Anda di halaman 1dari 17

DAMPAK DARI NILAI BUDAYA DALAM PEMECAHAN MASALAH, TIM,

GENDER, STRESS, DAN ETIKA



Nilai-nilai budaya berdampak pada berbagai aspek perilaku organisasi dan manajerial.
Kerjasama dalam organisasi, yang memiliki dampak besar pada pendekatan dan hasil dari
perilaku, dipengaruhi oleh budaya, preIerensi pribadi, dan sejarah hubungan. Bab ini akan
membahas masalah tersebut.
Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
Dampak dari beberapa nilai budaya perilaku manajerial di daerah lain dan nilai-nilai
merupakan hal penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, perilaku manajerial termasuk
dalam hal pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, dan perbedaan lintas-budaya juga
memiliki peran dalam hal ini. Sebuah penelitian mengenai perbandingan keyakinan dan
perilaku karyawan melalui berbagai pendekatan pemecahan masalah dan eIektivitas telah
dilakukan dengan sampel 7 negara: Australia, Fiji, Perancis, Selandia Baru, Papua Nugini,
Korea Selatan, dan Amerika Serikat (Van Deusen, Moeller, Jones, dan Friedman, 2002). Para
peneliti menyimpulkan bahwa budaya nasional memiliki peran penting dan menyebabkan
perbedaan dalam cara menyelesaikan masalah dan kualitas solusi yang diberikan. Secara
khusus, organisasi di negara yang lebih individualis akan bergerak ke arah yang lebih
kolektivis dalam pendekatan untuk memecahkan masalah. Ukuran kualitas solusi awal
didasarkan permasalahan yang muncul terlihat pada Amerika Serikat yang melakukan dengan
buruk dibandingkan dengan Korea Selatan yang melakukan hal tersebut dengan baik.
Budaya juga mempengaruhi cara memecahkan masalah yang mengenalkan resolusi.
Karyawan China lebih cenderung tidak menginIormasikan kepada manajer mengenai
masalah hingga manajer tersebut melihat sendiri masalahnya. Para karyawan juga cenderung
untuk meminimalisir permasalahan. Dalam budaya Barat, manajer lebih mungkin untuk
memberi penghargaan pada karyawan yang mau memperhatikan suatu masalah, sehingga
masalah lebih cepat dapat diidentiIikasi dan dilaporkan kepada pihak manajemen. Hasilnya
adalah bahwa manajer negara Barat lebih cenderung membicarakan suatu permasalahan
secara langsung, sedangkan manajer China akan cenderung menghindari membicarakan
masalah tersebut, karena selama ini mereka berpikir bahwa hal tersebut tidak pantas
dilakukan.
Manajer negara Barat juga cenderung untuk memecah masalah menjadi beberapa
bagian kecil dan bekerja mundur dari masalah ke solusi. Hal ini merupakan proses linier yang
secara umum dapat bekerja dengan baik. Namun demikian, orang-orang Tionghoa cenderung
bekerja dengan cara yang non linear, mereka lebih memilih untuk melihat pola yang mirip
dengan peristiwa sebelumnya, dan mereka lebih menekankan pada hubungan aspek dari
solusi-solusi daripada rekan-rekan barat mereka. Pada saat yang sama, manajer China lebih
pragmatik dan menemukan solusi pekerjaan sekitar daripada mengikuti peraturan yang ketat.
Aspek lain dari pengambilan keputusan merupakan tingkatan dimana keputusan
dibuat dalam organisasi. Khususnya di Eropa, hal ini umumnya berdasarkan praktek khusus
daripada nilai-nilai. Praktek buruh dan isu-isu seperti program sosial yang mengatur berbagai
masalah organisasi dan karyawan Uni-Eropa juga memiliki dampak yang signiIikan terhadap
beberapa keputusan organisasi.
Strategi pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh variabel budaya. Contohnya,
dalam budaya kolektivis, pengambilan keputusan lebih mungkin dilakukan dengan
mengandalkan konsensus (Triandis, 1995). Sebuah survei yang dilakukan terhadap manajer
di 16 negara membawa pada kesimpulan bahwa manajer dari individu dan tenaga ahli rendah
negara lebih mengandalkan pada pengalaman mereka sendiri dan pelatihan pengambilan
keputusan daripada manajer dari kolektivis dan negara tenaga jarak tinggi (Smith, Peterson,
et al. 1994). Sebuah perbandingan yang dilakukan oleh mahasiswa Jepang dan Australia
menemukan bahwa Australia lebih menyukai gaya pengambilan keputusan berdasarkan
pilihan-pilihan yang diminta dari individu secara hati-hati, sedangkan Jepang lebih memilih
gaya yang membutuhkan banyak reIIerensi dari orang lain (KadIord, Mann, Ohta, dan
Nakane, 1991). Hampir sebagian besar manajer di Asia Timur dan China lebih memiliki rasa
percaya diri dengan keputusan yang mereka anggap benar ketimbang manajer dari Amerika
Serikat. Namun demikian, orang Jepang kurang percaya diri mengenai kebenaran keputusan
yang mereka ambil (Yates, Lee, dan Shinotsuka, 1996).
Semua keputusan melibatkan unsur resiko, tetapi beberapa budaya lebih terbuka
untuk mengambil tingkatan resiko perilaku pengambilan keputusan yang lebih besar daripada
yang lain. Pengambilan keputusan akan dievaluasi di beberapa negara berdasarkan
serangkaian keputusan yang diambil oleh subjek berdasarkan hasil evaluasi tingkat resikonya
dan keputusan yang mereka buat. Hasil dari salah satu penelitian menunjukkan bahwa orang
China lebih bersedia ikut berinvestasi dalam transaksi keuangan yang sangat beresiko yang
diadakan oleh Amerika. Dan dalam penelitian yang kedua, orang China bersedia untuk
menginvestasikan uang mereka dalam usaha yang beresiko, sementara orang Amerika hanya
bersedia menginvestasikan sedikit uangnya. Dalam studi terakhir, sample yang berasal dari
Jerman dan Polandia, dan dua group ini berada di antara orang-orang China dan Amerika
dalam hal pengambilan keputusan untuk resiko menginvestasikan uang mereka. Satu
penjelasan yang mungkin untuk temuan ini adalah budaya China kolektivis sehingga
memberikan banyak dukungan dan jaringan saat terjadinya kegagalan. Akhirnya, orang
Jepang lebih seperti orang Amerika dalam pengambilan resiko, menunjukkan bahwa tidak
semua budaya usia bertindak dengan cara yang sama (Azar, 1999). Hasil ini menunjukkan
perbedaan cara budaya pengambilan keputusan dan pendekatan masalah perbedaan-
perbedaan ini perlu dipertimbangkan, terutama dalam negosiasi dan komunikasi lintas
budaya.
Salah satu keunikan dan pengambilan keputusan adalah bagaimana manajer dapat
menanggulangi masalah yang ditimbulkan dan pengambilan keputusan sebelumnya. Dalam
kasus, manajer akann segera menginIormasikan yang lain dan memutuskan apakah akan
mendukung atau menolak keputusan. Di sisi lain, ada kecenderungan dari beberapa manajer
untuk meningkatkan komitmen dalam menghadapi proyek-proyek yang sedang dalam
kesulitan. Sebuah penelitian yang membandingkan antara manajer Meksiko dan Amerika
menghasilkan beberapa perbedaan. Manajer dari Meksiko lebih meningkatkan komitmen
mereka pada proyek yang gagal dibandingkan dengan rekan-rekan dari Amerika. Para
manajer dari Meksiko enggan untuk melaporkan berita buruk. Para peneliti berpendapat
bahwa reaksi ini didasarkan perbedaan budaya antara Amerika Serikat dan Meksiko dalam
hal menjalin kerjasama, yang mencakup perlindungan dan prosedur yang mencegah manajer
Meksiko dari peningkatan komitmen mereka saat situasi yang buruk (Greer dan Stephens,
2001).
Ketika keputusan dibuat dalam kelompok, ada resiko jika jarak kesepakatan terlalu
tinggi yang terjadi dalam pemikiran kelompok. Masa pemikiran kelompok mendeskripsikan
bahwa pemikiran kelompok ini bentuk dari patologi yang membuat keputusan buruk, karena
perbedaan pendapat itu dapat menghasilkan poin-poin yang menyebabkan pemikiran rasional
itu bisa menghilang. Kegagalan pada bencana pesawat luar angkasa pertama kali sering
dijadikan sebagai contoh hasil pemikiran kelompok individu yang terlibat dalam pengambilan
keputusan ditantang agar mampu meninjau masalah secara obyektiI, dengan keputusan yang
berbeda dan lebih tepat mungkin akan dapat menghindari bencana. Pemikiran kelompok
bukanlah Ienomena eksklusiI di Amerika, dan beberapa studi penelitian telah meneliti konsep
dalam budaya lain. Sebagai contoh, di Belanda Ienomena pemikiran kelompok direplikasi
dan ditemukan meningkat ketika kelompok tersebut homogen, dengan latar belakang yang
sama, nilai-nilai, dan jenis kelamin (Kroon, Van Kraneid, & Rabbie, 1992). Perbandingan
dari kelompok Australia dan Amerika ditemukan bahwa orang Australia lebih pluralistik
sementara itu Amerika lebih elite dan dengan demikian lebih mungkin terlibat dalam
pemikiran kelompok daripada rekan-rekan mereka di Amerika (Bovasso, 1992).

Kelompok Perilaku dan Efektivitas
Ada beberapa jenis kelompok dalam organisasi, dan dengan jenis prevalensi yang
berbeda budaya. Banyak kelompok organisasi yang memiliki anggota berbeda budaya, dan
perbedaan antara nilai-nilai budaya anggota kelompok dapat mempengaruhi kinerja tim dan
proses (Unsworth &West, 2000). Sebagai contoh, perbedaan budaya memiliki perbedaan
persepsi juga berbeda waktu, dengan budaya Asia yang memiliki orientasi jangka panjang,
sementara budaya Barat dan Amerika banyak memiliki perspektiI waktu jangka pendek.
Hasilnya adalah bahwa pendekatan untuk pengambilan keputusan, penetapan tujuan,
tenggang waktu, dan penjadwalan akan bervariasi secara signiIikan (Waller, Conte, Gibran,
& Carpenter, 2011). Bahkan hal-hal sederhana seperti datang ke pertemuan dengan tepat
waktu dapat dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, dengan pekerja yang berasal dari
Brazil melihat sebagai perilaku yang positive dan orang Amerika melihat sebagai perilaku
yang negatiI (Levine, 1997).
Secara umum, budaya individualis seperti Amerika Serikat yang kurang nyaman
dengan menggunakan perkenalan dalam team, sedangkan dalam budaya kolektivis kelompok
akan lebih mungkin untuk diterima dengan baik. Sebagai contoh, di Jepang, individu
cenderung mengukir keberhasilan diri mereka dengan keberhasilan dari team dan organisasi
mereka. Hal ini bukanlah suatu hal yang biasa bagi karyawan Jepang untuk memulai hari
dengan menyanyikan lagu mars perusahaan dan menggunakan warna lambang perusahaan
untuk menunjukkan loyalitas mereka (Levine, 1997). Sebuah studi longitudinal secara khusus
mempertimbangkan dampak dari budaya, baik itu individualis atau kolektivis, dalam
beberapa daerah kinerja kelompok. Penelitian tersebut mengukur Iungsi heterogenitas, atau
persepsi mengenai keragaman antar anggota seperti keterampilan dan pengalaman, potens
kelompok, atau bagaimana anggota kelompok berpikir eIektiI mengenai ekspektasi hasil
kerja kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Beberapa perbedaan yang ditemukan
antara dau jenis budaya. Budaya individualis, seperti Amerika Serikat, melaporkan memilih
level tertinggi dari Iungsi heterogenitas, potensi kelompok, dan harapan hasil. Dalam budaya
kolektivis, Korea, ekspektasi harapan hasil tinggi selama tahapan awal, tetapi menurun
setelah itu. Para peneliti menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok kerja yang eIektiI berada
pada budaya individualis, meskipun kepercayaan secara umum lebih pada kelompok kerja
eIektiI dalam budaya kolektivis (Sosik, & Juj, 2002). Yang jelas, masalah budaya dalam
kelompok organisasi hadir dengan tantangan dan peluang di dalamnya, dan organisasi perlu
menyadari bagaimana kelompok karakteristik dan perilaku yang berbeda antar budaya.
Lingkaran kualitas merupakan kelompok dari individu-individu yang bertemu secara
teratur untuk menghasilkan ide-ide yang mengarah pada produktivitas yang lebih besar dan
berkualitas. Pendekatan ini dikenalkan ke Amerika Serikat saat sistem manajemen orang
Jepang yang sedang populer, meskipun mereka mendapat penolakan dari Amerika Serikat.
Kemudian, hal ini dikarenakan sistem manajemen Jepang sulit untuk mempertahankan
perbaikan yang berkelanjutan setelah perbaikan substantive awal (Gibson & Terone, 2001).
Nilai-nilai manajerial juga integral untuk pendekatan dalam kerja tim, seperti yag
telah kita lihat, juga memiliki deIinisi yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Tim banyak
digunakan di perusahaan-perusahaan Amerika dan ada indikasi bahwa penggunaan mereka
akan terus meningkat (Lawler, LedIord, & Mohman, 1995). Pada saat yang sama,
perusahaan-perusahaan di Amerika telah berusaha menerapkan tim di anak perusahaan yang
terdapat di negara-negara lain dengan keberhasilan campuran (Manz & Sims, 1993). Dalam
rangka untuk memahami pengaruh budaya nasional dalam tim kerja. J. Tata (2000)
mengusulkan sebuah model hubungan antara budaya nasional dan tingkat kemandirian tim.
Dia berpikir bahwa, dalam budaya nasional dengan jarak kekuasaan yang rendah dan
ketidakpastian yang rendah tidak mungkin bisa berhasil dibandingkan dengan tim yang
memiliki tingkat kemandirian tinggi. Jika perusahaan menggunakan tim eIektiI, Tata
mempercayai, bahwa mereka harus proaktiI. Dia mengusulkan sebuah empat langkah model
untuk mengimplementasikan tim di negara lain. Pertama, perusahaan perlu melakukan
diagnosis budaya untuk memahami bagaimana nilai-nilai dan keyakinan dipengaruhi oleh
budaya nasional. Berdasarkan hasil diagnosis, penentu antara budaya dan tingkat otonomi
dibuat. Jika diputuskan setelah dua tahap pertama selesai dan tim akan tetap dilakukan, maka
organisasi harus berhati-hati mengembangkan rencana implementasi dan desain bagaimana
perubahan akan diberlakukan. Akhirnya, perusahaan perlu untuk memutuskan bagaimana
mengimplementasikan pergantian untuk memperkecil resiko. Dukungan manajemen utama
untuk pelaksanaan tim sangat penting, dan kunci keberhasilan secara eIektiI menjelaskan
tingkat otonomi tim untuk nilai-nilai budaya dari kedua masyarakat dan orang.
Sebuah model konseptual dari budaya nasional dan berdampak pada kerja tim yang
telah diusulkan, yang membandingkan bagaimana 5 jenis metaIora (militer, olahraga,
masyarakat, keluarga, dan rekan) digunakan untuk mendeskripsikan kerja tim dalam budaya
yang berbeda. Wawancara tentang bagaimana cara kerja tim dilakukan di empat negara
Perancis, Puerto Rico, Filiphina, dan Amerika Serikatdan di beberapa perusahaan
multinasional yang berbeda. Para peneliti menganalisa isi dari wawancara untuk mencari cara
yang berbeda orang-orang menjelaskan dalam kerja tim. Sebagai contoh, jika budaya militer
lebih sering digunakan untuk menggambarkan proses tim, manajer akan menggunakan
ungkapan-ungkapan seperti 'dalam parit untuk menggambarkan perilaku tim. Jika budaya
menggunakan ungkapan seperti 'bintang kita quarter back, kemudian mereka menggunakan
metaIor olahraga lainnya. Menggunakan pendapat ini, menjadi jelas bahwa orang-orang
dalam budaya yang berbeda menggunakan metaIor yang berbeda ketika berbicara tentang
tim, menunjukkan bahwa mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dalam kerjasama
tim baik organisasi dan nasional. Dalam budaya dimana terdapat kontrol ketat atas metaIora
tim, militer, dan keluarga lebih mungkin untuk digunakan. Dalam budaya yang sangat
individualis, metaIora olahraga lebih mungkin digunakan (Gibson dan Zellmer-Bruhn, 2001).
Para peneliti menunjukkan bahwa kesadaran mengenai bagaimana metaIora yang digunakan
dalam kebudayaan tertentu atau orang akan meningkatkan kerja tim dan meningkatkan
eIektivitas tim. Tim yang dikelola dengan cara yang kompatibel dengan norma-norma budaya
eksternal yang lebih menguntungkan daripada tim yang tidak (Newnan & Nollen, 1996).
Tim dideIinisikan secara berbeda dalam budaya yang berbeda karena terdapat
perbedaan dalam aspek perilaku tim seperti ruang lingkup proyek, penataan tim, dan peran
anggota tim, dan alasan dari tim dapat terbentuk (Cohen and Bailey, 1997). Misalnya,
pemimpin tim perlu lebih sensitive terhadap norma-norma kelompok di Iran dan Meksiko
ketimbang Amerika Serikat karena di Iran dan Meksiko deIinisi peran yang jelas dilihat
sebagai sebuah aspek penting dari proses kelompok, sedangkan tidak demikian di Amerika
Serikat (Ayman and Chemers, 1983). Selanjutnya, tim dalam budaya kolektivis bersikap
lebih kooperatiI, memiliki konIlik lebih sedikit, dan kurang menggunakan taktik kompetitiI
dari tim dalam budaya individualis (Oetzel, 1998). Penilaian apa yang membuat sebuah tim
kerja yang eIektiI di Jepang jika anggota tim menunjukkan ketergantungan lebih pada rekan-
rekan, lebih eIektiI di Amerika Serikat jika anggota tim menunjukkan reIIerensi lebih pada
aturan, dan lebih eIektiI di Inggris jika anggota tim menunjukkan lebih kemandirian (Smith,
Peterson, et al, 1994).
