B
Reshuffle Kabinet dan 2 Tahun Kepemimpinan SBY-Boediono
RESHUFFLE Kabinet Indonesia Bersatu jilid II merupakan kado ulang tahun
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang genap 2 tahun
memimpin negeri ini pada 20 Oktober 2011. Sepertinya SBY tidak mau kecolongan,
sebelum kepemimpinannya dievaluasi oleh "rakyat", dia terlebih dahulu mengevaluasi
para menterinya yang dinilai tidak mampu bekerja dan menjalankan program-program
pemerintah. Evaluasi yang dilakukan SBY-Boediono terhadap kepemimpinannya hanya
dengan melakukan perombakan para menteri. Seolah-olah yang salah menjalankan
pemerintahan selama ini adalah para menteri.
Belum lagi, proses yang panjang ditunjukkan oleh SBY sebelum melakukan reposisi
para menterinya. Proses itu diawali dengan pengangkatan para wakil-wakil menteri,
pemanggilan ketua-ketua partai politik, dan prosesi selanjutnya adalah memanggil para
calon menteri untuk dilakukan Iit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Dalam
rentang waktu yang panjang itu pula muncul berbagai wacana dan pandangan
masyarakat. Pro dan kontra sepertinya sengaja diciptakan. Padahal perombakan kabinet
adalah otoritas penuh presiden, tidak musti dihebohkan.
Lalu seberapa pentingkah SBY merombak kabinetnya terhadap perubahan wajah negeri
ini. Akankah perombakan itu akan berimplikasi langsung terhadap kepentingan publik
?. Kepala Pusat Penelitian LIPI, Syamsuddin Haris (Kompas, 18 Oktober) menyatakan,
salah satu perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan parlementer terletak pada
"locus" tanggung jawab kebijakan. Dalam skema presidensial, tanggung jawab
kebijakan di pundak presiden, bukan pada menteri-menteri negara. Amanat konstitusi
juga menggarisbawahi hal itu dengan menyatakan bahwa "para menteri negara adalah
pembantu presiden". Sebaliknya, dalam skema parlementer, para menteri yang mewakili
partai politik yang berkuasa memikul tanggung jawab kebijakan karena memang
"locus" kekuasaan berada di tangan kabinet.
Jika dilihat, apa yang dilakukan SBY dalam merombak kabinetnya seolah-olah kinerja
pemerintahan menjadi tanggung jawab para menteri. Baik buruknya kebijakan
pemerintah seakan-akan menjadi tanggung jawab anggota kabinet, padahal keputusan
akhir suatu kebijakan seharusnya berada di tangan presiden. Karena itu pula kegagalan
para menteri negara dalam skema presidensial pada dasarnya adalah kegagalan presiden
dalam mengarahkan, mengoordinasi, dan mengeksekusi kebijakan. Acuan para menteri
dalam menjalankan kebijakan harus sejalan dengan arah kebijakan pemerintah. Tugas
para menteri adalah mengimplementasikannya sesuai tugas dan tanggung jawab
kementrian masing-masing. Pertanyaannya, apakah memang ada arah kebijakan
presiden sebagai nakhoda Negara Kesatuan Republik Indonesia - Kalau memang ada,
mengapa sering terjadi perbedaan penaIsiran dalam menjalankan kebijakan itu ?
Kembali kepada evaluasi terhadap 2 tahun pemerintahan BY-Boediono. Kira-kira apa
prestasi yang telah dicapai jika dinilai dari berbagai bidang. Sebagai pemimpin yang
telah memiliki pengalamana tujuh tahun, karena SBY menjadi presiden sejak 2004,
harusnya program-programnya langsung menyetuh kepada masyarakat. Dibidang
hukum, semangat SBY untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai
amanah reIormasi masih jauh dari harapan. Hukum masih memihak kepada pejabat dan
orang-orang berduit. Hukum hanya ditegakkan ketika berhadapan dengan orang-orang
lemah. Buktinya, pelaku korupsi sebagai musuh utama bangsa ini, pemerintah malah
memberi pengampunan dengan cara memberikan remisi.
Dibidang pendidikan, anggaran 20 yang dialokasikan APBN belum menyentuh
kepada subtansi, yakni membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin.
Kenyataan yang ada kini muncul kesenjangan dan kualitas pendidikan. Politik anggaran
pemerintah sangat kontraproduktiI dengan semangat pemanIaatan anggaran pendidikan
untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan malah
dialokasikan untuk hal-hal yang bersiIat rutin, dan tidak eIektiI untuk meningkatkan
semangat pendidikan dasar gratis. Masih banyak SD maupun SMP yang memungut
iuran dari orangtua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Apalagi sekolah-sekolah
bertaraI Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI). Orang miskin tidak akan
mampu belajar di sekolah "moderon" itu, karena harus membayar jutaan rupiah. Sistem
ini terkesan anak buruh cuci dan orang-orang pinggiran hanya berhak memperoleh
pendidikan dengan kualitas yang biasa-biasa saja.
Kendati demikian, ada beberapa kelebihan dari pemerintahan SBY-Boediono yang perlu
dijadikan catatan. Dua pimpinan negara RI ini dianggap mampu membuka ruang-ruang
demokrasi. Mudah-mudahan reshuIIle yang dilakukan membawa makna pada
perubahan yang lebih baik bagi negeri ini, dan menyentuh kepada kepentingan publik.
Bukan malah menambah beban bagi keuangan negara, serta hanya menguatkan posisi
politik saja. Masih tersisa tiga tahun bagi SBY-Boediono pada masa jabatannya untuk
berbuat terbaik bagi negeri ini.
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri SyariI Hidayatullah, Gun Gun
Heryanto, mengungkapkan, ada tiga hal yang membuat rakyat kecewa dan tidak puas
pada hasil perombakan kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertama, Presiden Yudhoyono masih mempertahankan menteri-menteri yang
semestinya bertanggung jawab pada praktik korupsi yang terjadi di kementeriannya. Di
antaranya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Pemuda dan Olah
Raga.
"Terlepas dari terlibat atau tidaknya dua menteri itu, kredibilitas mereka diragukan
publik, karena dianggap menciderai pelaksanaan good governance dan clean
government," katanya di Jakarta, Rabu (19/10/2011).
Hal kedua yang mengecewakan adalah presiden hanya menambal sulam kabinet.
Presiden seolah-olah menjalankan keinginan publik dengan memasukkan kaum
proIesional di posisi wakil menteri. Sementara posisi menteri masih didominasi oleh
orang dari partai politik.
Penempatan kalangan proIesional tidak akan berpengaruh banyak, karena sebenarnya
pengambilan keputusan atau kebijakan masih menjadi domain menteri.
Masalah ketiga adalah, tidak adanya kesesuaian antara pertimbangan perombakan
kabinet dengan kenyataan yang dilakukan Presiden. Salah satu pertimbangan reshuffle
yang disampaikan SBY, ada untuk menempatkan orang pada tempat yang tepat. Tetapi
dalam praktiknya, banyak menteri yang ditempatkan di kementerian yang tidak tepat
untuk mereka.
Gun Gun mencontohkan, Jero Wacik yang ditempatkan menjadi Menteri ESDM, justru
berlatar pendidikan teknik mesin. Begitu juga Marie Elka Pangestu yang selama ini
menangani masalah perdagangan, ditempatkan sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi
KreatiI.
RFSHuFFlF KAltFT TAK JAtJlKAt KFHAJuAt
Ilham Khoiri , Nasru Alam Aziz , Rabu, 19 Oktober 2011 , 20:39 WIB
KUALA LUMPUR, KOMPAS.com -- Hasil perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II
dianggap belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Dengan masih didominasi
politisi, sulit diharapkan jajaran menteri itu dapat bekerja lebih eIisien, cepat, dan
memihak kepentingan rakyat.
Hal itu disampaikan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan
Maharani dan Ketua DPP Golkar Hajriyanto Y Thohari, yang ditemui dalam kunjungan
di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (19/10/2011). Keduanya menanggapi penambahan
sejumlah wakil menteri, pergeseran, dan pergantian menteri dalam Kabinet Indonesia
Bersatu II.
Puan Maharani menilai, hasil reshuIIle belum memenuhi niat awal untuk membenahi
kinerja kabinet agar lebih baik. Beberapa menteri yang kurang bagus masih
dipertahankan, kabinet bertambah gemuk dengan tambahan wakil menteri, sementara
sebagian menteri baru belum punya jejak rekam proIesional yang meyakinkan.
"ReshuIIle itu hak prerogatiI Presiden, tapi hasil perombakan sekarang ini
memunculkan pertanyaan, sebenarnya itu untuk kepentingan bangsa dan negara atau
kepentingan kelompok politik? Melihat kabinet baru, saya rasa tidak akan ada
kemajuan, dan Indonesia akan begini-begini saja," tuturnya.
Meski begitu, Puan berharap, kabinet baru segera membuktikan diri bekerja untuk
rakyat. Salah satu agenda penting saat ini adalah bagaimana meningkatkan ekonomi
masyarakat.
Hajriyanto mengungkapkan, proses reshuIIle kabinet kali ini memperlihatkan sistem
komunikasi politik yang masih lemah, baik di tingkat Presiden maupun di partai politik.
Pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dengan Wakil Ketua
Umum Partai Golkar Tjitjip SyariI Sutardjo, dinilai cukup mendadak dan tak
dikomunikasikan secara jelas. Proses itu terkesan misterius dan hanya ditentukan
kelompok elite saja.
"Ini jadi pelajaran agar semua pihak, terutama partai politik, meningkatkan keterbukaan.
Kalau prosesnya transparan, kemungkinan tidak muncul kontroversi semacam itu," kata
politisi yang juga Wakil Ketua MPR RI itu.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman
Hakim SaiIuddin dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Melani Leimina
Suharli, mendukung reshuIIle Presiden.
Bagi keduanya, para menteri hasil perombakan sepatutnya diberi kesempatan untuk
beradaptasi dengan tugasnya dan membuktikan kinerjanya. "Saya tidak mengatakan
pesimistis atau optimistis, tetapi mari kita beri kesempatan kabinet baru untuk bekerja,
setidaknya enam bulan. Kita tunggu bagaimana kerjanya," kata politisi yang juga Wakil
Ketua MPR RI itu.