Pengarah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan
Koordinator
Bobby H. Rafinus
Perkembangan APBN
Menuju APBN yang Mensejahterakan Rakyat 7
Kontributor Tetap
Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Rista Amallia Windy Pradipta Arin Puspa Nugrahani Ruth Nikijuluw Akbar Suwardi Ahmad Fikri Aulia Alexcius Winang Andi Komite Kebijakan KUR
Daftar Istilah
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010
EDITORIAL
Professor Joseph E. Stiglitz mengungkapkan bahwa ia tertarik pada masalah ekonomi informasi diawali oleh kegundahan saat mengamati perkembangan kota Gary, di negara bagian Indiana Amerika Serikat di awal tahun 1960-an. Dalam pengamatannya, kota yang dibangun pada tahun 1906 oleh perusahaan US Steel, masih dihadapkan pada masalah kemiskinan, pengangguran berkala, dan rasilialisme yang masif di tengah kejayaan industri baja di Amerika Serikat pada waktu itu. Ketimpangan kemajuan ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat juga ditemui Stiglitz di Kenya pada akhir tahun 1960-an. Cerita kedua pengamatan tersebut disampaikan pada awal makalahnya yang berjudul Information and the Change in the Paradigm of Economics (2001). Makalah ini membedah pengaruh faktor ketidaksempurnaan informasi di antara pelaku ekonomi dalam ekonomi pasar (market economics) dan ekonomi politik (political economy). Mereduksi asimetri informasi semakin disadari penting setelah melihat dampak krisis ekonomi dan keuangan global yang begitu dahsyat terhadap kesejahteraan masyarakat dalam dekade terakhir ini. Banyak negara mulai memberikan perhatian khusus pada pendidikan keuangan dan perlindungan konsumen agar masyarakat semakin mengetahui produk dan layanan lembaga keuangan yang terbaik bagi kebutuhannya. Gerakan serupa juga digalakkan di sektor produksi yaitu berupa inisiatif membangun transparansi penerimaan di sektor pertambangan dan migas yang dikenal dengan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Melalui inisiatif EITI ini diharapkan terbangun kepercayaan antara masyarakat, pemerintah, dan industri migas dan tambang mengenai penerimaan yang diperoleh dari hasil pengolahan industri tersebut. Langkah Langkah ini penting bagi negara yang sedang dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut, seperti Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir kontribusi sektor pertambangan menurun tajam dalam Produk Domestik Bruto dari 13,78% tahun 2000 menjadi 11,2% tahun 2010. Iklim usaha di sektor ini, khususnya migas, kurang menarik akibat ketidakpastian peraturan yang didorong oleh ketidakpercayaan terhadap besaran penerimaan industri dan bagian dari penerimaan tersebut yang diberikan kepada pemerintah. Disamping itu juga menyangkut ketidakpuasan pemanfaatan penerimaan tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bermukim di sekitar wilayah eksplorasi. Sebagai negara yang masuk dalam kategori kandidat EITI sejak Oktober 2010, Indonesia memiliki waktu 2,5 tahun hingga April 2013 untuk menunjukkan kepatuhannya membangun transparansi pelaporan penerimaan oleh industri maupun pemerintah. Lembaga masyarakat berperan memastikan bahwa publikasi laporan kedua belah pihak sesuai ketentuan yang ada. Saat ini sudah terdaftar 62 perusahaan yang terdiri 129 unit produksi migas dan tambang, serta 88 mitra perusahaan migas yang wajib mengisi template pelaporan untuk penerimaan tahun 2009. Sementara itu, instansi Pemerintah yang akan melapor, yaitu BPMIGAS, Ditjen Migas, Ditjen Anggaran, Ditjen Minerba, dan Ditjen Pajak. Penerapan EITI diyakini akan meningkatkan daya tarik investasi di sektor migas dan tambang, sebagaimana telah dialami Nigeria. Faktor luas wilayah dan keragaman sumber tambang kiranya bukan halangan untuk menerapkan EITI jika ada sinergi mengerjakannya. (Ayo) Indonesia bisa. (BHR).
