Anda di halaman 1dari 17

AUTOIMUNITAS

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Imunologi



Oleh:
Muhammad Viqi (07810401
Iin Nadziroh (081810401001)
Ira Desi Ariami (081810401003)
Ali Murtadho (0818104010
Nisa Nurrahmasari (081810401014)











1URUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS 1EMBER
2011
PENDAHULUAN
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi tubuh
dari zat berbahaya dari virus, bakteri, racun, dan lainnya. Tapi bila sistem imun
mengalami gangguan, justru akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh
yang sehat. Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan
autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara
keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat. Normalnya, pasukan sistem
kekebalan tubuh sel darah putih membantu melindungi tubuh terhadap zat
berbahaya, yang disebut antigen. Contoh antigen termasuk bakteri, virus, racun,
sel-sel kanker dan darah atau jaringan dari orang atau spesies lain. Sistem
kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang menghancurkan zat-zat berbahaya.
Tapi pada pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan tidak bisa
membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah
respon imun yang merusak jaringan tubuh normal. Ini adalah reaksi
hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi.
Pada alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat eksternal yang
biasanya akan diabaikan. Tapi pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh
bereaksi terhadap jaringan tubuh normal. Yang menyebabkan sistem kekebalan
tubuh tidak bisa membedakan antara jaringan normal dan antigen tidak diketahui.
Satu teori menyebutkan bahwa beberapa mikro-organisme (termasuk bakteri) dan
obat-obatan dapat memicu beberapa perubahan, terutama pada orang yang
memiliki gen yang membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan autoimun.








PEMBAHASAN
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri
(self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan
tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.
Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun
humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan
selI-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun terlalu aktiI menyebabkan
disIungsi imun, menyerang bagian dari tubuh tersebut. Autoimunitas sebetulnya
bersiIat protektiI, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai produk akibat
kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan
proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri
tidak selalu menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan Iungsi
Iisiologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons
autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh
mekanisme lain (seperti inIeksi). Penyakit autoimun dapat menyerang organ
spesiIik misalnya diabetes melitus (pankreas sebagai organ sasaran) atau sistemik
(nonorgan spesiIik) seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang terjadi pada
berbagai organ.

Spektrum Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang
bersiIat organ spesiIik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesiIik. Pada
penyakit autoimun organ spesiIik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan
respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut.
Sebagian besar kelainan spesiIik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar
endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada
permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler
(terutama enzim intraseluler). Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesiIik
mempengaruhi organ multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun
terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler
yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti
sel lainnya) .

Gambar 1. Contoh Penyakit Autoimun

Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait:
No ANTIGEN DIRI PENYAKIT
1. #eseptor hormone
Reseptor TSH
Reseptor insulin
Hiper atau hipotiroidisme
Hiper atau hipoglikemia
2. #eseptor neurotransmiter
Reseptor asetilkolin
Miastenia gravis
3. Molekul sel adesi
Molekul sel adesi epidermal
Penyakit kulit yang melepuh
4. Protein plasma,
Faktor VIII2 glikoprotein I dan
protein antikoagulan lain
HemoIili didapat
Sindrom antiIosIolipid
5. Antigen permukaan sel
Sel darah merah (antigen
multipel)Platelet
Anemia hemolitik
Purpura trombositopenia
6. En:im intraseluler
Peroksidase tiroid
Steroid 21-hidroksilase (korteks
adrenal)
Tiroiditis
Kemungkinan hipotiroidisme
Kegagalan adrenokortikal
(penyakit Addison)
7. Glutamat dekarboksilase (sel di
pulau pankreas)
Enzim lisosom (sel Iagositik)
Enzim mitokondria (terutama piruvat
dehidrogenase%
Diabetes autoimun

Vaskulitis sistemik
Sirosis biliar primer

8. Molekul intraseluler yang melibatkan
transkripsi dan translasi
Rantai dua DNA Histon
Topoisomerase I
Amino-acyl t-RNA sintase
Protein sentromer

SLE

SLE
Skleroderma diIus
Polimiositis
Skleroderma lokal


TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B
yang bersiIat autoreaktiI harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation.
Sel T (terutama CD4) mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua
respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih penting dalam penghindaran
autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu, sebagian sel B yang
autoreaktiI juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima
rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive
selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan
menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan
dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan
dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri
yang ada di timus dengan aIinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai
aIinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan
peptida asing dengan aIinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun
protektiI nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di
timus dengan aIinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan
antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan
aIinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection.
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi
timus adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang
cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida
yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau
terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan
ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein spesiIik
jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi periIer yang merupakan
kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktiI, antara lain:

a. Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen
terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut
secara eIektiI tidak 'terlihat oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari
organ tersebut, maka toleransi periIer aktiI akan berkembang. Proses ini terjadi
karena sel T CD4 hanya mengenali angtigen yang dipresentasikan melalui
molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut, maka
sebagian besar molekul spesiIik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar
yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T.
b. !emisahan sel 1 autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limIosit juga terpisah oleh sirkulasi limIosit yang
terbatas. Sirkulasi ini membatasi limIosit naive ke jaringan limIoid sekunder dan
darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting
cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat dan
dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya,
termasuk sistem komplemen dan Iagositosis. EIek komplemen dan Iagosit
berkaitan dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
c. nergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi periIer yang aktiI meliputi delesi sel autoreakitI
melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4 naive
memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktiI dan memulai respons imun. Sinyal
pertama berupa sinyal spesiIik antigen melalui reseptor antigen di sel T. Sinyal
kedua berupa sinyal non-spesiIik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh CD28 (pada
sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator.
Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida
spesiIik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan
molekul ko-stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada
anergi atau kematian sel T melalui apoptosis. Ekspresi molekul ko-stimulator ini
sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting cells
seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi,
interaksi sel CD4 dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan limIoid sekunder
seperti nodus limIe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui
beberapa cara, biasanya melalui inIlamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan
adanya restriksi pola resirkulasi limIosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi
sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi periIer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang
mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai
eIek negatiI terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur
serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama. Ikatan antara CD80 atau
CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau kematian melalui apoptosis.
Adanya deIek genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada
berkembangnya autoimunitas.
d. $upresi
Mekanisme toleransi periIer termasuk supresi aktiI dari sel T autoreaktiI
melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama
(sel T supresor)
e. Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem periIer. Produksi antibodi autoreaktiI
dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B
baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak
diantaranya bersiIat autoreaktiI. Adanya proses hipermutasi somatik gen
imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus limIe juga dapat
menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi sel B berikatan
dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan
mengalami apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan Iaktor lingkungan penting dalam penyebab
penyakit autoimun.
aktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan
autoimun yang bersiIat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga
dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun
hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan
gen tunggal. Beberapa deIek gen tunggal ini melibatkan deIek pada apoptosis atau
kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi periIer dan
kerusakannya. Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian
atau alel dari MHC.
aktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentiIikasi sebagai kemungkinan penyebab
antara lain hormon, inIeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun
mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktiI, dengan beberapa bukti
klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai Iaktor pencetus.
Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen
dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES
pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan
tentang hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan
percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh
hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang
dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesiIik yang
lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran
penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada
penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola
metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian
komponen 16u-hidroksil dari 16u-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan
dengan orang normal. Hormon hipoIisis prolaktin juga mempunyai aksi
imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan inIeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme
molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. InIeksi pada target
organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang
bersiIat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi,
sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun,
sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian inIeksi
yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh inIeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. InIeksi yang terjadi
secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan
berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limIosit, pelepasan organel
subselular setelah destruksi sel, Ienomena asosiasi pengenalan akibat insersi
antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen
antigen diri, serta gangguan Iungsi sel Ts akibat inIeksi virus. Virus yang paling
sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus,
virus hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.


Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya eIek samping idiosinkrasi yang
dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting
untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik
berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses
autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya
reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat berkembang
progresiI dan memerlukan pengobatan imunosupresiI.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang
serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi periIer. Beberapa
obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida yang
mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama
ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan,
adanya deIek pada metabolisme mengakibatkan Iormasi konjugat imunologi
antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja
lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan intrinsik
atau eIek imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Paparan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar
matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inIlamasi kulit dan kadang
keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersiIat menyebabkan
1lare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab.
Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat
menyebabkan modiIikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah
imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam
kulit melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan
dengan Iotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La
kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan.
Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transIerase juga dikaitkan dengan
peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan
dengan penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan Iaktor diet.

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesiIik maka timbul
dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah
berkontak dengan sistem limIoretikular maka apabila suatu saat terbebas akan
dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah
autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata,
otot jantung setelah inIark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan
menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan
respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun Iungsi sel
Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel
ditujukan terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T
toleran tersebut teraktivasi oleh Iaktor nonspesiIik atau antigen silang yang mirip
dengan antigen diri, maka sel B yang bersiIat tidak toleran akan membentuk
autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diIerensiasi sel T. Bila
terjadi gangguan maka akan terjadi deIek sistem imun yang akan mempercepat
proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan
imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan
meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersiIat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktiI yang hiperresponsiI terhadap berbagai
stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau
eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan
autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah
sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri
dari produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya
dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat
Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya Iaktor rheumatoid dan
antinuklear, antilimIosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah inIeksi parasit,
bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat
menginduksi limIosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti
DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit.
MakroIag mempunyai Iungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limIosit, serta memproduksi berbagai sitokin
untuk aktivasi limIosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai Iagosit untuk
mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya
kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi
kompleks imun tidak berIungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1
(C3b, imun adherens) pada makroIag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang
Iungsi makroIag pada penyakit autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena eIek pembentukan toleransi yang
telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau
keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja.
Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensiI dari
penelitian tentang peran eIek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro
atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transIer autoimunitas dengan jaringan
atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik
autoimun ke resipien tanpa deIek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa
deIek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya
autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan Iaktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktiI
dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan
oleh eIek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi Iaktor proliIerasi,
diIerensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak
normal terhadap Iaktor-Iaktor tersebut. Akibatnya akan terjadi
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi
autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran Iaktor genetik terhadap angka kejadian,
awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung
jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan
dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu
gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara
suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko
relatiI.
Mekanisme rusaknya toleransi
engatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan inIeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesiIik. Pembalikan anergi
dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang
bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan. Pembalikan
supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan sitokin
imunosupresiI.
Toleransi periIer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator
yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun.
Hal-hal tersebut terjadi saat inIlamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh
inIeksi lokal atau Iaktor Iisik. InIlamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen
diri ke nodus limIe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi
ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim
proteolitik pada lokasi inIlamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein
intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi
tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsiI, peptida tersebut dinamakan cryptic
epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion,
dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
emiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan
tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida
mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi
populasi sel T yang responsiI yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi
lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan
akses sel T ke jaringan tersebut .
Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inIlamasi berlanjut
pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan
percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive)
memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons
imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk
proliIerasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih
luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktiI yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya
resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinIlamasi (karena adanya peningkatan
ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di
jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini
menandakan sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah
bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktiI yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makroIag oleh sel T CD4 atau sel
T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang
tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme
hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat
pada lokasi Iungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor
neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau
menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan
abnormalitas Iungsi tanpa adanya inIlamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan
yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali
antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis
penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanIaat sebagai pemeriksaan
penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakit
autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang sering menyertai suatu
penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada gastritis autoimun
atau sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai