Anda di halaman 1dari 89

Banking Outlook:

PERBANKAN INDONESIA PASCA DIVESTASI

Tim INDEF: Iman Sugema M. Fadhil Hasan Aviliani Bustanul Arifin Rahmat Mulyana Lukitawati

INDEF

Daftar Isi

Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Grafik BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tekanan Divestasi dan Privatisasi 1.3. Sistematika BAB 2. PERKEMBANGAN TERAKHIR PERBANKAN NASIONAL 2.1. Profitabilitas (ROA dan BOPO) 2.2. Kecukupan Modal (CAR) 2.3. Fungsi Intermediasi (LDR) BAB 3. ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 3.1. Sekilas API 3.2. Perbankan Indonesia Masih Memiliki Banyak Bank yang Subscale

ii iv vi 1 1 2 4

7 8 8 11 17 17 20

BAB 4. DIVESTASI: KRONOLOGIS DAN ANALISIS SOSIAL-EKONOMI 4.1. Kronologis Divestasi Lima Bank 4.2. Peningkatan Penetrasi Asing 4.3. Asing Vs Usaha Kecil 4.4. Subsidi Bunga Obligasi 4.5. Ketenagakerjaan BAB 5. KINERJA BANK-BANK DIVESTASI 5.1. Kridit dan Dana Pihak Ketiga 5.2. Laba Finansial dan Ekonomi 5.3. Produktivitas, Efisiensi dan Margin 5.4. Pengelolaan Risiko Kredit

27 27 39 44 49 51 53 53 56 60 64

BAB 6. PERBANKAN INDONESIA DI MASA YANG AKAN DATANG 6.1. Sudahkah Kita Belajar dari Krisis? 6.2. End-Game BAB 7. PENUTUP

67 68 75 83

Daftar Tabel
Tabel 3.1. Jumlah Bank Umum Berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia Tabel 3.2. Perkembangan Jumlah Bank di Indonesia Tahun 1997-2004 Tabel 4.1. Persentase Kredit Usaha Kecil bank Swasta Setelah Divestasi Tabel 4.2. Persentase Debitur Kredit Usaha Kecil Pasca Divestasi Tabel 4.3. Persentase KUK terhadap Total Kredit Yang Disalurkan Menurut Kategori Bank Tabel 4.4. Perbandingan Penempatan Obligasi Pemerintah Di Bank Pasca Divestasi dan Bank Direncanakan Didivestasi Tabel 5.1. Perkembangan Bisnis Bank-Bank Divestasi

20 21 45 46 48

50 55 58

Tabel 5.2. Profitabilitas Bank Divestasi Tabel 5.3. Produktifitas, Efisiensi dan Margin Usaha

Bank Divestasi Tabel 5.3. Pengendalian Risiko dan Kecukupan Modal Bank Divestasi

62 65

Tabel 6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Bank Terhadap Krsis 70 Tabel 6.2. Faktor Kritis Perbankan dan Peraturan yang Terkait Tabel 6.3. Prakiraan Peta Persaingan Perbankan di Indonesia Berdasarkan Baseline Scenario Tabel 6.4. Beberapa Kemungkinan Skenario Marger Imajinatif 71 76 79

Daftar Grafik
Grafik. 2.1. Perkembangan ROA Grafik 2.2. Perkembangan BOPO Grafik 2.3. Perkembangan CAR Grafik 2.4. Perkembangan LDR Grafik 2.5. Perkembangan NPL Grafik 2.6. Jumlah Bank yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Standar NPL Grafik 2.7. Porsi NPL Setiap Sektor Ekonomi Grafik 2.8. Perkembangan NPL Sektoral Periode Desember 2001 Juni 2004 Grafik 4.1. Pangsa Simpanan Grafik 4.2. Pangsa Kredit Grafik 4.3. Pangsa Aset 9 10 11 12 13 14 15 15 41 41 42

1
1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Divestasi dan privatisasi (D&P) bank di Indonesia hampir tanpa blue print dan tanpa evaluasi secara terbuka. Ia lebih didorong untuk kepentingan jangka pendek yaitu untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Belum ada dokumen resmi mengenai bagaimana sebetulnya struktur perbankan yang ingin diciptakan pasca divestasi. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sama sekali terlepas dari isu ini. Sementara itu proses divestasi dan privatisasi berjalan terus tanpa kita tahu secara pasti apa konsekuensinya, terutama dalam jangka panjang. Divestasi dan privatisasi memiliki tujuan yang baik, yaitu: mengurangi confict of interset pelayanan yang lebih baik, peningkatan efisiensi, meningkatkan kompetisi, struktur industri yang lebih sehat, mengurangi korupsi, dan mengurangi risiko kontingensi. Tapi apabila tidak didisain dan dilakukan secara hati-hati, D&P dapat menimbulkan dampak negatif yang permanen dan tujuan luhurnya tidak tercapai.

Dalam pemerintahan yang korup dan tidak kredibel, D&P dapat menyimpang jauh dari tujuan luhurnya. D&P juga sering menjadi polemik yang emosional tanpa rujukan yang obyektif. D&P bank jelas berbeda dengan perusahaan biasa. Struktur kepemilikan sangat berpengaruh terhadap pola pengambilan keputusan di bank yang pada gilirannya berpengaruh terhadap struktur aset dan kewajiban. Kepemilikan bank juga akan memiliki pengaruh terhadap pasar kredit yang pada gilirannya mempengaruhi struktur perekonomian dan daya saing perusahaan domestik. 1.2. Tekanan divestasi dan privatisasi

Setelah periode rekapitalisasi bank-bank yang biayanya mencapai Rp. 655 trilyun rupiah, muncul tekanan pada pemerintah untuk divestasi dan privatisasi bank-bank tersebut. Pada dasarnya, pemerintah menganggap divestasi dan privatisasi diperlukan untuk menghindari (1) contingent liabilities, (2) recovery atas bail out, (3) konsolidasi fiskal dan (4) pelaksanaan kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF). Selama bank-bank rekap dikuasai oleh pemerintah, risiko timbulnya contingent liabilities akan tetap ada jika dan hanya jika kerugian yang terjadi di bank tersebut terjadi terus menerus. Kenyataannya, bank-bank rekap justru terus menunjukan perbaikan kinerja. Hal ini mengindikasikan bahwa contingent liabilities sebetulnya telah berkurang secara drastis sejalan dengan menurunnya probabilitas kebangkrutan. Contingent liabilities yang paling besar justru dalam bentuk blanket guarantee baik yang eksplisit maupun yang implisit.
8

Selain contingent liabilities, divestasi juga dilakukan sebagai cara untuk melakukan recovery atas modal yang ditanam oleh pemerintah. Assessment untung rugi divestasi dari sudut pandang recovery juga tidak memuaskan bahkan dalam jangka panjang, pemerintah justru mungkin akan mengalami kerugian yang lebih besar. Karena harus terus menerus membayar bunga obligasi. Tekanan berikutnya adalah divestasi sebagai sumber pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) melalui penjualan aset oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau penggantinya PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Namun demikian, hasil penjualan aset ternyata tidak seimbang dengan biaya bunga obligasi rekap. Beban pembayaran utang justru terlalu tinggi yang bisa menyebabkan fiscal squeeze atau pemerintah tidak bisa membangun. Hal ini diindikasikan dari anggaran pembangunan yang semakin mengecil. Hal terakhir yang menjadi alasan pemerintah untuk melakukan divestasi dan privatitasi adalah pelaksanaan kesepakatan dengan IMF. Meskipun kerjasama dalam rangka mengatasi krisis moneter dengan IMF telah berakhir, pemerintah ternyata masih mengandalkan saransaran IMF, terutama untuk melakukan divestasi dan privatisasi bank. Patut disayangkan, saran-saran IMF yang selama ini hanya sedikit yang efektif justru sangat diandalkan oleh pemerintah. Pengalaman di negara-negara Amerika Latin menunjukan bahwa privatisasi bank sebaiknya tidak dilakukan secara serampangan. D&P bank seharusnya terkait dengan format ekonomi Indonesia yang ingin diciptakan berdasarkan kemandirian.
9

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian yang obyektif terhadap pola-pola D&P bank yang selama ini ditempuh oleh pemerintah. Bagaimana dampaknya terhadap kepemilikan dan kendali bank? Bagaimana pengaruhnya terhadap persaingan? Adakah alternatif D&P yang lebih baik? Bagaimana pengaruhnya tehadap sektor riil dan struktur ekonomi? Pola D&P yang bagaimana yang paling ideal? Kemana sektor perbankan akan diarahkan? Bagaimana menciptakan D&P yang konsisten dengan format ekonomi di masa yang akan datang? Bagaimana menciptakan persaingan yang lebih kondusif terhadap pengembangan dunia usaha dan end game seperti apa yang paling ideal? 1.3. Sistematika

Untuk menganalisis lebih objektif proses dan konsekuensi divestasi dan privatisasi bank yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perbankan secara khusus dan perekonomian Indonesia secara umum. Hal-hal ini dapat dijelaskan dengan menganalisis perkembangan rasio-rasio keuangan bank-bank yang sudah didivestasi yang dapat digolongkan berdasarkan kepemilikan asing dan publik (domestik). Bank-bank yang didivestasi melalui strategic sale yang dimenangkan oleh pihak asing adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Niaga, Bank Danamon, Bank LIPPO, dan Bank Internasional Indonesia (BII). Sementara bank-bank yang didivestasi ke publik melalui bursa saham ataupun initial public offering adalah Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
10

Selanjutnya, akan dianalisis proses divestasi lanjutan bankbank lain ataupun bank-bank yang sudah didivestasi dalam kerangka pemikiran Arsitektur Perbankan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh end game dari gelombang proses divestasi dan privatisasi berikutnya. Alat analisis yang digunakan antara lain adalah: indeks konsentrasi Hirschman dan Herfindahl (HHI) dan kelemahankelemahan dan keunggulan-keunggulan yang kemungkinan timbul dari end game tersebut. Pada pokok bahasan pertama dibahas pendahuluan yang berisi latar belakang tulisan ini yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa hal yang menjadikan tekanan kepada pemerintah untuk mendivestasi dan privatisasi bank-bank rekap serta metodologi penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dari analisis ini. Pada bahasan kedua akan dijelaskan secara lebih komprehensif tentang API dan hubungannya dengan divestasi bank. Dua pokok bahasan selanjutnya adalah aspek ekonomi dan end game dari divestasi. Pada pokok bahasan ini akan dibahas perkembangan investasi di Indonesia dan konsekuensinya, kinerja bank yang didivestasi, subsidi bunga obligasi, peran pihak asing dan komitmen bank yang didivestasi pada pengembangan industri perbankan dan ekonomi Indonesia, keternagakerjaan dan stabilitas moneter. Selanjutnya akan dibahas simulasi end game dari proses divestasi gelombang selanjutnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada dalam API. Bahasan terakhir adalah kesimpulan dan implikasi kebijakan atau saran. Kesimpulan dan saran akan didasarkan pada hasil-hasil analisis yang dilakukan sebagai pertimbangan bagi gelombang kebijakan divestasi dan privatisasi bank selanjutnya.
11

PERKEMBANGAN TERAKHIR PERBANKAN NASIONAL

Sebagaimana diketahui, bank umum di Indonesia biasanya dikategorikan kepada 6 (enam) kelompok, yaitu 1. Bank Persero, 2. Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa) 3. Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa (BUSN Non Devisa) 4. Bank Asing 5. Bank Pembangunan Daerah 6. Bank Campuran Dalam kajian ini dilakukan pembahasan ringkas terhadap 4 kelompok bank pertama (tanpa BPD dan Bank Campuran) yakni kelompok-kelompok bank yang paling signifikan berperan dalam sistem perbankan di Indonesia. Perbedaan kinerja masing-masing kelompok bank pada periode Desember 2001 sampai Juni 2004 adalah sebagai berikut.

12

2.1.

Profitabilitas (ROA dan BOPO)

Dalam hal profitabilitas kelompok bank asing mendominasi dengan rata-rata ROA (rasio laba dibanding total aktiva) yang tertinggi serta rata-rata BOPO (rasio biaya operasi dibanding pendapatan operasi) yang terendah (lihat Grafik 2.1. dan Grafik 2.2). Sementara itu kinerja Bank Persero sebagai kelompok yang menguasai 43 persen asset perbankan umum nasional cenderung lebih rendah dibanding rata-rata industri perbankan dengan ROA yang sedikit lebih rendah dibanding rata-rata industri serta BOPO yang lebih tinggi dibanding rata-rata industri. Karakteristik yang berbeda ditunjukkan kelompok BUSN Devisa dimana untuk ROA lebih rendah (underperform) dari rata-rata sedangkan BOPO juga lebih rendah (outperform) dari rata-rata. Dalam hal ini BUSN Devisa memiliki produktivitas asset yang lebih rendah namun dengan efisiensi yang lebih tinggi. BUSN Non Devisa terlihat fluktuatif namun secara umum prestasinya lebih baik dengan ROA yang lebih tinggi serta BOPO yang lebih rendah, meski prestasinya dalam hal profitabilitas tidak sebaik kelompok bank asing. 2.2. Kecukupan Modal (CAR)

Secara umum telah terjadi peningkatan CAR perbankan nasional dari periode Desember 2001 Juni 2004 dari 19 persen ke 21 persen (Lihat Grafik 2.3). Namun dalam periode Januari sampai Juni 2004 telah terjadi penurunan CAR (dari 23 persen ke 21 persen) yang disebabkan terjadinya ekspansi pemberian kredit (lihat Grafik

13

2.4 perkembangan LDR). Posisi CAR terendah terdapat pada kelompok bank asing yang bahkan posisinya per akhir Juni 2004 lebih rendah dibanding Desember 2001 (dari 17 persen ke 15 persen). Kelompok BUSN Devisa yang sebelum tahun 2004 memiliki CAR yang lebih tinggi ternyata di tahun 2004 cenderung lebih rendah dibanding rata-rata industri. Kelompok BUSN Non Devisa sejak tahun 2002 memiliki kecukupan modal yang relatif rendah Grafik 2.1. Perkembangan ROA
6

0 Dec-01 Dec-02 Jun-03 Jul-03 Umum Aug-03 Sept-03 Persero Oct-03 Nov-03 Dec-03 Jan-04 Feb-04 Mart-04 Apr-04 May-04 Jun-04

BUSN Devisa

BUSN Non Devisa

Asing

14

Grafik 2.2. Perkembangan BOPO

110

105

100

95

90

85

80

75

70

65

60 Dec-01 Dec-02 Jun-03 Jul-03 Umum Aug-03 Sept-03 Persero Oct-03 Nov-03 Dec-03 Jan-04 Feb-04 Mart-04 Apr-04 May-04 Jun-04

BUSN Devisa

BUSN Non Devisa

Asing

15

Grafik 2.3. Perkembangan CAR


30

28

26

24

22

20

18

16

14

12

10 Dec-01 Dec-02 Jun-03 Jul-03 Aug-03 Sep-03 Persero Oct-03 Nov-03 Dec-03 Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 May-04 Jun-04

Umum

BUSN Devisa

BUSN Non Devisa

Asing

2.3.

Fungsi Intermediasi (LDR)

Sejak akhir tahun 2001 LDR perbankan nasional terus tumbuh dari 33 persen menjadi 46 persen per akhir Juni 2004. Secara kontinyu LDR tertinggi tetap dicapai kelompok BUSN Non Devisa dengan LDR 66 persen per Juni 2004 sementara itu LDR Bank Asing yang sebelumnya selalu lebih tinggi dari rata-rata industri sejak bulan April 2004 telah turun dan berada di bawah rata-rata industri.

16

Kelompok BUSN Devisa telah mengambil alih posisi LDR terendah sejak September 2003 dimana sebelumnya posisi itu ditempati oleh Bank Persero (lihat Grafik 2.4). Grafik 2.4. Perkembangan LDR
70

65

60

55

50

45

40

35

30

25

20 2001 2002 Jun Jul Umum Ags Sep Persero Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Asing Mei Jun

BUSN Devisa

BUSN Non Devisa

2.4.

Non Performing Loan (NPL)

Secara umum terjadi penurunan angka NPL pada periode Desember 2001 sampai Juni 2004 meski masih kurang optimal, yaitu dari 4.6 persen ke 3.5 persen (lihat Grafik 2.5 perkembangan NPL).
17

Kelompok Bank Persero dan bank asing memiliki angka NPL yang lebih tinggi dari rata-rata industri sedangkan kelompok BUSN baik Devisa maupun Non Devisa cenderung memiliki NPL yang lebih rendah. NPL terendah dicapai oleh kelompok BUSN Devisa. Yang menarik adalah bertambahnya jumlah bank yang memiliki NPL lebih dari 5.0 persen dari berkurangnya jumlah bank yang memiliki NPL lebih kecil atau sama dengan 5.0 persen (lihat Grafik 2.6). Grafik 2.5. Perkembangan NPL Persen
30

25

20

15

10

0 Dec-01 Dec-02 Jun-03 Jul-03 Aug-03 Sept-03 Persero Oct-03 Nov-03 Dec-03 Jan-04 Feb-04 Mart-04 Apr-04 May-04 Jun-04

Umum

BUSN Devisa

BUSN Non Devisa

Asing

18

Grafik 2.6. Jumlah bank yang memenuhi dan tidak memenuhi standar NPL
100

90

80

70

60 Jumlah Bank 50

40

30

20

10

0 Dec-01 Dec-02 Jun-03 Dec-03 Jun-04

NPL <= 5

NPL > 5

Kredit bermasalah berdasarkan sektor ekonomi menunjukkan perkembangan yang menarik pula. Posisi per Juni 2004 sektor perindustrian masih mendominasi porsi permasalahan kredit dengan 47 persen (lihat Grafik 2.7). Namun jika dilakukan perbandingan dalam periode Desember 2001 sampai Juni 2004 justru sektor konsumsi (dikelompokkan sebagai sektor Lain-lain dalam laporan kredit sektoral) yang menunjukkan perkembangan kemacetan yang tinggi Sedangkan sektor kelistriktrikan, pertanian dan jasa usaha adalah sektor-sektor yang mengalami penurunan prosi kredit bermasalah (Grafik 2.8).
19

Grafik 2.7. Porsi NPL setiap sektor ekonomi


NPL Sektoral Bank Umum - Juni 2004

Lain 10% Jasa Sosial 1% Jasa Usaha 8% Transportasi 5%

Pertanian 8% Pertambangan 1%

Perdagangan 16% Konstruksi 3% Listrik Gas Air 1%

Perindustrian 47%

Grafik 2. 8. Perkembangan NPL sektoral periode Desember 2001 Juni 2004


5.0% 4.0% 3.0% 2.0% 1.0% 0.0%
P er ta ni an P er ta m ba ng an P er in du st ria Li n st rik G as A ir K on st ru ks P i er da ga ng an Tr an sp or ta si Ja sa U sa ha Ja sa S os ia l

-1.0% -2.0% -3.0%

La in

20

3
3.1.

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA

Sekilas API

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar system perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa mendatang dilandasi oleh visi mencapai suatu system perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan system keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Guna mempermudah pencapaian visi API maka sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 2. Menciptakan system pengaturan dan pengawasan bank yang evektif dan mengacu pada standar internasional. 3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko.

21

4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional. 5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. 6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan. Dalam upaya untuk membangun landasan bagi berjalannya perbankan secara optimal maka langkah awal yang dilakukan dalam API adalah penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun resiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Kebijakan Bank Indonesia melalui API diharapkan dapat mendorong bank untuk menjadi besar dan mampu bertarung dengan bank-bank kelas regional, sehingga menuntut adanya penambahan modal. Upaya peningkatan modal bank-bank tersebut dapat dilakukan melalui : 1. Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru 2. Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru 3. Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal 4. Penerbitan subordinated loan
22

Program penguatan struktur perbankan melalui penguatan permodalan dalam waktu 10-15 tahun diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya : 1. 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp 50 triliun. 2. 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp 10 triliun sampai dengan 50 Triliun. 3. 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masingmasing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp 100 miliar sampai dengan Rp 10 triliun. 4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp 100 miliar. Berdasarkan API, maka hingga saat ini belum ada bank di Indonesia yang mampu mencapai kategori bank internasional. Ketentuan modal bank di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara lainnya di Asia. Ketentuan modal minimum bagi bank umum di Indonesia masih Rp 100 miliar dan mempertahankan persyaratan modal Rp 3 Triliun untuk pendirian bank baru sampai dengan tahun 2010. Hal itu jauh berbeda dengan ketentuan modal minimum bank umum di Singapura (Rp 7 triliun), Malaysia dan Thailand (Rp 4 riliun).

23

Tabel 3.1. Jumlah Bank Umum berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia No. Keterangan Desember 2003 1. Bank Internasional (modal diatas Rp 50 triliun) 2. Bank Nasional ( modal diatas Rp 10 3 triliun Rp 50 Triliun) 81 3. Bank dengan kegiatan usaha terfokus pada segmen tertentu (modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun) 4. Bank dengan kegiatan usaha terbatas 52 (modal dibawah Rp 100 miliar) Jumlah Bank Umum 136
Sumber : Laporan Keuangan Publikasi

3.2.

Perbankan Indonesia Masih Memiliki Banyak Bank yang Subscale

Apabila dilihat dari sisi kelembagaan,jumlah bank umum di Indonesia hingga tahun 2004 mencapai 136 bank. Sebelum krisis moneter jumlah bank mencapai 222 bank namun terus menurun dengan rata-rata 6.53 persen selama kurun waktu 1997-2004. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1999 yaitu 21.15 persen atau

24

berkurang sebanyak 44 bank. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2. Perkembangan Jumlah Bank di Indonesia Tahun 1997-2004 Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata pertumbuhan Jumlah (unit) 222 208 164 151 145 142 138 136 Pertumbuhan (%) -6,31 -21,15 -7,93 -3,97 -2,07 -2,82 -1,45 -6,53

Sumber : SEKI-Bank Indonesia

Pada tahun 2003, jumlah bank mencapai 138 bank. Jumlah ini menurun dibandingkan jumlah bank tahun sebelumnya 142 bank karena adanya penutupan tiga bank campuran, merger dua bank swasta nasional, serta pembukaan satu bank asing baru. Pada tahun 2004, jumlah bank kembali berkurang dengan penutupan 2 bank swasta nasional. Jumlah bank di Indonesia relatif tinggi dibandingkan di negara Asia lainnya. Banyaknya bank-bank kecil perlu mendapat perhatian
25

(hanya ada 11 bank besar). Umumnya bank-bank kecil tersebut memiliki cakupan usaha yang relatif sama dengan bank besar namun dengan kemampuan operasional, manajemen resiko, dan corporate governance yang relative terbatas. Kecilnya skala usaha menyebabkan bank Indonesia kurang efisien dimana persentase biaya operasi terhadap total asset sebesar 3.3 persen (tidak termasuk PPAP dan biaya bunga). Tabel 3.3. Jumlah Bank di Beberapa Negara Asia Tahun 2004 Negara Indonesia Thailand Korea Malaysia Singapura Jumlah (unit) 136 38 25 6 3

Sumber : SEKI-Bank Indonesia, Bank Sentral Negara ASEAN Posisi perbankan Indonesia dari sisi jumlah mendominasi 200 bank terbesar di Asia Tenggara kendati tidak termasuk dalam urutan 3 terbesar. Dominasi bank-bank di Indonesia ini disebabkan karena jumlah bank di Indonesia masih relatif banyak dengan aset yang kecil. Jumlah bank yang masuk dalam jajaran 200 bank terbesar Asia

26

Tenggara adalah sebanyak 105 bank. Pada negara lainnya jumlah bank secara histories memang jauh lebih rendah. Tabel 3.4. 20 Bank Terbesar di Asia Tenggara
Nama Bank Negara Aset Total (US$ Ribu) 11.888.391 15.742.479 15.533.003 17.010.606 29.466.693 18.852.921 19.269.737 11.465.422 42.356.686 20.728.297 16.986.842 66.701.552 28.545.856 34.406.810 49.680.972 11.865.576 13.205.223 9.562.173 65.198.963 25.069.091 Modal (US$ Ribu) 1.062.521 1.491.488 1.183.259 2.302.737 2.409.359 1.913.248 1.354.395 1.028.289 3.654.026 1.232.932 1.357.921 7.900.400 1.892.753 2.588.720 5.925.917 824.278 728.019 694.021 8.992.802 339.104 Laba Bersih (US$ Ribu) 295.621 282.456 97.877 286.237 541.768 318.684 121.289 152.842 541.158 374.984 95.158 714.958 219.873 288.651 561.971 91.713 78.553 354.980 513.101 140.624 ROA (%) 4,02 2,60 0,77 1,72 2,78 1,78 0,65 1,34 1,32 1,88 0,62 1,10 0,80 0,88 1,13 0,76 0,63 -3,65 0,80 0,77 ROE (%) 43,41 23,85 11,83 12,97 27,53 19,45 9,31 15,77 15,29 35,24 7,17 9,38 12,43 14,45 9,89 10,75 13,55 67,30 5,91 62,18 NIM (%) 9,54 4,93 4,93 3,57 3,42 3,04 2,90 2,75 2,70 2,69 2,44 2,23 2,22 2,07 2,01 1,09 1,94 1,89 1,87 1,55

BRI BCA BNI Public.B. B. Bank Mandiri Siam C.B.P.C Bumiputera Hong Leong Maybank Kasikornbank RHB B.B. UOB Krung Thai Bangkok OCBC Siam City B Bank of Ayudya Thai Militery B DSB Bank Sumitomo

Indonesia Indonesia Indonesia Malaysia Indonesia Thailand Malaysia Malaysia Malaysia Thailand Malaysia Singapura Thailand Thailand Singapura Thailand Thailand Thailand Singapura Singapura

Sumber : Bureau van Dijk dan Biro Riset Infobank

27

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa dari 200 bank terbesar di Asia Tenggara, bank-bank nasional masih berada di bawah bank-bank Singapura dan Malaysia. Bank Mandiri yang merupakan bank terbesar di Indonesia ternyata hanya menduduki peringkat enam. Apabila dibandingkan dengan United Overseas Bank Ltd-UOB, bank terbesar di Singapura maka asset Bank Mandiri hanya setengah asset totalnya. Posisi bank nasional lainnya jauh lebih rendah. Konsekuensinya kemampuan bank Mandiri berekspansi tak sekuat bank swasta Singapura tersebut. Selisih asset total Bank Mandiri dengan bank lainnya cukup jauh. Bank Central Asia (BCA) dan Bank Negara Indonesia (BNI) hanya berada pada urutan 14 dan 15. Bank BRI menempati urutan ke 19. Indonesia menempatkan empat bank terbesarnya dalam 20 bank terbesar Asia Tenggara. Ukuran besarnya bank sangat berpengaruh terhadap terhadap eksistensi sebuah bank. Ada tiga alasan penting berkembangnya menjadi besarnya suatu bank : 1. Bank merupakan lembaga yang hidupnya bertumpu pada kepercayaan sehingga dibiarkan hidup dengan memelihara leverage sangat tinggi. 2. Laba perbankan umumnya dikumpulkan dari net spread yang sangat kecil, yaitu sekitar 0,5 persen 1,5 persen saja. Agar sebuah bank mampu bertahan dan berkembang maka bank harus memiliki omzet dalam skala yang besar guna mencapai skala ekonomis.Omzet yang besar akan memberikan laba yang

28

besar dan menurunkan unit biaya yang harus ditanggung bank (overhead cost). 3. Besar kecilnya sebuah bank akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi suatu bank khususnya ketika bank mengalami krisis. Berdasarkan hal itu maka kebijakan Bank Indonesia melalui API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia. Studi BI menunjukkan bahwa bank akan dapat beroperasi secara efisien bila aset totalnya berada pada kisaran US$ 2 miliar hingga mencapai US$ 10 miliar. Untuk mencapainya diperlukan modal US$ 130 juta atau sekitar Rp 100 triliun. Hal itu akan mendukung tercapainya efisiensi yang memadai. Namun, hingga akhir tahun 2003 belum terdapat satu bank nasional pun yang mampu mencapai bank internasional dengan modal Rp 50 triliun. Prediksi yang ada juga menunjukkan bahwa tidak akan ada satu bank pun di Indonesia yang akan mampu untuk mencapainya dengan asumsi bahwa pertumbuhan dari 50 persen pendapatan bersih sebesar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa merger antar bank sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Bank Mandiri sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia tidak akan mampu mencapai target yang dicanangkan oleh API untuk menjadi bank internasional. Begitu pula dengan bank-bank lainnya. Prediksi juga menunjukkan bahwa merger antara beberapa bank terbesar juga belum mampu untuk mencapai standar yang ditetapkan BI.

29

4
4.1.

DIVESTASI: KRONOLOGIS DAN ANALISIS SOSIAL-EKONOMI

Kronologi Divestasi Lima Bank

Bank Central Asia Divestasi dilakukan dalam dua tahap; 30 persen dan 21 persen. Keputusan divestasi masuk dalam kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF). Pemerintah mengharapkan, dari pelepasan 51 persen saham BCA bisa memperoleh dana sebesar Rp 5,2 triliun. 12 September 2001 DPR menyetujui rencana divestasi saham BCA

30

8 Oktober 2001 BPPN mengirimkan surat penawaran kepada 98 calon investor strategis. BPPN telah menerima 23 surat pernyataan minat yakni dari 13 investor lokal dan 10 investor asing 16 November 2001 BPPN menerima penawaran awal dari 15 calon investor strategis BCA 26 November 2001 BPPN menetapkan sembilan calon investor yang masuk short listed dan memenuhi kriteria untuk diundang melakukan proses due diligence (uji tuntas). 28 Januari 2002 BPPN menerima penawaran akhir dari empat calon investor yakni konsorsium Farallon Capital, konsorsium Bank Mega, konsorsium GKBI dan konsorsium Standard Chartered Bank. 29 Januari 2002 Seluruh data penawar disampaikan kepada BI untuk mengikuti fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan), salah satu dari empat kriteria evaluasi tahap pertama. 14 Februari 2002 BPPN melakukan proses klarifikasi dan pengkajian atas syarat-syarat
31

dan kondisi-kondisi (terms and conditions) yang diajukan para bidder yang tercantum dalam Sales and Purchase Agreement (SPA). SPA itu belum ditandatangani BPPN. 25 Februari 2002 BPPN menerima hasil fit and proper test BI atas empat bidder. 26 Februari 2002 BPPN menetapkan dua konsorsium yang lolos evaluasi tahap pertama yang mengacu pada empat kriteria drop dead test yakni Konsorsium Farallon Capital dan Konsorsium StanChart. 14 Maret 2002 Pemerintah mengumumkan Farallon Capital sebagai pemenang 51 persen saham BCA dengan harga Rp 1.775 per lembar saham.

Bank Niaga Program divestasi Bank Niaga sebenarnya sudah menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam letter of intent Dana Moneter Internasional sejak tahun 2000 dan baru pada Maret 2001 DPR memberi persetujuan. Semula divestasi direncankan pada 2001, tapi ditunda menjadi 2002.
32

1 Maret 2001 DPR setuju divestasi 51 persen saham Bank Niaga kepada mitra strategis 1 Februari 2002 BPPN umumkan divestasi Bank Niaga 22-28 Maret 2002 BPPN sebar info memo 12 April 2002 Peminat menyampaikan penawaran awal 9 Juni 2002 Penjualan saham Niaga melalui strategic sale dihentikan. Alasannya, harga penawaran yang diajukan dua calon investor strategis, yakni Konsorsium Commerce Asset Holding Berhad, dan Konsorsium ANZ- PT Bank Panin Tbk di bawah harga yang diharapkan BPPN, yaitu Rp 15-25 per lembar. Di lantai bursa, harganya Rp 70-100 per lembar. 26 Juni 2002 DPR setuju divestasi Bank Niaga hingga 71 persen, yakni 51 persen melalui lelang kepada mitra strategis dan 20 persen dijual bertahap ke
33

bursa. 2 Agustus 2002 Penjualan 51 persen saham BCA dilanjutkan, tetap dengan pola mitra strategis. 7 Agustus Tiga konsorsium dan satu perusahaan menyatakan minat untuk membeli saham Bank Niaga: Konsorsium Batavia Investmen Manajemen Fund, Konsorsium Commerce Assets Holding Berhard, Konsorsium PT Bank Panin Fotrine/ANZ Banking, dan PT Bank Victoria International. 12 Agustus Tambah satu konsorsium lagi: Batavia Investment Fund II. 13 September 2002 Commerce satu-satunya penawar saham Bank Niaga dengan harga Rp 26,5 per lembar 2 September 2002 Commerce Bank dan ANZ Panin Bank telah mendaftar dan sedang menjalani tahap due dilligence (uji tuntas) dalam proses divestasi Bank Niaga.

34

16 September 2002 Pemerintah melakukan negosiasi ulang dengan Commerce soal harga saham Bank Niaga, karena Commerce yang memberikan penawarann harga tertinggi dibanding penawar lain, yaitu Rp 26,5 per lembar. Harga dasar saham Bank Niaga menurut BPPN Rp 24,5 per lembar. 19 - 23 September 2002 BPPN negosiasi dengan Commerce untuk naikkan harga, tetapi menemui kegagalan 23 September 2002 BPPN melaporkan hasil negosiasi dengan Commerce kepada Tim Kecil Divestasi Bank Niaga DPR. Dewan bersikukuh bahwa harga yang cocok adalah Rp 30 Rp.35 per lembar saham atau dua kali nilai buku. 25 September 2002 DPR sepakat tidak lagi mempersoalkan mengenai harga dan mempersilahkan kepada pemerintah untuk melanjutkan divestasi Bank Niaga. 24 September 2002 Bank Indonesia sudah menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dokumen-dokumen calon investor tunggal Bank Niaga, Commerce Asset Berhad. Konsorsium Malaysia ini dinyatakan lulus.
35

28 Oktober 2002 BPPN dan Commerce Asset Holding Berhad belum sepakat soal sales and purchase agreement atau perjanjian jual beli. Salah satu isi perjanjian yang dipermasalahkan oleh perusaahaan asal Malaysia, yaitu persoalan majeur adforce effect (MAE) atau pembatalan transaksi jika ada perubahan yang sangat merugikan pada masa antara penutupan divestasi atau closing dan pembayaran. November 2002 Commerce dinyatakan sebagai pemenang tender. Bank Danamon 20 Januari 2003 BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Senin (20/1) mengumumkan Divestasi salah satu rekapitalisasinya Bank Danamon. Divestasi Bank Danamon sebesar 71 persen akan dimulai akhir Januari 2003. Metode divestasi saham Bank Danamon rencananya akan dibagi dalam dua cara, pertama dengan mejual 51 persen kepemilikan saham Bank Danamon kepada investor strategis dan menjual maksimum 20 persen kepemilkan saham di Bank Danamon melalui pasar modal. Metode ini hampir sama dengan yang metode divestasi Bank Niaga.

36

22 Januari 2003 BPPN mengundang calon investor Bank Danamon. Asing: HSBC, Development Bank of Singapore, Standard Chartered Bank, United Overseas Bank, Maybank. Sedangkan lokal Bank Mandiri dan BCA. 21 Maret 2003 Dari lima yang diseleksi, tiga konsorsium dinyatakan lolos: Konsorsium Asia Financial Indonesia, Konsorsium Bank Arta Graha dan Konsorsium Bhakti Capital Indonesia bersama Bank Mega. Sedangkan, dua konsorsium yang tidak lolos seleksi (bukan bank komersial) adalah Ousborne, lembaga keuangan dari Monaco, Eropa dan Konsorsium Bhakti Investment Management. 16 April 2003 BPPN memperpanjang jangka waktu uji tuntas atau due diligence bagi tiga calon investor PT Bank Danamon Tbk selama satu pekan. Jadwal penyerahan penawaran akhir (final bid) pun diundur dari semula 21 April menjadi 28 April 2003. 29 April 2003 BPPN meminta semua investor divestasi Bank Danamon untuk memaparkan kembali rencana bisnisnya pada 1 Mei. Ketiga penawar: Konsorsium Asia Finance yang terdiri dari Temasek dan Deutsche Bank, Konsorsium Bank Mega, Bhakti Capital, dan Credit Suisse First Boston (CSFB) serta Konsorsium Bank Artha Graha.

37

5 Mei 2003 Konsorium Asia Finance akhirnya menjadi penawar yang lolos sebagai pemenang dalam penawaran akhir divestasi 51 persen saham Bank Danamon. Harga yang ditawarkan Rp 1.022 per lembar atau sekitar Rp 3 triliun untuk 51 persen saham. Bank International Indonesia 11 Mei 2003 BPPN akan menjual PT Bank Lippo Tbk dan PT Bank International Indonesia Tbk pada tahun ini. Rencana itu dituangkan dalam letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF) yang dibahas antara BPPN dengan Tim Review IMF yang dipimpin Daniel Citrin pada pekan sebelumnya. Agustus 2003 Deputi Kepala BPPN I Nyoman Sender bersama rombongan yang dipimpin Wakil Kepala BPPN Sumantri Slamet selama satu pekan mengunjungi tiga negara Asia, yakni Singapura, Malaysia dan Hong Kong. Sementara, rombongan yang dipimpin Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung menjajakan barangnya ke kawasan Eropa. Mereka didampingi oleh penasehat divestasi BII yakni ABN Amro NV, dan penasehat divestasi Lippo, yaitu ING, serta manajemen kedua bank.

38

20 Oktober Muncul tiga nama peminat 51 persen saham BII: Selain Konsorsium Bank Panin Tbk, ada Konsorsium Sorak Financial Holding Pte.Ltd yang beranggotakan Kookmin Bank dari Korea dan Asia Financial Holding Ltd (Temasek) dari Singapura. Satu lagi, Konsorsium United Overseas Bank (UOB) dari Singapura dengan penasehat keuangannya Credit Suisse First Boston (CSFB). 27 Oktober Konsorsium United Overseas Bank (UOB) dari Singapura mundur dari dalam penawaran divestasi saham BII. 28 Oktober Konsorsium Sorak Financial dinyatakan sebagai qualified bidder dalam divestasi 51 persen saham BII. 20 November BPPN dipastikan menjual 51 persen saham BII senilai Rp 1,9 triliun kepada Konsorsium Sorak Financial Holding Pte.Ltd. Harga per lembar sahamnya Rp 82. Sales and purchase agreement (perjanjian jual beli) pun ditandatangani. Konsorsium Panin menawar Rp 90 per lembar. Alasan kemenangan Konsorsium Sorak, menurut BPPN, ada pada rencana bisnisnya.

39

Bank Lippo 11 Mei 2003 BPPN akan menjual PT Bank Lippo Tbk dan PT Bank International Indonesia Tbk pada tahun tersebut. Rencana itu dituangkan dalam letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF) yang dibahas antara BPPN dengan Tim Review IMF yang dipimpin Daniel Citrin pada pekan sebelumnya. 8 Juli Komisi IX DPR akhirnya menyetujui penjualan 52,05 persen saham pemerintah di Bank Lippo. 11 Agustus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mulai menjual 52,05 persen saham PT Bank Lippo Tbk pada pekan ini melalui pola penawaran terbatas kepada calon investor. Agustus 2003 Deputi Kepala BPPN I Nyoman Sender bersama rombongan yang dipimpin Wakil Kepala BPPN Sumantri Slamet selama satu pekan mengunjungi tiga negara Asia, yakni Singapura, Malaysia dan Hong Kong. Sementara, rombongan yang dipimpin Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung menjajakan barangnya ke kawasan Eropa. Mereka didampingi oleh penasehat divestasi BII yakni ABN Amro NV, dan penasehat divestasi Lippo, yaitu ING, serta manajemen kedua bank.
40

23 September 2003 Tiga penawar asing menyampaikan minat beli saham Bank Lippo yang didivestasi: Konsorsium Eurocapital Asia Limited yang terdiri dari tiga investor, Summit Investment Limited terdiri dari tujuh investor dan Swissasia Global yang terdiri dari lima investor. 23 Oktober Divestasi 52 persen saham Bank Lippo milik pemerintah batal dilakukan karena ketiga calon investor mengajukan harga dibawah dari yang ditetapkan BPPN. 7 Januari 2004 Penawaran resmi divestasi 52,05 persen saham pemerintah di Bank Lippo digelar kembali. Calon pembelinya tetap tiga konsorsium yang sudah ada. 27 Januari 2004 BPPN menetapkan Konsorsium Swissasia Global sebagai preferred bidder atau penawar yang diutamakan dalam tender penjualan 52,05 persen saham pemerintah di Bank Lippo. Dari hasil penawaran ulang, Swissasia menaikkan harga penawarannya dari Rp 403 per saham menjadi Rp 591,5 per saham. Harga itu sudah sesuai dengan ketentuan harga dasar saham yang ditetapkan BPPN berdasarkan laporan keuangan Bank Lippo per 31 Desember 2002. Harga baru yang diajukan itu mencerminkan 1,001 kali nilai buku per 31 Desember 2002. Dari penjualan 2,036 miliar
41

saham bank beraset Rp 26 triliun itu, pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,205 triliun. 24 Februari 2004 Bank Indonesia telah menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan pemilik saham Bank Lippo, Swissasia. Konsorsium dinyatakan lulus. Konsorsium Swissasia Global terdiri dari Swissfirst Bank AG, Chaffron Limited yang 100 persen dimiliki Raiffeisen Zentralbank Osterreich AG, Matrix Asia Holdings Limited, ASM Investmenet Ltd, serta Ferrel Opportunity Capital Ltd. 25 Februari 2005 Rapat Umum Pemegang Saham digelar. Perjanjian jual beli dilakukan hari ini, sekaligus pembayaran. 4.2. Peningkatan Penetrasi Asing

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mempengaruhi berbagai sektor di negara ini termasuk industri perbankan. Peta industri perbankan telah berubah dimana terjadi penurunan dari jumlah bank yang beroperasi (240 bank pada tahun 1997 menjadi 136 bank pada tahun 2004) maupun dari segi kepemilikan. Perbankan Indonesia yang semula dikuasai perorangan atau kelompok usaha telah berubah. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didirikan pada tahun 1998 diberikan mandat untuk melakukan
42

program restrukturisasi dan rekapitulasi. Peta kepemilikan bank berubah setelah pemerintah menjual atau mendivestasi beberapa bank yang lebih dahulu sehat. Bank Central Asia (BCA), Bank Danamon, Bank Niaga, dan Bank Internasional Indonesia (BII) telah berpindah kepemilikan pada investor asing. Bank-bank besar Indonesia telah berubah kepemilikan pada pihak asing. Per Juni 2004, sebanyak 52,24 persen saham BCA dikuasao Farindo Investment; sebanyak 51 persen Bank Danamon dikuasai Asia Financial Pte. Ltd; sebanyak 50,99 persen Bank Niaga dikuasai Commerce Asset Holding Berhad (CAHB) Malaysia, dan BII setelah 51,23 persen sahamnya berpindah ke Sorak Finance Pte. Ltd. Dari dana penjualan BCA pemerintah memperoleh masukan dana US$ 576,5 juta, Bank Niaga Rp 1,057 triliun, Bank Danamon Rp 4,317 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah bank rekap yang diberikan obligasi rekap sekarang telah berada di tangan investor asing. Bank swasta asing maupun bank campuran sekarang telah menguasai perbankan Indonesia. Hal ini dilihat dari penguasaan asset, dana, dan kredit perbankan yang dimiliki bank tersebut.

43

Grafik 4.1. Pangsa Simpanan

50

41

6 3 20 25

33 22
Sebelum Asing Swasta Nasional BPD Pasca Divestasi BUMN

Grafik 4.2. Pangsa Kredit


120

50

40

9 3 25 24

22
0 Sebelum Asing Swasta Nasional BPD BUMN

27
Pasca Divestasi

44

Grafik 4.3. Pangsa Aset


120

51 2 38

41 5 23 31

9
Sebelum Asing Swasta Nasional BPD BUMN Pasca Divestasi

Divestasi telah merubah peta kepemilikan bank yang berimplikasi pada peta perubahan asset bank di Indonesia. Program tersebut telah merubah dominasi kepemilikan bank yang semula di tangan keluarga, kerajaan bisnis menjadi dikembalikan kepada swasta asing. Peningkatan asset bank asing dan bank campuran meningkat tajam seiring dengan penurunan penguasaan aset bank swasta nasional yang didivestasi. Perubahan kepemilikan dari 136 bank yang ada terutama terjadi pada kelompok swasta nasional. Pada kelompok Bank Pembangunan Daerah tidak terjadi perubahan karena saham mayoritas masih dikuasai pemerintah daerah masing-masing. Perubahan kepemilikan di bank swasta akan terus berlanjut seiring dengan rencana divestasi beberapa bank swasta nasional lainnya.
45

Apabila dilihat dari investor asing yang mendivestasi bank swasta nasional maka Temasek merupakan pihak asing yang makin kuat peranannya di perbankan Indonesia. Hal ini dikarenakan Temaek telah menguasai Bank Danamon dan BII. Peranannya dapat menjadi lebih kuat apabila pemerintah juga akan menjual Bank Permata. Hal ini dimungkinkan karena API tidak membatasi penguasaan kepemilikan suatu bank, baik investor domestic maupun local. Banyak pihak berkeberatan dengan berpindah tangannya kepemilikan beberapa bank swasta nasional. Hali itu disebabkan karena bank-bank yang telah berpindah kepemilikan merupakan bank-bank besar dengan asset diatas Rp 20 triliun. Kepemilikan saham mayoritas pada bank-bank besar telah berada pada investor asing. Artinya investor asing akan memperoleh keuntungan karena : 1. Menguasai pangsa pasar yang besar 2. Akses jaringan ke sektor-sektor lain Sehingga dikhawatirkan kredit hanya diberikan pada pihakpihak tertentu saja. Keberadaan kepemilikan asing umumnya tidak berpihak terhadap dunia usaha domestik. Karena pada dasarnya bank-bank yang telah dikuasai asing (Bank BCA, Bank Niaga, Bank Danamon, dan BII) merupakan corporate banking yang lebih mengutamakan kredit korporasi.

46

4.3.

Asing Vs Usaha Kecil

Bank mempunyai arti penting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Peranan bank sangat besar mengingat bank merupakan sumber pembiayaan utama. Artinya pertumbuhan investasi ditentukan oleh kemampuan dan kemauan bank dalam menyalurkan pinjaman. Divestasi beberapa bank di Indonesia telah merubah peta kemilikan bank di Indonesia. Pada saat ini 31 persen dari aset perbankan telah dimiliki oleh pihak asing. Hal tersebut memicu kekhawatiran dari segi penyaluran kredit bagi upaya pencapaian pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal itu dibuktikan dengan ketidakberpihakan sektor perbankan terhadap pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Peranan UKM sebagai tiang penyangga bagi kebangkitan sector lainnya dapat dilihat dari kemampuang dan daya tahan sektor tersebut saat terjadi krisis ekonomi. Walaupun, Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dan Direktorat Jenderal Lembaga keuangan Departemen Keuangan telah menyetujui adanya perbedaan bunga 8,5 persen pada bank dan lembaga keuangan pelaksana badan usaha milik negara yang menyalurkan kredit usaha mikro dan kecil. Namun, kebijakan tersebut ternyata tidak meningkatkan penyaluran kredit terhadap UKM. Beralihnya kepemilikan bebarapa bank swasta ke pihak asing dikhawatirkan akan menimbulkan pelarian modal ke luar negeri. Kredit hanya diberikan kepada pihak tertentu dan hamper tidak

47

adanya kepedulian terhadap UKM serta koperasi. Indikasi ketidak berpihakan bank swasta milik asing dapat dilihat dari minimnya pengucuran kredit bagi UKM dan koperasi. Rendahnya portofolio kredit mengindikasikan rendahnya perhatian bank yang telah diambil alih asing terhadap dunia usaha domestik. Tabel 4.1. Persentase Kredit Usaha Kecil Bank Swasta Setelah Divestasi
Nama Bank 12/01 Bank Central Asia Bank Danamon Bank Internasional Indonesia Bank Niaga 8,86 18,46 9,52 5,61 3/02 9,67 18,6 10,00 5,88 6/02 5,04 16,6 10 5,65 Persentase Kredit Usaha Kecil (%) 9/02 4,56 14,5 9,43 6,01 12/02 3,99 13,6 12,1 5,02 3/03 3,84 10,6 9,14 5,87 6/03 3,96 11,15 9,04 9/03 3,76 11,40 8,35 5,04 12/03 3,19 10,88 6,24 4,87 3/04 3,05 11,26 5,74 5,57 Growth (%) -9,55 -4,97 -4,29 -9,03

Sumber : Laporan Keuangan Publikasi Bank Bersangkutan

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa semua bank yang telah berpindah tangan ke investor asing telah menurunkan persentase kredit usaha kecil yang dikucurkan. Bank Central Asia Tbk yang mayoritas sahamnya (51,27%) dimiliki Farindo Investment Ltd menempati urutan teratas dalam pengurangan pengucuran kredit bagi pelaku usaha kecil. Sebelum berpindah tangan KUK yang disalurkan mencapai 8,86 persen dari total kredit yang disalurkan namun terus menurun hingga mencapai 3,05 persen saja pada akhir Maret 2004.
48

Artinya terjadi penurunan persentase KUK yang disalurkan sebesar 9.55 persen dari sebelum divestasi. Persentase debitur juga menurun cukup besar yaitu 16,11 persen pasca divestasi. Bank BCA cenderung meningkatkan kredit untuk konsumtif yang relative lebih aman. Hal yang sama juga terlihat dari 2 bank yang dimiliki oleh kelompok usaha Temasek yaitu Bank Danamon Tbk dan Bank International Indonesia Tbk. Setelah 61,88 persen saham Bank Danamon dimiliki Asia Financial Pte.Ltd, jumlah penyaluran kredit terus menurun. Sebelum divestasi penyaluran kredit pada pelaku usaha kecil mencapai 18,46 persen dari total kredit yang disalurkan namun terus menurun menjadi 11.26 persen pada Maret 2004. Walaupun terjadi peningkatan persentase kredit yang disalurkan antara periode Desember 2003 sampai Maret 2004 namun terjadi penurunan persentase jumlah debitur KUK pada periode yang sama menjadi 4,71 persen. Tabel 4.2. Persentase Debitur Kredit Usaha Kecil Pasca Divestasi
Nama Bank 12/01 Bank Central Asia Bank Danamon Bank Internasional Indonesia Bank Niaga 24,11 18,46 4 15,17 3/02 19,6 30 3,55 16 Persentase Debitur Kredit Usaha Kecil (%) 6/02 18,9 41,3 3,89 12,2 9/02 17,93 27,32 3,67 12,62 12/02 17,25 28,14 3,58 11,95 3/03 16,54 6,84 5,54 32,31 6/03 13,62 5,42 3,60 9/03 10,45 5,15 3,45 31,65 12/03 6,45 5,06 2,77 32,80 3/04 4,40 4,71 4,30 31,55 Growth (%) -16,11 -4,54 6,57 5,58

49

Begitu pula dengan BII setelah 51,23 persen sahamnya berpindah ke Sorak Finance Pte. Ltd. Persentase KUK terhadap total yang disalurkan menurun 4,29 persen pasca divestasi. Awalnya pada periode Desember 2001 persentase total kredit yang disalurkan mencapai 9,52 persen dari total kredit yang disalurkan namun pada akhir Maret 2004 hanya mencapai 5,74 persen saja dari total kredit yang disalurkan. Adanya peningkatan jumlah debitur menunjukkan bahwa nilai kredit yang diterima semakin kecil. Begitu pula dengan Bank Niaga setelah 50,99 persen sahamnya berpindah ke Commerce Asset-Holding Berhand Malaysia. Persentase KUK terhadap total yang disalurkan menurun 9,03 persen pasca divestasi. Awalnya pada periode Desember 2001 persentase total kredit yang disalurkan mencapai 5,61 persen dari total kredit yang disalurkan namun pada akhir Maret 2004 hanya mencapai 5,57 persen saja dari total kredit yang disalurkan. Adanya peningkatan jumlah debitur menunjukkan bahwa nilai kredit yang diterima semakin kecil. Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa perhatian bank asing dan campuran sangat kecil terhadap pengembangan UKM. Hal itu juga diperkuat dengan data pada Tabel 4.3. berikut. Walaupun terjadi trend penurunan penyaluran kredit pada UKM pada seluruh kategori bank namun penurunan terbesar tetap konsisten dilakukan oleh bank asing dan bank campuran. Berdasarkan kategori bank maka Bank Pemerintah Daerah-lah yang mempunyai perhatian terhadap pengembangan UKM, disusul oleh Bank Persero dan Bank Swasta Nasional. Minimnya perhatian bank swasta asing dan campuran dapat dilihat pada rendahnya penyaluran kredit dari total kredit mereka.
50

Apabila dilihat dari beberapa kasus bank swasta pasca divestasi maka pola tersebut juga terlihat. Kecenderungan untuk menurunkan kredit terhadap KUK akan mempunyai pola seperti kategori bank swasta dan campuran bila bank tersebut dikuasai asing karena mereka tidak tertarik untuk mengembangkan UKM yang berperang penting dalam perekonomian Indonesia. Tabel 4.3. Persentase KUK terhadap Total Kredit yang Disalurkan Menurut Kategori Bank
Kategori Bank Bank Persero Bank Pemerintah Daerah Bank Swasta nasional Bank asing dan bank campuran Seluruh Bank Persentase KUK terhadap Total Kredit (%) 12/99 22.6 60.1 13.8 0.1 16.5 12/00 30.1 85.6 20.9 0.1 21.1 12/01 30.5 75.8 14.9 0.0 20.3 12/02 03/03 24.3 52.6 11.3 0.0 17.0 23.8 50.9 11.2 0.0 16.9 06/03 24.6 49.1 11.0 0.0 17.3

51

4.4.

Subsidi Bunga Obligasi

Salah satu hal yang diperhatikan oleh banyak kalangan pada bank-bank parca divestasi dan yang akan didivestasi adalah penempatan obligasi pemerintah yang masih tinggi. Tingginya proporsi obligasi pemerintah di bank-bank tersebut, mengindikasikan bahwa bunga obligasi masih merupakan andalan bank-bank tersebut untuk memperoleh pendapatan. Sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah, rata-rata penempatan obligasi pemerintah di bank-bank tersebut adalah Rp 28,5 trilyun, meskipun ada kecenderungan penurunan, kecuali pada Bank BCA yang meningkat dari Rp 41,2 trilyun per Desember 2003 menjadi Rp 45,2 trilyun per Maret 2004. Kecenderungan yang sama juga dapat dilihat dari rata-rata persentase rasio obligasi terhadap aset dan equitas. Rata-rata persentase obligasi terhadap aset bank mengalami penurunan dari 37,8 persen per Desember 2003 menjadi 33,6 persen Maret 2004 yang juga diikuti oleh penurunan rata-rata persentase obligasi terhadap equitas dari 532,3 persen per Desember 2003 menjadi 444,0 persen per Maret 2004. Jika dibandingkan dengan nilai penjualan bank-bank tersebut dengan pembayaran bunga obligasi oleh pemerintah, jelas sangat merugikan pemerintah dan membebani rakyat karena bunga obligasi tersebut dibayar melalui APBN. Sebagai contoh, Bank BCA masih mempunyai obligasi rekap pemerintah yang besar nilainya sampai jatuh tempo adalah Rp 41,2 trilyun pada Desember 2003. Dengan rata-rata suku bunga, katakanlah sebesar 10 persen saja, maka pemerintah harus membantu Bank BCA sebesar Rp 4,12 trilyun per
52

tahun. Hal ini berarti, kurang dalam dua tahun sejak didivestasi pada pertengahan 2002, dana pembelian Bank BCA yang mencapai Rp 5,6 trilyun sudah bisa ditutupi dari pendapatan bunga obligasinya saja setelah tahun kedua pembeliannya. Tabel 4.4. Perbandingan Penempatan Obligasi Pemerintah di Bank Pasca Divestasi dan Bank Direncanakan Didivestasi
Obligasi % Obligasi thdp % Obligasi thdp Pemerintah Asset Equitas Bank (Rp trilyun) Mar-04 Des-03 Mar-04 Des-03 Mar-04 Des-03 Bank pasca divestasi dengan kepemilikan mayoritas asing BCA 45,2 41,2 33,2 31,0 441,1 326,5 Bank Danamon 18,9 21,2 34,4 40,3 271,4 311,2 Bank Niaga 4,8 4,7 20,7 39,2 249,6 380,1 Bank LIPPO 5,2 5,6 20,0 21,2 342,6 380,7 BII 15,9 17,2 47,1 49,7 446,1 511,6 Bank pasca divestasi dengan kepemilikan mayoritas domestik BRI 26,9 27,6 28,4 29,1 266,1 306,6 Bank Mandiri 107,2 122,8 45,5 49,9 460,9 602,9 Bank yang akan didivestasi Bank Pemata 9,4 10,2 31,9 35,3 512,3 597,9 BNI 40,4 43,9 32,4 33,4 375,3 437,9 Bank BTN 10,8 13,2 42,1 49,2 1075,0 1467,9 Rata-rata 28,5 30,8 33,6 37,8 444,0 532,3

53

4.5.

Ketenagakerjaan

Persoalan lain yang timbul dari kebijakan divestasi bank yang sebagian besar kepemilikannya beralih pada pihak asing adalah masalah ketenagakerjaan. Persoalan ini ini memang tidak mendapat perhatian yang cukup signifikan dalam proses divestasi sebelumnya. Pada mulanya muncul kekhawatiran setelah divestasi akan ada efisiensi dengan jalan perampingan organisasi yang menjurus pada pemutusan kerja secara massal. Kekhawatiran ini sempat muncul dalam proses divestasi Bank BCA sebagai bank pertama yang didivestasi oleh pemerintah setelah program rekapitalisasi dijalankan. Memang, kekhawatiran itu tidak terwujut dan bank-bank yang didivestasi tidak melakukan pemutusan kerja secara massal. Namun demikian, ada kecenderungan staf-staf manajemen pada lini tengah dan atas, yang selama ini telah bersusah payah mengembalikan kesehatan bank-bank tersebut untuk disingkirkan secara halus. Fenomena ini, terjadi di hampir semua bank-bank yang didivestasi yang kepemilikannya mayoritas jatuh pada pihak asing. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan akan kemungkinan kontrol dan monopoli pihak asing pada industri perbankan dan ekonomi nasional, terutama Grup Tamasek Singapore. Kekhawatiran ini akan semakin besar, jika dilihat dari beberapa bank pasca divestasi yang proporsi pinjaman ke sektor usaha kecil dan menengah yang semakin menurun sebagaiman dijelaskan sebelumnya.

54

KINERJA BANK-BANK DIVESTASI

Pada bagian ini akan dianalisis kinerja finansial dan ekonomi bank-bank yang telah dan akan didivestasi. Bank yang telah didivestasi dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu: (i) bank yang kepemilikannya masih dikendalikan oleh domestik atau pemerintah dan (ii) bank yang kempemilikannya dikendalikan oleh pihak asing. Kinerja kedua kelompok bank tersebut akan dievaluasi dan diperbandingkan baik terhadap sektor perbankan secara keseluruhan maupun secara time series. 5.1. Kredit dan Dana Pihak Ketiga

Salama tahun 2003 jumlah kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan adalah Rp. 440,5 triliun atau tumbuh sebesar 18,7 persen. Diantara 9 bank yang didivestasi, yang paling besar pertumbuhan kreditnya adalah Bank BCA, Bank BNI, dan Bank BRI. Di lain pihak terdapat dua bank yang pertumbuhannya kreditnya negatif yaitu BII dan Lippo Bank. Dari gambaran ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pertumbuhan kredit diantara bank-bank yang didivestasi.
55

Jika dibandingkan antara bank yang dikendalikan asing dan bank yang dikendalikan domestik, maka perbedaan pola pertumbuhan kredit menjadi semakin jelas. Bank yang dikendalikan oleh pihak domestik memiliki rata-rata pertumbuhan kredit sebesar 19,3 persen atau sedikit di atas rata-rata pertumbuhan kredit secara nasional. Bank yang didivestasi kepada pihak asing ternyata hanya memiliki pertumbuhan kredit secara rata-rata sebesar 10,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa bank yang masih dikendalikan oleh pihak domestik secara lebih baik mampu meningkatkan fungsi intermediasinya dibanding bank yang sudah dikuasai asing. Dari sudut ini, terlihat cukup jelas bahwa penjualan kepada pihak asing tidak disertai dengan perbaikan dalam fungsi intermediasi. Secara umum pengumpulan dana pihak ketiga selama tahun 2003 secara nasional adalah sebesar Rp. 888,6 triliun atau meningkat 6,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan DPK ini relatif kecil dibandingkan dengan peningkatan penyaluran kredit, sehingga pada tahun 2003 terdapat perbaikan yang signifikan dalam fungsi intermediasi perbankan. Rendahnya pertumbuhan DPK juga merupakan akibat dari menurunnya tingkat suku bunga simpanan secara drastis yang terjadi sepanjang tahun 2003 yang lalu. Diantara bank-bank divestasi terdapat dua bank yang tingkat pertumbuhannya dua kali lebih besar dibanding rata-rata nasional, yaitu Bank BCA dan Bank Danamon. Hal ini menunjukkan keunggulan kedua bank tersebut dalam pengumpulan dana. Dilain pihak terdapat dua buah bank yang mengalami pertumbuhan DPK negatif yaitu Bank Mandiri dan BII.
56

Tabel 5.1. Perkembangan Bisnis Bank-Bank Divestasi

2003 Kredit BMRI BBCA BBNI BBRI BDMN BNII BNLI LPBN BNGA Umum 73.3 29.3 45.9 47.5 19.9 10.0 9.6 4.7 13.7 440.5 DPK 176.2 118.0 105.3 76.3 39.8 28.6 23.4 23.8 19.3 888.6 Laba 4.59 2.39 0.83 2.32 1.53 0.31 0.56 -0.52 0.47 22.9 EVA 1.30 0.84 -2.06 0.70 -0.61 -0.43 -0.04 -0.44 -0.16 Na Kredit 14.7 36.4 22.4 20.7 13.5 (9.2) 7.6 (5.2) 17.5 18.7

Growth% DPK (3.9) 13.8 8.4 9.6 14.0 (2.0) 7.3 7.8 7.9 6.3 Laba 27.9 (5.9) (66.9) 43.7 61.3 133.2 169.1 1.9 231.1 38.3 EVA 2,792.1 (37.8) (522.3) (463.4) 459.3 (20.8) (97.0) (45.8) (57.4) Na

Jika dibandingkan antara bank yang dikendalikan asing dan domestik, bias didapatkan sebuah gambaran bahwa bank-bank yang dikuasai asing lebih memiliki kemampuan dalam pengumpulan DPK. Secara rata-rata bank yang dikendalikan asing memiliki pertumbuhan

57

DPK sebesar 8,3 persen. Di lain pihak bank yang dikendalikan domestik hanya mengalami pertumbuhan DPK sebesar 4,7 persen. Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengambil kesimpulan sementara sebagai berikut. Pertama, bank yang dikendalikan asing memiliki keunggulan dalam pengumpulan dana pihak ketiga tanpa disertai dengan keunggulan dalam penyaluran kredit. Di lain pihak bank yang dikendalikan oleh domestik memiliki keunggulan dalam penyaluran kredit tetapi kalah bersaing dalam pengumpulan DPK. Kedua, temuan ini memiliki implikasi bahwa pola divestasi akan sangat mempengaruhi peta persaingan perbankan dalam penyaluran kredit maupun pengumpulan DPK. Penjualan kepada pihak asing hanya akan meningkatkan persaingan dalam pengumpulan DPK tanpa disertai dengan perbaikan fungsi intermediasi secara nasional. 5.2. Laba Finansial dan Ekonomi

Dalam bagian ini akan dibandingkan kinerja bank-bank divestasi dari sudut laba ekonomi dan laba finansial. Laba ekonomi akan ditunjukkan oleh EVA dan EVA spread. Laba finansial akan ditunjukkan dengan laba nominal, ROA, dan ROE. Pada tahun 2003 total laba bersih perbankan nasional adalah sebesar Rp. 22,9 triliun atau meningkat 38,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan laba ini dimungkinkan oleh semakin melebarnya spread antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan. Selama tahun 2003 terjadi penurunan yang sangat drastis dalam suku bunga SBI yang diikuti dengan penurunan suku bunga
58

simpanan dengan proporsi yang hampir sama. Hal ini mengakibatkan cost of fund secara umum mengalami penurunan secara drastis pula. Sementara itu penurunan suku bunga kredit berlangsung sangat lambat, sehingga menciptakan margin yang lebih besar bagi bank. Pencetak laba terbesar di antara bank-bank divestasi adalah Bank Mandiri yang diikuti dengan Bank BCA dan Bank BRI. Ada satu bank yang mengalami kerugian yaitu Lippo Bank. Dari sudut pertumbuhan laba, bank yang mengalami pertumbuhan terbesar adalah Bank Niaga, Bank Permata, dan BII. Sedangkan yang mengalami penurunan laba adalah Bank BCA dan Bank BNI. Secara nasional bank-bank pada umumnya menunjukkan perbaikan profitabilitas yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan dalam ROA dan ROE. Rata-rata ROA nasional pada tahun 2003 adalah 2,6 persen atau meningkat sebesar 70 basis point. Rata-rata ROE adalah 14,4 persen atau meningkat 330 basis point. Peningkatan yang lebih besar dalam ROE menunjukkan perbaikan yang lebih pesat dalam pemanfaatan modal. Diantara bank-bank divestasi yang memiliki ROA paling tinggi adalah Bank BRI, Bank Danamon dan Bank Mandiri. Bank-bank lainnya seperti Bank BCA, Bank BNI, BII, Bank Niaga dan Lippo Bank memiliki ROA di bawah rata-rata nasional. Bahkan Lippo Bank memiliki ROA yang negatif. Secara rata-rata bank divestasi yang dikendalikan oleh asing memiliki profitabilitas yang relatif lebih rendah dibanding bank yang masih dikendalikan oleh domestik. ROA rata-rata bank yang

59

dikendalikan asing hanya sebesar 1,1 persen, sedangkan yang dikendalikan oleh pihak domestik rata-ratanya adalah 2,5 persen. Perbedaan yang mencolok terlihat sangat jelas dalam ROE dimana bank yang dikendalikan asing hanya memiliki ROE sebesar 11 persen sedangkan bank yang dikendalikan oleh pihak domestik adalah 27,6 persen atau lebih tinggi sekitar 2,5 kali. Tabel 5.2. Profitabilitas Bank Divestasi
2003 EVA% ROE BMRI BBCA BBNI BBRI BDMN BNII BNLI LPBN BNGA Rataan: Umum Asing Domestik 27.5 11.8 11.8 43.4 31.4 18.1 66.1 -45.8 39.6 14.4 11.0 27.6 ROE ROA 4.1 6.2 -12.7 5.3 -5.5 -10.8 -1.5 -17.3 -5.9 na -6.7 -1.1 2.8 0.8 0.8 4.0 3.3 0.8 1.9 -1.5 2.0 2.6 1.1 2.5 Growth (%) EVA% 3.9 -4.7 -16.8 7.2 -3.8 5.1 44.9 8.6 12.1 na 3.5 -1.9 3.3 -7.7 -7.3 ROA

-3.8 -19.5 -30.1 12.1 0.1 -13.2 219.6 -14.5 8.3

0.5 -1.5 -1.3 1.8 1.0 -1.5 -0.4 -3.8 -0.2 0.7 -1.2 0.3

60

Gambaran profitabilitas antara kelompok kedua bank tersebut sungguh mengejutkan. Selalu terdapat persepsi bahwa kepemilikan asing akan mampu memperbaiki kinerja finansial. Dari temuan di atas ternyata sebaliknyalah yang terjadi. Bank divestasi yang masih dikendalikan domestik, justru memiliki profitabilitas yang jauh lebih baik. Hampir tak ada fakta yang menunjukkan bahwa kepemilikan asing mampu memberikan nilai tambah secara bisnis. Keuntungan finansial belum tentu berkorelasi dengan keuntungan secara ekonomi. Evaluasi keuntungan ekonomi melalui EVA diharapkan mempu memberikan gambaran yang lebih baik tentang pengaruh kepemilikan terhadap nilai ekonomis bank. Dalam EVA biaya imbangan penyertaan modal diperhitungkan, sehingga keuntungan ekonomi yang tercipta merupakan keuntungan bersih setelah memperhitungkan biaya modal. Dalam konsep laba finansial, biaya modal tidak diperhitungkan, sehingga walaupun keuntungannya positif tapi secara ekonomi bisa jadi bank mengalami kerugian. Diantara bank-bank divestasi, ternyata hanya tiga bank yang memiliki laba ekonomi yang positif yaitu, Bank Mandiri, Bank BCA dan Bank BRI. Ini menunjukkan bahwa bank-bank divestasi lainnya belum mampu menciptakan keuntungan di atas biaya modal. Spread EVA yang terbesar adalah Bank BCA yang diikuti oleh Bank BRI dan Bank Mandiri. Di lain pihak Lippo Bank dan BII mengalami kerugian yang terbesar. Secara rata-rata spread EVA bank-bank yang dikendalikan asing cenderung jauh lebih rendah dibanding yang masih dikendalikan domestik. Spread EVA bank yang dikendalikann oleh
61

asing rata-ratanya adalah -7 persen yang berarti bahwa nilai ekonomi dari modal yang ditanamkan mengalami penurunan sebesar 6,7 persen. Walaupun negatif spread EVA bank yang dikendalikan domestik relatif lebih baik yaitu -1,1 persen. Secara keseluruhan, nilai ekonomi bank-bank yang dijual kepada asing cenderung lebih buruk dibanding bank yang tetap dikendalikan oleh domestik. Dari uraian tersebut di atas setidaknya kita dapat mengambil dua kesimpulan sementara sebagai berikut. Pertama, tidak ada bukti bahwa kinerja finansial bank yang dikendalikan asing menjadi lebih baik dibanding bank yang dikendalikan domestik. Kedua, bank-bank yang dikendalikan oleh pihak asing ternyata tetap tidak mampu menciptakan nilai tambah ekonomi. Implikasinya adalah bahwa hampir tidak ada bukti yang menunjukkan adanya superioritas kepemilikan asing dalam mencetak keuntungan finansial dan ekonomi. 5.3. Produktivitas, Efisiensi dan Margin

Pencetakan laba baik laba ekonomi maupun finansial, biasanya didorong oleh empat hal yaitu produktivitas, efisiensi, margin dan pengendalian risiko. Keuntungan yang lebih tinggi dapat dicapai dengan cara meningkatkan produktivitas, evisiensi, dan margin usaha. Hal tersebut juga dapat dicapai melalui minimalisasi tingkat kerugian. Ukuran produktivitas yang digunakan dalam studi ini adalah asset utilization (AU) yang menunjukkan tingkat produktivitas dari seluruh asset yang dikelola. Rata-rata AU nasional pada tahun 2003
62

adalah 11,9 persen atau terjadi kenaikan sebesar 270 basis point dari tahun sebelumnya. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari perbankan nasional dalam hal produktivitas pengelolaan aset. Diantara bank-bank divestasi hanya ada satu bank yang memiliki AU di atas rata-rata nasional yaitu Bank BRI. Hal ini menggambarkan bahwa bank divestasi pada umumnya masih belum mampu mendorong produktivitasnya kesuatu tingkat yang sejajar dengan bank-bank lainnya. Namun demikian terkecuali Bank BCA produktivitas aset semua bank divestasi mengalami kenaikan. Kenaikan terbesar dan yang paling signifikan dalam hal produktivitas ditunjukkan oleh Bank BRI yaitu sebesar 750 basis point. Secara rata-rata produktivitas bank divestasi berada di bawah rata-rata nasional. Namun demikian bank yang dikendalikan pihak asing memiliki produktivitas yang jauh lebih rendah yaitu hanya 6,2 persen dibandingkan bank yang dikendalikan domestik yang memiliki rata-rata AU sebesar 9,7 persen. Perbaikan AU yang dialami bankbank yang dikendalikan oleh domestik juga lebih signifikan yaitu sebesar 330 basis point dibanding 180 basis point yang dialami oleh bank-bank yang dikuasai asing.

63

Tabel 5.3. Produktifitas, Efisiensi dan Margin Usaha Bank Divestasi 2003
BOPO NIM

Growth (%)
BOPO NIM

PM

PM

AU BMRI BBCA BBNI BBRI BDMN BNII BNLI LPBN BNGA Rataan: Umum Asing Domestik 11.9 6.2 9.7

AU

7.0 39.9 76.4 7.3 35.6 77.0 6.6 11.7 95.0 15.5 25.9 79.8 9.6 34.2 82.3 4.1 18.4 93.3 4.8 39.7 86.6 3.8 -38.6 101.3 5.9 34.4 89.1 13.3 16.8 25.8 88.1 88.6 83.7

3.4 4.9 4.3 9.5 5.7 3.1 4.4 4.0 4.5 4.6 4.4 5.8

0.5 4.8 -10.8 -1.0 -2.8 -0.7 1.8 -31.4 10.3 7.5 3.2 -10.1 3.9 -0.6 -4.4 2.4 -6.0 -5.2 1.2 173.5 -51.5 0.8 -4.8 -9.9 2.8 17.4 -11.2 2.7 1.8 3.3 8.0 0.6 -7.8 -6.7 -6.3 -3.5

0.4 -0.8 0.9 1.4 1.5 3.3 2.0 -1.7 2.4 0.5 0.9 0.9

Indikator efisiensi yang diggunakan dalam studi ini adalah BOPO yaitu perbandingan antara biaya operasi dan pendapatan operasi. Semakin besar rasio BOPO semakin tidak efisien suatu
64

bank. Perbaikan dalam efisiensi akan ditunjukkan oleh penurunan nilai BOPO. BOPO rata-rata perbankan nasional pada tahun 2003 adalah sebesar 88,1 persen atau menurun sebesar 670 basis point dari tahun sebelumnya. Berdasarkan indikator BOPO tiga bank yang paling efisien adalah Bank Mandiri, BCA dan BRI. Efisiensi yang ditunjukkan oleh ketiga bank tersebut mungkin terkait dengan skala usaha. Dalam teori ekonomi dikenal dengan economies of scale dimana efisiensi akan diraih oleh perusahan dengan sekala yang lebih besar. Jika hal ini benar maka temuan ini mengimplikasikan bahwa bankbank yang memiliki skala usaha yang relatif kecil harus dilakukan marger untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi. Laba yang lebih tinggi juga dapat diciptakan melalui peningkatan margin usaha. Dalam studi ini indikator yang digunakan ada dua yaitu Profit Margin (PM) dan Net Interest Margin (NIM). Kedua-duanya biasanya berkorelasi positif dengan tingkat keuntungan. Pada tahun 2003, PM rata-rata nasional adalah sebesar 13,3 persen. Diantara bank-bank divestasi yang memiliki PM yang terbesar adalah Bank Permata, Bank Mandiri dan Bank BCA. PM yang paling kecil dialami oleh Lippo Bank. PM bank-bank divestasi yang dikuasi asing relatif lebih rendah dibanding yang tetap dikuasi oleh domestik. PM bank-bank yang dikendalikan asing adalah sekitar 16,8 persen. PM bank-bank yang dikendalikan domestic jauh lebih besar yaitu 25,8 persen. Namun demikain PM rata-rata kedua kelompok bank tersebut masih di atas rata-rata nasional. NIM rata-rata nasional pada tahun 2003 adalah 4,6
65

persen atau meningkat 50 basis point disbanding tahun sebelumnya. NIM terbesar ditunjukkan oleh Bank BRI yaitu 9,5 persen atau lebih dari 2 kali rata-rata nasional. NIM terkecil dialami oleh BII yang hanya 3,1 persen. Diantara bank-bank yang didivestasi bank yang masih dikendalikan oleh domestik ternyata lebih mampu mencapai angka yang lebih baik. NIM untuk kelompok bank tersebut pada tahun 2003 adalah 5,8 persen atau 120 basis point lebih tinggi dari rata-rata nasional. NIM untuk bank divestasi yang dikendalikan asing ternyata hanya 4,4 persen atau 20 basis point di bawah rata-rata nasional. Dengan demikian bank yang dikelola asing tidak mampu menciptakan margin yang lebih baik. Dari dua indikator margin usaha yang digunakan dalam studi ini yaitu PM dan NIM, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa bank-bank yang didivestasi kepada pihak asing tidak mampu menciptakan margin yang lebih besar. Artinya tidak ada bukti bahwa penyerahan pengelolaan kepada pihak asing akan mampu memperbaiki kinerja bank dari sudut margin usaha yang diterima bank

5.4.

Pengelolaan Risiko Kredit

Salah satu indikator pengelolaan risiko yang paling utama adalah pengelolaan risiko kredit yang ditunjukan oleh NPL. Tinggi rendahnya NPL berkorelasi positif dengan risiko kredit yang dihadapi. Tetapi sesungguhnya indikator risiko yang lain seharusnya

66

digunakan ndalam studi ini. Namun yang terpublikasi secara resmi hanyalah NPL. NPL rata-rata nasional pada tahun 2003 adalah 6,8 persen atau berkurang sebesar 70 basis point dari tahun sebelumnya. Bank yang paling tinggi memiliki NPL adalah Lippo Bank, sedangkan yang palingrendah adalah Bank BCA. Bank yang paling banyak mengalami perbaikan NPL adalah Bank Permata, dengan jumlah penurunan yang sangat besar yaitu 23,4 persen. Tabel 5.3. Pengendalian Risiko dan Kecukupan Modal Bank Divestasi 2003 NPL CAR Pertumbuhan NPL CAR

BMRI BBCA BBNI BBRI BDMN BNII BNLI LPBN BNGA Rataan: Umum Asing Domestik

8.8 2.3 5.7 6.0 4.6 6.2 14.1 8.8 3.6 6.8 5.1 6.9

27.7 28.0 18.2 20.9 26.8 22.0 10.8 17.9 11.6 19.4 21.3 22.3

1.5 -1.1 0.6 -0.7 0.0 -2.8 -23.4 -3.5 -2.6 -0.7 -2.0 0.5

4.3 -4.2 2.2 8.3 1.5 -11.2 0.4 -3.2 -1.1 -3.0 -3.7 4.9
67

NPL untuk bank-bank yang didivestasi kepada pihak asing cenderung lebih rendah dari rata-rata nasional. Untuk kategori bank tersebut NPL-nya adalah sebesar 5,1 persen di lain pihak NPL ratarata bagi bank yang tetap dikendalikan oleh domestik lebih tinggi 10 basis point disbanding rata-rata nasional. Temuan ini menunjukkan bahwa pengelolaan risiko kredit di bank yang dikendalikan asing sedikit lebih unggul dibanding yang dikendalikan oleh domestik. Hal ini sesuai dengan literatur privatisasi yang menunjukkan berbagai pengalaman beberapa Negara bahwa kepemilikan asing cenderung menurunkan tingkat risiko.

68

PERBANKAN INDONESIA DI MASA YANG AKAN DATANG

Pada Bab 2 terdahulu secara panjang lebar kita telah mediskusikan cetak biru perbankan Indonesia di masa yang akan dating yang tercantum dalam dokumen API. Satu hal yang patut dicatat, ternyata tak ada satupun bank di Indonesia pada tahun 2013 nanti dapat diklasifikasikan sebagai bank internasional dengan total modal Rp. 50 triliun. Kalaupun kita ingin memiliki satu bank internasional, maka empat hal berikut harus dilakukan: (i). (ii) (iii) Akusisi dan marger oleh dan antara bank-bank yang saat ini masuk ke dalam sepuluh besar. Bank terbesar diberi keleluasaan untuk menerbitkan obligasi sub-ordinasi. Jangka waktu untuk memenuhi ketentuan permodalan diperpanjang sampai suatu bank memenuhi syarat.

(iv) Dua atau tiga bank terbesar diberi status bank internasional tanpa harus menunggu terpenuhinya ketentuan permodalan. Dalam bab ini kita akan mencoba memproyeksikan endgame perbankan Indonesia pasca divestasi. Hal ini penting untuk
69

mengetahui langkah-langkah apa yang diperlukan supaya skenario yang terdapat dalam API bisa terpenuhi, selain itu kita harus mengetahui tingkat persaingan dan struktur pasar perbankan yang akan tercipta. Akan tetapi sebelum kita membicarakan tentang perbankan di masa yang akan dating kita harus melakukan kilas balik terutama untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan dalam sistem perbankan. Oleh karena itu kita harus mengambil pelajaran dari krisis perbankan yang baru dilalui. Dalam bagian berikut ini kita akan mengidentifikasi beberapa pelajaran yang bisa diambil dari krisis. 6.1. Sudahkah Kita Belajar dari Krisis?

