Anda di halaman 1dari 33

PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN INDONESIA Oleh: Freddy Josep Pelawi1 A.

PENDAHULUAN Sistem Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO)/ Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung dari rejim perdagangan multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay Round dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian sengketa ini juga dinilai sebagai kontribusi unik dari WTO terhadap kestabilan perekonomian global. Sistem penyelesaian sengketa WTO dibentuk sebagai pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sebelumnya ada. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia. Sistem penyelesaian sengketa WTO memainkan peran penting dalam mengklarifikasi dan penegak1

an kewajiban anggota dalam WTO Agreement. Penyelesaian sengketa memang bukan kegiatan utama dalam kinerja organisasi WTO, namun penyelesaian sengketa adalah bagian yang sangat penting dalam kenyataan kinerja organisasi. Penyelesaian sengketa WTO juga menjadi perangkat penting dalam manajemen negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat. Hal tersebut tampak dalam prinsip-prinsip yang dianut oleh WTO yaitu prinsip Nondiscrimination, Transparency, Stability and predictability of trade regulations, Use of tariffs as instruments of protection dan Elimination of unfair competition. Terkait dengan prinsip predictability of trade regulations,2 dalam prinsip ini dikemukakan bahwa pemerintah suatu negara yang menjadi anggota dari WTO dapat melakukan pengaturan yang akan membatasi atau mengatur mengenai bidang perdagangannya sendiri apabila terdapat hal-hal khusus (special circumstances). Hal-hal khusus tersebut antara lain apabila dalam menegak2

Staf Advokasi Tuduhan Dumping, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

Lihat http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/ti f_e/fact2_e.htm

kan fair competition, suatu negara terpaksa perlu membuat suatu kebijakan berupa peraturan atau tindakan (state action) mencegah terjadinya tindakan subsidi, dumping dan pengenaan safeguard. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang - Undang No. 7 Tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut, maka negara-negara anggota WTO, dalam hal ini juga Indonesia, harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan ketentuan - ketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO. Indonesia sebagai negara anggota WTO juga memiliki kewenangan untuk malakukan tuduhan anti dumping berupa pengenaan bea masuk anti dumping, tuduhan anti subsidi dalam hal ini yaitu pengenaan bea masuk imbalan dan tindakan safeguard berupa pengenaan tarif, kuota atau keduanya. B. PENYELESAIAN SENGKETA WTO Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian merugikan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapatkan hak-hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian sengketa. 2. Prinsip Penyelesaian Sengketa

Negara - negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara anggota yang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri sebelum terbentuknya panel. Oleh karena itu, tahap pertama yang dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ke kasus berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan. Persetujuan DSU juga menutup kemungkinan suatu negara yang kalah dalam kasus tertentu untuk menghalang-halangi putusan. Di bawah ketentuan GATT, suatu putusan disahkan berdasarkan konsensus, yang berarti tidak ada keputusan jika terdapat keberatan dari suatu negara. Di bawah ketentuan WTO, putusan secara otomatis disahkan kecuali ada konsensus untuk menolak hasil putusan, dengan mekanisme ini maka negara yang ingin menolak suatu hasil putusan harus melobi seluruh anggota WTO lainnya untuk membatalkan keputusan panel ter-

masuk anggota WTO yang menjadi lawan dalam kasus tersebut. Jadi penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip - prinsip: adil, cepat, efektif dan saling menguntungkan.3 3. Proses Penyelesaian Sengketa a. DSB dan Panel Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. a. Banding Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding
3

tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding (Appelate Body/AB) yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 (empat) tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun Keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus. C. PENYELESAIAN SENGKETA SETELAH REKOMENDASI ATAU KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY/DSB Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten

Lihat Article 3: General Provision dari Annex 2: Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes WTO

dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai retaliasi. Biasanya kompensasi/retaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketa menetapkan bahwa tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi atau putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesaian tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO. Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan Panel (panel report) atau laporan banding (appelate Body report). Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum dilaksanakan atau belum efektif, dan jika keadaannya cukup serius, tindakan dapat diambil di bawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya

tindakan tersebut ke dalam bidangbidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus agar menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan. D. PENGALAMAN INDONESIA Indonesia pernah menjadi negara yang digugat oleh negara anggota WTO lainnya, yaitu Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pada saat itu permasalahannya adalah kebijakan Indonesia dalam program Mobil Nasional yang dianggap telah memberikan kemudahan bagi industri mobil nasional merupakan bentuk diskriminasi dan dengan demikian telah melanggar ketentuan WTO yang terkait dan Persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Dalam tahap DSB, Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya agar selaras dengan peraturan WTO. Indonesia juga memiliki pengalaman menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina (tergugat) dimana dalam kasus ini Argentina dianggap melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatasan impor produk alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO4, termasuk Indonesia.
4

Lihat diantaranya dokumen G/TBT/N/ARG/111 di http://docsonline.wto.org/GEN_searchResult.asp

Indonesia yang merupakan eksportir utama produk alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambah-an bea masuk (specific duty) sedang-kan negara-negara Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai safeguard. Di samping itu, Indonesia bersama-sama dengan beberapa anggota WTO lainnya yaitu Canada, Mexico, Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan dan European Union menggugat Amerika Serikat dalam kasus US - Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US CDSOA)5. Dalam kasus tersebut Indonesia bersama dengan negara lainnya menganggap kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat dalam US CDSOA bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati dalam Agreement WTO tentang anti dumping (Anti Dumping Agreement/AD Agreement) dan anti subsidi (Subsidy and Countervailing Measures Agreement/ASCM Agreement). Kasus ini kemudian dibawa ke sidang Panel pada tahun 2001. Dalam keputusannya Panel merekomendasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuanpersetujuan WTO dengan cara mencabut kebijakan US CDSOA. Terhadap keputusan Panel tersebut, AS mengajukan banding ke Appelate Body. Dalam keputusannya di tahun 2003, Appelate Body juga merekomendasikan AS agar melakukan penyesuaian dengan mengadakan
5

perubahan kebijakan terkait dengan US CDSOA atau yang juga dikenal dengan Byrd Amendment agar konsisten dengan ketentuan WTO. Hal ini dilakukan karena Appelate Body juga memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak konsisten dengan persetujuan-persetujuan WTO. E. REKOMENDASI DAMPAKNYA INDONESIA DSB DAN BAGI

1. Kasus Indonesia Amerika Serikat Merujuk pada kasus US CDSOA di atas, dimana Indonesia menjadi penggugat terhadap kebijakan Amerika Serikat yang tidak konsisten terhadap kesepakatan WTO, Indonesia ikut dalam proses pembentukan sejarah bahwa negara anggota WTO memiliki posisi yang sama dalam menaati peraturan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota. Indonesia secara langsung juga mengalami dampak dari pemberlakukan kebijakan USCDSOA tersebut. Lantas mahkluk apakah US CDSOA tersebut? Sebelum dibahas lebih lanjut mengenai kaitan antara US CDSOA dengan Indonesia, akan dijelaskan sekilas tentang US CDSOA ini. US CDSOA merupakan peraturan Amerika Serikat yang membagikan hasil pungutan dari bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap barang impor yang dikumpulkan Pemerintah Amerika Serikat kepada industri domestiknya yang di-

Lihat diantaranya dokumen WT/DSB/M/221 di di http://docsonline.wto.org/

rugikan oleh tindakan dumping dan atau subsidi oleh negara lain terhadap barang impor ke AS tersebut. Hal ini menunjukkan kaitan erat antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan perusahaan dalam industri domestik Amerika Serikat. Amerika Serikat berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara harus menggunakan instrumen bea masuk anti dumping dan anti subsidi, karenanya Amerika Serikat merasa bebas untuk menerapkan peraturan untuk membagi-bagikan hasil pungutan bea masuk tersebut kepada industri domestiknya yang menjadi korban tindakan dumping dan atau pemberian subsidi barang impor yang masuk ke pasar Amerika Serikat. Dari sisi negara lain terutama negara yang melakukan kegiatan ekspor produknya ke pasar Amerika Serikat, kebijakan Amerika Serikat ini dapat digunakan secara berlebihan oleh kalangan industri domestik Amerika Serikat untuk mengklaim kerugian berat (injury) atas masuknya barang impor yang berharga murah dan kemudian menuduh barang impor murah tersebut akibat tindakan dumping yang dilakukan perusahaan pengekspor dan atau subsidi yang dilakukan negara lain kepada perusahaan eksportirnya. Terlebih lagi disadari oleh negaranegara penggugat dalam kasus ini, bahwa Amerika Serikat telah memiliki ketentuan mengenai dumping dan subsidi jauh sebelum WTO dibentuk, yaitu Tariff Act 1930 (Tariff Act).

Sejak tahun 1995, yaitu setelah WTO dibentuk hingga kini, memang banyak diadakan penyesuaian dari Tariff Act tersebut agar selaras dengan ketentuan WTO. Contoh perubahan tersebut misalnya dalam penerapan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) setelah diberlakukannya ketentuan WTO, Tariff Act menyesuaikan aturannya dengan memberikan kesempatan review 5 (lima) tahunan (sunset review) bagi perusahaan eksportir dan negara yang dikenakan bea masuk tersebut6. Namun demi-kian, masih banyak interpretasi Tariff Act yang memanfaatkan lubang-lubang hukum dalam Ke-tentuan WTO dan kesepakatan-kesepakatannya yang menuai protes dari negara anggota lain-nya. Salah satunya adalah me-ngenai US - CDSOA ini. Dalam ketentuan Tariff Act 1930, yang juga selaras dengan ketentuan WTO dalam AD Agreement, untuk menuduh perusahaan negara lain melakukan praktek dumping, maka harus ada peng-aduan dari industri domestik AS, dimana dalam ketentuan WTO harus memenuhi kuorum tertentu. Dalam ketentuan Tariff Act dan peraturan pelaksanaannya, pemenuhan kuorum tersebut dapat dipenuhi dengan memasukkan juga serikat pekerja sebagai bagian dari industri domestik. Dalam ketentuan AD Agreement WTO, serikat pekerja tidak diperkenankan menjadi bagian
6