Salah satu pendekatan untuk mengatasi peningkatan perubahan teknologi, dan inovasi
layanan, dan persaingan global telah menggunakan tim kerja Ileksibel. Jenis tim dapat
memiliki perubahan keanggotaan dan kepemimpinan agar lebih Ileksibel dan inovatiI
(Livinthal & March, 1993). Budaya nasional dimensi individualis kolektivisme dan jarak
kekuasaan digunakan untuk melihat adaptasi dari tim kerja tidak tetap di Autralia dan Taiwan
(Horrison, McKinnon, Wa, dan Chow, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karywan
Taiwan cenderung memiliki kesulitan yang lebih besar dalam beradaptasi dengan tim kerja
tidak tetap dari Australia. Para penulis menyimpulkan bahwa ini adalah konsisten jarak
kekuasaan tinggi dan kolektivisme dalam masyarakat Cin dan jarak daya rendah dan
individualisme dalam masyarakat Australia. Mereka menunjukkan bahwa temuan ini hanya
dapat dipertimbangkan dalam hal tim kerja tidak tetap, bukan tim pada umumnya, namun
budaya yang tampaknya memainkan peran penting dalam bagaimana tim kerja tidak tetap
akan eIektiI.
Lebih banyak perusahaan Amerika dan multinasional yang beralih untuk
menggunakan tim kerja selI manajemen (SMWT) sebagai cara untuk tetap kompetitiI
(Osterman, 1994). Swakelola tim kerja biasanya memiliki lima komponen (1) mereka
mengelola diri mereka sendiri (2) mereka memutuskan tugas kerja (3) mereka merencanakan
jadwal pekerjaannya (4) mereka memiliki tanggungjawab pengambilan keputusan (5) mereka
memecahkan masalah (Wellins dkk, 1990). Nilai-nilai budaya secara langsung
mempengaruhi berbagai masalah-masalah manajerial termasuk eIektivitas tim (Adler, 1997)
dan keberhasilan SMWT dalam budaya lain dan SMWT multikultural membutuhkan
perhatian dan perlawanan berbasis budaya (Kirkman & Shapiro, 1997). Tim perlu menjadi
global, sebagai lawan dari multikultural, jika mereka harus benar-benar eIektiI.
Tim global atau transnasional menjadi lebih umum dan memiliki keuntungan dari
memberikan keahlian internasional dan perspektiI untuk memecahkan masalah. Tim ini
terdiri dari anggota multinasional dengan berbagai tanggung jawab di berbagai negara.
Sementara ada banyak kesamaan dalam tim tradisional, perbedaan budaya logistik yang
berhubungan dengan pertemuan tim baru. Alasan utama jenis kegagalan ini adalah kurangnya
kepercayaan antara anggota kelompok, yang disebabkan oleh perbedaan bahasa, geograIi dan
budaya. Tim juga harus mampu berkomunikasi dalam bahasa yang sama meskipun berbeda
dalam bahasa Ibu.
Peran pemimpin tim sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Memilih pemimpin
yang tepat akan membantu memastikan bahwa orang yang Ileksibel, mendukung proses tim,
pemahaman tentang perbedaan budaya, dan mampu mendengarkan, berkomunikasi dengan
anggota tim (Salamo, 1995). Tim global yang eIektiI perlu mampu menangani isu-isu budaya
nasional, proIesional, dan organisasi. Mengingat jarak besar yag terlibat, sistem komunikasi
yang memungkinkan anggota tim terpisah secara geograIis untuk berkomunikasi dengan satu
sama lain sangat penting untuk keberhasilan dan berbagai inIormasi.
GENDER
Jika kita membandingkan nilai-nilai kultur negara-negara, satu dari sekian banyak
dengan siap menampakkan hubungan perbedaan untuk peran gender, dan terutama peran
wanita dalam hubungan sosial. Karena perbedaan yang signiIikan dalam peran wanita dalam
kehidupan sosial dan saat yang terjadi dalam dunia kerja beberapa tahun ini, itu penting untuk
mengerti bagaimana kasus-kasus menghubungkan gender yang diperlakukan dalam kultur
yang bervarisasi. Peran wanita dalam memanagemen telah dipertimbangkan dari dua
perspektiI (Adler dan Izraeli, 1988). Pertama adalah pendekatan equity, yang mana
mengasumsikan kesamaan antara laki-laki dan perempuan dan bekerja dalam mengukur
penampilan dan kontribusi dari dua gender dalam suatu cara yang equitabel dan normatiI.
Pendekatan lainnnya adalah pendekatan komplementari-kontribusi, yang
mengasumsikan perbedaan dalam kontribusi tiap-tiap gender dan mencoba untuk
merekognisikan nilai dari perbedaan-perbedaan itu.
Penelitian perbedaan gender dalam management telah dikonsentrasikan di negara
Western dan di US khususnya. Selanjutnya, kebanyakan dari penelitian tentang manager
wanita telah dikonduksikan pada tahun 1970 dan 1980; disana telahada setidaknbya sedikit
penelitian yang terbaru. Penelitian di kultur Eastern telah sangat dibatasi karena penekana
yang berlanjut dalam peran wanita sebagai anak perempuan-ibu-istri, dan dan hanya tersedia
stereotip ini untuk memulai perubahan (Li, 1992). Salah satu alasan untuk perubahan adalah
bahwa ekonomi di Asia telah sedang booming di tahun 1990, menimbulkan tuntutan yang
sangat besar untuk wanita dalam tenaga kerja, dan dan presentase terbesar untuk wanita
dalam mengisi posisi management. Dalam hal ini, level pendidikan wanita telah dengan
kokoh menaikkan, memberikan mereka kebutuhan pendidikan untuk meningkatkan banyak
organisasi (adler dan Izraeli, 1988).
