Anda di halaman 1dari 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. POST PARTUM 1.

Pengertian Mochtar (1998: 115) menyatakan Post partum atau masa nifas adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Lama masa nifas yaitu 6 sampai 8 minggu. Wiknjosastro (2002: 238) mendifinisikan post partum adalah masa yang dimulai dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, tetapi seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu tiga minggu. Sedangkan menurut Novak (1999: 338). puerpurium merupakan interval waktu dari haid pertama kelahiran bayi sampai dengan enam minggu, perhitungan hari di mulai dari hari pertama setelah persalinan. Puerperium ditandai dengan meningkatnya laktasi dan kembalinya organ reproduksi ke posisi sebelum hamil. Dapat disimpulkan bahwa post partum merupakan masa yang dimulai dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, dimana terjadi perubahan alat-alat kandungan pulih kembali seperti sebelum hamil. Ada tiga periode post partum menurut Mochtar (2002: 115) yaitu: 1. 2. 3. Puerpurium dini yaitu masa pulih dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan yang lamanya 40 hari, Puerpurium intermedial yaitu masa pulih menyeluruh alat-alat Remote puerpurium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih genetalia yang lamanya 6-8 minggu, dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan, atau tahunan. 2. Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum a. Perubahan Fisiologi Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks setelah post partum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan korpus uterus yang dapat

mengadakan kontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah dan konsistensinya lunak, segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan kedalam kavum uteri. Setelah 2 jam hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri. Hal ini harus diperhatikan dalam menangani kala uri (Wiknjosastro, 2002: 238). Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Otot uterus berkontraksi segera pada post partum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan (Wiknjosastro, 2002: 238) Tabel 1: Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi. Involusi Bayi lahir Uri lahir 1 minggu 2 minggu 6 minggu 8 minggu Tinggi Fundus Uteri Setinggi pusat 2 jari bawah pusat Pertengahan pusat-simpisis Tidak teraba diatas simpisis Bertambah kecil Sebesar normal Berat Uterus 1000 gram 750 gram 500 gram 350 gram 50 gram 30 gram (Mochtar, 1998: 115)

Bekas Implantasi Uri mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan diameter 7,5 cm, sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu ke 6 menjadi 2,4 cm dan akhirnya pulih (Mohctar, 1998: 116). Lokhea adalah pengeluaran cairan sisa lapisan endometrium dan sisa dari tempat implatasi plasenta (Manuaba, 1998: 192). Sifat lochea berubah-ubah seperti secret luka, berubah menurut tingkat penyembuhan luka, adapun jenis-jenisnya antara lain : lochea rubra (Cruenta) berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, desidua, verniks caseosa, lanugo, dan mekoneum selama 2 hari pasca persalinan, lochea sanguinolenta berwarna merah kuning berisi darah dan lender, hari ke 3-7 pasca persalinan, lochea serosa berwarna kuning, tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14 pasca persalinan, lochea alba, cairan putih setelah 4 minggu, lochea Purulenta telah terjadi

infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk, locheastatis apabila lochea tidak lancer keluarnya. (Mochtar, 1998: 116). Perubahan pada endometrium ialah timbul thrombosis, degenerasi dan necrosis diantara implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu memiliki permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah tiga hari permukaan endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Regenerasi endometrium terdiri dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2-3 minggu (Wiknjosastro, 2002: 238). Pada vagina, hilangnya estrogen pada post partum berperan dalam menipiskan mukosa vagina dan menghilangkan rugae. Pembengkakan, dinding lunak vagina berlahan-lahan akan kembali seperti keadaan pra hamil selam 6-8 minggu setelah persalinan. Rugae muncul kembali setelah 4 minggu setelah persalinan, antara primipara dan multipara berbeda. Kekeringan pada vagina dan rasa tidak nyaman saat koitus (dyspareunia) dapat terjadi hingga fungsi ovarium kembali dan menstruasi mulai terjadi (Bobak, 1995: 442). Selama persalinan perineum mendapatkan tekanan yang besar yang kemudian setelah persalinan menjadi udema. Perawat perlu mengkaji tingkat kenyamanan sehubungan dengan adanya luka episiotomi, laserasi dan hemoroid, perawat harus melaporkan adanya udara, kemerahan dan pengeluaran (darah, pes, serosa) (Pilliteri, 1999). Ligament-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan persalinan, setelah bayi lahir, berangsur-angsur ciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang menyebabkan uterus jatuh ke belakang (Wiknjosastro, 2002: 239). Proses laktasi diawal kehamilan, peningkatan estrogen yang diproduksi oleh plasenta menstimulasi perkembangan kelenjar susu. Pada 2 hari pertama post partum terdapat perubahan pada mammae ibu post partum. Semenjak masa kehamilan kolostrum telah di ekskresi. Pada 3 hari pertama post partum mammae penuh atau membesar karena sekresi air susu. Penurunan kadar estrogen saat kelahiran plasenta diikuti dengan meningkatnya kadar prolaktin menstimulasi produksi air susu (Pilliteri, 1999). Ketika bayi mulai menghisap putting susu hipotalamus merangsang kelenjar pituitary posterior

