NPM : 0906561446 Sumber : Tamara Cofman Wittes, 1he Promise of Arab Liberalism, No. 125, Policy Review, (1uni-1uli 2004), hal. 61-76
Inefektivitas Demokratisasi Timur Tengah: Implikasi Program AS Mendukung Pemerintahan Otokrasi
Resistensi Timur Tengah untuk merangkul demokrasi telah mewarnai tantangan demokratisasi yang dilakukan AS. Pasca serangan 11 September, melalui pemerintahan Bush yang berkomitmen tinggi untuk memerangi jaringan terorisme global, demokratisasi Timur Tengah dimaniIestasikan menjadi salah satu agenda utama war on terror. Review ini akan menganalisis tulisan Tamara CoIman yang mengupas tantangan-tantangan demokratisasi AS di Timur Tengah pasca 11 September. Penulis akan melihat urgensi kehadiran demokrasi itu sendiri sebagai basis freedom di kawasan yang penuh dinamisasi konIlik ini serta menganalisis eIektivitas demokratisasi AS di Timur Tengah. CoIman mengidentiIikasi dua bentuk intensi AS dalam melakukan demokratisasi di Timur Tengah pasca 11 September. Kedua intensi ini berelasi dan mewadahi kepentingan AS sebagai bagian paling dominan. Dalam tataran ideal, demokratisasi ini bertujuan untuk mewujudkan hubungan baik antara Dunia Arab dengan AS di bawah kerangka democratic peace theory. Ekspektasi hubungan baik antara kedua pihak tentunya akan memberi ruang untuk tersalurkannya kepentingan AS dalam menentukan sikap terhadap potensi-potensi yang mengancam AS dari kawasan Timur Tengah. Lebih jauhnya dalam konteks realis, AS menginginkan regional yang bersih dari akar terorisme; demokratisasi akan menghapus radikalisme yang muncul dari kelompok-kelompok ekstrimis dari Timur Tengah. Bersandar pada dua intensi ini, CoIman menilai bahwa pemerintahan Bush memiliki agresivitas yang lebih besar dari pendahulunya dalam melakukan demokratisasi di Timur Tengah. Hal ini berimplikasi pada munculnya AS sebagai aktor utama yang akan menggiring kebebasan` di Timur Tengah yang bisa mengakhiri Middle East Exceptionalism. Namun, dalam prosesnya program demokratisasi AS dianggap tidak begitu eIektiI dalam mencapai kepentingan kedua belah pihak. CoIman berargumen bahwa hingga sekarang tidak ada perubahan signiIikan yang bisa menjamin keamanan AS terhadap perkembangan radikalisme slam yang terus menguat di Timur Tengah. Di satu sisi, kebebasan yang diharapkan muncul dari kerangka demokrasi justru tidak terIasilitasi dengan baik di Timur Tengah. Demokratisasi Pro Status Quo Kritikan CoIman terhadap demokratisasi yang dilakukan oleh AS muncul dari program- program yang cenderung mempertahankan rezim berkuasa. Misalnya asistensi MEP (Middle East Partnership Initiative yang menyediakan bantuan untuk masyarakat sipil Arab dalam mempromosikan reIormasi pendidikan, ekonomi dan politik serta status wanita justru mengalokasikan dana terbesarnya untuk kegiatan-kegiatan yang menguntungkan pihak yang berkuasa. Di 15 bulan pertama, 70 dari $98 juta dana MEP diserahkan untuk revitalisasi pemerintahan Arab. Sisanya 5,2 sektor kerja sama ekonomi AS-Arab dan hanya 3,3 dana secara langsung disumbangkan ke LSM-LSM lokal untuk memerangi korupsi serta pemberdayaan perempuan. Dampak dari kondisi ini adalah semakin meningkatnya sentimen terhadap AS. Pihak oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat. Sementara itu, oposisi yang notabene berasal dari kalangan Muslim semacam memperoleh legitimasi dari basis masyarakat sipil. Sehingga, demokratisasi AS melalui asistensi yang hanya berporos pada pemerintahan yang berkuasa justru melahirkan problematika lain terhadap keamanan AS di masa depan. Oposisi dari kelompok radikal slam berada di pihak rakyat yang tertindas oleh pemerintahan yang otoriter. Kondisi ini bisa dimanIaatkan oleh kelompok slam radikal untuk memunculkan potensi terrorism threat dengan kehadiran AS di Timur Tengah. 1 Di saat yang sama, kesulitan MEP untuk mengalokasikan dana secara proporsional tidak hanya bisa disalahkan pada pihak AS saja, tetapi pemerintahan otokrasi di Timur Tengah tidak memberi kemudahan bagi LSM lokal dan liberalis non pemerintah dalam mengakses kekuatan dan bantuan dari luar negeri. 2
