Anda di halaman 1dari 1

26

P ENDIDIKAN
lik dalam membuat lembaga pendidikan masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, hanya ada HIS, MULO, dan sekolah guru dengan sistem pendidikan Barat dan pendidikan model pesantren tradisional. Hanya anak golongan priayi dan kaum ningrat yang bisa bersekolah di situ. Kiai Dahlan menyadari, untuk melakukan transformasi sosial, membebaskan rakyat dari penjajahan, serta menyadarkan rasa keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan hanya bisa melalui pendidikan. Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang mengadaptasi sistem pendidikan Belanda (Barat) dan mengintegrasikannya dengan pendidikan model pesantren yang ada saat itu. Dalam upaya pengembangan institusi pendidikannya, Muhammadiyah menganut sistem pengajaran yang berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan ini bukan untuk menciptakan sistem pendidikan Islam tersendiri, melainkan untuk mengorganisasi sistem pendidikan swasta yang sejajar dengan sistem nasional (Arin, 1996). Dalam kurun waktu selanjutnya, institusi pendidikan Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Hingga tahun 2000, Muhammadiyah sudah memiliki 3.979 taman kanakkanak, 33 taman pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah dasar, 1.332 madrasah diniah/ibtidaiah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA, MA, SMK), 101 sekolah kejuruan, 13 mualimin/mualimat, 3 sekolah menengah farmasi, serta 64 pondok pesantren. Di bidang pendidikan tinggi, hingga 2005 Muhammadiyah memiliki 36 universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, dan 4 politeknik (Media Indonesia, 13/7/2005).

SENIN, 5 DESEMBER 2011

Muhammadiyah dan Pendidikan Bangsa

ULAN lalu, syarikat Muhammadiyah genap berulang tahun yang ke-99. Sejak didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912, Muhammadiyah ikut serta mengurusi pendidikan bangsa sebagai sarana transformasi kesadaran jati diri, nilai-nilai kemanusiaan, religiositas, dan kemerdekaan. Sejarah mencatat Muhammadiyah bersama Taman Siswa dan ormas lainnya berhasil mendidik generasi awal sampai berkarakter kuat dan menjadi pejuang yang tangguh, bahkan rela mati demi bangsanya. Lebih dari itu, Muhammadiyah juga melakukan amal usaha di bidang ekonomi, sosial, dan kesehatan sehingga mampu mengantarkan warganya pada transformasi sosial sekaligus reformasi keagamaan yang disebut Kuntowijoyo sebagai rasionalisasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Bila dibandingkan dengan beberapa gerakan pendidikan Islam di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20, tampaknya Muhammadiyah merupakan gerakan pendidikan yang bersifat akomodatif. Hal itu tentu saja berbeda dari ormas keagamaan lain seperti Persatuan Islam (Persis), NU, PUI, Jamiyatul Wasliyah, dan Perti, yang lebih bersifat asimilatif (Langgulung, 1988: 69). Kendati demikian, dalam perjalanan selanjutnya Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kemiripan dengan pesantren-yang dapat bersifat asimilatif. Pendirian sekolah-sekolah itu sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dan konteks zaman perjuangan kemerdekaan.

Agus Wibowo
Pemerhati pendidikan, tinggal di Yogyakarta Keberhasilan manajemen pendidikan Muhammadiyah waktu itu tentunya tidak lepas dari gur kepemimpinan pendidikan Kiai Dahlan. Hal itu sejalan dengan pendapat Judy Reinhartz dalam bukunya, Education Leadership (2004). Menurut Reinhartz, hanya pemimpin pendidikan transformasional yang mampu mengantarkan keberhasilan manajemen sebuah institusi pendidikan. Tipe kepemimpinan pendidikan tersebut, menurut Reinhartz, adalah tipe transformasional. Pemimpin transformasional, menurut Co nger (1989), Bennis dan Nunus (1985), merupakan pemimpin yang mampu mengantarkan anak buahnya menuju suatu kesadaran diri yang tinggi dan dinamis. Meski tidak secara keseluruhan, Kiai Dahlan juga memiliki ciri khas kepemimpinan transformasional tersebut. Hal itu dapat dilihat dari pribadi Beliau. Pertama, Kiai Dahlan memiliki cita-cita dan visi pendidikan yang jauh ke depan. Baginya, institusi pendidikan harus mampu melahirkan manusia-manusia baru sebagai ulama-intelektual atau intelektual-ulama, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, ia melakukan dua tindakan sekaligus; memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri tempat agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kiai Dahlan telah melaksanakan lompatan sejarah tentang konsep integralistik dalam pendidikan yang kini baru dicita-citakan orang. Kedua, Kiai Dahlan melakukan stimulasi intelektual. Contoh klasik ialah ketika Beliau menjelaskan surah al-Maun kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir miskin dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah tersebut, baru dilanjutkan surat berikutnya. Sekolah mahal? Menurut M Yunan Yusuf (2006), pendidikan Muhammadiyah saat ini telah kehilangan identitas dan belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah. Menurut hemat penulis, pernyataan kritis dan jujur ini patut m e n j a d i masukan bagi para pengelola (manager) sekolahsekolah M u hammadiyah. Sebab, pernyataan tersebut muncul dari pergulatan serta pengalaman ia sewaktu