Lihat http://ia.ita.doc.gov/sunset/index.html

dari industri domestik. Hal-hal yang berbenturan seperti inilah yang banyak sekali ditemukan di antara Tariff Act dan ketentuanketentuan WTO. Terlebih lagi ketika diberlakukannya US CDSOA yang juga sebagai peraturan pelaksana dari Tariff Act, makin menguatkan posisi industri domestik Amerika Serikat untuk meminta perlindungan lebih kepada pemerintahnya berkenaan dengan persaingan dari barang impor dari negara lain. Indonesia dalam hal ini telah mengalami beberapa kali pengenaan bea masuk baik dumping maupun subsidi oleh Amerika Serikat. Dalam kurun waktu 1995 hingga 2007 tercatat kurang lebih 8 (delapan) produk dari Indonesia yang dikenakan bea masuk baik anti dumping maupun imbalan dalam daftar International Trade Administrative, Department of Commerce7 dan USDOC mengenakan bea masuk imbalan dan anti dumping dalam jumlah yang irasional bagi pengusaha untuk melakukan akses ke pasar Amerika Serikat. Pada saat tulisan ini ditulis, Amerika Serikat melalui USDOC juga tengah mengadakan investigasi tuduhan dumping dan subsidi terhadap produk kertas glossy untuk majalah. Dalam melaksanakan investigasi ini juga tidak terlepas dari tuntutan dari industri domestik Amerika Serikat yang merasa terancam
7

akan persaingan dari barang impor kertas glossy yang berasal dari Indonesia, China dan Korea. Diharapkan dengan diselaraskan atau dicabutnya US CDSOA akan memberikan tahap-an baru bagi Indonesia khususnya pengusaha eksportir barang ke Amerika Serikat untuk dapat memberikan kontribusi devisa lebih baik lagi untuk perkem-bangan perekonomian Indonesia. 2. Kasus Indonesia Korea Indonesia dalam menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa di WTO juga pernah menjadi penggugat utama dalam kasus dengan Korea Selatan (Korea) berkenaan dengan penerapan bea masuk anti dumping oleh Korea terhadap produk certain paper asal Indonesia yang diimpor oleh importir Korea. Melalui proses konsultasi yang dimulai pada tanggal 7 Juli 2004, Indonesia meminta Korea dalam hal ini Korean Trade Commis-sion (KTC) untuk mencabut bea tambahan anti dumping karena Indonesia memandang tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan anti dumping yang berlaku sesuai dengan ketentuan WTO. Proses konsultasi yang terjadi secara bilateral Indonesia Korea ternyata tidak berhasil mencapai kesepakatan. Indonesia kemudian mengajukan sengketa ini kepada DSB WTO dan meminta dibentuknya Panel untuk meneliti kasus anti dumping tersebut. Pada tanggal 28 Oktober 2005, Tim Panel

Lihat http://web.ita.doc.gov/ia/webapotrack.nsf/f892b9 9f06d85bac852569df00718b6e?OpenView&Star t=11.6.1&Count=30&ExpandView

memutuskan bahwa penerapan bea anti dumping oleh Korea terhadap produk certain paper asal Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada da-lam AD Agreement WTO8. Korea disarankan oleh Panel untuk merevisi aturannya dan melakukan perhitungan kembali bea masuk anti dumping yang dikenakan ke perusahaan kertas asal Indonesia. Hal ini menunjuk-kan kemenangan Indonesia da-lam kasus ini. Kasus ini belum selesai, dan Indonesia tetap terus berusaha di forum WTO untuk memaksa Korea melaksanakan rekomendasi Panel WTO. Dalam ketentuan DSB Korea diberikan waktu untuk melaksanakan rekomendasi panel dan dalam hal ini Korea telah melewati batas waktu yang ditentukan dalam menjalankan rekomendasi Panel. F. PENYELESAIAN SENGKETA WTO : UPAYA TAK KENAL LELAH Berdasarkan ketentuan DSB bila suatu negara tidak melaksanakan keputusan DSB, dalam hal ini adalah Appelate Body DSB, dalam jangka waktu tertentu (reasonable period of time/RPT) maka negara-negara penggugat dimungkinkan untuk melaksanakan tindakan yang berupa permintaan kompensasi kepada Amerika Serikat atas kebijakan US CDSOA kepada negara-negara penggugat ter-sebut. Apabila kompensasi tersebut tidak diberikan oleh Amerika Serikat
8

dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka negara-negara yang dirugikan dan menjadi pihak dalam gugatan kasus ini, dapat melakukan tindakan pembalasan atau retaliasi. Dalam kasus Indonesia Korea, juga telah terlihat perkembangan kasus yang menunjukkan Korea belum mau melaksanakan rekomendasi Panel WTO sesuai dengan harapan Indonesia. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk melakukan tindakan pembalasan. Namun hal ini perlu pengkajian lebih lanjut dan juga persiapan matang dari pihak Indonesia. Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja yang sudah berhasil melaksanakannya. Indonesia sebagai negara berkembang dan ingin memajukan perekonomiannya, khususnya dalam hal ini di bidang perdagangan, tentunya tidak ingin menyerah begitu saja terhadap proses yang rumit dan panjang dalam penyelesaian sengketa di WTO. Keberhasilan Indonesia dalam proses penyelesaian sengketa ini akan memberikan stigma positif terhadap posisi Indonesia dalam ma-salah penyelesaian sengketa per-dagangan internasional.

Lihat dokumen WT/DS312 di http://docsonline.wto.org/

Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan ( Bagian ke 2 )


Oleh: Sulistyo Widayanto

D. Putaran Perundingan Doha Sejak terbentuknya WTO, telah ada lima kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM) sebagai forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM WTO diselenggarakan setiap dua tahun diawali oleh penyelenggaraan di Singapura tahun 1996, kedua, di Jenewa tahun 1998, ketiga, di Seattle tahun 1999 dan keempat, di Doha, Qatar tahun 2001. KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003 dan keenam dilaksanakan di Hong Kong tahun 2005. KTM di Doha yang dihadiri 142 negara ini menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Doha telah menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. Deklarasi Doha memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan-badan di bawahnya (subsidiaries body). Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan Committees yang ada di WTO.

Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan "Agenda Pembangunan Doha" (Doha Development Agenda) mengingat di dalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negaranegara berkembang terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara kecil ke dalam WTO. Mengenai "perlakuan khusus dan berbeda" (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Per-lakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkret mengenai isu tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional. 1. Isu-Isu Yang Disetujui Untuk Dirundingkan Lebih Lanjut Deklarasi Doha mencanangkan segera dimulainya perundingan lebih lanjut mengenai beberapa bidang spesifik, seperti jasa, pertanian, tarif produk industri, lingkungan hidup, impelementasi, HAKI, penyempurnaan DSM dan aturan-aturan WTO (WTO Rules). 2. Isu-isu Implementasi Negara-negara berkembang telah terus-menerus menekan negara-negara maju untuk membahas masalah ketidakseimbang-

an yang muncul dari persetujuan Putaran Uruguay. Negara berkembang seringkali mempermasalahkan berbagai pasal dalam berbagai persetujuan WTO yang dianggap merugikan maupun kurang jelas sehingga menyulitkan negara berkembang dalam mengimplementasikan komitmennya di WTO. Mengingat persetujuan-persetujuan merupakan hasil perundingan pada masa Putaran Uruguay di mana belum disadari dampak pelaksanaannya maka diusulkan untuk mengklarifikasi atau memperbaiki beberapa pasal persetujuan WTO dalam perundingan lebih lanjut. Isu - isu implementasi yang dimuat dalam Decision on Implementation-Related Issues and Concerns dan menyangkut kepentingan negara berkembang antara lain: a. Pertanian Dibahas antara lain mengenai himbauan agar anggota WTO menghindari sedapat mungkin tindakan yang mempertanyakan notifikasi negara berkembang dalam program subsidi yang diperbolehkan dalam kategori green box. Ditekankan perlunya melanjutkan program kerja mengenai tariff-rate quota, bantuan pangan, serta bantuan teknik dan keuangan. b. Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures Pembahasan diarahkan untuk mengklarifikasi istilah longer timeframe for compliance pada pasal 10.2. Persetujuan SPS dengan memberikan jangka waktu yang lebih lama

bagi negara berkembang untuk menyelaraskan aturannya dengan tindakan SPS yang baru. Ditekankan pula pentingnya partisipasi negara berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar. c. Tekstil dan Pakaian Para anggota mencatat pentingnya upaya untuk: mengurangi restriksi quota dan mempercepat integrasi produk-produk tekstil ke WTO, memberi pertimbangan lebih dahulu sebelum memulai investigasi anti-dumping, memberitahukan perubahan dalam rules of origin, serta meningkatkan growth on growth provision satu tahap lebih cepat. d. Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/ TBT) Dimungkinkan untuk menunda penerapan aturan baru TBT selama 6 bulan, meningkatkan partisipasi negara-negara berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar. e. Anti-Dumping Disepakati untuk meneliti secara hati-hati permintaan untuk investigasi antidumping terhadap produk yang sama dari negara yang sama (tidak memulai kasus anti dumping dalam 1 tahun apabila ternyata ada temuan negatif untuk produk yang sama dari negara yang sama). Hal ini untuk menghindari terjadinya trade harrasment

di mana industri di negara tertentu berulang kali memaksakan dilakukannya investigasi dumping meskipun tuduhan dumping tersebut tidak terbukti (merupakan upaya untuk mematikan saingan). f. Custom Valuation Disetujui untuk mencatat permintaan perpanjangan masa transisi Persetujuan Custom Valuation, mempertimbangkan kondisi khusus negara terbelakang, meningkatkan kerjasama di antara otoritas bea cukai untuk menghindari penipuan. g. Rules of Origin Diupayakan mengharmonisasi persyaratan asal barang yang diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan. h. Subsidies and Countervailing Measures Disepakati untuk mengklarifikasi annex VII(b) dari Persetujuan Subsidies and Countervailing Measures (SCM) di mana negaranegara yang tercantum dalam annex VII (b) tersebut tetap dapat memberikan subsidi selama GNP perkapitanya belum melewati US$ 1.000 selama tiga tahun berturutturut. i. Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs) TRIPs Council diminta untuk mempelajari lebih lanjut cakupan dan modalitas untuk complaints. Di samping itu ditekankan pentingnya alih

teknologi yang harus dilakukan negara maju sesuai komitmennya di bawah pasal 66.2 Persetujuan TRIPs. j. Special and Differential (S&D) Treatment Para anggota sepakat untuk mencari jalan agar S&D ini dapat lebih efektif dan dapat diubah menjadi lebih mengikat (mandatory). E. Deklarasi Hong Kong dan Partisipasi Indonesia KTM ke enam WTO telah diseleng-garakan pada tanggal 13-18 Desember 2005 di Hong Kong. Tujuan penyeleng-garaan KTM ini adalah untuk mencapai kesepakatan Agenda Pembangunan Doha yang dijadwalkan berakhir pada bulan Desember tahun 2006. KTM VI WTO telah berhasil menyepakati Program Kerja Doha yang dituangkan dalam Ministerial Declaration. Deklarasi Menteri tersebut secara umum telah menghasilkan kemajuan yang berarti, namun negara-negara anggota, termasuk Indonesia masih perlu bekerja lebih keras untuk menyelesaikan perundingan lanjutan di semua isu guna mencapai tujuan Agenda Pembangunan Doha. Pokokpokok hasil kesepakatan dimak-sud adalah sebagai berikut: 1) Bidang Pertanian a. Pilar Perundingan. Perundingan di bidang pertanian mencakup 3 (tiga) pilar utama, yaitu subsidi domestik termasuk de minimis; subsidi ekspor termasuk food aid, State Trading Enterprises; dan akses pasar termasuk Special Products (SP) dan Special

Safeguard (SSM).