Indikator Ekonomi
Indikator Inflasi (% yoy) Indeks Harga Saham Gabungan Harga Minyak ICP (USD per barel) Indeks Harga Perdagangan Besar Cadangan Devisa* (USD milyar) Nilai Tukar Petani Nilai Tukar (Rp/USD) Pertumbuhan Ekonomi Tw.III-2011 (%) Tingkat Pengangguran (Aug. 2011) (%)
*kumulatif, NPI : Neraca Pembayaran Indonesia,
Okt 2011
Sept 2011
Indikator Utang Pemerintah* (USD milyar) Ekspor (USD juta) Impor (USD juta) Wisatawan Mancanegara (ribu orang) Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) Realisasi Belanja APBN s.d 30 Sept 2011 (Rp. Tr)* Realisasi Pendapatan APBN s.d 30 Sept2011 (Rp. Tr)* PDB Nominal Tw III-2011 (Rp. Triliun) Defisit NPI Tw III-2011 (USD miliar)
$17,82 $15,10
650,1 12,39 773,6 820,3 1.923,6 3,96
$18,81 $15,05
621,08 12,50
pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak berasal dari sektor yang berbasis pasar dalam negeri (nontradable goods) sebesar 4,3% dari 6,5% atau sekitar 66% dari PDB. Secara tahunan (% yoy), pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10,1% yoy lebih tinggi dibandingkan dengan Q3-2011. Sementara secara quartal (% qtq), pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 5% qtq. Pertumbuhan sektor ini cukup tinggi karena permintaan komoditas terus meningkat karena pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra utama seperti Cina. Tingkat optimisme para pelaku bisnis meningkat sepanjang triwulan III-2011 terlihat dari indeks tendensi bisnis yang naik di semua sektor. Kondisi bisnis pada Triwulan III-2011 meningkat karena adanya peningkatan pendapatan usaha, penggunaan kapasitas produksi, dan rata-rata jam kerja. Spasial pertumbuhan ekonomi triwulan III-2011 masih didominasi oleh Pulau Jawa dengan kontribusi sebesar 57,7% kemudian Pulau Sumatera sebesar 23,6%. (MS)
Perkembangan Net Ekspor
Menurut lapangan usaha (secara sektoral), sumber pertumbuhan terbesar berasal dari sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,7%. Sektor lain yang mengikuti adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,9%. Dari ke-9 lapangan usaha yang dihitung dalam PDB, sumber pertum
Amerika akibat krisis berpengaruh pada kinerja ekspor non-migas Indonesia ke Amerika. Hingga September 2011, ekspor ke Amerika masih tumbuh positif 22,3% (yoy) atau mencapai US$11,8 miliar. Begitu pun ekspor ke negara zona Eropa yang juga mengalami krisis seperti Jerman, Perancis dan Inggris,masing-masing hanya naik 16,9%, 17,9%, dan 1,5% (yoy). Ekspor non-migas Indonesia ke Jepang tercatat masih tumbuh positif 15,8% (yoy). Kenaikan signifikan terjadi pada ekspor Indonesia ke Cina hingga 60% (yoy) dan mencapai US$14,9 miliar. Dengan demikian pangsa ekspor ke Cina hingga September 2011 menjadi sebesar 12,3%. Lain halnya dengan pangsa ekspor ke Jepang dan Amerika justru menurun, masing-masing menjadi 11,3% dan 9,8%. Peningkatan ekspor ke Cina yang signifikan inidapat memperkecil defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina. Jika defisit perdagangan Indonesia dengan Cina selama Januari-September 2010 sebesar US$ 4,9 miliar, defisit tersebut mengecil menjadi US$ 3,7 miliar pada periode yang sama tahun 2011. Saat ini perlu tetap waspada tidak hanya pada dampak langsung krisis Amerika dan negara kawasan Eropa pada perlambatan perdagangan ekspor tetapi juga pada risiko dampak tidak langsung krisis terhadap kinerja ekspor. Cina adalah salah satu negara mitra dagang utama Amerika. Krisis yang terjadi di Amerika tentu akan mempengaruhi kegiatan perdagangan dan produksi Cina. Indonesia yang lebih banyak mengekspor bahan baku kegiatan produksi ke Cina berpotensi menghadapi risiko bila ekspor Cina ke Amerika terganggu. (TKA)
PERKEMBANGAN INFLASI
Pada Oktober 2011 mengalami deflasi sebesar -0,12% mtm, terutama disebabkan oleh deflasi pada komponen inti (core inflation) dan komponen barang bergejolak (volatile food). Sepanjang tahun 2011 ini telah terjadi deflasi dua kali, yakni Maret dan Oktober 2011. Oleh karena itu, secara tahunan, inflasi pada Oktober 2011 sebesar 4,42% yoy, lebih rendah bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (4,61% yoy). Selama Januari Oktober, inflasi relatif rendah, yakni 2,85%. Dari angka tersebut berarti hanya tersisa 2,45% terhadap target inflasi APBN-P tahun 2011 sebesar 5,3%. Inflasi tahun 2011 diperkirakan akan menuju batas bawah sasaran inflasi yang ditetapkan sebesar 5% 1% setelah mempertimbangkan berbagai resiko ke depan. Deflasi komponen inti pada Oktober 2011 tercatat sebesar -0,12% mtm lebih dipengaruhi oleh penurunan harga emas internasional dan ekspektasi inflasi yang terus membaik. Deflasi komponen inti ini merupakan yang kedua kalinya sejak April 2009 setelah dampak lanjutan dari penurunan harga BBM bersubsidi. Namun, deflasi komponen inti cenderung bersifat temporer karena faktor penyebab berasal dari penurunan harga emas dan koreksi tarif angkutan yang masih tersisa pasca hari raya. Secara tahunan, core inflation pada Oktober 2011 tercatat sebesar 4,43% yoy lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya (4,93% yoy). Komponen volatile food juga mengalami deflasi sebesar 0,37% mtm pada Oktober 2011. Koreksi harga masih berlanjut pada sebagian besar komoditas pangan kecuali beras dan cabe merah. Secara tahunan, inflasi volatile food tercatat sebesar 5,78% yoy. Setelah sempat mencapai level yang cukup tinggi pada awal tahun 2011 yaitu 18,25% yoy, inflasi volatile food dalam 10 bulan terakhir terus menurun. Tingkat inflasi volatile foods yang rendah tersebut terjadi karena kondisi pasokan yang memadai (produksi bahan pangan dan impor) serta distribusi yang semakin lancar. Dari sisi spasial, koreksi tajam harga bahan makanan terutama terjadi di Kawasan Timur Indonesia dan DKI Jakarta menyebabkan deflasi volatile food secara nasional.
Perkembangan Inflasi
Untuk inflasi komponen yang harganya diatur pemerintah (administered prices) masih cukup terjaga sebesar 0.16% mtm atau 2.91% yoy pada Oktober 2011. Kebijakan Pemerintah berupa kenaikan tarif tol hanyak berdampak minimal terhadap inflasi administered prices, yaitu kurang dari 0,01%. Sumbangan inflasi terutama berasal dari komoditas rokok kretek (0,03%) dan bensin (0,01%) Menurut data per kota secara bulanan (% mtm) , dari 66 kota terjadi deflasi di 34 kota sementara 32 kota mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kendari sebesar -2,98% sedangkan inflasi tertinggi terjadi di Bima sebesar 0,96% yoy. (MS) 7
aktiva dan pasiva. Ketimpangan pemahaman akan berbagai aspek tersebut merupakan penyebab asimetri informasi antara penyelenggara dana pensiun dengan calon nasabahnya. Indonesia akan memasuki periode pelaksanaan jaminan sosial yang universal dengan ditetapkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada akhir Oktober 2011 yang lalu. Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial II. Transformasi perusahaan yang menyelenggarakan jaminan tersebut, yaitu Jamsostek dan Taspen direncanakan berakhir 1 Januari 2014. Sedangkan operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial II ditetapkan Juli 2015. Dalam UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, diwajibkan kepada pekerja dan pemberi kerja menjadi peserta jaminan sosial secara bertahap. Dengan arahan UU 40/2004 tersebut dan sudah adanya kejelasan jadwal operasionalisasi BPJS , maka pendidikan keuangan tentang dana pensiun kepada masyarakat perlu segera dilakukan. Pemerintah bersama penyelenggara dana pensiun seyogyanya mulai menyusun materi pendidikan keuangan untuk beberapa skema dana pensiun, seperti manfaat pasti (define benefit) dan kontribusi pasti (define contribution). (BHR)
Sambungan Halaman 7: Menuju APBN yang Mensejahterakan Rakyat Kedua, banyak pekerjaan yang dibatalkan karena waktu yang terlalu sempit untuk melakukan lelang. Inilah yang menyebabkan inefisiensi anggaran yang semestinya dapat disalurkan secara timely. Ketua Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR RI, Arif Budimanta, sebagai pembicara berpendapat bahwa optimalisasi penyerapan anggaran perlu dilakukan sejak triwulan I. Ia pun menyoroti program kemiskinan yang sebaiknya dibuat lebih banyak pada program produktif agar rakyat miskin dapat dientaskan dari kemiskinan secara permanen. (TKA) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011
Perkembangan APBN
Pertama, struktur APBN perlu dirubah secara mendasar dengan mengurangi subsidi BBM pada sasaran yang tepat. Ia lalu menjelaskan bahwa dari hasil paparan Kementerian ESDM (2011), 25% kelompok rumah tangga (RT) dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Sementara 25% kelompok RT dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima subsidi sebesar 15%. Soal subsidi, Bambang menjelaskan bahwa porsi belanja subsidi memang masih cukup besar. Namun, porsi subsidi ini sudah menurun dari 33,4% pada 2005 menjadi 21,3% pada 2012. Hal ini sejalan dengan upaya mengalokasikan subsidi lebih tepat sasaran. Perubahan mendasar kedua adalah pembatasan jumlah pegawai yang terukur dengan kinerja. Hal ini dilakukan karena ruang gerak fiskal masih terbatas dimana belanja pusat lebih banyak digunakan untuk belanja rutin, terutama belanja pegawai. Pada RAPBN 2012, alokasi anggaran untuk belanja pegawai memiliki porsi paling besar yaitu 22,6%. Untuk itu, perbaikan mekanisme rekruitmen pegawai dan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat harus ditingkatkan. Peningkatan belanja modal menjadi perubahan dasar lainnya yang perlu diperhatikan Pemerintah. Tidak hanya pada daerah-daerah yang selama ini tertinggal dalam pembangunan infrastruktur fisik, namun juga pada sektorsektor yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat, khususnya sektor pertanian dan industri pengolahan. Secara khusus anggaran harus menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru pada daerah-daerah yang selama ini miskin maupun tertinggal. Soal belanja modal ini, Bambang memberi fakta bahwa belanja modal terus mengalami peningkatan, misalnya 9,1% pada 2005 menjadi 17,6% pada 2012. Peningkatan ini bukti bahwa pemerintah terus mendukung percepatan pembangunan infrastruktur. Persoalan lama APBN adalah penyerapan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) yang selalu menumpuk di akhir tahun anggaran dan menjadi penyebab lain inefisiensi. Dalam enam tahun terakhir, penyerapan anggaran rata-rata triwulan I sebesar 11,13%, triwulan II sebesar 21,40%, triwulan III sebesar 24,46% dan pada triwulan IV sebesar 43,01%. Secara keseluruhan, ratarata penyerapan belanja K/L berkisar 87,7%, indikasi bahwa penyerapan belum optimal. Menurut Bambang, penyebab utama adalah mekanisme pengadaan, masalah internal K/L, mekanisme revisi, dan masalah lain (iklim, geografis dan faktor kehati-hatian serta keterbatasan kapasitas pihak ketiga di daerah). Sebagai konsekuensi, antara lain: pertama, kualitas output tidak terjaga karena waktu pekerjaan, khususnya proyek fisik menjadi terlalu singkat. (Bersambung ke halaman 6 TKA) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011
tidak sebanding dengan 30% ekspor timah atau dengan 30% - 40% ekspor batubara ke pasar dunia. Kondisi ini mengundang pertanyaan seberapa cukup memadai penerimaan negara dari sektor industri ekstraktif. Permasalahan di Industri Ekstraktif Rantai permasalahan pada industri ekstraktif bermula sejak disepakatinya kontrak eksplorasi, eksploitasi, produksi, hingga penerimaan negara. Penerimaan negara adalah kontribusi yang diberikan dari perusahaan migas dan tambang kepada pemerintah. Secara ideal berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945, penerimaan negara dari perusahaan migas dan tambang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk di dalamnya adalah mengatasi kerusakan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia. Di Indonesia, terdapat lebih dari 6000 ijin eksploitasi tambang mineral dan batubara. Bukan rahasia, pengelolaan tambang di Indonesia rentan diikuti kerusakan lingkungan. Jumlah ijin yang sangat besar mendorong kerusakan lingkungan yang semakin massif. Hal ini kontras dengan tingkat penerimaan negara yang tidak memadai seperti dijelaskan di atas. Di sisi lain, tingkat kemiskinan di daerah penghasil tambang masih cukup kentara. Menyebut contoh, di Kutai Kartanegara, kabupaten penghasil migas dan batubara yang cukup besar, masih terdapat lebih dari 10% penduduk miskin. Demikian pula misalnya di Bangka yang memiliki lebih dari 250 Ijin Usaha Pertambangan timah, masih tercatat tak kurang dari 10% penduduk di bawah garis kemiskinan. Nilai kapitalisasi industri batubara yang sangat besar, kontras dengan kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat sekitar tambang, serta kondisi kemiskinan yang masih disandang Indonesia. Tak pelak kondisi ini mendorong munculnya kebutuhan akan transparansi tentang seberapa besar penerimaan negara yang seharusnya dapat diperoleh dari sektor industri ekstraktif. Upaya ini kemudian disuarakan dengan cukup lantang oleh kelompok masyarakat sipil yang dimotori oleh koalisi PWYP (Publish What You Pay) Indonesia. Gelombang Kebutuhan Transparansi Sektor Industri Ekstraktif Di dunia internasional, gelombang untuk menuntut transparansi di sektor industri ekstraktif dimulai pada Desember 1999. Saat itu Global Witness mempublikasi laporan berjudul A Crude Awakening, yang mengangkat tentang konflik yang terjadi di Angola dalam masa 40 tahun perang sipil. Laporan itu menjelaskan bagaimana perusahaan minyak dan bank multinasional menolak memberikan informasi keuangan terkait pendapatan minyak dari negara tersebut. Di sisi lain, mis-manajemen dan Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011 8
Sumber: dimodifikasi dan diolah dari Budget Statistics 2006-2012, Ministry of Finance.
Potensi industri ekstraktif di Indonesia tersebar dalam komoditas yang sangat bervariasi, mulai dari minyak, gas, batubara, dan mineral seperti timah, nikel, emas, tembaga, perak, pasir besi, mangan, dll. Sebagai contoh, untuk mineral timah Indonesia adalah produsen terbesar di dunia, setelah Cina, menyumbang sekitar 30% - 40% dari produksi dunia. Tahun 2010, Indonesia memproduksi 92.500 ton timah, dengan angka ekspor dari Provinsi Bangka Belitung mencapai 27% dari suplai dunia. Untuk batubara, Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, mengekspor 50% lebih dari Australia dan dua kali lipat Rusia, eksportir batubara termal kedua dan ketiga terbesar di dunia, secara berurutan. Tiga puluh persen dari 40 orang pria dan wanita terkaya di Indonesia telah menghasilkan sebagian besar uang mereka dari sektor batubara. Delapan belas persen dari kapitalisasi pasar saham nasional adalah berasal dari perusahaan batubara. Membandingkan kontribusi ekspor mineral dan batubara Indonesia di pasar dunia dengan penerimaan dari sektor tambang, agaknya angka ini tidak cukup memadai. Satu hingga 1,3 persen kontribusi PNBP sektor pertambangan tidak
10
EITI telah menjadi komitmen nasional Pemerintah Indonesia berdasarkan Perpres No. 26 Tahun 2010. Dan sejak dinyatakan sebagai negara kandidat, Indonesia berusaha untuk mencapai status compliant dengan target April 2013. Untuk itu Indonesia harus memenuhi 21 langkah persyaratan. Menurut Husen, bukanlah hal yang mudah untuk memenuhi keseluruhan persyaratan hingga target waktu yang ditetapkan. Hingga saat ini Indonesia telah melalui 10 langkah pertama. Menurutnya Indonesia memiliki kesulitan yang berbeda jika dibandingkan dengan Norwegia yang telah menjadi negara compliant EITI. Perusahaan tambang di Indonesia yang banyak dan tersebar membuat pelaksanaan EITI ini menjadi lebih kompleks. Bagi PT. Pertamina, tantangan yang saat ini dihadapi terkait pelaksanaan EITI adalah sosialisasi dan komunikasi internal tentang EITI kepada unit-unit perusahaan PT. Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, Husen menyatakan bahwa PT. Pertamina telah berkomitmen dalam mendukung pelaksanaan EITI. Transparansi akan dibentuk melalui sejumlah mekanisme yang disinergikan dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh Sekretariat EITI, yaitu melalui BP MIGAS. Mekanisme internal yang dilakukan adalah dengan meminta dan melakukan endorsement pada anak perusahaan untuk mendukung kegiatan transparansi ini, dengan mengisi template pelaporan yang dibagikan oleh Sekretariat EITI melalui BP MIGAS. Selanjutnya template pelaporan tersebut dikembalikan ke Sekretariat EITI untuk dicocokkan dengan laporan dari Kementerian Keuangan. Komitmen dan peran PT. Pertamina sebagai perusahaan leader dalam mendukung pelaksanaan EITI di Indonesia akan memberikan dampak signifikan pada perusahaanperusahaan migas dan perusahaan industri ekstraktif lainnya. Terkait kemungkinan terjadi perbedaan laporan yang signifikan antara Perusahaan dan Pemerintah, Husen menjelaskan PT. Pertamina tidak akan melakukan perubahan atau perbaikan atas data yang telah dikirimkan. Esensi dari transparansi ini adalah apa yang dilaporkan adalah angka pendapatan yang diserahkan pada Pemerintah. Tugas PT. Pertamina hanya melaporkan angka-angka yang dimintakan dalam template pelaporan. Dan merupakan tugas rekonsiliator untuk mencari tahu sebab perbedaan tersebut. Rekonsiliator akan memeriksa dan menelusuri kembali dari data Perusahaan dan juga data yang dilaporkan Pemerintah. Keberhasilan tujuan EITI ini dapat terwujud karena mekanisme yang dibentuk dalam pelaksanaannya melibatkan beberapa pemangku kepentingan (multistakeh Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011
11
17
stakeholder) yang memiliki kesetaraan dalam wewenang, diantaranya Pemerintah, Perusahaan industri ekstraktif dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sebagai pihak netral akan mengawasi proses pelaporan Perusahaan dan Pemerintah. Dalam mekanisme multi-stakeholder ini, Pemerintah Daerah dan sejumlah instansi lain turut dilibatkan. Saat ini perwakilan dari Pemerintah Daerah yang telah tergabung bersama tim pelaksana diantaranya Sekda Jawa Timur, Sekda Kalimantan Timur dan Sekda Riau. Sedangkan instansi terkait lainnya diwakili oleh Direktur Jenderal ESDM dan Indonesia Petroleum Association (IPA) dari sisi industri. Dan sebagai perusahaan nasional, PT. Pertamina mengambil peran penting dalam proses pelaksanaan transparansi bersama multistakeholder lainnya, berkoordinasi dan saling mendukung kelancaran pelaksanaan inisiatif ini. Selain itu, diperlukan komitmen berkelanjutan dari Pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai pemegang mandat Perpres No. 26 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan transparansi pendapatan yang diperoleh dari industri ekstraktif dan tentunya juga komitmen politis Pemerintah Pusat untuk terus mendukung pelaksanaan EITI. (TKA)
dalam dan luar negeri. Berikut proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 dari berbagai sumber. Tabel 2. Perkiraan Perekonomian Indonesia 2012 Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi 2012 Asumsi Makro APBN RPJM 2010-2014 Bank Indonesia Oxford Economic Forecast BPS 6.7 6.4 - 6.9 6.3 - 6.7 6.4 6.7
Sedangkan Kemenakertrans mencanangkan berbagai program untuk mendukung kesiapan tenaga kerja menghadapi tantangan gejolak perekonomian. Strategi sektor tenaga kerja tahun 2012 mencakup program peningkatan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja; program penempatan dan perluasan kesempatan kerja; dan program pengembangan hubungan industrial dan peningkatan jaminan sosial tenaga kerja. Ekonom dari Universitas Indonesia, Dr. Ninasapti Triaswati menambahkan Indonesia dapat mengadopsi sistem insentif di Inggris yang dikenal sebagai unemployment benefit untuk memperbaiki database pengangguran. Hal ini menurutnya karena gejolak ekonomi global saat ini sebenarnya sangat berdampak besar bagi tenaga kerja yang bekerja di sektor hilir. Namun demikian dampak ini tidak terlihat jelas akibat adanya kendala dalam ketersediaan data pengangguran di Indonesia. Permasalahan lain dalam sektor ketenagakerjaan yang memerlukan tindak lanjut antara lain angka pengangguran yang persisten baik secara absolut maupun relatif, permasalahan underemployment dimana sekitar 15% pekerja di Indonesia tidak mendapat upah dan tingginya pengangguran di rentang usia muda. Selain itu, Indonesia dapat mencontoh implementasi labor market flexibility (outsourcing) di Eropa, tenaga kerja memperoleh transfer ilmu dan pengetahuan dari perusahaan untuk membangun usaha. Gejolak ekonomi global merupakan tantangan atas kekuatan perekonomian nasional. Melalui sinergi dengan berbagai pihak, pemerintah Indonesia berharap dapat menjawab tantangan ekonomi global untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. (AFA/RN/APN)
Sebagai upaya mengantisipasi menjalarnya dampak krisis global, pemerintah telah mempersiapkan strategi yang relevan. Bappenas menekankan perlunya meningkatkan ekspor, menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi, serta memaksimalkan belanja fiskal. Kemenkeu menambahkan, strategi dalam menghadapi krisis dengan meningkatkan belanja modal dan belanja sosial (subsidi) untuk menjaga daya beli karena ekonomi ditopang oleh konsumsi. Sementara itu, Pemerintah sudah mempersiapkan cadangan fiskal di dalam APBN untuk antisipasi jika kondisi Eropa semakin memburuk. Dari sisi moneter, BI akan memperkuat Protokol Manajemen Krisis. Kementerian Perdagangan mencanangkan 4 pilar arah kebijakan perdagangan, yakni: i) penguatan pasar dalam negeri dengan menjadikan pasar domestik sebagai guaranteed market bagi produk dalam negeri; ii) menjaga pertumbuhan ekspor melalui strategi diversifikasi pasar eskpor, optimalisasi peran perwakilan perdagangan di luar dan kemampuan komunikasi aparat; iii) stabilisasi pasokan dan harga barang pokok; dan iv) penguatan organisasi. Kebijakan tersebut sebagai tindak lanjuti tren ekspor yang terjadi. Saat ini, ekspor ke negara emerging markets dan 10 negara di luar C5 tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor ke negara C5 (China, AS, Jepang, Singapura, dan Malaysia). Kementerian ESDM mentargetkan adanya penurunan beban subsidi BBM di tahun 2012. Subsidi BBM masih didominasi oleh pengguna kendaraan pribadi di pulau Jawa dan Bali. Subsidi BBM akan dikurangi melalui program pembatasan volume BBM. Selain itu kenaikan TDL yang direncanakan per 1 April 2012 juga akan mengurangi beban subsidi energi. Kementerian Perindustrian merencanakan mendorong penyebaran industri ke daerah melalui pemberian insentif. Hal ini dikarenakan saat ini PMA didominasi oleh industri mineral dan non logam, sedangkan PMDN didominasi oleh industri makanan. Pertumbuhan impor bahan baku dan barang modal tinggi dan ini berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.
13
kesehatan yang tinggi maka produk asuransi yang paling dibutuhkan adalah asuransi sektor pertanian dan asuransi kesehatan. Namun produk asuransi yang paling dibutuhkan tersebut justru yang paling jarang tersedia. Peter Wrede (ILO) menyampaikan ironi dalam produk asuransi mikro sebagai berikut. Asuransi jiwa Asuransi pemakaman Asuransi jiwa berjangka Asuransi kecelakaan Asuransi pendidikan Asuransi untuk aset Asuransi sektor pertanian Asuransi kesehatan Tingkat Kesulitan Tingkat Keberhasilan
Berdasarkan diagram di atas tampak bahwa, produk asuransi yang paling dibutuhkan seperti asuransi pertanian dan asuransi kesehatan memiliki tingkat kesulitan tinggi dan tingkat keberhasilan yang rendah. Meskipun demikian, keberhasilan produk asuransi mikro sektor pertanian dan kesehatan tidaklah mustahil. Berbagai negara telah sukses menerapkan produk asuransi mikro dengan berbagai model seperti: Model berbasis masyarakat yaitu dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Contoh: UPLIFT, India Model penjaminan, Lembaga Keuangan Finansial (LKM) atau LSM menjadi penjamin dan pemilik klinik kesehatan. Contoh: Grameen, Bangladesh Model Mitra-Agen, LKM atau LSM menjual dan melayani asuransi mikro. Contoh: AIG-FINCA, Uganda Model penjaminan penuh, LKM atau LSM menjadi penjamin. Contoh: Delta Life, Bangladesh Model PPP. Contoh: Pemerintah Pakistan- perusahaan asuransi komersial-LKM; Lembaga donor-perusahaan asuransi komersial. Dari berbagai pengalaman di atas, Moslehuddin Ahmed (CEO Mincroinsurance Research Centre, UK) menyampaikan beberapa pelajaran dalam menjalankan asuransi mikro. Pertama, perhatian atas besarnya potensi pasar dan jumlah penduduk miskin yang belum memperoleh akses finansial namun bersedia membayar untuk mendapatkan akses atas produk dan jasa yang tepat. Kedua, pengelola asuransi mikro merupakan lembaga yang berpengalaman dan terpercaya. Ketiga, pemasaran produk asuransi mikro harus mampu menyediakan informasi yang lengkap dan bersifat mendidik. Keempat, asuransi mikro dirancang dengan perspektif jangka panjang dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Dengan demikian, produk asuransi mikro diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat. (RA) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011
Berdasarkan karakteristik asuransi mikro di atas, beberapa syarat utama produk asuransi mikro diantaranya: Terjangkau Sederhana dan mudah dipahami Meminimalkan atau menghapuskan pengecualian Inklusif Tidak ada syarat tambahan Pembayaran premi yang fleksibel Klaim yang mudah dan cepat Produk dirancang berdasarkan penelitian pasar Mengingat sebagian besar masyarakat menengah ke bawah di Indonesia bekerja di sektor pertanian yang meng menghadapi risiko anomali iklim dan risiko kesehatan
Permintaan
14
Secara sektoral, sebagian besar dana KUR diserap sektor hilir seperti sektor perdagangan besar dan eceran. Total plafon sektor tersebut hingga 31 Oktober 2011 mencapai Rp 35,6 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 3.985.297. Sedangkan rata-rata kredit sektor tersebut adalah sebesar Rp 9 juta/debitur. Dengan demikian sebagian besar KUR pada sektor perdagangan merupakan KUR mikro. Sektor dengan penyaluran KUR terbesar kedua adalah sektor pertanian, perburuan dan kehutanan. Namun, selisih realisasi plafon KUR sektor perdagangan besar dan eceran dengan sektor pertanian, perburuan dan kehutanan sangat besar. Sehingga penyaluran KUR pada sektor hulu yang merupakan prioritas KUR, masih dapat dioptimalkan. Realisasi penyaluran KUR pada sektor pertanian, perburuan dan kehutanan hingga 31 Oktober 2011 mencapai Rp 9,9 triliun yang disalurkan kepada 720.201 debitur.
11
Sumber: Komite Kebijakan KUR
10
Plafon (Rp Juta) Sumber: Komite Kebijakan KUR Debitur
Dari keenam Bank Pelaksana, BRI merupakan Bank penyalur KUR terbesar. BRI telah menyalurkan Rp 36,7 triliun dana KUR kepada sekitar 5.121.945 debitur. Sebagian besar dana KUR tersebut merupakan KUR Mikro senilai Rp 27,7 triliun. KUR Mikro BRI disalurkan kepada 5.060.153 debitur. Sehingga rata-rata kredit KUR Mikro BRI Rp 5,48 juta dengan NPL 2,21%. Sedangkan KUR Ritel BRI sekitar Rp 9 triliun. Dana KUR Ritel tersebut disalurkan kepada 61.792 debitur. Sehingga rata-rata kredit Rp 145,88 juta dengan NPL 3,4%.
Penyaluran KUR secara geografis masih terkonsentrasi pada pulau Jawa. Realisasi penyaluran KUR pada lima provinsi di Pulau Jawa mencapai Rp 30,5 triliun ( 51,8% dari total plafon KUR) dengan jumlah debitur pada kelima provinsi tersebut sebanyak 3.316.188 (61% dari total debitur). Dari 33 provinsi, Jawa Timur tetap merupakan provinsi dengan plafon KUR terbesar senilai Rp 9,1 triliun dengan jumlah debitur 946.240. Sedangkan jumlah debitur terbanyak juga tetap berada di provinsi Jawa Tengah yang mencapai 1.243.749 debitur. Di sisi lain, realisasi plafon KUR pada provinsi-provinsi di luar pula Jawa masih belum optimal. Provinsi dengan penyaluran KUR terendah diantaranya Bangka Belitung dan Maluku Utara masing-masing Rp 150 miliar dan Rp 257 miliar. Kedepan, partisipasi BPD dalam program KUR diharapkan dapat mendorong optimalisasi penyaluran KUR secara lebih merata. (RA) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Nopember 2011
15
Untuk KTI, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, di sisi penggunaan didorong oleh konsumsi, investasi dengan proyek berbagai pembangunan infrastruktur jalan, bandara, properti, pembangkit listrik dan perbaikan ekspor, serta di sisi sektoral didukung juga oleh sektor perdagangan, PHR, pertanian, pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan untuk kawasan Sumatera, perlambatan pertumbuhan kawasan ini terutama dipengaruhi oleh penurunan kinerja sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain itu, produksi perkebunan akibat kemarau yang cukup panjang menyebabkan ekspor mengalami perlambatan. Namun, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan daya beli yang membaik. Pertumbuhan perekonomian daerah selama Tw. III 2011 juga disertai dengan laju inflasi daerah yang rendah, kecuali di kawasan Sumatera yang mencatat angka inflasi lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yaitu sebesar 6,12%. Di kawasan ini, inflasi tertinggi berasal dari kelompok bahan sandang dan bahan makanan yang dipicu oleh naiknya harga komoditas emas, bahan pangan, dan harga beras. Sedangkan untuk kawasan lain, yaitu Jakarta, Jawa dan KTI, ketiganya mengalami perlambatan tingkat inflasi masing masing sebesar 4,61%, 4% dan 4,64%. Perlambatan ini disebabkan oleh terjadinya koreksi harga pada beberapa komoditas pangan, seperti aneka bumbu, daging dan ikan ikanan dan harga beras yang berpotensi meningkat. Salah satu tantangan pada perekonomian daerah di akhir tahun 2011 ini ialah dampak melemahnya prospek ekonomi global terhadap kinerja ekspor daerah. Namun hingga akhir triwulan ketiga, kinerja ekspor di seluruh kawasan masih cukup baik. Baik kawasan Sumatera dan KTI yang terkonsentrasi pada komoditas Sumber Daya Alam (SDA) maupun kawasan Jawa dan Jakarta yang didominasi oleh barang manufaktur, sama sama memiliki tujuang utama ekspor pasar Asia. Hal ini yang diperkirakan menjadi faktor pendorong kinerja yang tetap terjaga. Pada akhirnya, prospek kinerja pertumbuhan ekonomi di triwulan IV-2011 diperkirakan akan tetap tinggi sehingga dapat mengkonfirmasi pertumbuhan ekonomi nasional yang tetap berada di atas 6%. Demikian juga dengan tingkat inflasi di berbagai daerah yang diperkirakan akan tetap terkendali hingga akhir tahun seiring dengan ekspektasi inflasi masyarakat yang membaik dan kenaikan harga komoditas di pasar global yang mereda.
(WP dan RN, disarikan dari Tinjauan Ekonomi Regional BI)
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di seluruh kawasan pada triwulan ini secara umum ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Angka pertumbuhan yang tinggi di Jakarta didorong oleh adanya peningkatan penghasilan konsumen dan diikuti pembelian barang tahan lama (mobil dan alat rumah tangga) yang meningkat. Demikian juga untuk kawasan Jawa dengan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi karena didukung oleh realisasi Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji pegawai ke-13 bagi PNS, masa libur dalam rangka liburan sekolah , tahun ajaran baru dan bulan puasa. Dari sektor penawaran, membaiknya kinerja sektor industri manufaktur dengan pasokan bahan baku yang terjaga meningkatkan kinerja perekonomian di kedua kawasan ini. Khusus untuk Jakarta, peningkatan signifikan juga terjadi di sektor konstruksi. Maraknya pembangunan gedung perkantoran dan infrastruktur dalam rangka SEA Games XXVI yang dilangsungkan November 2011 membuat pemerintah provinsi DKI Jakarta selaku salah satu tuan rumah penyelenggara terus mempercepat penyelesaian pembangunan.
16
DAFTAR ISTILAH
Barang Modal adalah barang yang digunakan untuk modal usaha seperti mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat Devisa adalah merupakan masuknya uang asing ke negara kita dapat digunakan untuk membayaran pembelian atas impor dan jasa luar negeri Ekspor adalah kegiatan menjual barang dan jasa ke luar negeri Impor adalah kegiatan membeli barang dan jasa dari luar negeri Industri Ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar Neraca Pembayaran adalah catatan dari semua transaksi ekonomi internasional yang meliputi perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk dalam negeri dengan penduduk luar negeri selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun atau dikatakan sebagai laporan arus pembayaran (keluar dan masuk) untuk suatu negara Neraca perdagangan adalah Neraca pembayaran dapat dipecah ke dalam beberapa kategori yaitu; transaksi berjalan (current account), neraca modal (capital account), dan cadangan devisa negara (official reserves account) Neraca Modal merupakan bagian dari neraca pembayaran yang mencerminkan perubahanperubahan dalam kepemilikan aset jangka pendek dan jangka panjang (seperti saham, obligasi dan real estate) suatu negara, Yang meliputi : a. Arus modal masuk tercatat sebagai kredit karena suatu Negara menjual aset berharga kepada pihak asing untuk memperoleh uang tunai.
Untuk Informasi Lebih Lanjut Hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : tinjauan.ekon@gmail.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id
ISSN 2088-3153