Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Besar karena cakupan wilayah dan kandungan bumi pertiwi yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, besar karena populasi penduduknya yang senantiasa berada pada urutan empat besar dunia setelah China, India, dan Amerika, besar karena keanekaragaman dan kekayaan budayanya menjadi salah satu cagar peradaban dunia. Sebagai putraputri bangsa, maka patutlah kita bangga akan bangsa kita. Bangga menjadi bangsa Indonesia adalah mau menggali dan mengoptimalkan potensi Negeri dan Bangsa ini serta menghargai sejarah bangsa (Kian, 2011). Nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang Austronesia dari Yunan yang menetap di Indonesia. Orang-orang Austronesia yang memasuki wilayah Nusantara dan menetap disebut bangsa Melayu Indonesia. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang langsung bangsa Indonesia sekarang. Sebelum kelompok bangsa Melayu memasuki Nusantara sebenarnya telah ada kelompok-kelompok menusia yang lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut. Mereka termasuk bangsa primitif dengan budayanya masih sangat sederhana (Mustafa, 2006). Sejarah mengapa sampai akhirnya bangsa kita disebut bangsa Indonesia dan siapa nenek moyang bangsa Indonesia perlu kita ketahui. Dalam paper ini, dipaparkan nama-nama bangsa Indonesia sebelum akhirnya disebut sebagai bangsa Indonesia, serta kronologisnya, juga pengertian warga negara, warga negara asli, dan warga negara asing bangsa Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 2.1.1 Nama Bangsa Indonesia dan Kronologisnya Nama Bangsa Indonesia Sebelum Sah Disebut sebagai Indonesia Adapun bangsa Indonesia memiliki nama-nama sebagai berikut sebelum sah disebut sebagai bangsa Indonesia: Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan) Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang)

Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa) Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) India Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales) "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais) Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) To-Indo (Hindia Timur) Insulinde (Kepulauan Hindia) Nusantara Malayunesia (Kepulauan Melayu) Indian Archipelago

(Wikipedia, 2011) 2.1.2 Kronologis Sejarah Nama-Nama Bangsa Indonesia Sebelum sah disebut dengan nama Indonesia, Indonesia telah memiliki nama-nama sebutan. Misalnya sejak pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Bangsa Tionghoa dalam catatannya menyatakan kawasan kepulauan tanah air dengan Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Selain itu, catatan kuno bangsa India menamai kepulauan Indonesia dengan Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), yang secara etiomologi diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).

Adapun bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi Indonesia dengan sebutan Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa) . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (18201887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa " (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua

benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia. Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians". Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: "Mr. Earl suggests the ethnographical term

Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago". Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van NederlandschIndie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisantulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesir. Dan hingga sekarang menjadi Indonesia (Darwis, 2011). 2.2 Pengertian Warga Negara, Warga Negara Asli, Dan Warga Negara Asing Bangsa Indonesia Menurut Austin Ranney (1982), warga negara asing adalah orang asing yang untuk sementara atau tetap bertempat tinggal di negara tertentu, tetapi tidak berkedudukan sebagai warga negara. Mereka adalah warga negara dari negara lain yang, dengan izin pemerintah setempat, menetap di negara yang bersangkutan.

Mereka mempunyai hubungan secara hukum dengan negara di mana mereka tinggal hanya ketika mereka masih bertempat tinggal di wilayah negara tersebut. Sedangkan warga negara dalah orang-orang yang memiliki kedudukan resmi sebagai anggota penuh suatu negara. Mereka dituntut untuk memberikan kesetiannya kepada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikutserta dalam proses politik mereka mempunyai hubungan secara hukum yang tidak terputus dengan negaranya meskipun yang bersangkutan telah berdomisili di luar negeri, asalkan ia tidak memutuskan kewarganegaraannya (Suteng, dkk., 2006). Warga negara asli bangsa Indonesia adalah penduduk asli yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Hasil berbagai penyelidikan sejarah purba terutama yang dilakukan oleh sejarahwan Belanda, Von Heine Geldren, menerangkan bahwa sejak tahun 2000 SM sampai dengan tahun 500 SM, mengalirlah gelombang perpindahan penduduk dari Asia ke pulau-pulau di sebelah selatan daratan Asia. Pulau-pulau sebelah selatan Asia disebut Austronesia (Austro artinya selatan, nesos artinya pulau). Bangsa yang mendiami daerah Austronesia disebut bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia mendiami wilayah yang amat luas, meliputi pulau-pulau yang membentang dari Madagaskar (sebelah barat) sampai ke Pulau Paskah (sebelah timur) dan Taiwan (sebelah utara) sampai Selandia Baru (sebelah selatan). Pendapat ini juga pernah dikemukakan oleh Dr. H. Kern pada tahun 1899 melalui penelitian berbagai bahasa daerah (ada 113 bahasa daerah) di Indonesia. Bahasa daerah tersebut dahulunya berasal dari satu rumpun bahasa yang disebut bahasa Austronesia. Nenek moyang bangsa Indonesia meninggalkan daerah Yunan di sekitar hu;lu Sungai Salwen dan Sungai Mekhong yang tanahnya sangat subur diperkirakan karena bencana alam dan serangan suku bangsa lain. Alat tranportasi yang digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia untuk mencapai Nusantara adalah perahu bercadik. Mereka berlayar secara berkelompok tanpa mengenal rasa takut dan kemudian menempati berbagai pulau. Salah satu tempat yang merka pilih adalah Nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut-pelaut ulung yang memiliki jiwa kelautan.