Mechanism

b. Subsidi Ekspor. Dalam isu subsidi ekspor, Indonesia menerima dicantumkannya batas akhir penurunan subsidi ekspor sampai dengan tahun 2013, walaupun Indonesia dan kelompok negara yang tergabung dalam G-20 menginginkan agar subsidi ekspor tersebut dihapuskan pada tahun 2010. Disepakati pula dalam Deklarasi Menteri tersebut bahwa realisasi penghapusan ekspor secara substansial harus dilakukan pada akhir paruh pertama periode implementasi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa meskipun ditetapkan batas akhir tahun 2013, namun realisasi penghapusan subsidi pertanian di negara maju tetap sesuai dengan permintaan negara berkembang yaitu tahun 2010. Hal ini merupakan kompromi yang tetap memenangkan kepentingan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. c. Special Products/SP dan Special Safeguard Mechanism/SSM. Dalam isu SP dan SSM, Indonesia sebagai koordinator G-33 telah berhasil memasukkan konsep dimaksud dalam Deklarasi Menteri. Ditegaskan dalam Deklarasi tersebut bahwa negara berkembang diberikan fleksibilitas untuk menentukan sendiri jumlah komoditi SP
9

dengan berpatokan pada kriteria ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Hal itu berarti produk-produk yang termasuk dalam SP tidak diikutkan dalam program penurunan tarif. Negara berkembang juga berhak menggunakan mekanisme SSM yang didasarkan pada indikator volume impor dan harga produk (volume trigger and price trigger) yang penjabarannya akan ditindaklanjuti setelah pertemuan Hong Kong. Indonesia pada bulan Maret 2007 menjadi tuan rumah Konperensi Tingkat Menteri G-33. Perundingan mengenai G-33 hingga saat ini sudah sangat maju pesat meskipun masih memerlukan adanya kontribusi nyata dari para anggota mengenai prosentase penurunan tarif dan indikator penentuan SP diantara para anggota G-33 itu sendiri9. 1) Bidang Akses Pasar Non Pertanian (Non Agriculture Market Access-NAMA)
Presiden RI membuka Pertemuan Tingkat Menteri G-33 dan dihadiri juga oleh 130 delegasi termasuk diantaranya para Menteri dan Perwakilan dari 29 negara anggota G-33. Pertemuan juga dihadiri oleh Menteri dari Brazil yang merupakan koordinator G-20, Jepang yang mewakili G-10, European Commissioner for Trade dan Direktur Jenderal WTO. Lihat press release Presiden RI membuka G33 Ministerial Meeting,dalam website Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/index.p hp?module=news_detail&news_content_id=531 &detail=true

a. Di bidang NAMA perundingan difokuskan pada pembahasan mengenai formula penurunan tarif termasuk prinsip less than full reciprocity; fleksibilitas /Special and Differential Treatment (S&D treatment); dan treatment of unbound tariff. Di samping itu juga perundingan membahas isu pengurangan tarif sektoral, cakupan produk non pertanian, serta hambatan non tarif. b. Dalam formula penurunan tarif, Deklarasi Menteri telah menetapkan Swiss Formula dengan koefisien lebih dari satu (Swiss Formula with coefficients). Formula ini memungkinkan negara yang memiliki tarif tinggi mengalami penurunan tarif terbesar. Hasil ini telah sejalan dengan posisi Indonesia yang pada prinsipnya menginginkan besaran koefisien yang berbeda dalam pe-nurunan tarif antara negara ber-kembang dan negara maju. Deklarasi juga menyepakati untuk mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan negara berkembang dengan cara perbedaan perlakuan penurunan komitmen (less than full reciprocity). Hasil tersebut merupakan posisi yang senantiasa diperjuangkan oleh Indonesia. c. Mengenai fleksibilitas dan unbound tariff, telah diakui pentingnya konsep S & D Treatment dan prinsip less than full reciprocity dalam komitmen penurunan tariff termasuk didalamnya fleksibiltas untuk negara berkembang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari modalitas.

Dengan masuknya fleksibilitas dalam teks Deklarasi berarti negara berkembang mendapatkan jangka waktu implementasi penurunan tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu dari formula penurunan tarif, dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah produk tertentu (besaran persentase akan dirundingkan kemudian). d. Berkaitan dengan penghapusan tarif sektoral, Indonesia dapat menerima penghapusan tarif sektoral yang bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan keinginan Indonesia yang menolak gagasan penghapusan tarif sektoral secara wajib. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut efektifitas dalam perluasan akses pasar secara global maupun manfaatnya terhadap pengembangan industri nasional. Disepakati bahwa penetapan modalitas harus se-lesai paling lambat tanggal 30 April 2006 dan jadwal penyampaian draft komprehensif berdasarkan modalitas paling lambat tanggal 31 Juli 2006. 3) Bidang Perdagangan Jasa a. Prinsip perundingan Pada dasarnya Deklarasi Menteri bersifat lebih fleksibel karena liberalisasi tetap akan dilakukan secara progresif berdasarkan pada tingkat pembangunan nasional negara anggota WTO. Para Menteri juga menyepakati bahwa dalam melakukan liberalisasi perundingan akan dilanjutkan berdasarkan: (a) negotiating guide-lines and procedures tanggal 28 Maret 2001, (b) modalitas S&D

treatment tanggal 3 September 2003, dan (c) schedulling guide-lines tanggal 23 Maret 2001. b. Rules and Emergency Safeguard Measures. Kemajuan lain yang terdapat dalam Deklarasi Menteri adalah telah diakomodasinya kepenti-ngan ekspor negara berkembang yaitu negara maju diminta untuk meningkatkan komitmennya untuk kategori Penyedia Jasa Kontrak (Contractual Services Suppliers) bagi jasa profesional dan jasa-jasa lainnya tanpa melalui investasi. Hal ini akan memudahkan negara berkembang untuk akses pasar tenaga kerja di luar negeri khususnya di negara maju. Deklarasi Menteri juga telah mengakomodasi kepentingan Indonesia untuk penyelesaian perundingan bidang Rules dan Emergency Safeguard Measures untuk perdagangan jasa. 1) Bidang TRIPs/HAKI Deklarasi Menteri telah mengakomodasi usulan negara berkembang untuk perluasan cakupan produk indikasi geografis (Geographical Indication Products-products yang memiliki ciri khas dari suatu wilayah) yang sejalan dengan kebi-jakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan akses pasar produk khas daerah. Selain itu, dalam hubungannya dengan penyelesaian sengketa selama masa transisi, Deklarasi Menteri menyepakati bahwa sebelum

selesai ditetapkannya modalitas penyelesaian sengketa, tidak akan ada negara berkembang yang dapat diajukan ke badan penyelesaian sengketa-WTO apabila terjadi pelanggaran HAKI. Selain hal-hal tersebut di atas para Menteri juga sepakat untuk melanjutkan perundingan untuk transfer teknologi atas Persetujuan TRIPs yang akan sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka penguasaan teknologi. 5) Bidang TRIPs dan Public Health Deklarasi Menteri telah menyepakati untuk melakukan amandemen pasal 31 TRIPs Agreement dalam rangka mempermudah negara berkembang dan negara kurang berkembang untuk mengakses obat-obatan dengan harga murah. Dengan demikian negara berkembang, termasuk Indonesia, diperbolehkan melakukan ekspor apabila telah memiliki kapasitas untuk produksi obat-obatan untuk tujuan ekspor. 6) Bidang Trade Facilitation Dalam rangka kelancaran arus barang di pelabuhan dan di pabean untuk tujuan ekspor dan impor telah disepakati dalam Deklarasi Menteri untuk melakukan perundingan lanjutan guna membahas elemen-elemen trade facilitation seperti: single window, single document, national focal point, border coordination, appeal procedures, esta-blishment code of conduct bagi staf kepabeanan, multilateral mechanism for the

exchange and handling of information, technical assistance dan capacity building untuk pembangunan infrastruktur kepabeanan dan kepelabuhanan. 7) Bidang Rules Deklarasi Menteri memuat ke-sepakatan untuk meneruskan perundingan penyempurnaan peraturan anti-dumping/anti subsidi serta pengaturan subsidi perikanan dan kerjasama perdagangan regional. Untuk isu antidumping dan anti subsidi, kesepakatan ini telah mengakomodir kepentingan Indonesia yang kha-watir akan penggunaan instrumen anti-dumping dan antisubsidi yang berlebih-lebihan bahkan cenderung ke arah hambatan perdagangan non-tarif. Sementara untuk isu subsidi perikanan, Deklarasi telah memuat concern Indonesia yaitu mengenai pelarangan bentuk subsidi perikanan yang menyebabkan over capacity dan over-fishing serta pemberlakuan ketentuan S&D treatment karena sektor perikanan Indonesia merupakan salah satu sektor penting bagi ketahanan pangan dan kelestarian sumber daya hayati laut. Sedangkan usulan Indonesia mengenai pemberdayaan masyarakat nelayan pesisir akan terus diperjuangkan pada pe-rundingan lanjutan. 8) Bidang Perdagangan dan Lingkungan, Isu Pembangunan dan S&D Treatment i. Multilateral Environmental Agreements (MEAs) Deklarasi Menteri memuat kesepakatan untuk mengintensifkan perundingan guna

memenuhi mandat Agenda Pembangunan Doha. Para Menteri juga mengakui kemajuan yang dicapai anggota dalam penyampaian submisi mengenai keterkaitan antara ketentuan WTO yang ada dan kewajiban perdagangan spesifik sebagaimana diatur dalam Multilateral Environmental Agreements (MEAs) serta kemajuan dalam mengembangkan prosedur pertukaran informasi antara Sekretariat MEAs dan Komite WTO yang relevan. Hal ini sesuai dengan posisi Indonesia yang mendukung pembentukan prosedur untuk melaksanakan pertukaran informasi secara reguler dan informal. Namun demikian, Indonesia tetap berpandangan bahwa sekiranya terdapat upaya untuk memformalkan mekanisme ini maka pembahasannya harus menjadi bagian dari pembahasan penyempurnaan mekanisme kerja Komite Perdagangan dan Lingkungan secara keseluruhan. j. Isu S&D Treatment. Deklarasi Menteri menegaskan kembali bahwa ketentuan S&D merupakan bagian yang integral dari seluruh Perjanjian WTO dan sepakat untuk membuatnya menjadi lebih precise, efektif dan operasional. Hal ini telah sejalan dengan landasan posisi Indonesia untuk isu ini. Indonesia juga telah memberikan dukungan pada proposal S&D Treatment yang

disampaikan oleh negaranegara kurang ber-kembang (Least Developed CountriesLDCs) dan pada akhir pertemuan para Menteri sepakat untuk menerapkan akses pasar yang bebas bea masuk dan bebas kuota bagi komoditas yang ber-asal dari negara LDCs pada tahun 2008. 1) Isu Komoditas Deklarasi Menteri telah mengakui bahwa komoditi pertanian dan perkebunan merupakan kepentingan ekspor negara berkembang, namun kepentingan negara berkembang ini selalu terganggu oleh faktor fluktuasi harga. Oleh karena itu, Deklarasi Menteri ini memberikan mandat kepada Komite Perdagangan dan Pembangunan untuk mengefektifkan kerjasamanya dengan organisasi internasional lainnya dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk penstabilan harga produk pertanian dan perkebunan. Dalam kesempatan pertemuan KTM VI, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, memimpin pertemuan harian kelompok G-33 yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) negara berkembang10 serta
10

menghasilkan Komunike Bersama pada tanggal 13 Desember 2005. Selain menghadiri pertemuan utama sebagai Ketua DELRI, Menteri Per-dagangan juga melakukan beberapa pertemuan dengan kelompok negara anggota G-20 dan G-90 yang terdiri atas negara berkembang Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di sela-sela jadwal padat pertemuan KTM, Menteri Perdagangan juga berkesempatan untuk mengadakan konpe-rensi pers dan memberikan briefing khusus tentang posisi Indonesia kepada wartawan asing dan dalam negeri, serta melakukan beberapa pertemuan bilateral dengan negara-negara Inggeris, Iran, dan Pakistan. Menteri Perdagangan RI juga berpartisipasi aktif dalam pertemuan Chairmans Consultative Group (CCG), atau yang dikenal dengan pertemuan Green Room. Pertemuan ini melibatkan 26 negara yang dianggap mewakili 149 negara ang-gota dengan berbagai kepentingan di berbagai sektor atau issues yang dirundingkan. Dalam pertemuan ini isu-isu pokok dibahas dan dirundingkan setiap malam sepanjang pertemuan berlangsung, bahkan dalam beberapa kesempatan pertemuan ini berlangsung hingga pagi keesokan harinya. Diundangnya Indonesia ke dalam pertemuan Green Room ini merupakan cermin pengakuan negara-negara penting anggota WTO bahwa Indonesia ikut memainkan peranan kunci dalam
Turkey, Uganda, Zimbabwe. Venezuela, Zambia, dan

Negara yang tergabung dalam kelompok G-33 adalah: Antigua dan Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Botswana, China, Cote dIvoire, Congo, Cuba, Dominican Republic, El Salvador, Grenada, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Jamaica, Kenya, Korea, Madagascar, Mauritius, Mongolia, Mozambique, Nicaragua, Nigeria, Pakisatan, Panama, the Philippines, Peru, saint Kitts, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania, Trinidad and Tobago,

membentuk format perdagangan multilateral di masa datang. A. Penutup Berdasar uraian di atas, terdapat tiga keadaan menarik yang perlu mendapat perhatian kita semua. Pertama adalah tumbuhnya minat banyak kalangan di dalam negeri mengenai perkembangan sistem perdagangan internasional. Hal ini merupakan pertanda positif akan semakin kuatnya posisi runding Indonesia dengan munculnya keterlibatan pemikiran strategis apabila kalangan akademisi dapat memberi kontribusi mengenai berbagai issue dalam sistem perdagangan internasional. Kedua adalah fakta masih terbatasnya pemahaman masyarakat, pejabat pemerintah di daerah dan termasuk kalangan akademik atas sistem perdagangan internasional. Keadaan ini menjadi penyebab tidak optimalnya pemanfaatan peluang dan ketentuan perdagangan WTO sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan bangsa. Peran aktif para pemerhati WTO sangat diperlukan ter-utama untuk mempercepat dan memperluas sosialisasi hasil perundingan dan pemahaman mengenai implementasi sistem perdagangan internasional terutama sebagai penyedia informasi tertulis. Sebagaimana kita ketahui bahwa literatur berbahasa Indonesia mengenai WTO, AFTA, maupun APEC masih sangat terbatas. Ketiga adalah fakta masih terbatasnya keterlibatan kalangan masyarakat di luar pemerintah sebagai penyedia pemikiran alternative atau mitra dialog

Pemerintah di dalam menghadapi pe-undingan perdagangan internasional baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Keterbatasan ini perlu segera di atasi melalui upaya mempercepat peningkatan wawasan dan reposisi kedudukan kalangan akademik menjadi partner pemerintah dalam menanggapi perubahan internasional di bidang perdagangan. Sebagai penutup kita semua perlu saling mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Ketentuan WTO melalui Undangundang No. 7 tahun 1994. Adanya ratifikasi tersebut merupakan pernyataan bahwa Ketentuan dan Isi Persetujuan WTO menjadi bagian dari peraturan perundangan nasional. Sudah saatnya, kita memanfaatkan seoptimal mungkin ketentuan WTO sebagai instrumen peraturan perdagangan nasional. Oleh sebab itu, diskusi UNDIP berthema Perkembangan WTO dan Kepentingan Nasional Indonesia akan menjadi langkah awal yang baik untuk mengamankan dan memajukan kesejahteraan bangsa melalui sarana perdagangan internasional.

DAMPAK IMPLEMENTASI PERJANJIAN ASEAN-CHINA FTA (FREE TRADE AREA) TERHADAP EKSPOR-IMPOR INDONESIACHINA
(Bagian ke-2)
Oleh: Siti Tri Joelyartini

semakin efisien dan produk industrinya yang capital intensive dengan produk industri yang bernilai tambah sebagai salah satu dampak masuknya FDI/MNC (Foreign Direct Investment/Multinational Corporation) ke China sehingga bukan tidak mungkin produk Indonesia tergusur produk China. Dampak Implementasi Perjanjian ASEAN-China FTA terhadap EksporImpor Indonesia Apabila diamati perdagangan ASEAN-China selama tahun 2000 terjadi defisit bagi ASEAN sebesar 3,9 US$ milyar. Ada harapan bagi ASEAN dengan FTA dapat meningkatkan total perdagangan dengan mempertimbangkan masing-masing daya saing produknya sehingga dapat memperluas pasar ke China. Pada awal implementasi ACFTA tahun 2004, total perdagangan ASEANChina semakin besar yaitu 81,8 US$ milyar meningkat sebesar 153,3% dari 32,3 US$ milyar tahun 2000 dengan kondisi masih terjadi defisit bagi ASEAN senilai 4,6 US$ milyar. Selanjutnya total perdagangan ASEANChina semakin meningkat tahun 2005 menjadi 113,4 US$ milyar dengan kondisi tetap defisit bagi ASEAN sebesar 8,87 US$ milyar. (Tabel 4). Keadaan sebaliknya terjadi dalam perdagangan Indonesia-China yang menunjukkan surplus perdagangan bagi Indonesia. Dapat dilihat juga bahwa total perdagangan Indonesia yang selalu meningkat selama periode 2000-2005, sementara trendnya selama lima tahun terakhir (2001-2005) 31,64% dengan nilai sebesar 12,6 US$ milyar dan kontribusi ekspor non migas senilai 3,95 US$ milyar atau 31,66% dari total perdagangan pada tahun 2005. Sehingga dapat dikatakan secara umum komoditi ekspor non migas Indonesia cukup dapat

Manfaat, Tantangan dan Ancaman Perjanjian ASEAN-China FTA bagi Indonesia Bagi Indonesia dengan menandatangani perjanjian yang telah disepakati diharapkan tercipta peluang ekspor yang semakin meningkat dengan tingkat tarif relatif rendah dan jumlah penduduk China sebesar 1,4 milyar (2004), GDP sebesar US$ 1100 (US$M), prediksi GDP/kapita US$ 3.000 (2020); meningkatnya kepastian bagi produk unggulan Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar China; disamping terjadinya dynamic effect dari integasi ekonomi dengan meningkatnya investasi di Indonesia; konsumen juga mendapatkan barang sesuai yang diinginkan dengan harga relatif murah. Namun demikian Indonesia juga menghadapi tantangan dengan menghadapi pesaing dari ASEAN yang lebih efisien seperti Vietnam yang relatif efisien dalam labor intensive dibandingkan dengan Indonesia. Sehingga Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi agar produktifitas meningkat, menciptakan ilkim usaha yang kondusif sehingga daya saing Indonesia meningkat, antara lain dilakukan melalui penghapusan ekonomi biaya tinggi, termasuk penyederhanaan perijinan; memperluas akses pasar; meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk promosi pemasaran. Sedangkan ancaman yang dihadapi antara lain yaitu sektor pertanian China

bersaing dengan negara ASEAN dalam menembus pasar China. Tabel 4.