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Untuk meneropong dan menjalani apa yang akan kita lakukan di masa yang akan datang, krisis telah menyisakan beberapa pelajaran yang berharga yaitu mengenai bagaimana suatu sistem perbankan dapat menjadi sangat rentan. Oleh karena itu kita harus terus berupaya untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di masa yang lalu. Berikut ini adalah analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan sebuah bank dalam situasi krisis. Faktor-faktor ini sampai saat ini masih relevan. Dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan sebuah bank terhadap krisis, analisis regresi model Probit akan digunakan. Dalam model ini bank yang memiliki CAR di bawah nol, dibeku-operasikan dan dilikuidasi pada masa krisis diberi skor 0. Sebaliknya bank-bank yang memiliki CAR di atas nol diberi skor 1,
70

dalam arti bank-bank tersebut tetap bertahan dan secara teknis tidak bangkrut, walaupun ada krisis. Skor ini kemudian diregresikan kepada sembilan variabel berikiut ini: Kredit kepada pihak terkait, adalah kredit yang diberikan kepada pemilik, pengurus, perusahaan dalam satu grup dan pihakpihak lain yang terkait. Konsentrasi kepemilikan, adalah variabel yang mewakili tingkat dominasi saham pengendali di suatu bank dan diukur berdasarkan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang aham terbesar Likuiditas, adalah suatu variabel untuk menggambarkan tingkat likuiditas bank yang diukur oleh rasio asset-asset likuid terhadap total asset. Rasio modal, diukur dengan total ekuitas dibagi total asset Kewajiban Valas, adalah variabel untuk mengukur sejauh mana suatu bank rentan terhadap fluktuasi kurs dan diukur dengan total kewajiban dalam mata uang asing dibagi total asset Pertumbuhan kredit, adalah proksi untuk mengetahui risiko kredit. Penempatan pada bank lain, adalah proksi untuk risiko sistemik Herfindahl indeks, adalah variabel yang mengukur skala usaha sebuah bank secara relatif terhadap bank lainnya. ROA, adalah variabel untuk mengukur tingkat profitbilitas

71

Data-data mengenai variable penjelas diambil dari data publikasi bank tahunan, selama tiga tahun sebelum krisis (1994-1996). Data-data tersebut kemudian di reqresikan ke dalam model Probit dan hasilnya dapat dilihat di dalam tabel berikut ini. Tabel. 6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Bank terhadap Krisis
VARIABLE Kredit ke Pihak Terkait Konsentrasi Kepemilikan Likuiditas Rasio Modal Kewajiban valas Pertumbuhan kredit Penempatan di Bank Lain Herfindahl Index ROA CONSTANT R-SQUARE: MADDALA CRAGG-UHLER MCFADDEN CHOW Prediction Success Table KOEFISIEN -1.5805 -0.0147 9.4326 8.4211 -3.4425 -1.0260 -11.0570 -1.1107 21.7840 2.4367 0.5120 0.6993 0.4756 0.5366 ACTUAL 0 1 0 74 15 1 16 36 T-RATIO -3.2470 -2.9377 2.0946 2.0782 -1.8463 -1.7874 -1.1136 -0.9865 1.1169 1.3486 ELASTISITAS -0.2811 -0.3318 0.1803 0.4704 -0.0557 -0.1691 -0.5919 -0.0665 0.1130 0.9700

PREDICTED NUMBER OF RIGHT PREDICTIONS = 110. PERCENTAGE OF RIGHT PREDICTIONS = 0.78014

72

Tabel 6.2. Faktor kritis perbankan dan peraturan yang terkait


VARIABLE Kredit ke Pihak Terkait Konsentrasi Kepemilikan Likuiditas Rasio Modal Kewajiban valas Risiko Kredit Pengaturan BMPK Belum diatur GWM, LDR dll CAR NOP NPL

Regresi model Probit ternyata memiliki akurasi sebesar 78 persen. Artinya model ini mampu memprediksikan kebangkrutan bank selama periode krisis dengan menggunakan indikator-indikator sebelum krisis. Secara umum koefisien masing-masing variabel memiliki tanda yang sesuai dengan teori ekonomi. Namun demikian hanya enam dari sembilan variabel ternyata signifikan mempengaruhi kerentanan bank. Uraian mengenai dampak masing-masing variabel terhadap kerentanan bank adalah sebagai berikut: Kredit kepada pihak terkait, memiliki elatisitas -0,28 yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 persen kredit kepada pihak terkait akan menyebabkan peningkatan probabilitas kebangkrutan bank sebesar 0,28 persen. Sebenarnya kredit kepada pihak terkait sudah diatur jauh sebelum krisis dan tertuang dalam aturan mengenai pelanggaran BMPK. Yang jadi masalah pada

73

saat itu adalah bukan ketiadaan dari aturan BMPK tetapi penegakkan dari aturan tersebut. Pada waktu itu bank swasta banyak yang dimiliki oleh group perusahaan, sehingga cenderung menyalurkan kredit kepada perusahan di dalam groupnya sendiri. Dimasa yang akan datang seyogyanya aturan BMPK diterapkan secara tegas, terutama yang menyangkut alokasi kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank. Namun demikian dalam analisis ini BMPK untuk penyertaan saham tidak dianalisis karena data sebelum krisis tidak tersedia. Tidak bisa ditarik kesimpulan apakah BMPK penyertaan berbahaya atau tidak. Perlu kajian lebih lanjut mengenai hal ini. Konsentrasi kepemilikan, memiliki elastisitas sebesar -0,33 yang berarti bahwa setiap 1 persen kenaikan kepemilikan saham pengendali akan mengakibatkan meningkatnya probabilitas kebangkrutan semasa krisis 0,33 persen. Temuan ini relatif sangat penting dalam dua hal berikut. Pertama, pemilikan saham yang bersifat mayoritas ternyata memiliki dampak yang negatif terhadap daya tahan bank. Mungkin ini mencerminkan sering terjadinya konflik kepentingan antara bank dengan pemegang saham pengendali. Oleh karena itu, temuan ini juga mengindikasikan bahwa kepemilikan saham yang secara relatif terdistribusi akan memperkokoh daya tahan bank di masa krisis. Bank-bank yang kepemilikan sahamnya terdistribusi secara luas, biaya memiliki mekanisme internal dimana masing-masing pemilik saling mengawasi satu terhadap

74

lainnya, terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh seorang pemilik. Kedua, dan yang sangat mengkhawatirkan, Negara kita belum memiliki aturan mengenai pembatasan kepemilikan sebuah bank. Padahal di Negara-negara maju hal ini sudah lazim diberlakukan, terutama kepemilikan bank oleh perusahan non keuangan. Sebagai contoh di Australia individu, keluarga, perusahaan dan group perusahaan non keuangan tidak boleh memiliki saham bank lebih dari 20 persen. Hal ini jelas dimaksudkan untuk mengurangi peluang terjadinya campur tangan yang tidak produktif dan membahayakan bank. Likuiditas, memiliki nilai elastisitas sebesar 0,18 yang berarti bahwa setiap 1 persen kenaikan dalam rasio likuiditas akan mengakibatkan penurunan probabilitas kebangkrutan bank semasa krisis berkurang sebesar 0,18 persen. Temuan ini sangat konsisten karena pada krisis perbankan yang lalu salah satu masalah yang terbesar yang dihadapi oleh bank adalah berkurangnya likuiditas secara drastis. Aturan mengenai likuiditas sudah diterapkan jauh sebelum krisis dan dapat berlaku secara efektif. Namun demikian, terjadinya rush dan kompartementalisasi bank yang terjadi pada awal-awal krisis telahmengakibatkan bank-bank swasta harus ditalangi oleh Bank Indonesia. Rasio modal, memiliki elastisitas sebesar 0,47 yang berarti bahwa setiap peningkatan rasio modal sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas bank untuk tidak bangkrut semasa
75

krisis sebesar 0,47 persen. Rasio ini sangat penting dalam dua hal berikut ini. Diantara variabel-variabel yang signifikan rasio modal merupakan faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap daya tahan bank. Hal ini berarti, rasio modal adalah faktor yang paling penting dalam menentukan tingkat ketahanan bank. Kedua, temuan ini mengisaratkan mengenai pentingnya permodalan bank dalam menciptakan sistem perbankan yang kokoh. Semakin konservatif pengaturan rasio modal (CAR) semakin kuat daya tahan bank. Kewajiban Valuta Asing, memiliki elastisitas -0.56 yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 persen rasio kewajiban valuta asing dapat mengakibatkan meningkatnya probabilitas kebangkrutan bank semasa krisis sebesar 0,56 persen. Walaupun angka elastisitasnya relatif kecil, tapi mengingat volatilitas nilai tukar pada saat-saat krisis, variable ini mungkin merepresentasikan sebagian besar masalah yang dihadapi oleh bank. Pertumbuhan kredit, memiliki elastisitas sebesar -0,17 yang mengindikasikan bahwa setiap kenaikan 1 persen dalam pertumbuhan kredit akan mengakibatkan meningkatnya probabilitas kebangkrutan bank semasa krisis sebesar 0,17 persen. Namun demikian interpretasi dari koefisien ini harus dilakukan secara berhati-hati karena pertumbuhan kredit yang maksud adalah sebagai proksi untuk risiko kredit. Peningkatan pertumbuhan kredit biasanya diikuti dengan meningkatnya NPL karena bank harus masuk wilayah dan
76

segmen pasar yang mungkin berada di luar kompetensinya. Selain itu pertumbuhan kredit harus diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusian dalam melakukan penilaian kredit, pengawasan implementasi proyek, dan mitigasi risiko kredit. Tiga variabel lainnya yaitu penempatan di bank lain herfindahl indeks dan ROA ternyata tidak signifikan dalam menerangkan ketahanan bank. Akan tetapi bukan berarti bahwa ketiga variabel initidak penting di masa yang akan datang. 6.2. End-game

Peta akhir atau end-game dari persaingan perbankan di Indonesia dalam jangka panjang harus diproyeksikan agar kita mendapatkan gambaran tentang situasi persaingan perbankan yang akan terbentuk. Ada dua kemungkinan skenario yang akan terjadi. Pertama semua bank beroperasi secara stand alone seperti halnya yang terjadi saat ini. Tidak ada akuisisi dan marger oleh dan antar bank. Kita sebut skenario ini sebagai baseline scenario. Kedua, beberapa bank besar melakukan akuisisi dan marger dengan berbagai tujuan yang ingin dicapai seperti memperlengkap segmentasi dan meningkatkan pangsa pasar. Dalam baseline scenario dimana semua bank akan beroperasi seperti sekarang baik dalam aktivitas lending maupun funding, masing-masing bank diasumsikan akan terus memperkuat core competence-nya. Dari hasil simulasi didapatkan gambaran persaingan dimasa yang akan dating yang disarikan dalam tabel berikut ini.
77

Tabel 6.3. Prakiraan Peta Persaingan Perbankan di Indonesia berdasarkan Baseline Scenario
Prognosis Pangsa Aset 21.0 11.4 11.2 8.1 4.5 3.0 2.5 2.3 2.3 2.0 2.0 1.6 1.5 1.3 1.3 1.2 1.2 1.2 1.1 1.0

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Bank Bank Mandiri Bank BCA Bank BNI Bank Rakyat Indonesia Bank Danamon Bank Internasional Indonesia Bank Permata Bank Tabungan Negara Bank Lippo Bank Niaga Citibank Bank Panin Bank Bukopin Bank NISP Deutsche Bank Bank Buana Indonesia Bank Mega HSBC ABN-Amro Bank PT. BPD JAWA BARAT

Karakter Corporate Super Power Consumer Giant Corporate Power "Retail and Micro" Giant Corporate & Merchant Corporate & Merchant Retail Niche Mortgage specialist Corporate Niche Consumer Niche Consumer Niche Retail-Foreign Cooperative Financier Local penetrator Foreign Etnic Bank Retail Retail Foreign Regional

78

Bank Mandiri dengan pangsa pasar dalam hal aset sebesar kurang lebih 21 persen, tampaknya akan tetap menjadi corporate super power. Pesaing terdekatnya adalah Bank BCA dan Bank BNI, walaupun mungkin akan memerlukan waktu yang lama bagi kedua bank tersebut untuk sampai pada level yang sama dengan Bank Mandiri. Untuk memperkuat basis nasabahnya dan mengurangi risiko tampaknya Bank Mandiri perlu melakukan penetrasi yang lebih dalam terhadap segmen ritel dan consumer. Persaingan yang keras akan terjadi antara Bank BCA dan Bank BNI. Kedua bank tersebut memiliki pangsa pasar yang hampir sama, tetapi dengan segmentasi yang berbeda. Bank BCA merupakan consumer giant, sedangkan Bank BNI merupakan corporate power bank. Bank BCA memiliki basis funding yang lebih kuat yang dicirikan oleh pertumbuhan DPK yang lebih tinggi. Masalah yang dihadapi oleh Bank BCA adalah bagaimana menyalurkan kredit yang samapai saat ini LDR-nya masih rendah. Oleh karenanya Bank BCA tampaknya akan memperkuat sis lending dan berusaha menggerogoti dominasi Bank Mandiri dan Bank BNI dalam corporate loan. Sebaliknya Bank BNI memiliki keunggulan kompetitif dalam corporate banking. Untuk memperkuat segmentasinya dan memperbaiki portofolio kredit, mau tidak mau dia harus bersaing dengan Bank BCA di segmen ritel dan consumer. Persaingan memperebutkan bisnis mikro dan kredit usaha kecil mungkin akan semakin sengit jika Bank Danamon memutuskan untuk menggarap secara lebih serius micro banking. Sampai saat ini
79

untuk wilayah pedesaan Bank BRI belum menemukan tandingan yang sepadan. Tapi itu tidak berarti bahwa Bank BRI tidak akan kehilangan keunggulan kompetitifnya di segmen mikro karena pesaingnya begitu beragam, mulai dari BPR sampai BPD. Untuk memperkuat posisi pasarnya, BRI tampaknya juga akan melakukan ekspansi di daerah perkotaan dengan target utama pengembangan bisnis ritel. Persaingan dalam bisnis ritel, merchant dan consumer tampaknya akan semakin sengit berlangsung diantara bank-bank papan tengah dan papan bawah. Setidaknya ada sekitar 15 bank papan tengah yang akan terus berkiprah di segmen ini. Kemungkinan besar pangsa pasar mereka akan mengalami banyak pergeseran dan terjadi saling susul menyusul diantara mereka. Akan tetapi suli bagi mereka untuk meraih pangsa pasar di atas 4 persen. Tampaknya bank-bank yang berada di kelas ini akan menjadi sasaran akuisisi oleh bank-bank papan atas yang ingin melakukan penetrasi ke pasar ritel dan consumer. Dalam skenario yang kedua, beberapa bank diasumsikan akan melalukan marger. Perlu diketahui bahwa skenario marger yang akan diuraikan di bawah ini hanya bersifat imajinatif dalam arti skenario tersebut belum tentu merupakan fakta yang akan terjadi. Dari hasil simulasi terdapat tujuh skenario marger yang disarikan dalam tabel berikut ini. Sebagai catatan, kemungkinan marger bersifat tidak terbatas.

