7. Pengepakan dan penyimpanan Pengepakan simplisia dapat menggunakan wadah yang inert, tidak beracun, melindungi simplisia dari cemaran serta mencegah adanya kerusakan.Sedangka penyimpanan simplisia sebaiknya di tempat yang kelembabannya rendah, terlindung dari sinar matahari, dan terlindung dari gangguan serangga maupun tikus. 8. Pemeriksaan mutu Merupakan usaha untuk menjaga keajegan mutu simplisia. Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pemberiaanya dari pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum untuk simplisia. Simplisia yang bermutu adalah simplisia yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia, Materia medika indonesia. Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standarisai suatu simplisia . Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan factor lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter standardisasi simplisia sebagai berikut: 1.kebenaran simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik, makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia. 2.parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, dll. a. penetapan kadar abu Penentuan kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai diperoleh simplisia dan ekstrak baik yang berasal dari tanaman secara alami maupun kontaminan selama proses, seperti pisau yang digunakan telah berkarat). Jumlah kadar abu maksimal yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Prinsip penentuan kadar abu ini yaitu sejumlah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik yang tersisa. kadar abu = bobot akhir/bobot awal x 100% Penyebab kadar abu tinggi: -cemaran logam -cemaran tanah b.penetapan susut pengeringan susut pengeringan adalah persentase senyawa yang menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain yang hilang).Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada temperatur 105C selama 30 menit atau sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen (metode gravimetri).
susut pengeringan = (bobot awal - bobot akhir)/bobot awal x 100% Untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap, susut pengeringan diidentikkan dengan kadar air, yaitu kandungan air karena simplisia berada di atmosfer dan lingkungan terbuka sehingga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan penyimpanan. c. kadar air Tujuan dari penetapan kadar air adalah untuk mengetahui batasan maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Hal ini terkait dengan kemurnian dan adanya kontaminan dalam simplisia tersebut. Dengan demikian, penghilangan kadar air hingga jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang daya tahan bahan selama penyimpanan. Simplisia dinilai cukup aman bila mempunyai kadar air kurang dari 10%. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: - metode titrimetri metode ini berdasarkan atas reaksi secra kuantitatif air dengan larutan anhidrat belerang dioksida dan iodium dengan adanya dapar yang bereaksi dengan ion hidrogen.Kelemahan metode ini adalah stoikiometri reaksi tidak tepat dan reprodusibilitas bergantung pada beberapa faktor seperti kadar relatif komponen pereaksi, sifat pelarut inert yang digunakan untuk melarutkan zat dan teknik yang digunakan pada penetapan tertentu. Metode ini juga perlu pengamatan titik akhir titrasi yang bersifat relatif dan diperlukan sistem yang terbebas dari kelembaban udara (Anonim, 1995). - metode azeotropi ( destilasi toluena ) metode ini efektif untuk penetapan kadar air karena terjadi penyulingan berulang kali di dalam labu dan menggunakan pendingin balik untuk mencegah adanya penguapan berlebih. Sistem yang digunakan tertutup dan tidak dipengaruhi oleh kelembaban (Anonim, 1995). kadar air ( v/b) = volume air yang terukur / bobot awal simplisia x 100% - metode gravimetri Dengan menghitung susut pengeringan hingga tercapai bobot tetap(Anonim, 1995). d. Kadar minyak atsiri Tujuan dari penetapan kadar minyak atsiri adalah untuk mengukur berapa banyak kadar minyak atsiri yang terdapat dalam simplisia. Penetapan dengan destilasi air dapat dilakukan karena minyak atsiri tidak dapat bercampur dengan air, sehingga batas antara minyak dan air dapat terlihat dan diukur berapa banyak kadar minyak atsiri yang ada pada simplisia tersebut. kadar minyak atsiri = volume minyak atsiri yang terukur/bobot sampel x 100% e. Uji cemaran mikroba - uji aflatoksin untuk mengetahi cemaran aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus - uji angka lempeng total untuk mengetahui jumlah mikroba/ bakteri dalam sampel. Batasan angka lempeng total yang ditetapkan oleh Departemen kesehatan yaitu 10^6 CFU/ gram - uji angka kapang untuk mengetahui adanya cemaran kapang.Batasan angka lempeng total yang ditetapkan oleh Departemen kesehatan yaitu 10^4 CFU/ gram. -Most probably number (MPN)
untuk mengetahui seberapa banyak cemaran bakteri coliform( bakteri yang hidup di saluran pencernaan). 3. Parameter spesifik Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis. Referensi: Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.