NERACA PERDAGANGAN ASEAN-CHINA, INDONESIACHINA TAHUN 2000-2005
(US$ MILYAR)

URAIAN ASEAN-CHINA: TOTAL PERDAGANGAN EKSPOR IMPOR NERACAPERDAGANGAN INDONESIA-CHINA: TOTAL PERDAGANGAN EKSPOR IMPOR NERACA PERDAGANGAN

2000 32,8 14,7 18,1 - 3,4 4,8 2,8 2,0 0,8

2004 81,8 38,6 43,2 - 4,6 8,7. 4,.6 4,1 0,5

2005 113,4 52,3 61,1 - 8,8 12,6 6,7 5,8 0,9

PERUB (%) 38,6 35,5 41,4

44,8 45,6 41,5

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Pusdata Dep. Perdagangan) dan Sekretariat ASEAN.

Produk EHP Apabila melihat perkembangan ekspor utamanya produk EHP dalam kerangka ASEAN-China FTA selama tahun 2002-2005 menunjukkan perkembangan nilai yang semakin meningkat yaitu menjadi sebesar 314,8 juta US$ pada tahun 2005 atau meningkat 21 % dibandingkan tahun sebelumnya. Pada periode selanjutnya ekspornya juga meningkat 38,2% dari 250,8 juta US$ selama Januari-Okt 2005 menjadi 346,7 juta US$ pada periode yang sama 2006. Sementara dari keseluruhan produk produk dalam EHP beberapa produk yang melonjak nilai ekspornya secara signifikan antara lain yaitu: Cassava/Maniok (HS 071410) mening-kat 39,4 % dibandingkan tahun 2004 nilainya menjadi 19,750 juta US$ periode 2005; Palm Kernel (HS 151321) naik sebesar 71,1% dibandingkan tahun -

2004 ni-lainya menjadi 83,4 juta US$ periode 2005; Shrimps and prawns (HS 030613) meningkat 21,6 % dibandingkan tahun 2004 nilainya menjadi 15,4 juta US$ periode 2005; Soap (HS 340120) meningkat 154 % dibandingkan tahun 2004 nilainya menjadi 11,5 juta US$ periode 2005.

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa dengan implementasi ACFTA menguntungkan bagi Indonesia terutama bagi ekspor produk EHP. Namun demikian apabila dilihat nilai impornya selama lima tahun terakhir semakin meningkat hingga menjadi 181, 4 juta US$ tahun 2005 walau dibandingkan tahun sebelumnya menurun 3,1 %. Selanjutnya apabila diperhatikan impor Indonesia menunjukkan pergerakan yang meningkat yaitu pada Januari-Oktober 2006 melewati angka impor tahun 2005 atau menjadi 241, 2 juta US$. Tetapi

kondisi ini tidak perlu dikhawatirkan mengingat Indonesia masih mengalami surplus dalam perdagangan produk EHP sebesar 105,5 juta US$ selama JanuariOktober 2006. Sebagai gambaran, beberapa impor produk EHP Indonesia yang cukup besar adalah: Garlic, fresh or chilled (HS 070320) meningkat impor Indonesia sebesar 21,6% menjadi 63,9 juta US$ tahun 2005 dibandingkan tahun sebelumnya. Apples, fresh (HS 080810) naik 21,7% dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 42,7 juta US$ tahun 2005. Pears and quinces, fresh (HS 080820), nilai impor Indonesia tahun 2005 sebesar 30,5 juta US$ atau naik 20,8% dibandingkan tahun 2004. Mandarins (including tangerines and satsumas); clementines, wilkings and similar citrus hybrids, fresh or dried (HS 080520), impornya naik menjadi 17,0 juta US$ tahun 2005 atau mengalami peningkatan sebesar 23,3 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Normal Track Juli 2005-Juli 2006. Namun karena keterbatasan data disini hanya dapat dilihat nilai ekspor JanOktober 2005 sebesar 5.120.939.151 US$ yang meningkat menjadi sebesar 6.536.518.599 US$ pada periode yang sama tahun 2006. Untuk mengkaji sejauhmana dampak implementasi produk yang tercakup dalam Normal Track perlu dilakukan pengkajian mendalam karena berbagai variabel banyak berpengaruh terhadap ekspor Indonesia termasuk pemanfaatan SKA form E. Namun dengan melihat perkembangan realisasi pemanfaatan SKA Form E menunjukkan lonjakan peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari 435 tahun 2005 menjadi 2.452 SKA tahun 2006 atau meningkat 463,7%. Ini merupakan indikator bahwa para eksportir memanfaatkan peluang preferensi yang disepakati antara Indonesia dan China dalam kerangka ASEAN-China FTA yang diharapkan dapat menggenjot ekspor Indonesia ditengah kekhawatiran derasnya penetrasi pasar produk China ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan yang kurang menggembirakan dari neraca perdagangan non migas Indonesia-China yang mengalami defisit sebesar 591.507,7 ribu US$dimana impor non migas Indonesia sebesar 4.551.270,3 ribu US$ pada tahun 2005. Sensitive Track Saat ini belum dapat dilihat dampaknya karena ekspor-impor yang terjadi antara Indonesia-China untuk produk ini menggunakan skema MFN tariff. Produk andalan Indonesia yang oleh China dimasukkan dalam Sensitive dan Highly Sensitive antara lain Palm Oil dan turunannya (HS 1511); Karet Alam (HS 4001); Plywood, vennered panels (HS 4412). Sebaliknya, Indonesia juga

Produk Normal Track Seperti disebutkan sebelumnya, implementasi program penurunan bertahap dan penghapusan tarif bea masuk produk-produk yang tercakup dalam Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005, dengan cakupan produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke China diantaranya produk Coal (HS 2701); Polycarboxylic acids (HS 2917); Wood (HS 4409); Copper wire (HS 7408). Idealnya untuk melihat dampak implementasi ACFTA dalam jangka pendek paling tidak dapat dilihat dari perkembangan ekspor produk

memasukkan produk-produk unggulan Ekspor China ke Indonesia antara lain Barang Jadi Kulit; tas, dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik; Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware. Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa Indonesia telah sedemikian rupa menyusun posisi untuk mempersiapkan daya saing terhadap produk dalam negeri, namun masih sering ada pihak-pihak yang menyudutkan pemerintah Indonesia bahwa akibat liberalisasi ASEAN-China FTA, Indonesia kebanjiran produk buatan China, baik berupa produk tekstil, mainan anak-anak, sepatu, alas kaki, dan produk lainnya. Padahal apabila dicermati dengan melihat cakupan produk dalam Sensitive Track sesungguhnya produk-produk tersebut masuk didalamnya, yang baru akan diimplementasikan penurunan tarifnya mulai tahun 2012. Jadi tidak benar bahwa produk buatan China tersebut membanjiri Indonesia dikarenakan FTA ASEAN-China tetapi produk-produk tersebut masuk ke Indonesia melalui jalur di luar skema tersebut dengan kata lain via perdagangan biasa. Perkembangan dan Permasalahan dalam Implementasi Perjanjian ASEAN-China FTA Dalam mengimplementasi kesepakatan ASEAN-China untuk produkproduk yang tercakup EHP tersebut

menghadapi beberapa permasalahan dan perkembangan sebagai berikut: Stearic Acid. Pada awalnya Indonesia tidak memasukkan produk tersebut kedalam daftar produk-produk yang tercakup dalam EHP sehingga untuk ekspor ke China dikenakan tariff sebesar 16%. Padahal ekspor produk ini 12 cukup besar ke China sekitar 60% dari total produksi atau sekitar 700.000 ton. Sementara Malaysia yang merupakan pesaing utama Indonesia memperoleh preferensi penuruan tariff sebesar 10%. Akibatnya agar tetap bersaing dengan Malaysia eksportir Indonesia menurunkan harga 6% atau sekitar US$ 30 per ton dari harga normal sekitar US$ 500 per ton. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila ada koordinasi yang lebih baik antara institusi terkait dan asosiasi industri dimaksud. Disamping itu dalam menyampaikan posisi Indonesia diperlukan kemampuan analisa secara komprehensif terhadap produk-produk ekspor ke negara tujuan termasuk pesaing Indonesia ke negara tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalis perkembangan ekspor-impor Indonesia dengan dunia dan sejauhmana daya saingnya, juga koordinasi dengan pelaku bisnis untuk mengetahui apa yang diharapkan dengan kerjasama ASEAN-China FTA. Namun demikian akhirnya China setuju produk Steatic Acid masuk dalam cakupan produk EHP Kakao. Semula Indonesia hanya memasukkan Bubuk Kakao (HS 1806.10.00.00) dalam cakupan produk EHP. Indonesia berkeinginan untuk memasukkan produk Kakao lainnya yaitu cocoa powder not containing added sugar (HS 1803.20.000 : cocoa cake; HS 1804.00.000 : cocoa butter; HS 1805.00.000 : cocoa powder; HS 1803.10.000 : cocoa liquor) yang akhirnya disepakati dengan China

menawarkan konsesi tariff bebas bea masuk (0%) atas produk cocoa powder Indonesia ke China atau turun dari 15 %.yang berlaku saat itu. Sebagai kompensasinya China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder (HS 0904.20.10.00), atau turun dari 5% yang berlaku saat itu. Dengan kesepakatan tersebut Indonesia berpeluang untuk meningkatkan ekspor produk kakao olahan dimaksud ke China mengingat pasar China yang sangat besar., walau Malaysia yang merupakan pesaing utama produk kakao Indonesia telah lama menikmati bea masuk 0% ke RRC untuk produk kakao olahan. Sementara China merupakan salah satu pasar terbesar Cacao Indonesia dimana ekspor Indonesia hingga pertengahan tahun 2006 mencapai $506 juta. Buah-buahan. Indonesia dan China akan mendiskusikan non tariff barrier sehubungan dengan ditolaknya ekspor tiga komoditi buah-buahan Indonesia ke China yaitu banana, longan dan mangga. Padahal dalam EHP sudah disepakati bahwa ketiga komoditi tersebut merupakan komoditi EHP. Ditolaknya ketiga komoditi tersebut karena tidak memenuhi standar kesehatan produk tersebut ke China. Indonesia mengusulkan untuk dibicarakan pada tingkat Menteri. Apabila dilihat data ekspor, tahun 2005 ekspor buah Indonesia mencapai US$ 2.7 juta ke China sementara impornya US$ 100,9 juta. Kesimpulan Secara umum implementasi ASEANChina FTA memberikan dampak terhadap ekspor Indonesia yang meningkat terutama produk yang tercakup dalam EHP. Dengan segala konsekuensinya dalam implementasi ASEANChina FTA untuk meningkatkan akses