untuk melepaskan oksitosin. Hal ini menyebabkan kontraksi otot-otot saluran susu mengeluarkan air susu. Respon ini disebut reflek Let down (Novak, 1999: 345). Tanda-tanda vital dapat memberikan petunjuk adanya bahaya post partum seperti perdarahan, infeksi dan komplikasi lainnya. Sehingga sangat penting untuk memantau tanda-tanda vital post operasi (Novak, 1999: 338) Jumlah denyut nadi normal antara 60-80 x permenit segera setelah partum dapat terjadi bradikardi. Trakhikardi mengidentifikasikan perdarahan, infeksi, penyakit jantung dan kecemasan (Wiknjosastro, 2002: 241). Tekanan darah akan kembali seperti prahamil setelah 6 jam setelah persalinan. Kadang-kadang tekanan darah meningkat tak lama kemudian setelah persalinan. Kondisi ini mungkin diakibatkan oleh beberapa faktor yang meliputi rangsangan persalinan dan keadaan bayi. Tipe oksitosin yang diterima pasien nyeri, retensi urin atau kehamilan dengan hipertensi. Peningkatan tekanan darah yang disertai sakit kepala dicurigai pada kehamilan dengan hipertensi. Kenaikan tekanan darah 30 mmHg dari sistolik wanita normal dan diastolik lebih dari 15 mmHg (atau siastolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih dari 90 mmHg) harus segera dilepaskan. Jika tekanan darah itu lebih rendah daripada pra hamil menandakan banyaknya kehilangan darah selama persalinan atau perdarahan masih terus mengalir. Tekanan siastolik 100 mmHg atau kurang harus dilaporkan. Jika tekanan darah normal mulai turun perawat harus memeriksa aliran pendarahan. Penurunan tekanan darah disertai oleh peningkatan denyut nadi, namun jika klien berlanjut pada keadaan syok maka nadi perlahan melambat, lemah, terjadi dilatasi pupil abnormal, pucat, sianosis, kulit lembab, lemas dan tidak sadar (Novak,1999: 338) Suhu tubuh normal pasien post partum adalah antara 36,2oC-380C. Kenaikan suhu tubuh hingga 380C diakibatkan oleh dehidrasi. Cairan dan istirahat biasanya dapat memulihkan suhu normal. Setelah 24 jam post partum, suhu 380C atau lebih dicurigai terjadi infeksi (Novak, 1999: 339) Frekuensi pernafasan normal 14-24 x permenit. Bradypneu (pernafasan kurang dari 14-16 x permenit) dapat disebabkan oleh efek narkotik,analgetik atau epidural narkotik. Tachipneu (pernafasan lebih dari 24 x permenit) dapat diakibatkan oleh nyeri, pendarahan masif atau syok, oleh karena emboli paru-paru atau edema paru-paru (Novak, 1999: 338).