Sedikit berbeda dengan CoIman, Sadiki mengemukakan bahwa ineIektivitas demokratisasi di Timur Tengah pasca 11 September disebabkan oleh intensi tunggal pemerintahan Bush sebagai kebijakan prinsip ideal realpolitik AS melalui pencapaian kepentingan nasionalnya untuk menjadi hegemon imperial dunia. 3 Bagi Sadiki, AS mengabaikan intensi ideal demokratisasi yang pada akhirnya bermuara pada semangat anti AS dan resistensi dari objek demokratisasinya di Timur Tengah. Hal ini terbukti dari pola
1 Shadi Hamid, %he Struggle for Middle East Democracy, diakses dari http://www.brookings.edu/articles/2011/0426middleeasthamid.aspx, 20 November 2011, 21:50 2 Ellen Lust-Okkar, Why the Failure of Democrati:ation? Explaining Middle East Exceptionalism, diakses dari http://www.nyu.edu/gsas/dept/politics/seminars/lust-okar.pdI 3 Larbi Sadiki, Rethinking Arab Democrati:ation. Elections Without Democracy, (New York: OxIord University Press, 2009, hal. 145 demokratisasi AS yang menerapkan tindakan coercive dalam dua metode demokratisasi; intimadasi dan intervensi. ntimidasi dilakukan di Libanon dan Palestina. nvasi dilakukan di rak. Kedua upaya ini menimbulkan kritikan. Untuk kasus Palestina, AS tidak mampu menawarkan kebutuhan penyelesain konIlik. Rancangan demokratisasi di Palestina justru tidak mampu menjawab permasalahan yang ada di area tersebut. Sementara itu, pasca demokratisasi di rak justru menimbulkan masalah lain. KonIlik etnis dan kepentingan di dalam rak sendiri justru mencuat. AS gagal menyodorkan mekanisme antisipasi forecast demokratisasinya di rak. Dari sejarahnya, demokratisasi AS di Timur Tengah juga menunjukkan sebuah inkonsistensi terhadap demokrasi itu sendiri. stilah good dictator dan bad dictator sempat mewarnai masa perang dingin di Timur Tengah. Good dictator menjadi julukan bagi pemimpin Arab yang dekat dengan AS dan bad dictator untuk loyalis Soviet. nkonsistensi ini berlanjut hingga sekarang. AS mempromosikan demokrasi di rak, namun menentang hasil pemilu ketika memihak slam seperti yang terjadi di Palestina dengan terpilihnya Hamas. 60 tahun demokratisasi AS di Timur Tengah hanya untuk menyelaraskan retorika dengan praktik bahwa AS adalah aktor demokrasi yang kredibel. Keberhasilan demokratisasi di Timur Tengah akan menjadi parameter kredibilitas AS sebagai penyebar demokrasi global. Menjawab Reformasi Politik; Demokrasi Solusi Terbaik? Horger dan Schlumberger berpendapat bahwa dunia Arab sama sekali tidak mengindikasikan eksistensi demokrasi atau demokratisasi. 4 ni justru tidak paralel dengan pernyataan CoIman bahwa sebenarnya di Timur Tengah memang terjadi demokratisasi, hanya saja proses ini tidak menimbulkan hasil yang optimal berupa regional yang terdemokrasi secara keseluruhan. Mereka melakukan observasi terhadap nature kultural orang Arab yang dijelaskan oleh Huntington dan juga bersandar pada realitas bahwa ketika semua regional di dunia mengalami transisi politik menuju demokrasi, Arab tidak menunjukkan keberhasilan terbangunnya nilai-nilai demokrasi di wilayahnya. Kegagalan terwujudnya demokratisasi di Timur Tengah bagi Horger dan Schlumberger disebabkan oleh kepemimpinan politik yang selalu berusaha menjaga legitimasi politiknya. Asumsi lainnya adalah mereka tidak mau secara sukarela meletakkan kekuatan politiknya. Pemimpin otoriter meraih keuntungan struktural ketimbang pihak oposisi. Akibatnya,
4 Holger dan Oliver Schlumberger, Waiting for Godot. Regime Change without Democrati:ation in the Middle East, 'ol.25, No. 4, nternational Political Science Review, (Oktober, 2004, hal. 371-392 pemilihan umum tidak dilakukan secara adil dan kompetitiI. Justru dunia Arab didominasi oleh aturan yang bersiIat patrimonial dimana kekuatan politik berada dalam kooptasi. Di sisi lain, Andreas Schedler mengemukakan bahwa manipulasi pemilu tidak mengindikasikan absennya kehadiran demokrasi. Justru yang terjadi adalah erosi nilai demokrasi itu sendiri. 5 Artinya, ketika pemilu dapat dilaksanakan di suatu negara, pada dasarnya telah terjadi demokratisasi. Hanya saja, pemilu menjadi alat bagi pemeritahan otoriter untuk melemahkan oposisinya melalui mekanisme pemilihan demokratis. Ketidakberhasilan Demokratisasi di Timur Tengah Beragam pendapat apakah sebenarnya regional Arab sudah demokratis atau belum akan tetap menjadi pertanyaan terbuka dan debatable. Penulis menilai bahwa perdebatan mengenai ini juga harus terlebih dahulu menempuh deIinisi yang jelas terhadap demokrasi itu sendiri. Misi untuk memaniIestasikan demokrasi di dalam sistem pemerintahan Timur Tengah terhambat oleh pemaknaan dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi seperti apakah yang diharapkan? Mekanisme seperti apa yang harus diterapkan untuk menancapkan demokrasi di Timur Tengah? Dan nstrumen apa yang tepat untuk melakukannya? Bagi saya upaya demokratisasi di Timur Tengah masih belum bisa mengusung jawaban yang compatible terhadap domestik Timur Tengah itu sendiri. Berkaca dari metode demokratisasi AS pasca 11 September, penulis menilai demokratisasi AS penuh interpretasi subjektiI. Negara musuh diinterpretasikan dalam konsep rough state dan berpotensi mengembangkan senjata pemusnah massal. AS menerapkan program preemption untuk menjustiIikasi penyerangan terhadap suatu negara dengan tujuan untuk melakukan demokratisasi. Sementara itu, negara yang baik adalah negara yang memiliki willingness untuk menjaga hubungan baik dengan AS. ni menjadi landasan keberhasilan demokratisasi. Demokratisasi menggunakan alat yang tidak demokratis tidak akan berhasil; intimidasi dan invasi tidak akan berhasil. Domestic volunteerism justru akan terhambat oleh mekanisme AS yang terkesan arogan ini. Sehingga, bisa dikatakan bahwa demokratisasi di Timur Tengah mengalami kegagalan karena hinga saat ini demokratisasi tidak mampu memecahkan masalah di regional ini. Alasan demokratisasi di Arab tidak berhasil bisa dilihat dari dua Iaktor; eksternal dan internal. Faktor
5 Andreas Schedler, %he Nested of Democrati:ation by Elections, 'ol. 23 No.1, nternational Political Review, (Januari, 2002, hal. 119 eksternal adalah karena kondisionalitas yang mengabaikan ketidaksempurnaan mekanisme demokratisasi. Di bawah kondisionalitas, domestic volunteerism menjadi tuntutan untuk menciptakan demokratisasi. Sementara itu, rezim di Timur Tengah justru menunjukkan sikap yang resilience dari masa ke masa yang dibentuk oleh pemerintahan yang kuat dan otoriter. Dari segi internal, dunia Arab sendiri tidak pernah memiliki model demokrasi; yang terjadi adalah sistem pemerintahannya diwarnai otokrasi. Untuk menurunkan tensi ketidakberhasilan ini, ada baiknya stakeholder menetapkan objektiI yang jelas terhadap demokrasi. ObjektiI demokrasi seharusnya mampu mereIleksikan pencapaian terhadap IilosoIi institusi interasional liberal. Unsurnya akan terbangun dalam eksistensi partai politik, institusi parlemen dan perwakilan, reIormasi legal, grup pendukung HAM, media yang independen, proyek dan organisasi wanita, NGO, sistem dan administrasi pemilihan, dan kelompok dagang. 6 Unsur-unsur ini bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial, perluasan partisipasi politik, penguatan kemandirian ekonomi suatu negara, dan penegakan HAM. Untuk mencapai semua ini, mekanisme yang harus ditempuh adalah pemilihan umum yang dilaksanakan secara transparan dan kompetitiI untuk menghapus sisi otoritarian. Sementara itu, instrumen pendekatan untuk membuatnya applicable adalah tindakan persuasive ketimbang intimidasi dan invansi seperti yang tertuang dalam metode demokratisasi AS di Timur Tengah.
6 Sheila Carapico, Foreign Aid for Promoting Democracy in the Arab, 'ol. 56 No. 3, Middle East Journal, (Summer, 2002, hal. 384