pasar, Indonesia menghadapi baik peluang, tantangan maupun ancaman. Saran Dalam rangka meningkatkan akses pasar, Pemerintah Indonesia harus turut secara aktif dalam perundingan untuk menyelesaikan permasalahan implementasi perjanjian ASEANChina. Pemerintah Indonesia perlu memberikan iklim usaha yang kondusif untuk membantu dunia usaha menciptakan produk yang efisien sehingga menghasilkan produk dengan biaya yang murah. Perlu memperhatikan rantai tata niaga dari produksi hingga pengiriman barang di pelabuhan melalui pemangkasan birokrasi yang tidak efisien serta melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dengan lebih erat sehingga ada kesamaan antara peraturan Pusat dan Daerah juga koordinasi yang lebih intensif dengan pihak-pihak yang terkait dengan produksi dan ekspor. Menghadapi implementasi ASEANChina FTA diperlukan koordinasi lebih erat antara pemerintah/instansi terkait selaku sektor pembina dengan pelaku usaha untuk mendorong kegiatan produksi mereka dalam menghasilkan produk yang memiiliki daya saing. Menciptakan iklim investasi yang menarik, aman dan dengan kepastian hukum yang terjamin untuk menarik investor dari China dan ASEAN. Melakukan sosialisasi secara terus menerus terhadap perkembangan hasil perundingan kerjasama ACFTA.

DAFTAR PUSTAKA -------Badan Pusat Statistik (Data diolah Departemen Perdagangan). Data Ekspor Impor Tahun 2002-2005. -----------.Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Departemen Perdagangan. Data Realisasi SKA Per IPSKA Tahun 2005-2006. Salvatore, Dominic. International Economics. 2004. Eight Edition. John Wiley & Sons, Inc. the United States of America. Tambunan, Tulus. Is ASEAN Still Relevant in The Era of The ASEANChina FTA? Paper Dipersiapkan untuk the Asia-Pacific Economic Association (APEA) Second Conference, Seattle, USA, July 29-30, 2006, Kadin Indonesia-Jetro.

Djiwandono, Soedrajat. Bebas ASEAN-Cina. Republika.

2006. Pasar Harian

----------Laporan-laporan Pertemuan Kerjasama Perdagangan ASEAN Tahun 2002-2006. Sekretariat ASEAN. Jakarta. Purwoko, Chamdan. FTA ASEANChina, Awal Kebangkrutan Industri Oleokimia. Analisa Manufaktur. Jumat, 13 Agustus 2004. Tarmidi, Lepi T. Indonesia Menghadapi Tantangan Baru Arus Globalisasi Makalah untuk Seminar Akademik Ekonomi III, FEUI, Jakarta. 6-7 Desember 2006. ----------.Beberapa Harian Ibukota. 2006. Jakarta.

PERAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ( HKI ) BAGI KEMAKMURAN BERSAMA Oleh: Muhammad Haris
Sejauh mana hubungan Hak Kekayaan Intelektual dalam meningkatkan kemakmuran? Pertanyaan sederhana ini pada kenyataannya tidak mudah diterima bagi masyarakat Indonesia. Polarisasi kepentingan antara aparat penegak hukum, tujuan komersial dan keberadaan HKI itu sendiri justru melahirkan pertanyaan baru: Sejauhmana hubungan HKI dalam meningkatkan kemakmuran secara feodalistik? Meningkatkan kemakmuran untuk kepentingan pribadi adalah bentuk pendapatan seperti zaman feodal. Dalam lingkungan masyarakat majemuk dan budaya kekeluargaan yang cukup kuat di Indonesia, perlu wawasan global untuk memberikan gambaran bahwa HKI bukan lagi pencarian keuntungan pribadi.. Pribadi atau Kelompok yang secara legal mendapat perlindungan HKI bukan berarti akan menguras orang lain yang menggunakan karyanya. Dalam hal ini, seiring dengan Era Reformasi, WTO 2020, perlu pandangan baru atau Paradigma HKI bagi masyarakat Indonesia guna memandang Intelectual Property Rights ( IPR ) sebagai bagian dari Budaya, Pembangunan Nasional dan kesejahteraan bersama. Gambaran Umum Sejak 1 Januari 2000 Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan Hak Kekayaan Intelektual ( HKI). Dalam hal ini Indonesia juga telah menyesuaikan Undang-undang di bidang HKI, yakni Undang-undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Hak Paten dan

Undang-undang tentang Merek. Perubahan ketiga undang-undang tersebut dituangkan dalam Undang-undang No. 12, Undang-undang No. 13 dan Undangundang No. 14 Tahun 1997. Menurut A. Zen Umar, SH. LLM , HKI adalah Hak Kekayaan Intelektual yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia, misalnya daya cipta, karsa, rasa dan temuan pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi. Sedangkan arti penting dari HKI adalah : a. Sebagai suatu system, HKI berfungsi sebagai sarana pemberian hak kepada pihak-pihak yang telah memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan bagi para pemegang hak tersebut. b. HKI adalah alat pendukung pertumbuhan ekonomi sebab dengan adanya perlindungan terhadap HKI akan membangkitkan motivasi manusia untuk menghasilkan karya intelektual. Dalam perkembangannya HKI tidak lagi mencakup bidang-bidang tradisional seperti Hak Cipta, Paten, dan Merek, tetapi juga bidang-bidang kontemporer seperti Desain Industri ( Industrial Design) Desain tata letak Sirkuit Terpadu ( Integrated Circuit), dan Rahasia dagang ( Trade Secret ). Hal ini sesuai dengan Ratifikasi Convention Establishing the World Trade Organization ( Konvensi WTO ) yang didalamnya memuat pula tentang Trade Related spect of Intelectual Property Rights ( Persetujuan TRIPS). Implementasi HKI : Tantangan dan Peluang Sesuai dengan arti penting HKI pada poin b di atas, maka pemerintah dan komponen yang terkait lainnya hendaknya dapat mengaktifkan keberadaan HKI

di Indonesia sebagai bagian dari upaya pembangunan nasional. Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan modal dasar untuk bangkit dari krisis yang berkelanjutan ini Tetapi tidak semua masyarakat Indonesia dan aparat penegak hukum menyadari pentingnya HKI, terutama lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang tercinta ini. Atas dasar itu oleh United Stated Trade Representative (USTR ), Indonesia dalam hal ini dapat dikenakan sanksi ancaman pemberlakuan Special 301 ( US Trade Act) yaitu berupa retalisasi perdagangan. Apabila hal ini benar-benar terjadi di Indonesia, maka akan melumpuhkan dunia usaha produk yang bersangkutan. Akibatnya Sektor Industri terkena dampaknya dan akan mengalami kebangkrutan karena produk Indonesia akan dinilai sangat rendah, hal ini tentunya berpengaruh bagi Neraca Pembayaran yang negatif dan surplus bagi impor yang dapat menyengsarakan devisa negara. Dari segi sosiologi, masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya menerima HKI, secara filosofis HKI dianggap merupakan refleksi masyarakat yang individualistik. Di sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa hasil karya seseorang sudah sepantasnya dinikmati oleh masyarakat luas. Sebenarnya ada beberapa unsur yang terlupakan bahwa HKI dapat membantu pembangunan nasional, meningkatkan pendapatan, mengurangi kemiskinan, menambah tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dinamis dan kompetitif. Beberapa peluang yang sebenarnya dapat ditangkap oleh masyarakat dengan adanya HKI itu sendiri antara lain, 1) Meningkatkan kinerja dalam menghasilkan karya yang lebih inovatif . Di Indonesia, untuk satu jenis produk songket Palembang saja,

ada 100 lebih jenis desain, 150 lebih jenis motif, dan 50 lebih teknik tenun khas, 2) Meningkatnya daya saing. Dengan adanya masing-masing pihak akan berupaya untuk menjual produknya dan diterima oleh pasar, 3) Meningkatkan pendapatan (Income). Selain memperoleh pendapatan dari penjualan produknya, mereka juga akan memperoleh royalty. Pendapatan yang tinggi secara tidak langsung nantinya akan menumbuhkan semangat berusaha pihak lain dan berupa program bantuan sosial bagi masyarakat di sekitarnya. 4) Meningkatkan investasi (Investment). Tumbuhnya kreativitas, daya saing, dan jaminan HKI akan mendorong pihak luar untuk menanamkam investasinya. Tinggi investasi tentunya akan berkolerasi positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, karena akan mendorong tumbuhnya industri sejenis dan mengurangi pengangguran. Keempat hal di atas merupakan peluang HKI yang hendaknya dapat diakomodasi oleh pemerintah guna mengembangkan sikap global dan cara pandang HKI baru, yaitu bagaimana mensosialisasi HKI. Langkah yang harus digarisbawahi adalah perlunya rekonsepsialisasi HKI baru yang disesuaikan dengan kultur budaya bangsa kita. Rekonsepsialisasi HKI = Paradigma baru HKI Beberapa penambahan tentang pengertian HKI yang ada sekarang bahwa HKI hendaknya memperhatikan kekayaan budaya leluhur yang telah ada sejak dulu. Sebagai contoh, objek Borobudur, dapat digunakan untuk berbagai macam desain produk. Karena itu perlu inisiatif pemerintah untuk memberi jaminan HKI bagi peninggalan budaya lainnya dan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia yang memanfaat-

