi yang mengatur.
4. Praktisi atau pekerja media tidak murni independen dalam melakukan tugasnya.
Dalam sebuah perusahaan media, ada susunan hirarkis dan birokratis untuk
menentukan isi program atau berita yang ditayangkan. Hasil tulisan dari wartawan
harus melalui proses editing oleh beberapa jajaran termasuk dewan direksi
pemegang saham. Terkadang di sini terjadi benturan antara idealisme jurnalistik
dengan kepentingan ekonomis.
5. Di industri media, pelanggaran terhadap profesionalisme jarang mendapat respon
dan konsekuensi secara langsung. Sehingga standar profesionalisme kerap kali
tidak dihiraukan dalam menjalankan tugasnya.

Social Responsibility Theory


Pada tahun 1942 sebuah Komisi bernama The Hutchin Commision on Freedom of The
Press didirikan. Anggotanya terdiri dari berbagai tokoh masyarakat, dari akademisi, tokoh
politik, dan tokoh-tokoh dari organisasi kemasyarakatan. Komisi ini bertujuan untuk
mencari peraturan dan kebijakan yang terbaik untuk media. Komisi ini tidak setuju
dengan mekanisme libertarian dan menganggap bahwa media perlu ada guide berupa
aturan kesepakatan bersama dan bukan murni dari pemerintah. Rencana aturan ini
didukung oleh peneliti di bidang ilmu sosial dari Chigago School. Menurut peneliti-
peneliti ini, untuk menciptakan masyarakat yang hebat, masing-masing kelompok dalam
masyarakat, yang berbeda-beda, bekerja bersama-sama. Karakteristik ini dikenal sebagai
pluralistic groups, masyarakat plural, yang terdiri dari perbedaan budaya dan etnis.
Menurut Dennis McQuail (1975), prinsip dasar dari social responsibility adalah :
1. Media harus menerima dan menyampaikan fakta kepada publik
2. Penyampaian fakta dan informasi harus berdasarkan pada kebenaran, akurat,
objektif, dan seimbang.
3. Dalam menyampaikan pesan ini media harus berdasarkan pada aturan baik yang
berupa perundangan negara, maupun dari institusi yang berkaitan dengan media.
4. Media harus menghindari bentuk pemberitaan yang menonjolkan kejahatan,
pelanggaran, atau perlakuan diskriminatif terhadap golongan minoritas.
5. Media harus plural dan mencerminkan perbedaan dalam masyarakat,dan memberi
kesempatan seluasnya untuk perbedaan pendapat.
6. Publik mempunyai hak untuk mengharapkan performance terbaik dari media.
7. Jurnalis dan para pekerja media harus bertanggung jawab kepada masyarakat
sebagai marketnya.
8. Media harus bebas (Artikel 19 Declaration of Human Right) , tetapi terugulasi
oleh kebijakan organisasi media (self-regulated).
9. Pemerintah bisa mengintervensi jika berkaitan dengan kepentingan publik
(Artikel 29 Declaration of Human Right)
Di Amerika sistem ini berlaku di industri media setelah diberlakukan oleh FCC pada
tahun 1947.

Seharusnya idealisme ini mampu menjadi pedoman kerja untuk perusahaan media. Tetapi
pada kenyataannya tanggungjawab sosial media masih belum ada. Kinerja media masih
besardipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan kompetisi untuk meraih profit. Selain
kekuasaan ekonomi, kekuasaan politis pimpinan perusahaan juga bisa menjadi faktor
penyebab. Karena se-idealis apapun pekerja media, berdasarkan hirarki kekuasaan
tertinggi tetap ada di pimpinan perusahaan.

Isu yang berkembang kemudian adalah dengan munculnya civic jurnalism. Ini adalah
bentuk jurnalisme yang interaktif dimana pemberitaan di media juga bisa mengambil
hasil reportase masyarakat yang bukan pekerja media bersangkutan untuk dipublikasikan.
Hal ini dianggap dapat meningkatkan kreatifitas dan partisipasi dari masyarakat untuk
mewujudkan gagasan great community.

Di samping konsep yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa konsep lain tentang teori
normatif, yakni Developmental Media Theory, Democratic – Participant Theory, Western
Concept, Development Concept, Revolutionary concept, Authiritarian concept, dan
Communism Concept. Untuk Indonesia, harus selektif dalam memilih teori dan konsep
yang dijadikan pedoman kerja media. Sistem untuk media berkaitan dengan kondisi yang
berlaku di Indonesia baik secara sosial, politis, dan budaya. Menurut saya konsep yang
seharusnya diberlakukan di Indonesia selain konsep Sosial Responsibility adalah
Development Concept. Kebutuhan akan teori normatif yang menjadi pedoman kerja
media menuntut agar pemerintah dan media bekerja bersama untuk memastikan bahwa
media bekerja sesuai aturan yang disepakati bersama dan dapat mendukung
perkembangan dan kemajuan negara. Negara Indonesia adalah negara berkembang dan
cenderung labil. Walaupun kita menganut sistem pemerintahan demokrasi, tetapi pada
kenyataannya masyarakat belum siap mengikuti sistem itu. Indikasinya kebebasan
berpendapat menjadi cenderung kebablasan, atau malah media semakin tidak terlindungi
oleh undang-undang. Dikatakan mandiri tidak, dikuasai pemerintah tidak juga.
Agar media memiliki peran dan fungsi strategis untuk kepentingan negara, perlu
perhatian dari pemerintah terhadap media itu sendiri. Karena media massa merupakan
sarana potensial untuk mempersatukan bangsa di Indonesia yang sangat plural untuk
bersama mendukung perkembangan nasional, JIKA ada aturan main yang jelas. Tertuang
secara tegas dalam undang-undang yang menjamin bahwa media merupakan lembaga
independen yang seharusnya ’dimudahkan’ oleh undang-undang agar tidak hanya
terfokus pada kepentingan ekonomi semata.

Bahan Bacaan :
Baran, Stanley J. Dan Dennis K. Davis. Mass Communication Theory. Canada :
Wadsworth. 2003.
Mc. Quail, Dennis. McQuail’s Mass Communication Theory. London : Sage Publications.
2005.

Anda mungkin juga menyukai