Sistem pernafasan, pada umumnya tidak ada tanda-tanda infeksi pernafasan atau distres pernafasan. Pada beberapa wanita mempunyai faktor predisposisi penyakit emboli paru. Secara tiba-tiba terjadi dyispneu. Emboli paru dapat terjadi dengan gejala sesak nafas disertai hemoptoe dan nyeri pleura (Sherwen, 1999). Sistem persyarafan, ibu post partum hiperrefleksi mungkin terpapar kehamilan dengan hipertensi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut perawat harus mengkaji adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, oedema, nyeri epigastrik dan sakit kepala (Sherwen, 1999: 838). Sistem perkemihan pada masa post partum terjadi peningkatan kapasitas kandung kemih, bengkak dan memar jaringan di sekitar uretra yang menurunkan sensitivitas penekanan cairan (urin) dan sensasi kandung kemih yang penuh, sehingga berada pada resiko distensi berlebihan, kesulitan mengosongkan dan penimbunan residu. Output urin meningkat pada 12-24 jam pertama post partum yaitu sekitar 2000-3000 ml. Produksi urin mencapai 3000 ml pada 2 hari post partum. Ibu post partum dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih setiap 3-4 jam. Fungsi ginjal akan kembali normal setelah 1 bulan post partum (Novak, 1999). Sistem pencernaan, perut terkadang terjadi reaksi penolakan sesudah melahirkan, karena efek dari progesteron dan penurunan gerakan peristaltik. Perempuan dengan seksio sesarea boleh menerima sedikit cairan setelah pembedahan, jika terdengar bising usus dapat mulai beralih ke makanan padat (Olds, 1999). Sistem muskuluskeletal di kedua ekstremitas atas dan bawah terdapat edema dikaji apakah terdapat pitting edema, kenaikan suhu, pelebaran pembuluh vena dan kemerahan sebagai tanda thromboplebitis. Ambulasi harus sesegera mungkin dilakukan untuk dilakukan sirkulasi dan mencegah kemungkinan komplikasi (Sherwen, 1999: 838). b. 1. Perubahan Psikologis Taking in Phase Merupakan masa refleksi bagi wanita post partum. Selama periode ini wanita post partum cenderung pasif. Wanita post partum cenderung dilayani oleh perawat daripada melakukan pemenuhan kebutuhan sendiri. Hal ini berkenaan dengan rasa ketidaknyamanan perineum nyeri setelah melahirkan atau haemorhoid, berkaitan dengan

peran barunya, wanita post partum selalu ingin membicarakan pengalaman selama hamil hingga melahirkan. 2. Taking Hold Phase Wanita post partum mulai berinisiatif untuk melakukan tindakan sendiri. Lebih suka membuat keputusan sendiri. Ibu mulai mempunyai ketertarikan yang kuat pada bayinya, di masa inilah masa yang tepat untuk memberikan pendidikan tentang perawatan bayi. Tetapi ibu sering merasa tidak yakin tentang kemampuannya mengasuh bayi, disinilah dukungan positif dan semua pihak diperlukan. 3. Letting Go Phase Ibu post partum akhirnya dapat menerima keadaan apa adanya. Proses ini memerlukan penyesuaian diri atas hubungan yang terjadi selama kehamilan. Wanita yang dapat melewati fase ini dianggap sudah berhasil dalam peran barunya (Pilliteri, 1999). 3. Penatalaksanaan Ibu Post partum. a. Early Ambulation. Ibu post partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation dimana ibu 8 jam post partum istirahat dan terlentang, setelah 8 jam boleh miring ke kiri, kanan, untuk mencegah trombosis dan boleh bangun dari tempat tidaur setelah 24 jam post partum. Bayi berada satu ruangan dari ibu (Rooming In) (Novak, 1999: 344). b. Perawatan Perineum . Bila ibu mengalami penjahitan pada perineum sebagai perawat harus memonitor setiap hari untuk meyakinkan bahwa proses penyembuhan luka baik dan melakukan vulva hygien dan perawatan luka perineum selama 24 jam pertama. Untuk mengurangi edema lakukan kompres dingin dan rendam bokong. Jaga kebersihan perineum dengan membersihkan vulva dari arah vagina ke anus, ganti pembalut sesudah buang air minimal 4 x sehari, cuci tangan sebelum dan sesudah mengganti pembalut dan perhatikan lochea yang keluar. Gunakan pakaian dalam yang meresap sehingga lochea tidak mengiritasi (Novak, 1999: 344). c. Perawatan Payudara. Kedua payudara harus sudah dirawat selama kehamilan, areola mammae dan putting susu di cuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream agar tetap lemas (Wiknjosastro, 1999: 243).

d.