80

Tabel 6.4. Beberapa Kemungkinan Skenario Marger Imajinatif


Hasil Merger Temasek "Super Power Bank" Temasek "Power Bank" CAHB "Consumer Niche" Farralon-Astra "Consumer Giant" National "Hyper Power" National "Retail Super Power" National "Super Power" Bank Peserta (Asumsi) BNI, Danamon, BII, Permata, NISP, Buana Lippo, Danamon, BII, Permata, NISP, Buana Niaga, Permata BCA, Permata Mandiri, BNI BRI, Permata Mandiri, Permata Prognosis Pangsa Aset 24 15 4 14 32 11 24 Karakter Strong in all segment Strong in all segment Competitive in consumer The largest in consumer The largest in corporate The largest in retail Super power in all segment

Kemungkinan marger yang pertama disebut Temasek Super Power Bank dan peserta margernya adalah Bank BNI, Bank Danamon, BII, Bank Permata, NISP dan Bank Buana. Kalau hal ini terjadi maka bank hasil marger akan memiliki pangsa pasar sekitar 24 persen. Hampir bisa dipastikan bank ini memiliki kekuatan disemua segmen mulai dari corporate ritel sampai consumer. Segmentasi yang lengkap seperti ini akan merupakan kekuatan yang sangat sulit

81

ditandingi oleh bank manapun karena memiliki basis nasabah yang sangat lengkap dan besar. Skenario marger yang kedua disebut Temasek Power Bank, dengan peserta marger adalah Lippo Bank, Bank Danamon, BII, Bank Permata, NISP dan Bank Buana. Kalau marger ini benarbenar terjadi, ia kan memperoleh pangsa pasar sekitar 15 persen. Sebagaimana skenario pertama, bank hasil marger ini akan kuat dalam semua segmen. Skenario marger yang ketiga disebut CAHB Consumer Niche, yang merupakan gabungan antara Bank Niaga dan Bank Permata. Bank hasil marger ini akan memiliki daya saing disegmen consumer dengan pangsa pasar sekitar 4 sampai 5 persen. Bank ini tampaknya akan merupakan pesaing yang tangguh yang penetrasi pasarnya dalam segmen consumer mungkin sulit untuk ditandingi oleh bank-bank lainnya. Sekenario marger yang keempat adalah Farallon-Astra Consumer Giant yang peserta margernya adalah Bank BCA dan Bank Permata. Bank hasil marger ini akan merupakan bank terbesar yang menggarap segmen consumer terutama untuk kredit kepemilikan kendaraan bermotor. Sinergi antara Astra dan bank hasil marger akan membuat kredit dari bank ini mengalir ke segmen yang sesuai dengan bisnis inti Astra. Kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran BMPK akan terjadi apabila bank ini menjadi main-bank bagi kelompok Astra.

82

Skenario yang kelima adalah National Hyper Power Bank dengan peserta Bank Mandiri dan Bank BNI. Bank hasil marger ini akan merupakan bank yang terbesar dengan pangsa pasar 32 persen. Bisnis bank ini akan terkonsentrasi pada corporate banking dengan kekuatan menyalurkan kredit bersekala besar tanpa harus melanggar BMPK. Proyek-proyek raksasa akan mampu dibiayai oleh bank ini tanpa harus membentuk konsorsium. Skenario yang keenam adalah National Retail Super Power yang merupakan paduan antara Bank BRI dan Bank Permata. Bank ini kelak akan merupakan pemain terbesar di segmen ritel dengan pangsa pasar sekitar 11 persen. Dengan cara mengakuisisi Bank Permata, Bank BRI yang kuat di daerah pedesaan akan lebih mudah dan murah melakukan pendalaman penetrasi di daerah perkotaan. Mungkin Jaringan permata akan digunakan untuk melakukan ekspansi di daerah perkotaan sehingga bank ini akan mengukuhkan diri sebagai bank yang terkuat dalam segmen ritel dan mikro. Skenario yang ketujuh, disebut National Super Power Bank yang merupakan gabungan antara Bank Mandiri dan Bank Permata. Jika ini terjadi cabang-cabang Bank Mandiri tampaknya akan dikonsentrasikan untuk menggalang bisnis korporasi seperti sekarang ini, sedangkan bisnis ritelnya akan diperkokoh melalui cabang-cabang eks Bank Permata. Bank ini kelak akan menjadi super power di semua segmen. Skenario marger yang dikemukakan di atas mungkin bukan sesuatu yang dalam jangka dekat ini akan menjadi realitas. Tetapi
83

melalui analisis skenario tersebut kita dapat memproyeksikan peta kekuatan bank tanpa atau dengan melakukan marger. Skenario imajinatif kadang-kadang berguna untuk memperluas cakrawala pandangan ke depan. 6.3. Penutup Memetakan perbankan Indonesia pasca divestasi merupakan sebuah endeavor yang penuh imajinasi. Ada beberapa hal yang bias menjadi catatan untuk membangun perbankan Indonesia yang kokoh, kuat , sehat dan memiliki kontribusi yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Catatan tersebut sebagian berasal dari pengalaman yang dilalui perbankan di masa yang lalu dan promosis tentang keadaan di masa yang akan datang. Catatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, API merupakan satu-satunya dokumen resmi yang menjadi rujukan bagi arah pengembangan perbankan Indonesia dalam jangka panjang. Akan tetapi, proses divestasi yang terjadi sekarang ini tampaknya tidak terlalu bersesuaian dengan cita-cita yang tercantum dalam dokumen tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa keputusan divestasi lebih didorong oleh tujuan-tujuan jangka pendek tanpa mempertimbangkan secara hati-hati implikasi jangka panjangnya. Tampaknya divestasi bank dalam jangka dekat ini dan dimasa yang akan dating harus, mau tidak mau, diselaraskan dengan API. Kedua, fakta menunjukkan bahwa divestasi bank melalui pola private placement selalu berakhir pada akuisisi oleh pihak asing. Hal ini

84

menjadi tanda tanya besar mengingat penetrasi asing semakin tidak terbendung. Saat ini pangsa asset kredit dan DPK bank-bank yang dikendalikan asing meliputi kurang lebih sepertiga dari pangsa perbankan. Disamping itu kemenangan asing melalui private placement telah menimbulkan sentimen publik yang menyudutkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan perbankan domestik. Ada sentiment seolah-olah pemerintah melakukan kebijakan yang bersifat anti domestik, karenanya ke depan pemerintah harus membuktikan bahwa kebijakan-kebijakannya tidak pro asing. Ketiga, dari hasil evaluasi kinerja bank-bank yang didivestasi tidak diperoleh bukti bahwa kepemilikan asing dapat meningkatkan kinerja bank. Dari sisi profitabilitas, produktivitas, efisiensi, dan margin usaha, ternyata bank-bank yang dikendalikan pihak asing cenderung secara rata-rata memiliki kinerja yang lebih rendah dibanding bank divestasi yang masih dikendalikan oleh pihak domestik. Pendapat bahwa asing dapat meningkatkan kinerja bank sama sekali tidak didukung oleh bukti-bukti empiris. Keempat, dari pengalaman perbankan di masa yang lalu terdapat setidaknya enam indikator yang menentukan stabilitas sistem perbankan. Keenam indikator tersebut adalah kredit kepada pihak terkait, konsentrasi kepemilikan bank, likuiditas, kecukupan modal, risiko nilai tukar, dan risiko kredit. Diantara keenamnya, lima hal telah diatur secara ketat baik melalui perundang-undangan maupun peraturan Bank Indonesia. Satu hal yang belum tersentuh adalah pembatasan kepemilikan bank oleh perusahaan non keuangan. Di negara maju pembatasan kepemilikan telah merupakan hal yang lazim
85

untuk menghindari pertentangan kepentingan antara pemilik dengan bank. Agar Indonesia terhindar dari kesalahan-kesalahan serupa di masa yang akan datang, pembatasan kepemilikan seharusnya diberlakukan. Kelima, dari hasil pemetaan persaingan perbankan di masa yang akan datang dapat diperoleh gambaran mengenai peta kekuatan masing-masing pelaku. Dalam beberapa skenario ada kemungkinan penguatan penetrasi asing yang sulit untuk ditandingi oleh bank domestik manapun. Dalam skenario yang lain, bank-bank domestik bisa melakukan sinergi yang saling menguatkan melalui marger. Tetapi skenario-skenario ini belum tentu mudah untuk dicapai oleh siapa pun karena belum mempertimbangkan faktor-faktor non teknis yang justru merupakan hal yang paling menentukan.

86

PENUTUP

Memetakan perbankan Indonesia pasca divestasi merupakan sebuah endeavor yang penuh imajinasi. Ada beberapa hal yang bias menjadi catatan untuk membangun perbankan Indonesia yang kokoh, kuat , sehat dan memiliki kontribusi yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Catatan tersebut sebagian berasal dari pengalaman yang dilalui perbankan di masa yang lalu dan promosis tentang keadaan di masa yang akan datang. Catatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, API merupakan satu-satunya dokumen resmi yang menjadi rujukan bagi arah pengembangan perbankan Indonesia dalam jangka panjang. Akan tetapi, proses divestasi yang terjadi sekarang ini tampaknya tidak terlalu bersesuaian dengan cita-cita yang tercantum dalam dokumen tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa keputusan divestasi lebih didorong oleh tujuan-tujuan jangka pendek tanpa mempertimbangkan secara hati-hati implikasi jangka panjangnya. Tampaknya divestasi bank dalam jangka dekat ini dan dimasa yang akan dating harus, mau tidak mau, diselaraskan dengan API.

87

Kedua, fakta menunjukkan bahwa divestasi bank melalui pola private placement selalu berakhir pada akuisisi oleh pihak asing. Hal ini menjadi tanda tanya besar mengingat penetrasi asing semakin tidak terbendung. Saat ini pangsa asset kredit dan DPK bank-bank yang dikendalikan asing meliputi kurang lebih sepertiga dari pangsa perbankan. Disamping itu kemenangan asing melalui private placement telah menimbulkan sentimen publik yang menyudutkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan perbankan domestik. Ada sentiment seolah-olah pemerintah melakukan kebijakan yang bersifat anti domestik, karenanya ke depan pemerintah harus membuktikan bahwa kebijakan-kebijakannya tidak pro asing. Ketiga, dari hasil evaluasi kinerja bank-bank yang didivestasi tidak diperoleh bukti bahwa kepemilikan asing dapat meningkatkan kinerja bank. Dari sisi profitabilitas, produktivitas, efisiensi, dan margin usaha, ternyata bank-bank yang dikendalikan pihak asing cenderung secara rata-rata memiliki kinerja yang lebih rendah dibanding bank divestasi yang masih dikendalikan oleh pihak domestik. Pendapat bahwa asing dapat meningkatkan kinerja bank sama sekali tidak didukung oleh bukti-bukti empiris. Keempat, dari pengalaman perbankan di masa yang lalu terdapat setidaknya enam indikator yang menentukan stabilitas sistem perbankan. Keenam indikator tersebut adalah kredit kepada pihak terkait, konsentrasi kepemilikan bank, likuiditas, kecukupan modal, risiko nilai tukar, dan risiko kredit. Diantara keenamnya, lima hal telah diatur secara ketat baik melalui perundang-undangan maupun peraturan Bank Indonesia. Satu hal yang belum tersentuh adalah
88

pembatasan kepemilikan bank oleh perusahaan non keuangan. Di negara maju pembatasan kepemilikan telah merupakan hal yang lazim untuk menghindari pertentangan kepentingan antara pemilik dengan bank. Agar Indonesia terhindar dari kesalahan-kesalahan serupa di masa yang akan datang, pembatasan kepemilikan seharusnya diberlakukan. Kelima, dari hasil pemetaan persaingan perbankan di masa yang akan datang dapat diperoleh gambaran mengenai peta kekuatan masing-masing pelaku. Dalam beberapa skenario ada kemungkinan penguatan penetrasi asing yang sulit untuk ditandingi oleh bank domestik manapun. Dalam skenario yang lain, bank-bank domestik bisa melakukan sinergi yang saling menguatkan melalui marger. Tetapi skenario-skenario ini belum tentu mudah untuk dicapai oleh siapa pun karena belum mempertimbangkan faktor-faktor non teknis yang justru merupakan hal yang paling menentukan. ****

89

Anda mungkin juga menyukai