kannya. Karena sesuai dengan tujuannya, maka HKI terhadap peninggalan budaya adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Pendapatan yang diperoleh negara ini digunakan sebagai modal penyangga pembangunan nasional, khususnya pembangunan karya-karya intelektual lainnya. Tumbuhnya karya-karya baru akan mendorong kesejahteraan masyarakat sekitar, karena secara tidak langsung mereka akan terlibat dalam proses kewirausahawan yang saling menguntungkan. Contoh kongkrit agar jaminan HKI dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat adalah paten tempe. Paten tempe yang dimiliki oleh suatu kelompok usaha ekonomi rakyat, akan memperoleh pendapatan tembahan dari ekspansi core business (usaha dasar) yang dikembangkan oleh pihak asing. Haki juga akan mendorong melahirkan ragam tempe yang lebih maju, dan berimplikasi bagi keuntungan usaha dan kesejahteraan pekerjanya. Model umum konsep HKI yang mendorong pertumbuhan ekonomi dalam hal ini meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar bahwa HKI menampung didalamnya kekayaan intelektual pribadi seperti karya ilmiyah perorangan, produk dan kekayaan intelektual daerah, didalamnya mencakup ciri khas yang dimiliki daerah tersebut seperti ukiran Jepara, bordiran Sumatera Barat (Silungkang), Batik Solo, Kain Songket Palembang serta kekayaan nasional seperti objek candi, situs purbakala. Ketiga kekayaan intelektual itu akan terakomodir dalam wadah HKI dan selanjutnya setelah adanya jaminan hukum dan iklim usaha yang dinamis akan mendorong kesejahteraan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Karena komponen itu merupakan faktor penting dalam menciptakan cara pandang HKI

yang dianggap masyarakat kurang berkenan dengan citra penegakan hukum secara keseluruhan yang sampai saat ini masih mengecewakan. Dan seiring dengan pemberdayaan kekayaan intelektual itu dapat mencapai tujuannya, yaitu kemakmuran rakyat,maka penulis mengajukan empat paradigma HKI. Pertama. Adanya Undang-undang tentang Otonomi Daerah dan kemampuan pemerintah dalam pembangunan nasional, khususnya pembagian pendapatan yang adil , memberikan peluang besar bagi HKI berperan dalam roda pembangunan. HKI akan memberikan kemudahan di setiap daerah agar kekayaan intelektual yang dimiliki daerah dapat didaftarkan melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di tiap Provinsi. Sebagai contoh: Penemuan jenis apel hasil bioteknologi di Malang akan meningkatkan pendapatan daerah Malang sehingga pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan di Malang akan meningkat, mendorong kinerja petani apel untuk menanam dan menjual apel, mendorong pedagang eceran apel untuk menjual apelnya, dan begitu seterusnya, sehingga satu penemuan baru akan berdampak luas bagi seluruh komponen masyarakat di kota Malang. Pendapatan yang diperoleh atas HKI digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Pemerintah Pusat pun menjamin perkembangan HKI daerah dengan bagian dana JPS bidang kesejahteraan rakyat. Kedua Hal ini berkaitan erat dengan system pendidikan yang selama ini bersifat general. Perlu dilakukan perubahan

kurikulum yang mengarah pada spesialisasi. Ini penting karena hanya dengan spesialisasi orang bisa menghasilkan kreasi-kreasi dalam bidang tertentu. Karya yang dihasilkan tak harus original, melainkan bagaimana dari hasil penemuan orang lain kita kemudian menghasilkan karya yang lebih inovatif lagi. Sebagai contoh, penemuan turunan tempe di Jepang merupakan hasil penelitian tempe asli Indonesia. Karena itu perlu mempersiapkan sarana dan prasarana serta yang dapat mendorong tumbuhnya karya-karya baru. Ketiga Dalam hubungannya dengan pencapaian kesejahteraan tadi, maka pendekatan domestik adalah memberi gambaran secara regional atau disesuaikan dengan budaya setempat bahwa HKI tidak sematamata mencari keuntungan pribadi. Tiap daerah di Indonesia memiliki keunikan dalam kekayaan intelektual, misalnya hubungan antara HKI dan kesejahteraan di Bandung. Sebagai contoh, penemuan bibit padi unggul, secara HKI memang menguntungkan bagi si penemu, tapi juga akan memberikan dampak ekonomis yang berharga bagi para petani, penjual; beras, dan pelaku pasar lainnya. Dan strategi terakhir HKI baru dalam kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan rakyat. Keempat Adalah bagaimana agar tujuan mancapai kesejahteraan itu tidak mengganggu karya-karya intelektual yang sudah ada, maksudnya agar ada aturan main yang jelas agar upaya pemanfaatan karya intelektual dengan HKI tidak menjurus pada

monopoli. Karena itu perlu dirancang komunikasi bisnis HKI yaitu : a) Mobilisator, Selain karya yang dimanfaatkan itu dapat mendorong berkembangnya karya-karya baru, juga dapat memobilisasi karya-karya lain yang berada dalam lini produk tanpa bermaksud menguasai seluruhnya. Contoh penemuan bibit padi unggul, hendaknya pribadi atau kelompok yang menemukan tidak menghimpun diri guna menguasai HKI untuk jenis pupuk, mesin, atau obat hama, karena jika itu terjadi akan muncul monopoli. b) Stabilisator, Pemanfaatan karyakarya intelektual untuk mencapai kesejahteraan pada intinya adalah untuk stabilisasi usaha. HKI yang memberi jaminan bagi karya pribadi, daerah, dan nasional akan mendorong pemenuhan kebutuhan daerah. Mempercepat alih teknologi dan mendorong investasi di tiap daerah, sehingga tidak muncul perasaan tertinggal atau tidak adil dalam proses pembangunan. Kesimpulan Berdasarkan hal di atas maka perwujudan dari paradigma baru HKI dalam mencapai kesejahteraan adalah kerja sama yang saling menguntungkan antar semua pihak. Memulai cara pandangan baru berwawasan global terhadap HKI akan memberikan dampak sosial ekonomi yang positif, dan merupakan langkah lanjut untuk mengurangi unsurunsur minus dari pelaksanaan HKI di Indonesia. Upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan itu tidak lagi dipandang sebagai feodal demi keuntungan pribadi

dan iklim usaha atas HKI bukanlah tujuan menciptakan usaha pribadi, daerah, dan bangsa. Sumber Penulisan: 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta 2. Undang-Undang Nomor Tahun 1997 tentang Paten. 13

3. Undang-undang Nomor 14 tentang Merek. 4. A.Zen Umar, SH, LLM pada National Seminar on the Development and Current Issues of the World Trade Organization on TRIP Agreement di Bandung tanggal 1-2 Juli 2002

HUBUNGAN PERDAGANGAN INDONESIA-KANADA. Oleh: Bagian Evalap A. TRADE POLICY Indonesia - A Window of Opportunity Re-open Pada tanggal 20 Maret 2007, Trade Commissioner Kedutaan Besar Kanada di Jakarta, Ross Miller telah mengundang anggota Canada Indonesia Business Council (C-IBC) pada acara pemaparan tentang "Indonesia - A Window of Opportunity Re-open". Informasi ini disampaikan oleh KJRI Toronto kepada KBRI Ottawa melalui bra fax No. BB-45, Tor/I 11/2007. Presentasi ini adalah sebagai upaya outreach (penyebaran informasi) mengenai: Panama, restrukturisasi strategi Kedubes Kanada di dalam memberdayakan sektur usaha Kanada dengan cara match-making dengan pcluang usaha di Indonesia. Kedua, melakukan identifikasi sektor usaha Kanada yang ingin membuka usaha baru atau melebarkan sayapnya di Indonesia. Ketiga, menyampaikan fokus pengembangan sektoral di tingkat usaha bidang infrastruktur, pertambangan mineral, minyak dan gas bumi. Dalam presentasinya. Ross Miller menyebutkan bahwa situasi di Indonesia telah mengalami perubahan. Dikatakannya, bahwa jika dibandingkan dengan kondisi tahun 1998 yaitu ketika ditutupnya operasi beberapa bank/sektor keuangan (Canada di Indonesia, maka saat ini sudah ada perubahan yang membawa angin segar bagi pengembangan usaha kalangan bisnis Kanada. Jika disimak dari angka Foreign Direct Investment (FDI) Kanada di

Indonesia yang kini mencapai nilai sebesar 3 milyar dollar Kanada (nomor 3 setelah Jepang dan Hongkong), ditambah potensi market Indonesia dengan penduduk 245 juta di tahun 2010. kekuatan daya beli dan kedekatan dengan pusat tenaga kerja maupun raw material, yang bersangkutan menenggarai bahwa Indonesia merupakan prospek yang mengetengahkan banyak peluang usaha perdagangan, industri manufaktur dan jasa keuangan yang berpotensi untuk dikembangkan. Proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia juga telah berjalan dengan cukup lancer dan menyiratkan adanya keinginan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk lebih menggalakkan upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi. ko!usi dan nepotisme yang dipandang sebagai suatu kemajuan proses inforniasi yang cukup signifikan. Menyikapi rating korupsi. dikutip data bahwa Indonesia berada pada urutan ke !30 dengan rating 2,4/10; China dan India pada urutan ke 70 dengan rating 3,3/10; dan Kanada pada urutan ke 14 dengan ratine 8,5/10. Menyimak proses yang telah bergulir di Indonesia, Ross Miller nienggarisbawahi bahwa kini merupakan saat yang tepat bagi sektor usaha swasta Kanada untuk kembali menengok Indonesia sebagai lahan kesempatan untuk mengembangkan bisnis. Disampaikan pula bahwa CIDA Inc masih melanjutkan pendanaan berupa program empowering bagi Small & Medium Enterprises (SMEs) Indonesia, khususnya di bidang infrastruktur. Sementara itu perusahaan besar Kanada bidang eksplorasi sumber daya mineral dan

pengeboran minyak-gas bumi juga menawarkan kesempatan untuk subkontrak kepada pihak swasta nasional maupun Kanada yang berminat. Pengamatan Langkah outreach yang dilakukan Kanada semacam ini kiranya perlu ditindaklanjuti oleh pejabat fungsi ekonomi perwakilan dengan aksi serupa di tanah air. Upaya outreach yang dilakukan oleh pejabat fungsi ekonomi perwakilan di tanah air selain merupakan wahana untuk penyampaian informasi berupa peluang usaha di wilayah kerja, pengumpulan data intelijen bisnis dan sekaligus juga dapat membuka peluang match-making antara sektor swasta Indonesia dengan pihak Kanada. Penekanan di bidang infrastruktur dan pertambangan dalam restrukturisasi strategi misi perwakilan Kanada di luar negeri, khususnya di Indonesia perlu disambut positif dengan adanya realisasi tender proyek sebagaimana telah ditawarkan dalam Enfrastructure Summit-I. Selain menguntungkan jika dilihat dari masih. adanya skema empowering terhadap SMEs melalui pendanaan CIDA Inc., peluang ini juga bisa dimanfaatkan oleh sektor usaha swasta Indonesia yang berminat untuk menggalang kerjasama berupa usaha patungan dengan pihak Kanada. Dengan demikian, FDI Kanada di Indonesia akan bertambah dan pada gilirannya akan menjadi pemicu bagi kinerja ekonomi untuk kembali normal. Penilaian WTO sanaan Kanada atas Kebijak-