Selanjutnya dalam kasus gender peran keluarga adalah memainkan kultur, organisasi,
dan kehidupan pekerja. Organisasi di US telah hanya dimulai untuk merealisasikan
pentingnya lingkungan kerja yang bersuasana kekeluargaan-bersahabat sebagai sebuah alat
motivasi. Ditempat lain, di tempat lain beberapa kultur selalu memiliki pandangan bahwa
keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebagai contoh, di Singapura, memelihara
struktur dan nilai keluargaditampakkan sebagai hubungan untuk ekonomi yang sukses, dan di
Amerika Latin, Timur Tengah, dan AIrika, kasus mengemukakan keluarga sering meminta
hak kerja lebih tinggi (Nelson, 1998). KonIlik antara kerja dan keluarga telah dipelajari di US
dan Hong Kong untuk melihat bagaimana kasus-ksus sosial memberikan eIek terhadap
pekerja di dua negara tersebut (Aryee, Fields, dan Luk, 1999). Penelitian menguji konIlik
kerja-keluarga (bagaimana masalah kerja memberikan eIek terhadap keluarga) dan konIlik
keluarga-kerja (bagaimana keluarga memberikan eIek terhadap pekerjaan). Masalah
pekerjaan lebih mudah untuk menjadi penyebab konIlik di keluarga Hong Kong, sedangkan
di US masalah keluarga lebih mudah menjadi penyebab masalah pekerjaan. Penemuan-
penemuan ini menyarankan bahwa keluarga relatiI lebih penting dari pada pekerjaan di
Hongkong, dan pekerjaan relatiI lebih penting dari pada keluarga di US, meskipun perhatian
keluarga dan pekerjaan lebih diseimbangkan di US. Stres digenerasikan oleh responsibilitas
keluarga menuju paham absen, pergantian (turnover) tinggi, dan mengurangi produktiIitas
(Grover dan Crooker, 1995). Mengembangkan kebijakan pekerjaan responsivitas-keluarga
menguntungkan banyak keluarga tetapi sebenarnya perlu sekali kultur yang mana keluarga
memiliki sebuah posisi primer yang penting.
Peran wanita dalam pekerjaan dan management sedang merubah aliran secara
keseluruhan di dunia. Sebagai contoh, di US, statistika mengidentiIikasikan sekitar 45
tenaga kerja adalah perempuan, dan banyak dari mereka di management (Pedigo, 1991).
Orang Prancis, orang Amerika, dan orang Spanyol, disana telah menjadi kokoh meningkat
bahwa nomor wanita sebagai tenaga kerja, dan di banyak kasus, dalam presentasi wanita
secara tradisional pekerjaan laki-laki dan okupasi. Saat legislasi sederajat-berlawanan (equal-
opportunity) melindungi wanita di kebanyakan negara Eropa, disana tetap banyak perbedaan
kultural yang mempengaruhi sikap ke arah pekerja wanita. Sebagai contoh, Itally memiliki
presentase terendah dimana wanita menjadi tenaga kerja, dengan hanya sekitar 30 wanita
pekerja dan hanya 3 menempati posisi managemen atas. Rata-rata yang rendah ini telah di
atribusikan untuk menjadi peran yang kuat dengan Chruch Catholic di lingkungan sosial
orang-orang Italia dan menjadi dukungan keluarga yang memiliki anak (davidson dan
Cooper, 1993). Di Hongkong, data mengumpulkan antara 1981 dan 1991 menunjukkan
sebuah peningkatan hampir 600 dimana nomor wanita manager di organisasi (Hongkong
sensus data, 1991). Pergantian serupa telah terjadi di PRC yang telah menghasilkan presentasi
wanita dalam management tenaga kerja meningkat hampir 30 (Korabik, 1993). Ini adalah
sebuah peningkatan yang dramatis, khususnya memberikan harapan kultur (Zhang, 1993). Itu
juga benar bahwa tiap dalam beberapa negara dimana wanita secara umum tidak dinaikkan
sebagai manager, mengoprasikan multinasional di negara yang sedang mengharapkan
menaikkan lebih banyak wanita (Lansing dan Ready, 1988).
Di negara lain, peran wanita lebih jelas ditulis ulang dengan kultur, dan pergantian
lebih lambat atau bahkan tidak ada sama sekali. Sebagai contoh, di jepang wanita tetap
diharapkan untuk mengambil respon utama untuk kasus domestik saat laki-laki mengambil
repon untuk bekerja. Bahkan wanita dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi yang bekerja
tidak diambil seserius rekan laki-laki mereka, dan mereka sering memberikan posisi yang
mana mereka diharapkan untuk merasa senang, bersorak gembira, saling membantu lebih dari
pemimpin atau kontrubutor mayor organisasi. Di Saudi Arabia, perempuan, antara arab dan
ekspatriate, tidak diizinkan untuk mengendarai, bekerja dengan laki-laki, atau bekerja dengan
orang asing yang non-Muslim (Mayer dan Cava, 1993).
Tidak hanya memiliki mayoritas penelitian mengkonduksikan hingga sekarang
menjadi dipusatkan di negara Eastern dan khususnya US, tetapi mayoritas penelitian juga
memusatkan pada perilaku managerial wanita dan bagaimana itu dibedakan dari manager
laki-laki (Coates, Jarrat, dan MahaIIie, 1990). Lagi pula, banyak diskusi yang memeberikan
pengaruh gender dalam management yang diIokuskan dalam peran wanita lebih dari hanya
melihat peran laki-laki atau bahkan mengkonduksikan perbandingan. Satu literatur tinjauan
melihat 130 studi menghubungkan wanita dalam organisasi (Teborg, 1977). Pembelajaran ini
mengkonsentrasikan dalam level masukan untuk wanita, yang mana memelihara lebih rendah
ddaripada laki-laki, dan proses sosialisasi untuk wanita di organisasi. Dengan
mempertimbangkan perilaku kepemimpinan, itu menunjukkan bahwa perempuan di Amerika
lebih mudah daripada laki-laki untuk menjadi pemimpin yang berkarismatik dan lebih mudah
untuk mengkritik dengan balikan yang positiI (Bass, 1990). Wanita juga mungkin lebih
menggunakan gaya kepemimpinan yang lebih demokratis dan partisipatiI, saat laki-laki lebih
mudah untuk menggunakan model kepemimpinan yang bersiIat gaya autokrasi atau direktiI
(Eagly dan Johnson, 1990). Saat wanita lebih mudah untuk lebih memperdulikan pendekatan
managerial mereka, mereka juga sangat memperhatikan tentang melakukan pekerjaan yang
baik. Hanya seperti rekan-rekan lelaki mereka, mereka memiliki sebuah keinginan untuk
independen dan sebuah gerakan untuk mencapai kemajuan karier. Dengan kata lain, saat
manager wanita mempedulikan tentang subordinate mereka, mereka tetap memiliki kekuatan
untuk menunjukkan pekerjaan yang baik dan mengalami sesuatu dalam pekerjaan mereka,
mencapai keamanan ekonomi (Kagan, 1983).
Satu pembelajaran gender dan kultur mempengaruhi kepemimpinan telah
dikonduksikan di empat negara: Norwegia, Swedia, Australia, dan AS (Gibson, 1995). Di
tiap-tiap negara, hasil menunjukkan bahwa laki-laki lebih mudah untuk menekan tempat
dalam setting tujuan, saat wanita lebih mudah menekan tempat dalam memIasilitasi interaksi.
Bagaimanapun juga, tidak ada perbedaan gender yang ditemukan. Dalam istilah perbedaan
negara-negara, orang australia menempati sedikit tekanan dalam kepemimpinan gaya laisse:-
faire dan secara signiIikan lebih menekan pada gaya -enevolent-autokratis. Menariknya,
hasil mengidentiIikasi sedikit perbedaan antara sampel orang Norwegia, swedia, dan Amerika
dalam lebih memilih gaya kepemimpinan.
Para peneliti menemukan bahwa karyawan laki-laki mendapat kepuasan pekerjaan
yang lebih tinggi daripada karyawan perempuan, tetapi tidak ada perbedaan dalam nilai kerja
yang dimiliki oleh karyawan laki-laki dan perempuan. Karyawan laki-laki disukai di Taiwan
dan mencetak secara signiIikan lebih tinggi pada kepuasan tugas, kepuasan, status kepuasan,
dan peringkat. dengan mengontrol untuk variabel-variabel asing, seperti tingkat pendidikan,
para peneliti merasa yakin bahwa hasil dapat dikaitkan dengan perbedaan gender. Selain itu,
para peneliti menyimpulkan bahwa, sementara Taiwan telah menjadi lebih individualis dan
egaliter, dengan perbedaan gender.
Dalam ketenaga kerjaan perempuan didokumentasikan oleh ekonom, sosiolog,
psikolog, dan ilmuwan sosial lainnya menduduki posisi yang baik. Mereka telah
menunjukkan bahwa perempuan dalam investasi modal umumnya memiliki tingkat
pengembalian lebih rendah dari laki-laki (yaitu, ada diskriminasi upah), bahwa segregasi
pasar tenaga kerja (baik horisontal dan vertikal) sering menghambat perempuan dalam
pilihan pekerjaan mereka dan kesempatan kemajuan mereka, dan akhirnya, bahwa kekerasan
di tempat kerja terutama mempengaruhi perempuan. Ini demikian paradoks bahwa
perempuan harus memiliki tingkat kepuasan kerja di negara-negara Barat dibandingkan pria
(BlanchIlower dan Oswald, 2004; Clark, 1997). Sangat sedikit studi telah membuat upaya
eksplisit untuk menjelaskan paradoks ini. Menggunakan data dari Survei Rumah Tangga
1991 Panel Inggris, disarankan bahwa perbedaan kepuasan dapat dijelaskan oleh
kemungkinan bahwa pasar tenaga kerja yang berhubungan dengan harapan wanita sedang
memenuhi atau melampaui (Clark, 1997).
Ada satu penelitian yang signiIikan kepuasan kerja dan perbedaan gender
(Sousa-Poza dan Sousa-Poza, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di negara-negara
di mana perempuan jauh lebih puas daripada laki-laki (yaitu, diIerensial pekerjaan-kepuasan
lebih dari 5 persen), peran pekerjaan output cenderung lebih tinggi bagi perempuan daripada
laki-laki. Hal ini terutama terjadi perempuan di Inggris, yang memiliki tingkat jauh lebih
tinggi daripada laki-laki dari (diri dirasakan) keamanan pekerjaan, pekerjaan yang berguna
untuk masyarakat atau bantuan yang orang lain, dan hubungan baik dengan manajemen dan
rekan.
Hasil ditemukan untuk Amerika Serikat.
Para peneliti juga menemukan bahwa, di kebanyakan negara, tidak ada perbedaan
gender yang signiIikan dalam kepuasan kerja ada ketika pekerjaan dan perbedaan tanggung
jawab dikendalikan. Hanya tiga negara, Inggris, Amerika Serikat, dan Swiss, mereka
menemukan bahwa perempuan masih (yaitu, setelah mengambil workrole yang berbeda input
dan output menjadi pertimbangan) lebih puas daripada pria. Apa yang terlihat dari analisis
mereka adalah bahwa pekerjaan-kepuasan besar perbedaan mendukung perempuan
didominasi ditemui di Amerika Inggris dan Amerika Serikat.
Selanjutnya, perbedaan ini tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh peran yang
berbeda input bekerja dan output, sehingga tidak ada penjelasan jelas tentang mengapa eIek
jender berlaku terutama untuk kedua negara-negara Barat. Namun, manajer perempuan yang
disurvei dalam laporan Inggris bahwa karakteristik organisasi mereka nilai yang penting
seorang manajer adalah daya saing, kerjasama, dan ketegasan, dan yang mereka nilai terkecil
adalah emosi, manipulativeness, dan IorceIulness (Traves, Brockbank, dan Tomlinson, 1997).
STRESS
Stress pada pekerjaan telah diterima secara luas sebagai Ienomena yang umum yang
menyangkut aspek psikologis. Bagaimanapun juga, ada perbedaan individu pada bagaimana
merespon stress tersebut secara Iisik dan secara psikologis pada hal yang sama dan
bagaimana atau mengapa individu tersebut menganggap suatu hal menjadi stressor dalam
pekerjaannya. Perbedaan ini disebabkan oleh Iactor budaya dan karakteristik individu. Secara
umum, stress terjadi karena adanya hal yang ambigu atau terjadi konIlik, beban kerja,
kurangnya kontrol atas peristiwa yang mempengaruhi persepsi seseorang, keamanan kerja,
dan tuntutan pekerjaan.
Sebagai contoh adalah penelitian di belanda yang menemukan bahwa pekerja pos
melporkan kurangnya control atas pekerjaan mereka merupakan sumber stressor yang
signiIikan (Carayon, 1995). Selain itu terdapat di Swedia yang menemukan bahwa
karyawannya yang terkena serangan jantung adalah yang memiliki sedikit control atas
pekerjaan mereka (Siegrist, 2001). Sedangkan di Cina, peningkatan tekanan kerja dan
ketidakmapanan pekerjaan mengakibatkan tingkat stress yang tinggi yang terbukti dengan
tekanan darah dan kolestrol (Siegrist, 1996). Di Finlandia dan Israel juga terlihat stress yang
tinggi karena adanya kemonotonan pekerjaan.
Semua aspek stress tersebut dapat dipengaruhi oleh budaya nasional dan kebijakan
pemerintah. Contohnya, kebijakan pemerintah mengenai cuti keluarga, jam kerja, dan hari
libur sangat bervariasi dari Negara ke Negara lain. Contohnya, departermen kepolisian di
Paris, pada tahun 1995 menemukan 60 petugasnya bunuh diri (2x lipat dari kasus yang
ditemukan di New York). Penyebabnya adalah pemotongan staII, kurangnya control atas
kondisi kerja, bayaran yang rendah dengan biaya hidup yang tinggi, dan kurangnya dukungan
social emosional. Hal tersebut mencerminkan kurangnya program pendampingan karyawan
di Perancis untuk menangani masalah psikologis seperti stress, mencerminkan pula prioritas
budaya nasional dan norma-norma social (Simon, 1996).
Selain itu, di Jepang telah dilaprokan bahwa 59 pekerja Jepang memberitahukan
perasaannya secara jelas telah lelah dari pekerjaannya, sedangkan di Amerika hanya 15-30
saja, walaupun di Amerika dan Jepang waktu kerjanya sama dan merupakan jam kerja paling
lama di dunia. Perbedaan-perbedaan ini dikaitkan dengan Iactor budaya speeti etos kerja yang
ekstrim dalam Jepang dan bias budaya terhadap mencari bantuan. Tingkat depresi,
kecemasan dan bunuh diri ditengah-tengah pria Jepang juga meningkat karena Jepang,
lingkungan bisnisnya didominasi para pria.
Salah satu studi lintas budaya yang meliputi 21 negara, menemukan bahwa beban
perkerjaan yang terlalu banyak dan stress yang lebih besar ditemukan di Negara Timur
seperti India, Indonesia, Korea dan Nigeria daripada di Negara Barat (Peterson et al., 1995).
Studi lain yang dikeluarkan PBB yaitu berIokus pada stress dan kesehatan mental di Inggris,
Amerika Serikat, Jerman, Finlandia dan Polandia. Hasilnya menunjukkan bahwa 1 dari 10
pekerja di 5 negara terpengaruh oleh pekerjaan yang berhubungan dengan stress dan depresi
merupakan peringkat teratas penyebab penyakit yang mematikan kedua setelah penyakit
jantung. Stress tampaknya telah menjadi masalah global dan menjadi perhatian utama di
Eropa, dan Uni Eropa menghabiskan sekitar 4 dari produk bruto nasional untuk mengobati
stress dan penyakit mental yang disebabkan oleh pekerjaan (Cox dan Rial-Gonzales, 2003).
Organisasi diminta untuk bertindak dan pemerintah mendukung melalui programnya dan
kebijakannya.
Pengembangan Produk Baru dan Kreativitas
Produk baru patut dipertimbangkan karena bisa menjadi bagian yabg subtansial dari
pendapatan perusahaan. Dan bagaimana budaya nasional dapat memainkan peran dalam
produk baru untuk pembangunan. Di negara-negara dengan tingkat tinggi individualisme,
kesuksesan pengembangan produk baru sangat dimungkinkan, mengingat bahwa produk baru
yang diperjuangkan sering dikaitkan dengan produk-produk baru yang sukses. Namun,
mengingat keberhasilan pengembangan produk baru di Jepang, kolektivisme juga dapat
menjadi kekuatan positiI. Kolektivisme sering melibatkan tim, dan keberhasilan pendekatan
tim di Jepang telah didokumentasikan dengan baik (Kennard, 1991). Jarak kekuasaan juga
telah dipertimbangkan dalam pengembangan produk baru, dan karena jarak kekuasaan yang
rendah sering dikaitkan dengan desentralisasi, yang pada gilirannya memIasilitasi
pengembangan produk baru, indikasinya adalah bahwa negara-negara dengan jarak
kekuasaan yang rendah lebih mungkin untuk menjadi inovatiI. Namun, jarak kekuasaan
tinggi dengan dukungan terpusat, manajemen atas dapat juga memIasilitasi pengembangan
produk baru (Nakata dan Sivakumar, 1996). Kontradiksi yang sama telah ditemukan untuk
dimensi maskulinitas-Iemininitas dan penghindaran ketidakpastian, sebagai ujung-ujung dua
continua juga tampaknya untuk mendukung pengembangan produk baru. Salah satu
penemuan yang jelas adalah bahwa tingkat positiI dari dinamika Konghucu memIasilitasi
inovasi, sementara tingkat negatiI menghambat inovasi. Implikasi dari ini temuan ini adalah
bahwa beberapa kebudayaan yang lebih baik pada tahap inisiasi perkembangan produk baru,
sementara yang lain lebih baik dalam pelaksanaan. Pilihan inisiasi budaya cenderung tinggi
dalam individualisme tetapi rendah dalam jarak kekuasaan, maskulinitas, dan penghindaran
ketidakpastian. Budaya pilihan pelaksanaan cenderung rendah dalam individualisme tetapi
tinggi jarak kekuasaan, menghindari ketidakpastian, dan maskulinitas. Beberapa cara untuk
mengambil keuntungan dari perbedaan ini untuk memulainya di satu budaya dan
melaksanakan di lain budaya atau untuk membuat tim multikultural dengan pelengkap
kekuatan.
Akhirnya, sebuah studi tiga negara melihat bagaimana lingkungan nasional
mempengaruhi kinerja usaha baru. Data dikumpulkan dari pengusaha di Inggris, Norwegia,
dan Selandia Baru. Hasil menunjukkan bahwa lingkungan nasional tampaknya tidak
mempengaruhi kinerja usaha baru (Shane dan Kolvereid, 1995). Sebuah studi siIat
kewirausahaan lintas budaya menemukan bahwa lokus kontrol internal, pengambilan risiko
moderat kecenderungan, dan penurunan tingkat energi yang tinggi jarak jauh sebagai budaya
dari Amerika Serikat meningkat. SiIat orientasi inovatiI yang konsisten seluruh budaya
belajar (Thomas dan Mueller, 2000).

Etis
Satu kunci dari nilai manajerial adalah berakar dari sistem etis dari sebuah negara. Budaya
mewariskan kebiasaan etis. Nilai budaya memainkan peranan penting dalam pembuatan
keputusan etis. Sebuah investigasi telah dilakukan dan menemukan bahwa perbedaan budaya
mempengaruhi cara seorang manager menyusun keputusan etis mereka. Sebuah penelitian
dilakukan dan menemukan Iakta menarik bahwa pada semua budaya, seorang manager
melihat budaya lain lebih rendah daripada mereka sendiri.

Ketika terjadi konIlik lintas budaya, organisasi dapat merespon sepanjang rangkaian adaptasi
lengkap pada standar etis tuan rumah pada akhirnya untuk menegakkan standar etis home
country. Ada 7 strategi tersedia untuk manager ketika mencoba menyelesaikan konIlik etis:
menghindar, memaksa, persuasi mendidik, inIiltrasi/ penyusupan, negosiasi kompromi,
akomodasi/ penyesuaian diri, kolaborasi. Semua strategi memiliki nilai, yang mana
pendekatannya harus digunakan tergantung pada persoalan yang terlibat dan keadaan sekitar.
Untuk memilih strategi yang tepat, manager butuh mempertimbangkan seberapa banyak
kemampuan mereka untuk mengontrol situasi (kekuatan), keadaan yang mendesak, pusat
masalah dalam kepentingan kehidupan manusia, dan apakah nilainya universal dan umum
atau jarang terlihat dan tidak umum.

Ketika tingkat alasan etis untuk auditor di China dan Australia dibandingkan untuk melihat
apakah perbedaan budaya mempengaruhi alasan etis, hasilnya mengindikasikan bahwa
Australia memiliki alasan etis yang lebih tinggi daripada China. Juga, penelitian di Korea
ditemukan bahwa manager Korea lebih bermoral idealis daripada manager Amerika dan
korea cenderung menghindari ketidakpastian dengan membina hubungan daripada membuat
komitmen legal yang tepat.

Untuk mengilustrasikan kompleksitas etis dari menjalankan bisnis di negara lain,
pertanyaannya adalah bagaimana menegakkan nilai etis dari organisasi sementara beroperasi
di negara lain dengan tantangan etis lingkungan diinvestigasi di Burma. Hasilnya
membuktikan sebuah diskusi provocative dari permasalahan, khususnya sejak perusahaan
multinasional tidak bisa lagi beroperasi secara tersembunyi di negara lain dari penelitian
publik. Karena perusahaan multinasional beroperasi pada konteks berbeda dan bertentangan
dengan nilai dan norma, sensitivitas perbedaan etis lintas budaya itu penting.
Area yang luas dari legalitas menegaskan perilaku etis di berbagai negara menggabungkan
perilaku etis dan perhatian pembuatan keputusan. Perusahaan hendaknya menjadi sadar akan
etis dan membuat strategi dan menajemen sumber daya manusia dalam cara yang etis yang
membuat seimbang ketika perbedaan lintas budaya menjadi pertimbangan.

Kesimpulan
Perbedaan pada nilai juga termaniiIestasi pada cara budaya membuat tim kerja dan kelompok
kerja, gender, dan standar etis. Peran perempuan dalam budaya, sejak perempuan sering
diperlakukan berbeda dari laki-laki, umumnya dibayar kurang, memiliki kesempatan maju
yang lebih sedikit, dan lebih seperti pengalaman kekerasan di tempat kerja, sementara di
waktu yang sama dilaporkan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi di budaya Barat.
Banayk eksplorasi perbedaan nilai butuh untuk dimengerti inti perbedaan dalam pendekatan
dan sikap terhadap perempuan dan kegunaan dari team dan bagaimana perbedaan dalam
standar etis berdasarkan ekspektasi perbedaan budaya mempengaruhi pekerja dan tingkah
laku managerial.

DAMPAK DARI NILAI BUDAYA DALAM


PEMECAHAN MASALAH, TIM, GENDER, STRESS, DAN ETIKA

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok matakuliah
Teori Organisasi Perilaku yang dibina oleh Bapak Fattah Hidayat.


Oleh:
Cince Rohmawati 309112416063
Rahayu Widiyati 309112416072
MiItha Karima 309112416074
Rizky Dianita Segarahayu 409112416141
Hastantri Dwi Putranti 409112416154
Psikologi







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING DAN PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai