Anda di halaman 1dari 12

BAB I

RUMUSAN KASUS

Pada pertengahan tahun 2005 (Mei-Agustus) kami melakukan penelitian dengan
tema 'KonIlik Keseharian di Pedesaan Jawa. Pilihan tema tersebut didasari oleh
dua alasan: konseptual/teoretis dan praksis. Alasan pertama mencakup cara
pandang dan penjelasan teoretis tentang kehidupan masyarakat perdesaan,
(khususnya petani); sedangkan yang kedua mencakup soal usaha
pengorganisasian untuk mendorong transIormasi sosial di perdesaan, khususnya
yang diprakarsai ornop (organisasi non-pemerintah). Persoalan di tataran
konsep/teori dilatarbelakangi oleh perdebatan pendekatan ekonomi moral (Scott
1976) dan ekonomi politik/pendekatan minimalis (pilihan rasional) (Popkin
1979). Khusus dalam konteks kajian pedesaan di Indonesia (Jawa) dipicu oleh
pandangan dan kesimpulan CliIIord Geertz tentang masyarakat pedesaan Jawa.
Sejak awal kami bersikap hati-hati untuk menerima pandangan ketiga ahli
pedesaan di atas mengingat dinamika dan perubahan masyarakat pedesaan yang
terjadi di Indonesia, terutama sejak jaman Orde Baru begitu cepat. Di samping itu,
kami menyadari bahwa kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh ketiga ahli di
atas tidak bebas dari kepentingantidak bebas dari pengaruh dinamika sosial,
ekonomi dan politik internasional serta pertentangan ideologi sosialisme-
komunisme versus liberalisme-kapitalisme yang berlangsung setelah Perang
Dunia Kedua berakhir sampai kurang lebih tahun 1990-an. Atas dasar itulah
penting untuk meninjau kembali beberapa tesis atau kesimpulan yang
dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut.


BAB II
URAIAN KASUS

1. Apa dampak dari adanya masyarakat desa sebagai salah satu strata sosial
masyarakat di indonesia?
Membahas kehidupan masyarakat perdesaan mau tidak mau akan
bersentuhan dengan petani, yakni segolongan orang yang hidup dari hasil
bercocok tanam melalui pengolahan tanah. Walaupun mata pencaharian
orang-orang desa beragam, sebagian besar adalah petani, dan kegiatan
pertanian masih menjadi sumber penghasilan utama masyarakat desa.
Menurut hasil Sakernas tahun 2003, dari jumlah angkatan kerja Indonesia
yang sudah memasuki lapangan pekerjaan, sebanyak 42.001.437 orang
(46) bekerja di sektor pertanian, sedangkan sebanyak 48.783.478 orang
(54) tersebar di sektor industri, bangunan, perdagangan, angkutan,
keuangan, jasa dan lain-lain. Angkatan kerja terbanyak berada di Pulau
Jawa yang jumlahnya mencapai 59.861.000 orang. Sisanya sebanyak
40.455.000 orang berada di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
pulau lainnya. Daily, 19/04/2005, www.suarapembaruan.com
2. Mengapa masyarakat desa menjadi salah satu lapisan sosial masyarakat
indonesia?
Di dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial, seperti masyarakat
lapisan atas, menengah dan bawah. Terjadinya pelapisan sosial ini (juga
disebut stratiIikasi sosial) adalah sebagai hasil penilaian masyarakat
terhadap individu-individu dalam masyarakat. Selama di dalam
masyarakat terdapat sesuatu yang dinilai atau dihargai, maka hal ini akan
menyebabkan terjadinya penggolongan individu-individu ke dalam lapisan
sosial tertentu. Desa mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda satu
sama lain, tergantung pada konteks ekologinya. Pengkajian masyarakat
pedesaan memberikan ciri atau karakteristik yang cenderung sama tentang
desa. Pada aspek politik, masyarakat desa cenderung berorientasi
'ketokohan, artinya peran-peran politik desa pada umumnya
ditanggungjawabkan atau dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan
dalam masyarakat. Secara ekonomi, mata pencaharian masyarakat desa
berorientasi pada pertanian artinya sebagian besar masyarakat desa adalah
petani. Sedangkan dalam konteks religi-kultural masyarakat desa memiliki
ciri nilai komunal yang masih kuat dengan adanya guyub rukun, gotong
royong dan nilai agama atau religi yang masih kuat dengan adanya
ajengan atau Kyai sebagai pemuka agama.
Secara historis, desa memerankan Iungsi yang penting dalam politik,
ekonomi dan sosial-budaya di Indonesia. Di sisi lain, pedesaan merupakan
daerah yang dominan jumlahnya di Indonesia, dimana sebagian besar
masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan. Hal ini memberikan
implikasi pada banyaknya program pembangunan yang diorientasikan
pada masyarakat pedesaan.
3. Siapa saja yang tergolong dalam masyarakat desa yang menjadi bagian
dari lapisan masyarakat di indonesia?
Dalam masyarakat desa, pada mulanya yang masuk lapisan atas itu adalah
mereka yang berasal turunan orang-orang yang membuka atau mendirikan
desa, yang pada umumnya memiliki tanah pertanian yang luas dan baik di
seputar pusat desa. Sedang yang dianggap lapisan menengah adalah
turunan orang-orang yang datang kemudian ke desa itu, yang membuka
tanah pertanian agak jauh dari pusat desa. Lapisan yang terendah terdiri
dari mereka yang mempunyai rumah di atas tanah orang lain dan mereka
yang menumpang di dalam rumah orang lain.
4. Dimana saja masyarakat desa terdapat sebagai salah satu bagian dari
lapisan masyarakat di indonesia?
Masyarakat desa terdapat di seluruh bagian pulau pulau yang menjadi
bagian kontingen indonesia. Tetapi harus lah di ingat bahwa biasa nya
masyarakat pedesaan terdapat di daerah yang belum dimasuki oleh
peradaban yang maju dengan segala teknologi dan alat komunikasi.
Biasanya masyarakat desa terdapat di daerah daerah pesisir sungai atau di
sekitar lembah pegunungan dll.
5. Kapan masyarakat desa menjadi salah satu bagian dari lapisan sosial
masyarakat indonesia?
Masyarakat desa menjadi salah satu bagian dari lapisan sosial masyarakat
indonesia sudah sebelum terbentuknya indonesia sendiri, karena sejak dari
jaman nenek moyang yang lampau dimana sudah terdapat kelompok
kelompok, lapisan masyarakat sudah terbentuk karena pada kenyataan nya
didalam kehidupan manusia, maupun kehidupan alam terdapat adanya
tingkatan/lapisan didalamnya; pelapisan terdapat sebagai suatu kenyataan
dalam masyarakat
6. Bagaimana masyarakat desa menjadi salah satu bagian dari lapisan sosial
masyarakat indonesia?
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
Adapun orang-orang yagn menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan
berdaarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat
itu, tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena siIanya
yang tanpa disengaja inilah maka bentuk pelapisan dan dasar dari pada
pelaisan ini bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat
dimanapun sistem itu berlaku.








BAB III
IDENTIFIKASI FAKTOR DAN INDIKATOR

Desa mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda satu sama lain, tergantung
pada konteks ekologinya. Pengkajian masyarakat pedesaan memberikan ciri atau
karakteristik yang cenderung sama tentang desa. Secara historis, desa
memerankan Iungsi yang penting dalam politik, ekonomi dan sosial-budaya di
Indonesia. Di sisi lain, pedesaan merupakan daerah yang dominan jumlahnya di
Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan.
Hal ini memberikan implikasi pada banyaknya program pembangunan yang
diorientasikan pada masyarakat pedesaan. Dengan demikian, maka kajian
mengenai masyarakat desa menjadi suatu hal yang sangat penting dilakukan
sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Dua hal penting yang akan
menjadi Iokus kajian tentang pedesaan dalam kegiatan turun lapang ini yaitu
struktur sosial dan dinamika masyarakat pedesaan. Struktur sosial yang
dimaksudkan adalah hubungan antar status/peranan yang relatiI mantap.
Sementara itu, dinamika masyarakat dimaknai sebagai proses gerak masyarakat
dalam keseharian, dalam konteks ruang dan waktu.
Sastramihardja (1999) menyatakan bahwa desa merupakan suatu sistem sosial
yang melakukan Iungsi internal yaitu mengarah pada pengintegrasian komponen-
komponennya sehingga keseluruhannya merupakan satu sistem yang bulat dan
mantap. Disamping itu, Iungsi eksternal dari sistem sosial antara lain proses-
proses sosial dan tindakan-tindakan sistem tersebut akan menyesuaikan diri atau
menanggulangi suatu situasi yang dihadapinya. Sistem sosial tersebut mempunyai
elemen-elemen yaitu tujuan, kepercayaan, perasaan, norma, status peranan,
kekuasan, derajat atau lapisan sosial, Iasilitas dan wilayah.
Masyarakat selalu dikaitkan dengan gambaran sekelompok manusia yang berada
atau bertempat tinggal pada suatu kurun waktu tertentu. Pengertian ini
menggambarkan adanya anggapan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari
Iaktor lingkungannya, baik yang bersiIat Iisik maupun sosial. Berdasarkan
pandangan dari segi sosiologi, hal ini memperlihatkan adanya interaksi sosial
antara manusia secara kelompok maupun pribadi. Masyarakat mengutamakan
hubungan pribadi antara warganya, dalam arti bahwa masyarakat desa cenderung
saling mengenal bahkan seringkali merupakan ikatan kekerabatan yang berasal
dari suatu keluarga pembuka desa tertentu yang merintis terbentuknya suatu
masyarakat guyub. Pada masyarakat desa terdapat ikatan solidaritas yang bersiIat
mekanistik dalam arti bahwa hubungan antar warga seakan telah ada aturan
semacam tata krama atau tata tertib yang tidak boleh dilanggar jika tidak ingin
mendapat sanksi. Adanya tata tertib tersebut sesungguhnya ingin menjaga suatu
comIormity di kalangan masyarakat desa itu sendiri.
Menurut Geertz (1963) masyarakat desa di Indonesia identik dengan masyarakat
agraris dengan mata pencaharian sektor pertanian, baik petani padi sawah (Jawa)
maupun ladang berpindah (Luar Jawa). Selain itu, sejumlah karakteristik
masyarakat desa yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersiIat
umum yang selama ini masih sering ditemui yaitu: sederhana, mudah curigai,
menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, tertutup dalam hal keuangan, perasaan
minder terhadap orang kota, menghargai orang lain, jika diberi janji akan selalu
diingat, suka gotong royong, demokratis, religius. Kedudukan seorang dilihat dari
berapa luasan tanah yang dimiliki.

BAB IV
ANALISIS FAKTOR DAN INDIKATOR

Pengetahuan tentang perdesaan hampir sepenuhnya didasari citra kehidupan yang
bersahaja dan tidak mengenal pamrih. Masyarakat desa digambarkan sebagai
komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan, memiliki ikatan sosial yang kuat
dan senantiasa menjaga harmoni. Gambaran seperti itu tampaknya lebih
mencerminkan harapan daripada kenyataan yang benar-benar ada. Gambaran
kebersahajaan desa kerap disandingkan dengan wajah ketertinggalan dan
kemelaratan. Penggunaan istilah 'urang kampung (Sunda), 'wong ndeso (Jawa)
lebih bermakna merendahkan daripada menunjuk identitas asal-usul seseorang.
Ambiguitas semacam ituharapan kebersahajaan dan pengakuan terhadap
kondisi kemelaratankemudian mewujud menjadi sesuatu yang kontradiktiI. Hal
itu akan terlibat jika kita mencermati propaganda pemerintah dalam menciptakan
kepatuhan masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan. Di satu sisi
pemerintah mengagungkan citra masa lalu masyarakat desa yang dipercaya
menjunjung tinggi prinsip-prinsip moralkarena itu berusaha dipertahankan
sementara di sisi lain pemerintah pula yang terus mendorong agar masyarakat
desa memodernkan diri, yang itu berarti harus meninggalkan cara-cara hidup
tradisional.
Pandangan sebaliknya datang dari kalangan penggiat organisasi non-pemerintah
yang cenderung memposisikan dirinya sebagai 'penyeimbang pemerintah dalam
memberi alternatiI penataan masyarakat yang idealadil dan makmur. Pandangan
ornop pada umumnya tidak menganggap siIat tradisional yang biasa dilekatkan
pada masyarakat desa sebagai penghambat kemajuan. Sebaliknya, proses
modernisasilah yang menyebabkan masyarakat desa tertinggal. Berbeda dengan
pemerintah, jawaban yang mereka tawarkan pada umumnya bukan berusaha
memodernkan masyarakat desa (rasionalisasi), melainkan 'mengembalikan
menata kembali institusi sosial dan tata kehidupan masyarakat desa yang dianggap
telah dirusak oleh proses modernisasi.
Jika kedua pendapat tersebut diletakkan dalam kerangka pemikiran dikotomis
tradisional-modern, keduanya sama-sama tidak realistis. Pandangan pemerintah
jelas kontradiksi, sementara pandangan ornop a-historis. Mengembalikan tata
kehidupan masa lalu bukan hanya membangun kesadaran tentang penting atau
baiknya masa lalu, melainkan juga mengembalikan tatanan alam dan sosial yang
ada pada suatu masa. Contohnya kampanye ornop tentang gerakan pertanian
organik dan penataan produksi pangan lokal. Bagaiman gagasan tersebut bisa
diwujudkan jika daya dukung Iisik dan sosial untuk itu sudah sudah tidak ada.
Lebih dari itu, bagaimana gagasan kemandirian pangan yang sangat kental warna
ideologisnya itu bisa terwujud jika masyarakat desa lebih berpikir ekonomis
daripada berkutat dengan keyakinan ideologis. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa pemahaman kita tentang masyarakat desa masih diliputi penyederhanaan
dan didasarkan pada klaim-klaim kebenaran yang jarang bahkan nyaris tidak
pernah dikritisi.
Sekali lagi kami kemukakan bahwa gambaran kebersahajaan masyarakat desa
lebih merupakan citra atau kenyataan yang dibayangkan tentang tata kehidupan
yang ideal. Di satu sisi, penggambaran semacam itu adalah untuk menciptakan
harmoni dan meredam potensi konIlik dan perlawanan rakyat terhadap penguasa
seperti dapat kita lihat dalam praktik politik pemerintah Orde Baru (Schrauwers
2002). Di sisi lain, bisa juga digunakan untuk menolak sistem sosial baru yang
akan menghancurkan tata sosial lama.
Sejalan dengan pencitraan kehidupan desa yang damai dan tentram, masyarakat
desa digambarkan bersiIat tradisional, tidak mengenal pelapisan sosial dan
egaliter, kontras dengan masyarakat modern. Seperti halnya citra perdesaan,
pencitraan masyarakat desa pun didasari oleh kepentingan pengendalian. Melalui
pencitraan seperti itu penguasa supradesa memiliki klaim dan legitimasi penuh
untuk mengarahkan kehidupan masyarakat desa yang sejalan dengan kehendak
penguasa.
Sudah cukup banyak penelusuran sejarah yang menunjukkan bahwa gambaran
masyarakat desa yang tidak mengenal pelapisan sosial, egaliter, subsisten dan
terisolasi dari ekonomi uang adalah keliru. Demikian pula tentang gambaran pola
hubungan sosial masyarakat desa yang dianggap mendasarkan pada prinsip-
prinsip moral daripada perhitungan rasional yang lebih berorientasi pada
kepentingan individu. Bahwa perilaku moral dan rasional melingkupi kehidupan
dan perilaku masyarakat desa memang benar, tetapi tidak berarti kedua prinsip itu
berjalan secara linier, yang satu mendahului dan yang satunya lagi belakangan.
Tidak berarti bahwa dalam konteks sejarah tertentu masyarakat desa lebih
mendahulukan prinsip moral, dan dalam konteks sejarah dikemudian hari lebih
mendasarkan perilakunya pada pertimbangan rasional. Perilaku yang didasari
pertimbangan moral bukanlah ciri kehidupan masa lalu (prakapitalis), dan
sebaliknya, perilaku rasional bukan ciri kehidupan masyarakat desa setelah
bersentuhan dengan ke dalam sistem pasar (kapitalisme). Antara moral dan
rasional tidak bisa disejajarkan dengan tradisional dan modern. Kecuali bahwa
masyarakat desa memiliki ketergantungan terhadap tanah (sumber agraria) dan
sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, sukar kiranya bagi kita untuk
memahami dinamika dan perubahan masyarakat perdesaan jika masih
menggunakan perspektiI dikotomis tradisional-modern, atau moral-rasional.