WTO memuji usaha yang dilakukan Kanada terhadap akses

pasar dan hubungan multilateralnya, namun bersikap kritis terhadap proteksi yang dilakukannya di beberapa sektor. Laporan empat tahunan yang dilakukan oleh WTO terhadap kcbijakan dagang Kanada memberikan penilaian positif terhadap usaha-usaha ekonomi Kanada, namun mengkritik tersendatnya pertumbuhan produktivitas, suplai manajemen pada bidang pertanian dan pembatasan investasi asing pada beberapa sektor. Kanada dipuji karena kebijakan perdagangannya yang terbuka dan berorientasi keluar, serta pengaruh fleksibilitas ekonominya yang berperan dalam mengatasi beberapa kejutan-kejutan ekonomi yang dihadapi negara ini, termasuk meningkatnya harga minyak dan semakin kuatnya dolar Kanada. Kanada juga dipuji karena usahausahanya untuk meningkatkan akses pasar ekspor bagi negara-negara kurang berkembang, tarif yang rendah pada sebagian besar komoditi, dan usaha yang berkelanjutan untuk meningkatkan perjanjian dagang multilateral dibandingkan dengan bilateral. Kanada juga menggunakan alasan anti dumping sebanyak 46 kali pada akhir Juni 2006. menurun dari 91 kali pada tahun 2003, sesuatu yang dianggap positif. Narnun pertumbuhan produktivitas Kanada dianggap relatif lambat, dan Kanada juga masih menerapkan beberapa pembatasan dan proteksi utamanya dalam bidang pertanian, investasi asing dalam telekomunikasi, audio visual, transportasi udara dan laut Menteri Perdagangan Kanada David Emerson menilai laporan WTO tersebut pada umumnya sangat

positif bagi Kanada, dan menekankan bahwa hal-hal yang digarisbawahi pada laporan tersebut sedang dan akan dibahas dalam lingkaran negosiasi Doha. Walaupun pemerintah Kanada menerapkan proteksi pada tarif impor produk pertanian, {Canada sendiri ingin mengakhiri monopoli penjualan terigu dan gandum yang sekarang diberikan kepada Badan Gandum Kanada (Canadian Wheat Board). B. PERDAGANGAN ANTARA KANADA DENGAN DUNIA Perdagangan Kanada dengan dunia dalam rentang waktu tahun 2002 - 2006 menunjukkan tren kenaikan sebesar 12.26%. Pada tahun 2006, total perdagangan Kanada tercatat 737,26 miliar US$. Total impor menunjukkan tren kenaikan sebesar 12,48%, sedangkan total ekspor sebesar 12,06%. Namun demikian, angka total ekspor selalu lebih besar dari total impor yang mengakibatkan neraca perdagangan Kanada dengan dunia selalu surplus pada lima tahun terakhir. Total perdagangan Kanada pada Januari 2007 tercatat 59,42 miliar US$, naik 1,71% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Perbandingan antara total impor dan ekspor pada bulan Januari menunjukkan perubahan total impor yang lebih besar (3,18%) dibandingkan dengan ekspor (0,5%), yang mengakibatkan neraca perdagangan Kanada pada Januari 2007 lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Total ekspor Kanada pada tahun 2006 tercatat 387,54 miliar US$, dan menunjukkan tren kenaikan sebesar 12,06%. Lima besar negara yang menjadi tujuan ekspor Kanada adalah (berdasar urutan tahun 2006) : Amerika

Serikat, Inggris, Jepang, Cina dan Meksiko. Inggris merupakan negara tujuan ekspor kedua pada tahun 2006, naik dari urutan ketiga pada tahun 2005. Jepang turun ke urutan ketiga setelah sebelumnya merupa-kan negara di urutan kedua. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor terbesar Kanada (81,26% dari tota! ekspor), di mana pada tahun 2006 bemilai 316,3 miliar US$. Total ekspor Kanada pada Januari 2007 menunjukkan kenaikan hanya sebesar 0,5% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Kecilnya kenaikan ekspor ini bisa dilihal merupakan kontribusi dari menurunnya ekspor migas Kanada, yang merupakan dari ekspor Kanada dan kecilnya pertumbuhan ekspor sektor non migas. Walaupun ada 6 produk ekspor baru (Light-Vessels - HS 8905. Zinc - HS 7901. Acyclic Alcohols - HS 2905. Cyclic Hydrocarbons - HS 2902. Copper Ores - HS 2603. dan Taps, Cocks, Valves Etc For Pipes - HS 8481) pada tahun 2007, namun tiga produk ekspor terbesar Kanada (pangsa pasar total 14,62%) mengalami penurunan. Total impor Kanada pada tahun 2006 tercatat 349,72 miliar US$, dan menunjukkan tren kenaikan sebesar 12,48%. Lima besar negara asal impor Kanada pada tahun 2006 adalah Amerika Serikat, Cina, Meksiko, Jepang dan Jerman. Meksiko menggeser kcdudukan Jepang di tempat ketiga setelah pada tahun 2005 berada di urutan 4, Jerman masuk ke lima besar menggantikan Inggris yang bergeser ke urutan 6. Amerika Serikat merupakan negara asal impor terbesar Kanada. dengan nilai impor sebesar 191,91 miliar US$ pada tahun 2006. yang merupakan 54,88% dari keseluruhan impor Kanada.

Total impor Kanada pada Januari 2007 menunjukkan kenaikan 3,18% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini sebagian besar dikontribusikan oleh kenaikan impor non migas Kanada (91.4% dari keseluruhan impor). Dari 50 produk impor utama non migas Kanada. 34 produk mengalami kenaikan impor. Ada 7 produk impor baru pada tahun 2007, empat diantaranya mengalami kenaikan lebih dari 100%, berturutturut dari kenaikan terbesar yaitu Low value import Transaction & Confidejtti (HS 9901). Print Mach lad Ink-Jet Much Ancil T Print Pt Nesoi (HS 8443). Prepared Anrecorded Media (No Film) For Sound Etc (HS 8523), Human Blood, Animal Blood. Antisera. Vaccines Etc (HS 3002). C. PERDAGANGAN ANTARA KANADA DENGAN INDONESIA Total perdagangan antara Kanada dengan Indonesia menunjukkan peningkatan pada lima tahun terakhir dengan tren kenaikan 14,14%. Total perdagangan kedua negara pada tahun 2006 tercatat 1.54 miliar US$. Total ekspor dan impor Kanada dengan Indonesia juga menunjukkan kenaikan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2006, total ekspor Kanada ke Indonesia bernilai 700.2 juta US$ dengan tren kenaikan 24,06%. Total impor Kanada dari Indonesia pada tahun 2006 tercatat 835,32 juta US$ dengan tren kenaikan 8,21% Tren kenaikan ekspor yang lebih besar dari import tersebut, terutama disebabkan oleh kenaikan impor lebih dari 100% untuk produk Nickel inwrought (HS 7502} dan Parts of Balloons, Aircraft, Space Craft Etc (HS 8803)

Dalam lima tahun terakhir, neraca perdagangan antara Kanada dengan Indonesia menunjukkan surplus di pihak Indonesia, namun ada kecendrungan surplus ini semakin berkurang. Pada tahun 2006, Kanada mengalami minus sebesar 135,12 juta US$, dengan tren pengurangan minus sebesar 126,66%. Total perdagangan Kanada dengan Indonesia pada bulan Januari 2007 tercatat 109,27 juta US$, penurunan 7,43% dari bulan yang sama tahun sebelumnya. Ekspor Kanada pada periode ini sebesar 40.3 juta US$, turun 20.54% dari tahun sebelumnya, dan impor tercatat 68,96 juta US$, naik 2,46%. Neraca perdagangan pada Januari 2007 tercatat minus 28,66 juta US$ di pihak Kanada. Dari 50 produk impor non migas utama Kanada dari dunia, Indonesia menjadi negara asal impor pada 48 produk Dari 50 komoditi impor non migas utama Kanada, posisi Indonesia sebagian besar berada di atas posisi 10. Posisi tertinggi Indonesia sebagai negara asal impor Kanada adalah pada urutan ke-9 untuk produk furniture (HS 9403), di mana produk ini berada pada posisi ke-24 dalam keseluruhan produk impor Kanada. Dan 50 produk ekspor non migas utama Kanada ke dunia, Indonesia menjadi negara tujuan ekspor Kanada untuk 43 produk. Indonesia menjadi negara urutan ke-2 sebagai tujuan ekspor Kanada untuk produk wheat and meslin (HS1001), dan ke-5 untuk zinc (HS 7901). Ada 26 produk dimana posisi Indonesia sebagai negara asal impor menduduki posisi di bawah 10 besar. Indonesia merupakan sumber utama untuk produk natural rubber (HS

4001) bagi Kanada. Indonesia merupakan sumber kedua untuk produkproduk yarn (HS 5509), cocoa beans (HS 1801) dan fatty acid (HS 3823). Posisi Indonesia untuk produk palm oil (HS 15II) adalah pada posisi 3, di bawah Malaysia dan Amerika Serikat. Impor Kanada terhadap Terlihat bahwa Indonesia menjadi negara asal impor hanya pada 37 produk. Posisi Indonesia sebagian besar berada pada posisi 10 ke atas, kecuali untuk produk worked ivory (HS 9601), dimana Indonesia merupakan negara asal impor ke-8. Lima besar teratas negara asal impor untuk produk ini adalah Filipina, Cina, India, Amerika Serikat dan Thailand. (Sumber: Atase Perdagangan Ottawa)

Anda mungkin juga menyukai