Pendidikan kaum miskin Harus diakui, Muhammadiyah tidak akan besar tanpa sosok Kiai Dahlan. Ia mampu memecahkan persoalan pe-

EBET

mengelola Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah. m Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah memiliki mutu yang unggul tetapi tergolong mahal dalam tingkat pembiayaan (cost education). Untuk tingkat sekolah dasar saja misalnya, biaya pendidikan-entah sedekah jariah dan sebagainya--setara atau bahkan melebihi biaya S-2 (magister). Belum lagi untuk tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Ongkos pendidikan yang kian melambung ini pada gilirannya hanya akan memberi kesempatan bagi orang-orang kaya dan berduit mengenyam pendidikan, sedangkan rakyat biasa plus ekonomi menengah ke bawah dilarang bersekolah. Berdasarkan logika sederhana, fenomena ini tentu saja bertentangan dengan cita-cita Kiai Dahlan yang tertuang dalam pemikirannya, khususnya tentang isi pendidikan Islam. Sebagaimana dikutip Mulkhan dalam bukunya Masalah-Masalah Teologi dan Fiqih dalam Tarikh Muhammadiyah (1994: 48), objek terpenting bagi gerakan dakwah Muhammadiyah, menurut Kiai Dahlan, ialah rakyat kecil, hartawan, dan intelektual. Jika demikian halnya, bagaimana Muhammadiyah bisa menjadi sandaran jika masyarakat miskin dan tertindas tak mampu mengenyam pendidikan di sana? Jika mengambil contoh dari pengalaman Kiai Dahlan, lembaga pendidikan Muhammadiyah semestinya perlu dikelola secara profesional dengan manajemen yang profesional pula. Dengan demikian, orang miskin dan kaum tertindas bisa menikmatinya. Manajemen profesional ini merupakan manajemen yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi-

nya secara sungguh-sungguh, konsisten, dan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya pendidikan sehingga tercapailah tujuan pendidikan yang efektif dan esien (Kast and Rosenweig: 1979). Menurut Suyanto (2007), banyak kader dan anggota Muhammadiyah yang menjadi miliarder, birokrat, pengusaha sukses, dan politikus yang menduduki posisi kunci dan penting dalam lembaga pemerintahan kita. Seharusnya aset tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Muhammadiyah. Mereka perlu diberi pencerahan guna menafkahkan sebagian harta untuk pendidikan anak-anak miskin. Selain itu, perlu penyadaran untuk membatasi pelaksanaan ibadah haji bagi mereka yang telah berkali-kali melakukannya, mengingat masyarakat sekitar justru lebih membutuhkan. Para elite Muhammadiyah yang duduk di pemerintahan semestinya giat memberikan saran dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan berbagai kebijakan terkait dengan pendidikan murah. Jika mereka bersatu padu dan tolong-menolong (dalam kebaikan), bukan tidak mungkin kebijakan pendidikan gratis atau pendidikan untuk semua (education for all) bakal menjadi kenyataan. Akhirnya, hanya pendidikan yang dikelola secara profesionallah yang bakal tetap eksis menghadapi tantangan zaman. Sekolah bermutu tidak mesti mahal, tetapi bagaimana menjalankan manajemen secara benar dan profesional. Jika lembaga-lembaga pendidikan nonkeagamaan dengan mutu baik dan ongkos pendidikan yang murah semakin bertebaran, haruskah lembaga pendidikan Muhammadiyah kehilangan pangsa pasar lantaran biaya pendidikan yang semakin meningkat?

CALAK EDU
E R D E B ATA N t e n tang perbedaan mendasar antara kepemimpinan (leadership), manajemen (management), dan administrasi (administration) merupakan hal biasa dan lumrah dalam ilmu pendidikan modern. Dimmock (1999: 442) secara tegas dan menarik berusaha membedakan ketiga kata kunci tersebut dalam konteks kepemimpinan sekolah. Dalam analisisnya, tensi di antara ketiga kata kunci itu terlihat pada aspek yang ditanganinya. Jika titik tekan leadership pada pengalaman dalam mengambil keputusan secara seimbang antara aspek pengembangan kapasitas dan student and school performance, manajemen lebih berorientasi pada aspek operasional dan pemeliharaan (fisik dan nonfisik) kondisi sekolah. Selanjutnya, administrasi ialah fungsi yang melekat baik pada aspek leadership maupun management karena orientasinya lebih banyak kepada hal-hal teknis yang rutin dan sangat dibutuhkan keduanya. Dari sudut pandang peda-

Inuence, not Authority


gogis, jelas sekali perebutan kewenangan antara leadership dan management kerap terjadi dan berlangsung secara terusmenerus. Keuntungan leadership ialah dapat mengambil bentuk lain dan keluar dari faktor management yang kerap dilingkupi sebuah proses dan prosedur yang kaku. Dengan demikian, leadership bisa secara bebas dinilai berdasarkan pengaruh sosial yang dimilikinya. Dalam konteks perkembangan dunia pendidikan di Tanah Air, pengaruh sosial ini menjadi sangat penting untuk dicatat sekaligus diingat. Ada namanama, baik secara individual maupun kelembagaan, yang memiliki pengaruh sosial yang besar dan meninggalkan rekam jejak yang baik bagi dunia pendidikan di Indonesia. Secara kelembagaan, ada banyak organisasi sosial-keagamaan yang memasukkan bidang pendidikan sebagai bagian dari garis perjuangan mereka. Sebutlah Muhammadiyah, satu di antara lembaga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan. Namun jika kita mau jujur, tak akan mungkin lahir sebuah lembaga kalau tak ada orang atau tokoh sentralnya. Jika NU memiliki Wahid Hasyim, Persis memiliki Ahmad Hasan, Muhammadiyah memiliki KH Ahmad Dahlan. Terhadap para tokoh dan individu itu, sikap dan perilaku bersungguhsungguh untuk memperjuangkan apa yang menjadi keyakinan masing-masing kerap dinisbahkan. Kesungguhan, keyakinan, dan keikhlasan adalah tiga kata kunci yang relevan untuk diketengahkan dalam konteks kepemimpinan pendidikan modern. Jika seorang tokoh secara sungguh-sungguh mampu menunjukkan keteladanan yang tiada henti, mengajarkan keyakinannya secara terbuka dan kritis, serta dibarengi keikhlasan dalam melakoni setiap situasi sesulit dan semudah apa pun dengan penuh tawakal kepada Tuhan, rekam jejaknya pasti akan menjadi semacam legacy yang secara terus-menerus memberikan pencerahan kepada pengikutnya. Karena itu, sangat penting untuk memberikan definisi leadership dalam konteks pendidikan agar proses pendidikan menjadi benar dan terarah. Artinya, jika seseorang yang terlibat dalam sebuah proses pendidikan ingin dikatakan berhasil, yang harus dinilai ialah pengaruhnya (inuence), bukan otoritasnya (authority) sebagai pejabat, rektor, atau kepala sekolah. Karena itu, salah satu indikator leadership yang tangguh ialah adanya pengaruh yang secara sosial dan individual tetap hidup dalam pikiran dan perilaku banyak orang (Yukl, 2002: 3). Dalam banyak textbook tentang karakteristik kepemimpinan di bidang pendidikan, setidaknya leadership harus memiliki tiga ciri. Pertama, memiliki pengaruh yang luas dan besar, baik secara individual maupun sosial. Kedua, memiliki nilai (value) dominan yang menjadi common believe setiap orang atau kelompok yang meminati dan mengikutinya. Ketiga, adanya visi yang jelas dan terarah sehingga misi dan tujuannya mudah dicerna serta diaplikasikan setiap orang. Dalam skala dan konteks yang lebih kecil, seorang guru atau dosen dapat dikatakan memiliki pengaruh yang kuat terhadap para siswa jika mereka juga mampu menebarkan ide dan gagasan yang terus hidup di hati dan pikiran anak didik. Karena itu, dalam leadership seorang guru, harus terdapat sifat dan sikap yang mampu memberikan inspirasi bagi tumbuhnya kesadaran untuk bertindak, berpikir, dan merasa. Pengaruh seorang guru dapat dikatakan baik

DOK PRIBADI

Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Kesadaran terhadap pentingnya sebuah pengaruh dalam proses pendidikan dapat menciptakan kondisi dunia pendidikan di Tanah Air yang lebih baik ke depan.

jika para siswanya memiliki kemampuan untuk menggabungkan kesadaran dan tindakan sehingga mereka mampu menumbuhkan kesadaran untuk menyinergikan setiap perbedaan. Hakikat guru memiliki pengaruh yang baik dan positif merupakan bagian dari hierarki moral kebangsaan. Melalui mereka, atau lebih tepatnya melalui kebijaksanaan mereka, masyarakat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar. Mulder menyebutkan guru ialah orang yang memiliki wahyu untuk membagi pewahyuan, membagi kebenaran kepada murid sehingga murid tersebut mempunyai kebijaksanaan (2007: 189). Contoh dan perilaku mereka akan dicatat sejarah sebagai sebuah awal dari kebangkitan moralitas kebangsaan yang selalu berusaha memperbaiki diri. Paling tidak, kesadaran terhadap pentingnya sebuah pengaruh dalam proses pendidikan dapat menciptakan kondisi dunia pendidikan di Tanah Air yang lebih baik ke depan.

PARTISIPASI OPINI

Kirimkan ke email: opini@mediaindonesia.com atau opinimi@yahoo.com atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti P. Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Asni Harismi, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Cornelius Eko, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., M. Soleh, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Vini Mariyane Rosya, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa-

dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso, Yulius Martinus Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panontongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is-

kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ami Luhur, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Aria Mada, Bayu Aditya Ramadhani, Bayu Wicaksono, Briyan Bodo Hendro, Budi Setyo Widodo, Dedy, Dharma Soleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi Olah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman. PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: redaksi@mediaindonesia.com, Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN

Anda mungkin juga menyukai