Pemberian Nutrisi. Nutrisi ibu yang diberikan harus memenuhi gizi seimbang dan porsinya lebih

banyak daripada saat hamil disamping untuk mempercepat pulihnya kesehatan setelah melahirkan juga untuk meningkatkan produksi ASI (Novak, 1999: 356). e. Pemantauan Suhu. Suhu harus diawasi terutama pada minggu pertama dari masa nifas karena kenaikan suhu menandakan infeksi (Novak, 1999: 356). f. Pemantaun Sistem Perkemihan. Setelah 6 jam post partum anjurkan ibu 8 untuk berkemih, jika dalam 8 jam ibu belum dapat buang air kecil atau sekali kencing belum melebihi 100 cc maka lakukan kateterisasi (Novak, 1999: 356). g. Pemantauan Defekasi. BAB harus dilakukan 3-4 hari post partum. Bila masih sulit BAB dan terjadi konstipasi apalagi berak keras dapat diberikan obat laksan peroral atau per rectal. Jika belum bisa lakukan klisma (Mochtar, 1998: 117) h. Aktivitas Seksual. Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat pengeluaran lochea dan episiotomi telah sembuh (akhir 6 minggu). Sebelum melakukan aktivitas seksual dianjurkan untuk menggunakan lubrikan seperti k-y jelli. Perhatikan posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk mencegah penetrasi penis yang terlalu dalam (Novak, 1999: 356). i. Istirahat. Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan berlebihan, disarankan untuk kembali melakukan kegiatan rumah tangga seperti biasa perlahan-lahan serta dianjurkan untuk tidur siang selagi bayi masih tidur (Wiknjosastro, 1998: 116). j. Kontrasepsi. Masa post partum adalah masa paling baik menawarkan kontrasepsi oleh karena ibu termotivasi untuk menggunakan alat kontrasepsi. Idealnya pasangan harus menunggu 2 tahun sebelum hamil lagi, maka disini peran perawat sebagai educator untuk menjelaskan maca-macam dan efek samping dari alat kontrasepsi tersebut (Novak, 1999: 3561).

B. EKSTRAKSI VAKUM 1. PENGERTIAN Ekstrasi vacum adalah persalinan janin dimana janin di lahirkan dengan ekstrasi tekanan negatif pada kepalanya dengan menggunakan ekstraktor vakun ( ventaouse ) dari malstrom. Alat yang umum di gunakan adalah vakum ekstraktor dari malmstrom, prinsip dari alat ini adalah bahwa kita mengadakan suatu vakum ( tekanan negatif) melalui suatu cup akan melekat erat pada kepala bayi. Pengaturan tekanan harus diturunkan secara pelahan-lahan untuk menghindarkan kerusakan pada kulit kepala, mencegah timbulnya perdarahan pada otak bayi dan supaya timbul caput succedeneum. 2. INDIKASI a. Kelelahan ibu b. Partus tak maju c. Gawat janin yang ringan d. Toksemia gravidarum e. Ruptur uteri immien f. Kala II dengan presentasi kepala belakang 3. TENIK TINDAKAN VAKUM 1. Ibu dalam posisi litotomi dan dilakukan disinfeksi daerah genetelia (vulva toilet) sekitar vulva di tutup dengan kain steril 2. Setelah semua alat estraktor terpasang mangkuk dengan tonjolan petunjuk di pasang diatas titik petunjuk kepala janin. Pada umumnya dipakai mangkuk dengan diameter terbesar yang dapat di pasang. 3. Dilakukan penghisapan dengan tekanan negative -0,3 kg/cm2 kemudian dinaikkan 0,2 kg/cm2 tiap menit sampai -0,7 kg/cm2. Maksud dari pembuatan tekanan negativ yang bertahap ini supaya kaput suksedaneumbuatan dapat terbentuk dengan baik

4. Di lakuakn periksa dalam vagina untuk menentukan apakah ada bagian janin lahir atau kulit ketuban yang terjepit diantara mangkuk dan kepala janin. 5. Bila perlu dilakukan anestesi lokal, baik dengan cara infiltrasi maupun blok pundendal untuk kemudian di lakuakn episiotomi 6. Bersamaan dengan timbulnya his, ibu dipimpin mengejan dan ekstrasi di lakukan dengan cara menarik pemegang sesuai dengan sumbu panggul. Ibu jari dan jari telunjuk serta jari kanan kiri operator menahan mangkuk supaya tetap melekat pada kepala janin,. Selama ekstrasi ini, jari-jari tangan kiri operator memutar ubun-ubun sesuai dengan putaran paksi dalam. Bila ubun-ubun sudah berada di bawah simfibis, arah tarikan berangsur-angsur di naikkan sehingga kepala lahir. Setela kepala lahir, tekanan negative dihilangkan dengan cara membuka pentil udara dan mangkuk kemudian di lepas. Janin lahir seperti pada kelahiran normal dan plasenta umumnya dilahirkan secara aktif. 4. KEUNTUNGAN EKSTRASI VAKUM a. Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau kurang dari sehingga mengurangi frekwensi SC b. Tidak perlu di ketahui posisi kepala denan tepat, cup dapat dipasang di belakang kepal, samping kepala ataupun dahi c. Tarikan tidak dapat terlalu berat, dengan demikian kepala tidak dapat dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan lepas dengan sendirian d. Cup dapat dipasang walaupun pmbukaan belum lengkap, misalnya pada pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat pembukaan. Untuk ini di lakukan tarikan ringan yang kontiu sehingga kepala menekan pada servik. Tarikan tidak boleh terlalu kuat untuk mencegah robekan servik. Disamping itu cup tidak boleh dipasang lebih dari seengah jam, untuk menghindari timbulnya perdarahan pada otak. e. Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan mengadakan fleksi kepala (misal pada letak dahi)

5. KERUGIAN EKSTRASI VAKUM Kerugian dari tindakan vakum adalah waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup samapi dapat di tarik relatif lebih lama ( 10 menit ) cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan cepat seperti pada fetal distres (gawat janin) alatnya relativ lebih mahal dibanding dengan forsep biasa. 6. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar Penurunan tekanan harus berangsur-angsur Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari setengah jam Penarikan waktu ekstraksi vakum hanya di lakukan pada saat his ibu mengejan Apabila masih tinggi ( HII ) sebaiknya di pasang cup tebesar Vakum estrksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature 7. BAHAYA EKSTRAKSI VAKUM 1. 2. Terhadap ibu Robekan dinding cervik atau vagina karena terjepit kepal bayi dan cup Terhadap bayi Perdarahan pada otak, caput sukccedaneum artifisialis akan hilang beberapa hari C. EPISIOTOMI 1. Pengertian Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin hymen, jaringan leptum, rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum untuk melebarkan jalan lahir sehingga mempermudah kelahiran (Arif Mansjoer, 1999: 338). Episiotomi bisanya dikerjakan pada hampir primipara pada perempuan dengan perineum kaku. 2. Tujuan episiotomi Episiotomi bertujuan mencegah rupture perineum dan mempermudah pemulihan luka. Episiotomi dilakukan saat perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina (Arif Mansjoer, 1999: 338).

3. Indikasi episiotomi Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun janin. Indikasi ibu antara lain adalah: primigravida umumnya, perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu, apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunan, ekstraksi vakum, anak besar, dan arkus pubis yang sempit (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007). Indikasi pada janin antara lain adalah: sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin, sewaktu melahirkan janin dengan letak sungsang, letak defleksi, janin besar, pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti pada gawat janin, talipusat menumbung. (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007). Kontraindikasi episiotomi antara lain adalah: bila persalinan tidak berlangsung pervaginam, bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva dan vagina (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007). 4. Jenis episiotomi Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu: a. sampai mengenai serabut sfingter. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah pendarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei inkomplet (laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum) (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007) b. Episiotomi mediolaperolis Episiotomi medialis. Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak

Merupakan jenis insisi yang banyak digunakan karena lebih nyaman. Sayatan disini dimulai dari belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur perinei. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007). c. Episiotomi lateral. Jenis episiotomi ini tidak dilakukan lagi karena hanya dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih banyak dan sukar direparasi (Arif Mansjoer, 1999: 338) Sayatan disini dilakukan ke narah lateral mulai kira-kira jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan pendarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007). d. Insisi schutchardt Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta sayatannya lebih lebar. (http://www.library.usu.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2007).

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap atonia uteri. (Doenges, 2001) 2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doenges, 2001: 417) 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka episiotomi (Doenges, 2001: 427) 4. Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doenges, 2001: 434) 5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan (Doenges, 2001: 436) 6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru. (Carpenito, 2000: 513) 7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doenges, 2001: 430) 8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor eksternal perubahan lingkungan. 9. ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya manageman laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001: 513) 10. Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi.

E. FOKUS INTERVENSI 1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder Tujuan : syok hipovolemi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan. 60-80 kali permenit, akral hangat, tidak keluar keringat dingin, perdarahan post partum kurang dari 100 cc. Intervensi : a. b. c. d. monitor vital sign kaji adanya tanda-tanda syok hipovelomik monitor pengeluaran pervaginam lakukan massage segera mungkin pada fundus uteri. terhadap atonia uteri. (Doenges, 2001) kriteria hasil : tekanan darah siastole 110-120 mmHg, diastole 80-85 mmHg, nadi

e. 2.

susukan bayi sesegera mungkin. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan

perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doenges, 2001: 417) Tujuan : nyeri berkurang atau hilang. atau hilang, skala nyeri kurang dari 4, nadi antara 60-80 x permenit. Intervensi : kaji sebab-sebab nyeri pada klien ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan relaksasi anjurkan pada klien untuk melakukan kompres dingin pada daerah perineum kolaborasi pemberian analgesic sesuai advis dokter. 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada Tujuan Kriteria hasil Intervensi a. b. c. episiotomi d. septic dan antisepti e. f. 4. anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan perineum kolaborasi pemberian antibiotik sesuai advis dokter. Gangguan eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan obstruksi Tujuan : kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi. beri perawatan pada luka episiotomi dengan teknik : cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien monitor tanda-tanda vital monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka : infeksi tidak terjadi. : tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah sekitar luka episiotomi, tanda-tanda vital dan jumlah sel darah putih normal. luka episiotomi. (Doenges, 2001: 427) Kriteria hasil : ekspresi wajah klien tenang, klien mengatakan nyeri berkurang

uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doenges, 2001: 434)

Kriteria hasil : klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam setelah melahirkan, klien tidak merasakan ketegangan pada kandung kemih. Intervensi : palpasi kandung kemih untuk memastikan adanya distensi kandung kemih kaji intake cairan klien mulai terakhir saat pengosongan kandung kemih anjurkan klien untuk merangsang BAK dengan menggunakan air hangat kaji jumlah urin yang dikeluarkan jika klien tidak bisa mengeluarkan sendiri secara spontan. kolaborasi untuk pemasangan kateter. 5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah Tujuan : kebersihan diri klien terpenuhi tampak bersih dan segar. Intervensi a. b. c. klien d. perawatan diri e. dengan kemampuan f. perawatan diri klien. 6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota Tujuan : orang tua dapat menerima peran baru dalam keluarganya. baru. (Carpenito, 2000: 513) libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan motivasi klien untuk melakukan perawatan diri sesuai beri dorongan untuk mengungkapkan perasaan tentang : kaji faktor-faktor penyebab yang berperan tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan optimal beri bantuan sesuai dengan kebutuhan perawatan diri melahirkan. (Doenges, 2001: 436) kriteria hasil : klien dapat melakukan perawatan diri secara bertahap, klien

Kriteria hasil : orang tua dapat menerima keberadaan bayinya, orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran barunya, orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayinya. Intervensi a. bayinya b. c. hingga melahirkan d. 7. Konstipasi Tujuan Intervensi a. berikan dukungan sosial yang diperlukan ibu. berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong bayinya dengarkan cerita tentang pengalamannya selama hamil beri kesempatan untuk membina proses ikatan dengan

(Doenges, 2001: 430) : pasien dapat defekasi dengan lancar : kaji pola defekasi klien Kriteria hasil : pasien dapat BAB setelah 3-4 hari post partum.

b. auskultasi bising usus c. anjurkan pentingnya diit seimbang d. dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan atau 8 sampai 10 gelas kecuali dikontraindikasi e. anjurkan untuk ambulasi dini sesuai toleransi f. anjurkan makan makanan tinggi serat g. berikan laksatif jika diperlukan. 8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, Tujuan Kriteria hasil : pasien tidak mengalami gangguan pola tidur. faktor eksternal perubahan lingkungan. : pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang faktor gangguan tidur, meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur, wajah klien rileks. Intervensi :

a.

kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan istirahat pasien

b. kaji faktor-faktor penyebab gangguan pola tidur c. berikan lingkungan yang nyaman d. beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya e. batasi kunjungan selama periode istirahat. 9. Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya managemen laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara. (Carpenito, 2001: 513) Tujuan : ibu dapat menyusui bayinya secara efektif. ibu Intervensinya : a. kaji faktor-faktor penyebab ketidakefektifan menyusui b. dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara terbuka c. kaji keadaan ibu dan bayi, d. ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang baik e. ajarkan cara menyusui yang baik f. jika ada gejala mastitis atau abses payudara (ditandai bengkak dan nyeri) anjurkan untuk menghubungi perawat dan dokter. 10. Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi. Tujuan : kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi. bayi menerima nutrisi yang adekuat Intervensi : a. kaji pola makan bayi dan kebutuhan nutrisi bayi b. tingkatan pemberian makan per oral yang efektif c. tingkatkan tidur dan kurangi pemakaian energi yang tidak d. ajarkan cara menyusui yang benar, ajarkan perawatan payudara post partum. Ibu menunjukkan peningkatan ketrampilan dalam kriteria hasil : mengidentifikasi aktivitas yang menghalangi untuk Kriteria hasil : ibu membuat keputusan menyusui bayinya menyusui.

pemberian ASI, bayi tampak tenang.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Saifuddin. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternitas dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawiroharjo Arif Mansjoer. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jakarta: Media Aesculapius Bobak, Jensen. (1995). Maternity and Gynecologic Care, the nurse and the family.5 th Ed. Missouri: Mosby Carpenito, Linda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta: EGC Doenges, E. Marilynn. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarata: EGC Doenges, E. Marilynn. (2001). Rencana Perawatan Maternal/Bayi: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta: EGC Hanifa Wiknjosastro. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah 1. Bandung: Yayasan IkatanAlumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah 3. Bandung: Yayasan IkatanAlumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran

Manuaba, I.B.G. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Gynekologi dan KB. Jakarta: EGC Novak, Broom. (1999). Maternal and Child Health Nursing. 9th Ed. Missouri: Mosby Pilliteri, A. (1999). Maternal and Child Bearing Family. 3th. JB Lippincott Company. USA Rustam Mochtar. (1998). Sinopsis Obstetri. Edisi 1. Jakarta: EGC Rustam Mochtar. (1998). Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: EGC Sherwen, Mery Ann. (1999). Maternity Nursing Care of The Child bearing Family. Connecticut: Apleton&Lange Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Brunner&Suddarth. Ed. 8. Jakarta:EGC Ajar keperawatan Medikal-Bedah

LAPORAN PENDAHULUAN POST PARTUM EKSTRAKSI VAKUM DENGAN EPISITOMI DIRUANG B3 OBSTETRI RSDK SEMARANG

Di susun oleh: CATUR PUJI RAHAYU 1.1.10443

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG 2007

Anda mungkin juga menyukai