PENDAHULUAN
Perdarahan masih merupakan penyebab angka kematian dan
kesakitan tertinggi pada ibu pada sebagian besar negara berkembang.
Pasien obstetri sering dihadapkan terhadap kebutuhan transfusi darah
yang jika tidak ditangani dengan tepat akan meningkatkan angka
mortalitas dan morbiditas.
(RCOG, 2008; Akinola,2010; Obed,2010)
Pemakaian darah sebagai salah satu pengobatan yang belum ada
gantinya, akhir-akhir ini semakin meningkat,sedangkan sumber darah itu
masih tetap ada pada manusia sendiri, sehingga hal ini menimbulkan
masalah tidak terpenuhinya kebutuhan darah yang merupakan suatu
bentuk pertolongan sangat berharga kepada yang membutuhkan
(Pusat dat a
dan informasi PERS, 2003)
Transfusi darah bisa diberikan secara homolog maupun autolog,
tetapi hal yang terpenting adalah keamanan pemberian transfusi darah.
Karena pemberian darah untuk transfusi yang tidak aman lebih berbahaya
dibandingkan dengan tidak melakukan transfusi. Transfusi darah homolog
memegang peranan penting dalam obstetri modern, tetapi hal ini tidak
terlepas dari komplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh proses transfusi
darah seperti reaksi transfusi, transmisi penyakit seperti HV dan hepatitis.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah tingginya biaya yang
dibutuhkan untuk transfusi darah.
(Obed, 2010)
Transfusi darah autolog merupakan kesuksesan di bidang transfusi
darah, karena bisa menghindari resiko transmisi penyakit dan reaksi
transfusi darah. Selain itu, ketersediaan donor yang segera menyebabkan
hal ini perlu dipertimbangkan untuk menjadi pilihan dalam pelaksanaan
transfusi darah
(WHO, 2002; Obed,2010)
BAB II
REAKSI TRANSFUSI DARAH
A. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam
24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa.
Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash.
Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-
berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi,
dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku
otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik, antihistamin atau
kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan diperlambat.
(Sodoyo,
2000; WHO, 2002)
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas
sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi
terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau
bakteri. .
(Sodoyo, 2000; WHO, 2002)
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah,
nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri
punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku
otot, demam, lemah, hipotensi (turun <20% tekanan darah sistolik),
takikardia (naik <20%) dan hemoglobinuria. Reaksi ini disebabkan oleh
hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan
cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi. .
(Sodoyo, 2000; WHO,
2002)
. Reaksi anafiIaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi gA dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan
produk darah yang banyak mengandung gA. Reaksi ini terjadi dalam
beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps
kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif dengan
antihistamin dan adrenalin. .
(Sodoyo, 2000; WHO, 2002)
. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute
lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang
mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi
paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan
gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik,
namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif. .
(Sodoyo, 2000;
WHO, 2002)
B. Reaksi Lambat
. Reaksi hemoIitik Iambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi
hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal
ginjal dan DC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan
sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut. .
(Sodoyo, 2000; WHO, 2002)
. Infeksi
nfeksi yang berisiko terjadi akibat transfusi adalah Hepatitis B dan
C, HV, CMV, malaria, sifilis, bruselosis, tripanosomiasis) .
(Sodoyo, 2000; WHO,
2002)
BAB III
AUTOLOGOUS BLOOD TRANSFUSION
A. Definisi
utologous blood transfusion ( transfusi darah autolog) adalah
penggumpulan dan re-infusi darah pada pasien yang sama untuk
penggantian volume intravaskular. Hal ini diperkenalkan pada tahun 1818
oleh James Blundell yang melakukan reinfusi darah dari pasien
perdarahan postpartum setelah dicuci dengan Nacl 0.9 %. Meskipun
teknik ini berakhir dengan kematian pada 75% pasien tetapi hal ini
merupakan awal dari dimulainya era autologous transfusion.
(Alexandre, 2010;
Vanderlinde , 2002, Thomas D, 2005)
Pada awal tahun 1900 mulai dilakukan autologous transfusion pada
berbagai macam jenis operasi (pada operasi amputasi, KET, splenektomi,
operasi bedah saraf) dengan berbagai tingkat kesuksesan. Dengan
berkembangnya teknik pengambilan dan penyimpanan darah, permintaan
untuk tranfusi darah semakin meningkat. Pada tahun 1970 Klebanof
menemukan konsep baru dalam autologous transfusion dengan system
roller pump yang berhasil digunakan di Vietnam. .
(Alexandre, 2010; Vanderlinde ,
2002, Thomas D, 2005)
Hal utama yang menyebabkan dilakukannya transfusi darah
autolog adalah untuk mengurangi resiko transmisi infeksi dan untuk
mengatasi kekurangan sumber darah. Pada transfusi darah homolog
terdapat resiko penularan infeksi virus seperti HV, dan human T-cell
lymphotropic viruses ( HTLV). Meskipun telah dilakukan screening untuk
infeksi virus diatas, akan tetapi hal ini akan meningkatkan biaya dalam
pengolahan darah untuk transfusi.
( Walujn, 2006)
Gambar 1. Kriteria donor darah ( AABB, 2004)
B. TEKNIK
Transfusi darah autolog bisa dilakukan dengan 3 cara
Preoperative autologous blood donation
2 cute normovolemic hemodilution
3 Cell salvage
a. ntraoperatif
b. Postoperatif
Preoperative Autologous Blood Donation
Teknik ini tidak banyak digunakan di nggris , tetapi biasa
digunakan di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pengumpulan
darah biasanya dilakukan hingga 5 minggu sebelum hari operasi yang
ditentukan. Donor darah terakhir sebaiknya dilakukan paling lambat 48-72
jam sebelum operasi untuk menjaga keseimbangan volume darah. Darah
dikumpulkan dalam kantong darah yang berisi citrated phosphate dextrose
dan diberi label identitas pasien dan disimpan di bank darah seperti
standar penympanan darah pada umumnya sampai digunakan pada saat
dibutuhkan
(Walujn A, 2006)
KeIebihan
- Teknik ini bisa menyediakan darah hingga 4 unit yang mencukupi
hampir sebagian besar kebutuhan darah untuk operasi elektif.
- Resiko transmisi virus dan reaksi hemolitik, febris dan alergi yang
diperantarai oleh reaksi imun bisa dihindarkan
(Walujn A, 2006)
Kekurangan
- Membutuhkan perencanaan operasi yang baik
- Darah yang didonorkan harus dilabel untuk mencegah terjadinya
kesalahan
Gambar 2
A. darah mengalami heparinisasi, filtrasi dan dikumpulkan kedalam kantong
B.darah dialirkan kedalam ruang pengolahan darah
C. eritrosit dipisahkan dari debris dan komponen lain dengan sentrifugasi
D. eritrosit dialirkan ke kantong dan siap untuk ditransfusikan lagi
b. Semi-continous system bisa digunakan dimana proses
pengumpulan, antikoagulasi dan pencucian darah berlangsung
secara simultan. Teknik ini cocok digunakan pada volume darah
yang lebih kecil
c. Dengan menggunakan kantong pengumpul darah yang
disambungkan ke drain untuk mengumpulkan darah yang hilang
setelah dilakukan operasi.
KompIikasi
Ketika sejumlah besar darah yang diproses ditransfusikan akan ditemukan
perubahan-perubahan pada parameter hematological diantaranya:
- Gangguan elektrolit seperti peningkatan kadar natrium dan klorida
serta penurunan kadar magnesium , kalsium dan albumin.
- Koagulopati delusional karena darah yang ditransfusikan tidak
mengandung trombosit atau factor pembekuan lainnya. Kadang-
kadang memerlukan transfuse komponen darah
- DC
Penggunaan alat filtrasi yang tidak tepat bisa menyebabkan kerusakan
pada eritrosit, dan kemungkinan terjadinya emboli udara. Pireksia dan
menggigil sering dilaporkan pada pasien yang mendapat transfusi darah
dengan angka 1.5-12 % . penyebab pasti belum diketahui , kemungkinan
besar disebabkan oleh aktivasi sitokin pada darah yang ditransfusikan.
(Walujn A, 2006)
Kontroversi
Bukti yang menunjukkan keamanan dan lebih hemat dari segi biaya teknik
ini masih sangat terbatas. Tinjauan terbaru Cochrane terhadap 49
percobaan kontrol acak selama 24 tahun menunjukkan penggunaan cell
salvage mengurangi transfusi homolog sebanyak 40%. Hal ini tidak
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi seperti perdarahan, infeksi,
thrombosis dan stroke. Tinjauan yang dilakukan menyimpulkan perlu
dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk semua jenis prosedur operasi
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik mengenai keamanan dan
efektifitas teknik ini.
(Walujn A, 2006)
Pertimbangan khusus terhadap operasi keganasan karena kemungkinan
penyebaran sel-sel tumor melalui darah meskipun sel sel ganas tersebut
BAB IV
KESIMPULAN
1. Transfusi darah autolog jika digunakan secara tepat bisa menjadi
alternatif pengganti transfusi darah homolog
2. Preoperative autologous blood donation dan cute Normovolemic
hemodilution sangat berguna dilakukan pada golongan darah yang
jarang dan pada kasus bedah elektif yang diprediksi akan
mengalami perdarahan yang banyak.
3. Secara umum transfusi darah autolog bisa dilakukan pada pasien
obstetri dengan aman.
DAFTAR PUSTAKA
Adukauskiene D et al, The Usage of Blood Components in Obstetrics
Continuing Medical Education in Medicina ( Kaunas) vol 46 2010
Akinola O et al, valuation of blood reservation and use for caesarean
sections in a tertiary maternity unit in south western Nigeria in BMC
Pregnancy and Childbirth 2010
Alexandre M et al, infusion theraphy in nfusion Nursing: An Evidence-
Based Approach St Louis - Saunders elsivier 2010
American Association of Blood Banks. Standards for Blood Banks and
Transfusion Services , 23rd edn. Bethesda, MD : AABB , 2004
Ashworth A, Klein AA, Cell salvage as part of a blood conservation
strategy in anaesthesia in British Journal of Anaesthesia 105 (4):
40116 (2010)
Belfort MA et al, Blood component replacement in Critical care Obstetrics
fifth edition , Wiley-Blackwell 2010
http://www.rch.org.au/bloodtrans/adverse.cfm?doc_id=5323 diakses pada
25 Februari 2011
Obed JY, Geidam AD, Reuben N , utologous Blood Donation and
Transfusion in Obstetrics and Gynaecology at University of
Maiduguri Teaching Hospital Maiduguri in Nigerian Journal of
Clinical Practices vol 13 June 2010
Pusat Data dan nformasi PERS : Peraturan Pemerintah RI no tahun
tentang Transfusi Darah 2003.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists , Blood Transfusion n
Obstetrics Green-top Guideline no 47 July 2008
Sodoyo AW, Djoerban Z Transfusi darah dalam Ilmu Penyakit dalam jilid II
,Balai penerbit U Jakarta, 2000
Thomas D, Autologous transfusion in Practical Transfusion Medicine
second edition, by Blackwell Publishing Ltd Massachusett, 2005
Vanderlinde ES, Heal JM, Blumberg N. Autologous Transfusion. BMJ
2002;324(7340):772-5.
Walujn A et al Autologous Blood Transfusion in Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain | Volume 6 Number 5 2006
WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002