BAB V
SOLUSI

1. Dalam bergaul di masyarakat kita perlu sekali memperhatikan status-posisi
atau kedudukan seseorang. Pada umumnya orang-orang sangat peka akan
status-posisi yang dimilikinya. Bahkan status-posisi atau kedudukan ini
sangat dipelihara atau dibanggakan (terutama kedudukan tinggi dalam
masyarakatnya). Oleh karena itu apabila kita memandang enteng atau
tidak menghiraukan status-posisi atau kedudukan seseorang, terutama
dalam mengadakan inteaksi dan komunikasi engan orang-orang tersebut,
biasanya interaksi atau komunikasi itu tidak akan mencapai sasarannya.
2. Kedudukan hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan kedudukannya
disebut peranan. Peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi
masyarakat serta kegiatan-kegiatan apa yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya. Dengan demikian peranan mempunyai Iungsi penting, kerna
mengatur kelakuan seseorang dan pada batas-batas tertentu dapat
meramalkan perbuatan orang lain. Seseorang yang mempunyai kedudukan
akan berperan sesuai dengan kedudukan tersebut.
3. Didalam sistem ini setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk
jatuh ke pelapisan yang ada dibawahnya atau naik ke pelapisan yang di
atasnya. Sistem yang demikian dapat kita temukan misalnya didalam
masyarakat Indonesia sekarang ini. Setiap orang diberi kesempatan untuk
menduduki segala jabatan bisa ada kesempatan dan kemampuan untuk itu.
Tetapi di samping itu orang jug adapt turun dari jabatannya bila ia tidak
mampu mempertahankannya.. Status (kedudkan) yang diperoleh
berdasarkan atas usaha sendiri disebut 'achieved status.


BAB VI
RELEVANSI KASUS DENGAN TEMA

Di dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial, seperti masyarakat lapisan
atas, menengah dan bawah. Terjadinya pelapisan sosial ini (juga disebut
stratiIikasi sosial) adalah sebagai hasil penilaian masyarakat terhadap individu-
individu dalam masyarakat. Selama di dalam masyarakat terdapat sesuatu yang
dinilai atau dihargai, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya penggolongan
individu-individu ke dalam lapisan sosial tertentu. Hal yang dinilai atau dihargai
masyarakat kita pada umumnya adalah antara lain : kekayaan, kekuasaan, jabatan,
kehormatan, kewibawaan, kejujuran, kepandaian, kealiman dan sebagainya.
Mungkin saja seseorang dapat memiliki lebih dari satu apa yang dihargai itu
dimiliki seseorang, akan menempatkan orang itu dalam lapisan lebih rendah dan
bila cukup saja, mungkin akan menempatkan orang dalam lapisan menengah.
Rupa-rupanya sampai saat ini kekayaan merupakan ukuran yang menonjol
dibandingkan dengan yang lainnya.
Tema utama yang dibahas dalam penelitian ini adalah 'konIlikyakni konIlik
keseharian masyarakat perdesaan dalam hubungan agraria dan sosial masyarakat
sebagai salah satu lapisan sosial masyarakat di Indonesia. Pilihan tema tersebut
pertama-tama merupakan tanggapan atas munculnya minat dan perhatian ornop
(organisasi non-pemerintah) terhadap persoalan agraria dan kemiskinan
perdesaan. Membahas kehidupan masyarakat perdesaan mau tidak mau akan
bersentuhan dengan petani sebagai salah satu komponen lapisan sosial masyarakat
pedesaan, yakni segolongan orang yang hidup dari hasil bercocok tanam melalui
pengolahan tanah. Walaupun mata pencaharian orang-orang desa beragam,
sebagian besar adalah petani, dan kegiatan pertanian masih menjadi sumber
penghasilan utama masyarakat desa. Berdasarkan data tersebut tampak bahwa
sektor pertanian memiliki peran penting dalam memecahkan masalah, ketenaga
kerjaan di Indonesia. Namun demikian, khusus di Pulau Jawa, daya dukung untuk
itu tampaknya terus mengalami penurunan. Hal itu terlihat dari semakin
menyempitnya luas tanah pertanianterutama sawahakibat ahli Iungsi. Di
samping menghadapi persoalan alih Iingsi tanah, Indonesia secara keseluruhan
dan Pulau Jawa khususnya juga menghadapi masalah ketimpangan agraria. Secara
teoritis, ketimpangan agraria dan meningkatnya jumlah penduduk miskin di
perdesaan dapat memicu timbulnya gejolak asosial dan konIlik terbuka antara
golongan miskin yang tidak memiliki tanah atau luas tanahnya kecil dengan
golongan kaya yang menguasai tanah luas. Melihat kenyataan tersebut kita dapat
mengatakan bahwa walaupun konIlik agraria terkait dengan persoalan akses dan
kontrol petani atas tanah, hal itu belum cukup menunjukan adanya kaitan yang
kuat dengan masalah ketimpangan agraria. Dengan kalimat lain, ketimpangan
agraria belum menjadi kondisi yang mencukupi bagi timbulnya konIlik terbuka.

Anda mungkin juga menyukai