Memek moyang bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan kelautan, yaitu sebagai penemu model asli perahu bercadik yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

MALAYSIA VIETNAM Bascon Hoabinh Dong Son

YUNAN

FILIPINA

TAIWAN

INDONESIA P.Sumatera P.Jawa P.Kalimantan P.Sulawesi P.Papua Pulau lainnya

MADAGASKAR

MELANESIA MIKRONESIA POLINESIA Arah Persebaran Gambar 2.1 Arah Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia Dari Yunan (Mustafa, 2006) Nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang Austronesia dari Yunan yang menetap di Indonesia. Orang-orang Austronesia yang memasuki wilayah Nusantara dan menetap disebut bangsa Melayu Indonesia. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang langsung bangsa Indonesia sekarang. Bangsa Melayu itu dapat dibedakan menjadi dua suku bangsa. 1. Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) Bangsa Melayu Tua adalah orang-orang Austronesia dari Asia yang pertama kali dating ke Nusantara pada sekitar tahun 1500 SM. Bangsa Melayu Tua memasuki wilayah Nusantara melalui dua jalur, yaitu a. Jalur barat melalui Semenanjung Melayu (Malaysia)- Sumatera b. Jalur timur melalui Filipina-Sulawesi Bangsa Melayu Tua memiliki kebudayaan yang lebih tinggi daripada Homo Sapiens di Indonesia. Suku bangsa Indonesia yang termasuk anak keturunan bangsa Proto Melayu adalah suku Dayak dan suku Toraja.

2. Bangsa Melayu Muda (Deutero Melayu) Pada kurun waktu tahun 400-300 SM terjadi gelombang kedua nenek moyang bangsa Indonesia dating ke Nusantara. Bangsa Melayu Muda (Deutero Melayu) berhasil mendesak dan berasimilasi dengan pendahulunya, bangsa Proto Melayu. Bangsa Deutero Melayu memasuki wilayah Nusantara melalui jalur barat. Mereka menempuh rute dari Yunan (Teluk Tonkin), Vietnam, Semenanjung Melayu, dan akhirnya tersebar ke seluruh Nusantara. Bangsa Deutero Melayu memiliki kebudayaan yang lebih maju dibandingkan bangsa Proto Melayu. Suku bangsa Indonesia yang termasuk keturunan bangsa Melayu Muda (Deutero Melayu) adalah suku Jawa, Melayu, Minang, dan Bugis. Sebelum kelompok bangsa Melayu memasuki Nusantara sebenarnya telah ada kelompok-kelompok menusia yang lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut. Mereka termasuk bangsa primitif dengan budayanya masih sangat sederhana. Mereka yang termasuk bangsa primitif adalah sebagai berikut: 1. Manusia Pleistosen (Purba) Kehidupan manusia purba selalu berpindah tempat dengan kemampuan yang sangat terbatas. Demikian pula kebudayaan dan teknologinya yang masih sangat sederhana (teknologi Paleolitik). 2. Suku Wedoid Sisa-sisa suku Wedoid sampai sekarang masih ada, misalnya suku Sakai di Siak serta suku Kubu di perbatasan Jambi dan Palembang. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan berkebudayaan sederhana. Mereka juga sulit sekali menyesuaikan diri dengan masyarakat modern. 3. Suku Negroid Di Indonesia sudah tidak terdaoat lagi sisa-sisa kehidupan suku Negroid. Suku yang termasuk ras Negroid, misalnya suku Semang di Semenanjung Malaysia dan suku Negrito di Filipina. Mereka akhirnya terdesak oleh orangorang Melayu modern sehingga hanya menempati daerah pedalaman yang terisolasi. (Mustafa, 2006).

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan Berdasarkan ulasan yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang hingga akhirnya berdiri sebagai suatu bangsa, yakni bangsa Indonesia dengan orang-orang Austronesia dari Yunan yang menjadi warga negara asli bangsa Indonesia. 3.2 Saran Sebagai bangsa yang besar maka layaklah kita menghargai sejarah bangsa kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, namun walaupun demikian akan tetap dipersatukan oleh nama yang satu, yaitu nama Bangsa Indonesia.

10

DAFTAR PUSTAKA
Kian, Wahid. 2011. Bangga Bangsa Indonesia. http://www.edukasi.kompasiana. com/. Diakses 12 September 2011. Mustafa, Shodiq. 2006. Wawasan Sejarah 1. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Suryantoro, Darwis. 2011. Sejarah Bangsa Indonesia. http://www.paramadina. wordpress.com. Diakses 12 September 2011. Suteng, Bambang, Saptono, Wasitohadi, dan Mawardi. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga. Wikipedia. 2011. Sejarah Nama Indonesia. http/www.id.wikipedia.org. Diakses 12 September 2011.

10

Anda mungkin juga menyukai