Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masalah Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistem Hukum Nasional, posisinya
tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistem Peradilan , hanya sebagai Iiguran,
bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam kenyataannya korban
suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana korban bencana alam,
terutama tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban mengalami cidera Iisik, bahkan
sampai meninggal dunia. Siapa yang mengganti kerugian materi, yang diderita oleh korban ?
misalnya biaya pengobatan, atau jika korbannya sampai meninggal dunia, berapa kerugian yang
diderita oleh pihak keluarga korban, jika dihitung secara material ? misalnya, jika di hitung biaya
hidup dari lahir hingga di bunuh dan atau ditambah apabila korban tersebut sudah punya
penghasilan. Melihat uraian diatas, maka posisi korban dalam suatu tindak pidana dapat
dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum.
Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat perhatian, tetapi
obyek perhatian ternyata masih lebih terIokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada
si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat pada Ienomena pembalasan belaka. Disini
kedudukan korban menjadi tidak mendapat perlindungan hukum dan keadilan yang semestinya,
maka dicarilah jalan keluar sebagai alternatiI dengan restitusi jika siIatnya ke arah privat atau
kompensasi jika siIatnya ke arah publik.
Dalam perkembangannya pandangan masyarakat terhadap korban, korban dapat
mempercepat terjadinya sutau tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku, si pelaku berperan
aktiI dan si korban berperan pasiI, dalam hal ini korban dianggap sebagai korban yang
bersalah dalam terjadinya tindak pidana, hal ini si pelaku menjadi Iokus perhatian reaksi sosial,
sedangkan korban mengalami hal kurang perhatian dan akhirnya dianggap kurang penting dalam
proses reaksi sosial, kecuali hanya sekedar sebagai obyek bukti (saksi korban) dan bukan sebagai
subyek dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Apalagi jika mengkaji lebih jauh tentang
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Apabila si pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan dan di jatuhi pidana denda,
maka uang siapa yang di gunakan oleh pelaku untuk membayar denda tersebut ? karena antara si
pelaku dan korban masih dalam status perkawinan (kecuali ada perjanjian kawin), dan denda
tersebut di bayar oleh si pelaku untuk negara bukan untuk korban. Dalam hal ini korban bisa
mengalami korban ke dua kali, yaitu korban secara pisik dan korban materi.
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak
hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak hak tersebut diantaranya termuat dalam
Pasal 5 Undang Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun
menurut Van Boven hak hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas
reparasi ( pemulihan ), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan bai material
maupun non material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak hak tersebut telah
terdapat dalam berbagai instrument instrument hak asasi manusia yang berlaku dan juga
terdapat dalam yurisprudensi komite komite hak asasi manusia internasional maupun
pengadilan regional hak asasi manusia.
Uraian di atas menunjukan bahwa sudah selayaknya Sistem Peradilan Pidana, harus di
kaji ulang dan harus melihat kepentingan yang lebih luas, tidak hanya terIokus pada pembalasan
bagi si pelaku tindak pidana saja, akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana sudah
selayaknya di perhatikan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak
asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal
tersebut dapat di kemukakan ketentuan-ketentuan yang melindungi/memperhatikan kepentingan
korban hanya mengenai praperadilan dan gabungan gugatan ganti kerugian. Sehingga disini
dapat dilihat bahwa viktimologi mempunyai hubungan dengan ilmu - ilmu pidana yang lain

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah viktimologi itu bagian dari kriminologi ?
2. Bagaimanakah posisi viktimologi dalam khasanah ilmu pengetahuan yang lain ?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Viktimologi dan Kriminologi.

Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah / studi yang mempelajari viktimisasi
(criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.
Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti
pengetahuan ilmiah atau studi. Viktimologi adalah suatu study atau pengetahuan ilmiah yang
mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu
kenyataan sosial. Dan viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang memiliki obyek
study yang sama, yaitu kejahatan atau korban criminal. Sedangkan Kriminologi adalah Ilmu
pengetahuan yang mempelajari atau mencari sebab musabab kejahatan,sebab-sebab terjadinya
kejahatan,akibat akibat yang di timbulkan dari kejahatan untuk menjawab mengapa seseorang
melakukan kejahatan.
Adanya hubungan antara viktimologi dan kriminologi sudah tidak dapat diragukan lagi,
karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan,
sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu
kejahatan. Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi
merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan
membahas bagian - bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan
bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara
tersendiri. Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimologi secara terpisah dari ilmu
kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya
adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya,
termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat
membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang
melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah
Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang
mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi
juga tidak dapat hanya terIokus pada korban itu sendiri.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari
mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya
berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan
terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban
dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya
hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut
pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada
korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah
kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan
orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.

2.2 Posisi Viktimologi Dalam Khasanah Ilmu Pengetahuan Yang Lain.
2.2.1 Viktimologi Dengan Hukum Pidana
Dalam hukum pidana kita mempelajari tentang tindak pidana / kejahatan, dan tindak
pidana / kejahatan itu tidak akan terlepas dari yang namanya pelaku dan korban. Sehingga dalam
hukum pidana korban penting juga untuk dipelajari karena korban bisa memunculkan suatu
tindak pidana / kejahatan karena tidak mungkin muncul suatu tindak pidana / kejahatan jika tidak
adanya korban kejahatan, dengan demikian antara pelaku dan korban sudah barang tentu tidak
bisa dipisahkan. Jika kita melihat bahwa dalam hukum pidana itu sendiri mempelajari suatu
tindak pidana / kejahatan yang tidak akan lepas dari ilmu yang juga mempelajari tentang korban
itu sendiri. Dan dalam hokum pidana, terdapat suatu proses penyidikan, dimana dalam
penyidikan itu adalah suatu proses pengambilan keterangan dari seorang korban tindak pidana /
kejahatan. Jadi hukum pidana sangatlah memiliki kaitan yang sangat erat dengan apa yang
disebut dengan korban, dimana ilmu yang mempelajari tentang korban adalah Viktimologi.



2.2.2 Viktimologi Dengan System Peradilan Pidana
Viktimologi dengan system peradilan pidana disini maksudnya adalah bagaimana hokum
pidana melalui system peradilan pidana dapat berbuat sesuatu terhadap korban tersebut dalam hal
mendukung hak hak dan kewajiban si korban itu sendiri..
Menurut AriI Gosita disebutkan bahwa adanya hak-hak korban, yang dapat berupa:
- Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan
memberi kompensasi si pembuat korban dan taraI keterlibatan/partisipasi/peranan si korban
dalam terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan tersebut.
- Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi
kompensasi karena tidak memerlukannya).
- Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena
tindakan tersebut.
- Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
- Berhak mendapat kembali hak miliknya.
- Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan
menjadi saksi.
- Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
- Berhak mempergunakan upaya hukum (recht middelen).
Sedangkan, terhadap aspek ini maka J.E. Sahetapy juga menentukan hak-hak korban berupa:
- Mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi)
- Menolak pelayanan untuk ahli warisnya
- Mendapat kembali hak miliknya
- Menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya
- Mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi
- Mendapat inIormasi mengenai permasalahan yang dihadapinya
Pada dasarnya hak-hak korban dalam KUHAP meliputi tiga dimensi, yaitu:
Pertama, hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penyidikan dan/atau penghentian
penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 109 dan 140
ayat (2) KUHAP). Kedua, hak korban yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi
berupa mengundurkan diri berdasarkan Pasal 168 KUHAP dan hak bagi keluarga korban, dalam
hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan tindakan polisi untuk
melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi (Pasal 134-136
KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap akibat kejahatan dalam
kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang dirugikan (Pasal 98-101 KUHAP).
Bertitik tolak pada aspek tersebut maka idealnya dalam menentukan penuntutan kepada
pelaku kejahatan perlu disertakan korban untuk memberikan pendapatnya. Demikian pula halnya
dalam menilai putusan pengadilan apakah telah sesuai rasa keadilan ataukah belum, dimintakan
pendapat korban dengan syarat pendapat tersebut harus telah diterima oleh jaksa penuntut umum
dalam waktu yang lebih pendek dari batas akhir mengajukan permohonan banding. Selain itu
pula, upaya perlindungan terhadap korban dapat juga dilakukan melalui penyerderhanaan dalam
proses peradilan pidana yang menurut hukum positiI di Indonesia ada tiga tingkat yakni
peradilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), pengadilan tingkat kedua atau peradilan tingkat
banding (Pengadilan Tinggi), dan peradilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung RI), bahkan
ditambah lagi dengan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde.

















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Viktimologi dan Hukum Pidana merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kita
tidak hanya mempelajari / Iocus terhadap pelaku dalam suatu tindak pidana / kejahatan, tetapi
peranan korban juga perlu mendapat perhatian, dimana pelaku dan korban adalah suatu
kesatuan dari suatu tindak pidana / kejahatan.
- Viktimologi dan System Preadilan Pidana sangat erat hubungannya, dimana system peradilan
pidana mempelajari bagaimana hubungan antara aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara, sedangkan viktimologi sebagai suatu ilmu yang memperlajari
tentang korban dalam hal penyelesaian perkara sementara viktimologi sebagai ilmu yang
mempelajari korban dimana korban merupakan bagian yang tidak akan terpisahkan sejak
awal penyidikan sampai jalannya suatu persidangan.
Saran
Perlunya penelitian yang menitikberatkan kepada korban, dimana korban sebagaimana kita
ketahui memiliki peranan yang sangat penting, kita tidak hanya Iocus terhadap pelaku tindak
pidana / kejahatan akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana sudah selayaknya di
perhatikan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak asasi si pelaku
tindak pidana dari pada hak asasi / kepentingan korban tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai