Anda di halaman 1dari 25

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


PROPOSAL SKRIPSI
Nama : Erwin Eka Septiyani
NIM : 3301409120
Program Studi : Pendidikan Kewarganegaraan
1urusan : Hukum dan Kewarganegaraan

I. 1UDUL
MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KELAS I SEMARANG

II. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keadaaan ekonomi Indonesia yang masih belum stabil menyebabkan
meningkatnya tingkat kemiskinan. Perkembangan ke arah modernisasi dan
karena keadaan ekonomi, juga merupakan suatu indikasi terjadinya perubahan
sosial Sehingga tindak kejahatan pun muncul di tengah-tengah masyarakat.
Tidak sedikit kedua orang tua turut serta dalam semua gerak kemajuan
masyarakat dan/atau mencari naIkah, hingga terpaksa kerap kali
meninggalkan rumahtangganya dengan akibat anak-anaknya kurang mendapat
asuhan, bimbingan, pengawasan, dan ada kalanya juga kasih sayang, yang
justru masih sangat mereka perlukan.
Laporan 'United Nation Congress no the Prevention oI Crime and the
Treatment oI OIIenders di London pada 1960 menyatakan adanya kenaikan
jumlah fuvenile delinquency (kejahatan anak remaja) dalam kualitas kejahatan,
dan peningkatan dalam kegarangan serta kebengisannya yang lebih banyak
dilakukan dalam aksi-aksi kelompok daripada tindak kejahatan individual

(MinddendorI, 1960). Fakta kemudian menunjukkan bahwa semua tipe


kejahatan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya
perkembangan indutrialisasi dan urbanisasi.
Monitoring yang dilakukan oleh Perkumpulan Studi dan Advokasi Anak
di Indonesia (Perisai) pada JanuariMaret 2009 tercatat 17 kasus kejahatan
yang melibatkan 28 anakanak. Dimana kasus terbanyak terjadi di Kota
Semarang dengan melibatkan 22 anak, sedangkan sisanya terjadi di di
Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Grobogan, dan
Kabupaten Brebes masingmasing satu anak.
Kasus asusila pada tahun 2010 yang terjadi di Magelang merupakan
salah satu contoh dari buruknya pembinaan pada anak di bawah umur.
Seorang anak yang masih berumur 15 tahun ditangkap polisi setelah
menyodomi 8 orang temannya. Remaja warga Desa Jamus, Kecamatan
Ngluwar, Kabupaten Magelang tersebut selalu mengancam korbannya. Dia
tidak segan memukul apabila korban benar-benar mengadu ke orang tua.
Kasus asusila yang serupa juga terjadi pada awal Januari tahun 2011 di
Purbalingga. Bocah SD telah melakukan perbuatan asusila layaknya orang
dewasa. Dia melakukan hal tersebut dengan teman mainnya. Kasus lain juga
terjadi di Riau. Bocah SD Kelas VI yang mencuri buah sawit brondolan milik
PTP Nusantara V.
Mereka menjadi kriminal ketika kekuatan-kekuatan yang mengontrol
tersebut lemah atau hilang. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki
bakat yang diwariskan oleh orangtuanya. Pada mulanya sangat mudah
mendapati anak yang memiliki karakter seperti orangtuanya, namun ternyata
hasil yang sama pun tidak jarang ditemui pada anak-anak yang diadopsi atau
anak angkat. Anak-anak yang delinquent atau jahat lebih banyak terdapat
dalam lingkungan keluarga yang mempunyai pola sosiopatik (sakit secara
sosial), terutama sekali keluarga-keluarga pemabuk, peminum, dan keluarga
kriminal. Semakin luar biasa siIat kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak
muda, semakin besar kemungkinannya anak-anak tersebut berasal dari
keluarga yang jahat. Anak-anak terlantar, anak pungut, anak korban broken

ome yang semuanya kurang mendapat kasih sayang dan tuntutan moril
berkecenderungan besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang
delinquent di kemudian hari. Mereka selalu didera konIlik batin atau
kekalutan mental. Sebab mereka pada umumnya adalah 'anak buangan yang
ditolak oleh orangtua dan lingkungan masyarakat. Sehingga mereka
mengembangkan respon sosial yang keliru dalam bentuk tingkah laku
kriminal.
Secara Iormal kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan yang oleh
negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksud untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Kejahatan tersebut
tentunya tidak lepas oleh aturan pidana yang mengikatnya. Tapi, tidak semua
perbuatan yang melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi
pidana. Banyak perbuatan kejahatan anak-anak dan remaja tidak dapat
diketahui, dan tidak dihukum disebabkan antara lain oleh: (a) kejahatannya
dianggap sepele, kecil-kecilan saja sehingga tidak perlu dilaporkan kepada
yang berwajib; (b) orang segan dan malas berurusan dengan polisi dan
pengadilan; (c) oraang merasa takut akan adanya balas dendam.
Pada akhirnya mereka memilih dan menetapkan satu peranan kriminal
sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terabaikan oleh
situasi dan kondisinya saat itu. Kemudian jadilah mereka penjahat-penjahat
muda dengan deviasi atau penyimpangan kriminal sekunder. Hal tersebut
tentunya tidak terlepas dari hukum yang menjadi payung bagi penegak
keadilan dan kebenaran. Undang-Undang No 3/1997 Pasal 4 Ayat (1)
menerangkan bahwa 'Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang
Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Hal tersebut merupakan dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk
melakukan tindak pidana atau kejahatan. Oleh karena itu anak nakal, orang tua
dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap
pembinaan,pendidikan,dan pengembangan perilaku tersebut. Mengingat
siIatnya yang khusus yang memberikan landasan hukum yang bersiIat

nasional bagi generasi muda melalui tatanan Peradilan khusus bagi anak-anak
yang mempunyai perilaku yang menyimpang dan melakukan pelanggaran
hukum. Yang dimaksud untuk memberikan pengayoman dalam upaya
pemantapan landasan hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum
kepada anak-anak Indonesia yang mempunyai siIat perilaku menyimpang,
karena dilain pihak mereka merupakan tunas- tunas bangsa yang diharapkan
berkelakuan baik dan bertanggungjawab.
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan tempat untuk
melaksanakan pengayoman serta pemasyarakatan narapidana. Di dalam
Lembaga Pemasyarakatan para narapidana mendapatkan pembinaan-
pembinaan antara lain, pembinaan pendidikan umum, pembinaan keagamaan,
pembinaan ketrampilan, pembinaan kesehatan dan olah raga dan penyuluhan.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak bagi pelaksanaan Undang-
Undang No.12/1995. Sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman
merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui kegiatan-kegiatan
pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi.
Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan
terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-
sungguh untuk kepentingan anak. Penahanan dilakukan setelah dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No.
3/1997). Penahanan terhadap anak harus dilakukan terpisah dari tahanan orang
dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Oleh
karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak, maka alasan penangkapan
dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU No. 8/1981) harus
dikesampingkan karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Dalam masa penahanan tersebut anak berhak
mendapatkan pembinaan agar setelah menjalani penahanan kehidupan mereka
berubah menjadi baik dan mencegah terhadap kemungkinan diulanginya
tindak pidana.
Melihat pentingnya peran serta anak-anak dalam memajukan bangsa,
kita tentunya tidak mau mengambil risiko kehilangan jati diri seorang anak

ketika dalam masa penahanan. Dalam masa penahanan banyak orang


mengatakan bahwa itu adalah suatu nestapa, penderitaan, dan pengekangan
kemerdekaan. Seorang anak tentunya akan merasa jenuh yang berkepanjangan
apabila dalam penahanan itu tidak dilakukan pembinaan yang dapat
memulihkan psikologis si anak.
Proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga
yang damai dan sejahtera lahir dan batin. Pembinaan adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,
sikap dan perilaku, proIessional, kesehatan jasmani dan rohani anak didik
pemasyarakatan. Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di LAPAS
Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam LAPAS, dipisah-pisahkan
sesuai dengan status mereka masing-masing, yaitu Anak Pidana, Anak
Negara, Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan
pembinaan yang dilakukan terhadap mereka. Dalam rangka pembinaan
terhadap anak pidana di LAPAS dilakukan dengan penggolongan atas dasar
umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria
lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Upaya pembinaan atau bimbingan merupakan suatu sarana perlakuan
cara baru terhadap narapidana. Perlakuan tersebut untuk mendukung pola
upaya baru pelaksanaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan
Negara mengeluarkan narapidana untuk kembali menjadi anggota masyarakat.
Upaya pembinaan atau bimbingan tersebut menjadi inti dari kegiatan sistem
pemasyarakatan. Perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam
pemasyarakatan melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini disebabkan
timbulnya suatu doktrin bahwa narapidana tidak dapat diasingkan hidupnya
dari masyarakat.
Pembinaan di dalam lembaga adalah sebagian tugas sistem
kemasyarakatan sesudah dikurangi oleh pembinaan di luar lembaga, namun
dalam pelaksanaannya pembagian tugas yang demikian dirasa masih kurang,
karena pertimbangan tenaga dan Iasilitas yang kurang memadai. Terutama
tugas pembinaan dalam proses asimilasi/integrasi sangat membutuhkan tenaga

pengaman yang terdidik, dan tugas bimbingan lanjutan (after care) hanya
mungkin berjalan dengan penyediaan dana yang relatiI besar.
Kesulitan tugas pembinaan yang membutuhkan tenaga ahli perlu
diusahakan dengan bantuan tenaga sosial dari berbagai bidang disiplin ilmu
(beavioral scientist). Seperti adanya petugas agama, kesehatan, pendidik,
kedokteran jiwa, dan ahli-ahli lainnya yang berkaitan dengan situasi
konvergensi manusia dan pembinaan yang bersiIat individual.
Pembinaan dan kegiatan bimbingan di dalam lembaga masih perlu
dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan makna system pemasyarakatan
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan usaha-usaha terwujudnya
pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap
narapidana sesuai dengan prinsip pembaharuan pidana.
Dalam Kepres 1974 dapat ditaIsirkan bahwa tidak menutup
kemungkinan meningkatkan pembinaan yang eIektiI dengan membentuk suatu
'Dewan Perwalian yang mempuyai tugas bimbingan secara individual
(individual treatment) dan mendampingi Dewan Pembina Pemasyarakatan.
Dalam hal ini, narapidana anak dapat dilakukan pembinaan melalui Dewan
Perwalian. Kemingkinan seorang wali yang sudah berpengalaman dalam
Dewan Perwalian dapat menangani lebih dari seorang narapidana, namun
bekerjanya tetap bimbingan secara individual yang peranannya dilandasi
hubungan antara orang tua tehadap anak.
Sekitar awal tahun 2007, karena banyaknya kasus kejahatan anak,
LAPAS Kelas I Semarang juga digunakan untuk menitipkan` narapidana
anak dalam lingkup Kota Semarang dan sekitarnya, dengan masa pidana
kurang dari satu tahun, dimana seharusnya anak didik pemasyarakatan (istilah
hukum untuk narapidana anak) dibawa ke Lembaga Pemasyarkatan Anak
Kutoarjo Purworejo. Alasan dilakukannya hal ini adalah untuk memudahkan
keluarga anak dalam memantau keadaan serta menjenguk anak.
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengambil judul
penelitian 'MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KELAS I SEMARANG.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pembinaan pada narapidana anak di LAPAS kelas
I Semarang ?
2. Kendala apa saja dalam upaya pembinaan anak didik ?
3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi kendala
tersebut ?

. Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembinaan pada anak didik di
LAPAS kelas I Semarang
2. Untuk mengetahui kendala apa saja dalam upaya pembinaan anak didik
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk
menghadapi kendala tersebut.

D. Manfaat Penelitian
ManIaat penelitian ini diharapkan dapat:
1. Secara teoritis
Dapat memberikan sumbangan pengetahuan upaya pembinaan anak didik
di lembaga pemasyarakatan.
2. Secara praktis
Memberikan bahan masukan dan sumbang saran kepada lembaga
pemasyarakatan dalam hal pembinaan anak didik.



III. PENEGASAN ISTILAH


Penegasan istilah untuk menghindari kekeliruan istilah pada judul
'Model Pembinaan Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Semarang, sebagai berikut:
1. Narapidana Anak
Narapidana atau yang biasa disebut Anak Didik Pemasyarakatan menurut
Pasal 1 UU No.12 Tahun 1995 adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
2. Pembinaan Narapidana
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang
berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang
baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu
dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk
membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta
mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya
berpotensi untuk menjadi menusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
(Bambang Poernomo, 1986:187)
3. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan tempat untuk melaksanakan
pengayoman serta pemasyarakatan narapidana. Dalam Surat Keputusan
Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. K.P. 10.13/3/1 tanggal 8 Februari
1965 yang menyempurnakan Surat Keputusan No. J.H.G. 8/922 tanggal 26

Desember 1964 tentang Konsepsi Pemasyarakatan, menentukan bahwa


Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapuite, yang sejak itu
narapidana lalu mengalami pembinaan, yang dilaksanakan berdasarkan azas:
Perikemanusiaan, Pancasila, Pengayoman, dan Tut Wuri Handayani.

IV.TIN1AUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kejahatan, Pengertian Pidana, dan Unsur-Unsur
Tindak Pidana
1. Pengertian Kejahatan
Menurut Van Bemmelen (dalam Simadjuntak 1981: 72), kejahatan
adalah tiap kelakuan yang bersiIat tidak susila dan merugikan, yang
menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat
tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan
penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja
diberikan karena kelakuan tersebut.
Thomas, (dalam Simadjuntak 1981: 75), melihat kejahatan dari sudut
psikologi sosial sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan perasaan
solidaritas kelompok.
Sedangkan menurut Kempe (dalam Simadjuntak 1981: 74), kejahatan
dapat berubah dipengaruhi oleh perasaan sebagian besar dari masyarakat
mengenai apa yang merugikan (onbehoorlijk) dan tidak dibiarkan
(onduldbaar).
Simadjuntak,(1981: 75) menyimpulkan tentang kejahatan di atas apabila
dipelajari secara teliti maka dapat digolongkan dalam tiga jenis pengertian
sebagai berikut:
a. Pengertian secara praktis (sosiologis)
Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan yang
hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.
b. Pengertian secara religius
Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan.
Pengertian a dan b dapat disebut pengertian kriminologis.

c. Pengertian secara yuridis


Dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan
atau pelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi
masyarakat dan diberi pidana oleh negara. Sesuatu perbuatan diberi
pidana diatur dalam pidana diatur dalam KUUHP dan peraturan
hukum yang mengancam pidana. Peraturan hukum yang
mengancam pidana ini disebut pidana khusus seperti: hukum
pidana ekonomi, subversi. Tidak semua pasal-pasal KUUHP
mengatur tindak pidana, hanyalah pasal-pasal yang termuat dalam
buku kedua saja. Dalam KUUHP dibedakan antara pelanggaran
(buku ketiga) dan kejahatan (buku kedua). Perbedaan antara
pelanggaran dan kejahatan merupakan perbedaan antara delik
undang-undang dan delik hukum. Kejahatan merupakan delik
hukum sedang pelanggaran merupakan delik undang-undang.
Sehubungan dengan beberapa pengertian tersebut Simadjuntak (1981:
76), mengemukakan bahwa kita akan memperoleh pengertian kejahatan dalam
arti yuridis dan kejahatan dalam arti kriminologis. Hukum pidana
memperhatikan kejahatan sebagai peristiwa pidana yang dapat mengancam
tata tertib masyarakat, sedang kriminologi mempelajari kejahatan sebagai
suatu gejala sosial yang melihat individu dalam konteks ekosIeris.
a. Kejahatan Anak
Kejahatan anak biasanya identik dengan pengertian kenakalan remaja.
Dalam KUUHP pasal 489 digunakan kata kenakalan sebagai terjemahan
baldadigheid (Bahasa Belanda) yang berarti semua perbuatan orang yang
berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang, dan
barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, kesusahan yang tidak
dapat dikenakan salah satu pasal KUUHP. Dengan kata lain semua tindakan
yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal KUUHP dimasukkan dalam
kelompok pengertian kenalakan. Berdasarkan KUUHP maka kenakalan
merupakan suatu tindak pidana, sama dengan kejahatan.

Di Amerika muncul suatu istilah tentang JUVENILE DELINQUENT.


Simadjuntak (1981: 288), mengemukakan bahwa agar seseorang dapat
dipertanggungjawabkan harus ada kesadaran pertanggungjawaban, yang
bersangkutan harus mengetahui bahwa perbuatannya itu terlarang menurut
hukum positiI. Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
penggunaan kata kenakalan dan kejahatan dalam pengertian Juvenile
Delinquent, masih belum dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan
ethis
Kartono (2008: 6) mengemukakan bahwa Juvenile delinquency ialah
perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan
gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian social, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang.
Delinquent merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat
labil dan deIektiI, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk
terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber,
dan adolesens, (Kartono, 1986: 21).
Kartono (2008: 37), menggolongkan delinkuensi remaja menjadi:
1). Delinkuensi Individual
Tingkah laku kriminal anak merupakan gejala personal atau individual
dengan ciri-ciri khas jahat, disebabkan oleh predisposisi dan kecenderungan
penyimpangan tingkah laku (psikopat, psikotis, neurotis, a-sosial) yang
diperhebat oleh stimuli sosial dan kondisi kultural. Biasanya mereka juga
mempunyai kelainan jasmaniah dan mental yang dibawa sejak lahir.
Kelaianan ini merupakan dieferensiasi biologis yang membatasi atau merusak
kualitas-kualitas Iisik dan psikisnya. Kejahatan remaja tipe ini seringkali
bersiIat simptomatik, karena disertai banyak konIlik intrapsikis kronis,
disintegerasi pribadi dengan kekalutan batin hebat, gejala psikotis dan
psikopatis.

2.) Delinkuensi Situasional


Delinkuensi ini dilakukan oleh anak yang normal; namun mereka banyak
dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional, stimuli sosial dan tekanan
lingkungan, yang semuanya memberikan pengaruh 'menekan-memaksa pada
pembentukan perilaku buruk. Sebagai produknya anak-anak remaja tadi suka
melanggar peraturan, norma sosial, dan hukum Iormal. Anak-anak muda ini
menjadi jahat delinkuen sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai
reaksi terhadap pengaruh eksternal, yang menekan dan memaksa sifatnya.
Masalah pokok pada anak-anak delinkuen ini ialah mereka 'berkesempatan
mau menjadi delinquen, berdasarkan keputusan dan kemauan sendiri karena
dirangsang kebutuhan sesaat.
3.) Delinkuensi Sistematik
Di kemudian hari perbuatan kriminal anak-anak remaja tersebut
disistematisir dalam bentuk satu organisasi, yaitu gang. Kumpulan tingkah
laku yang 'disistematisir itu disertai pengaturan, status Iormal, peranan
tertentu, nilai-nilai rite-rite, norma-norma, rasa kebanggaan, dan moral
delinkuen yang berbeda dengan yang umum berlaku. Semua kejahatan ini
kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh segenap anggota
kelompok, sehingga kejahatannya menjadi terorganisir atau menjadi sistematis
siIatnya.
4.) Delinkuensi KumulatiI
Situasi sosial dan kondisi kultural buruk yang repetitiI terus-menerus dan
berlangsung berulang kali itu dapat mengintensiIkan perbuatan kejahatan
remaja, sehingga menjadi kumulatiI siIatnya; yaitu terdapat di mana-
mana.Secara kumulatiI gejala tadi menyebar luas di tengah masyarakat, lalu
menjadi Ienomena disorganisasi/disintegerasi sosial dengan subkultur
delinkuen di tengah kebudayaan suatu bangsa. Pada hakikatnya, delinkuensi
ini merupakan produk dari konflik budaya, merupakan hasil dari banak
konIlik kultural yang kontroversial.

-. Se-a--Se-a- Kejahatan
Simadjuntak, (1981: 289) mengemukakan sebab-sebab timbulnya
kenakalan ini dapat diklasiIikasikan kepada:
a. Faktor Intern
1.) Cacat keturunan yang bersiIat biologis-psikis
2.) Pembawaan yang negatiI yang mengarah ke perbuatan nakal
3.) Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan
4.) Lemahnya kontrol diri serta persepsi sosial
5.) Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan yang
baik dan kreatiI.
b. Faktor Ekstern
1.) Rasa cinta dari orang tua dan lingkungan
2.) Pendidikan yang kurang menanamkan bertingkah laku sesuai alam sekitar
yang diharapkan orang tua, sekolah, masyarakat
3.) Menurunnya wibawa orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat
4.) Pengawasan yang kurang eIektiI dalam pembinaan yang berpengaruh
dalam domain aIektiI, konasi, konisi dari orang tua, masyarakat, guru
5.) Kurangnya penghargaan terhadap remaja dari lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat.
c. Faktor PositiI
1) Masih adanya pengakuan akan peranan norma agama, norma pergaulan
yang hidup dalam masyarakat oleh remaja maupun lingkungan sosial
2) Masih diusahakan penegakan wibawa norma agama dan norma sosial lain
3) Daya tahan masih kuat terhadap pengaruh negatiI perkembangan
masyarakat
4) Ikatan sosial masih memiliki kemampuan mengawasi tingkah laku anggota
masyarakat terhadap pelanggaran.
d. Faktor NegatiI
1) Situasi politik yang tidak begitu menguntungkan
2) Keadaan ekonomi yang semakin menurun, krisis ekonomi
3) Aspek demograIi yang belum terkendalikan

4) Kesehatan Iisik masyarakat yang belum baik penanganannya.



2. Pengertian Pidana
Aturan umum yang dimuat dalam buku I KUHP adalah berupa aturan-
aturan dasar hukum pidana yang bersiIat dan berlaku umum dalam hal dan
yang berhubungan dengan larangan perbuatan-perbuatan tertentu baik tindak
pidana dalam Buku II (kejahatan) dan Buku III KUHP (pelanggaran), maupun
tindak pidana yang berada di luar KUHP.
Aturan umum hukum pidana ini dapat dikatakan sebagai landasan dan
mengikat ketentuan hukum pidana perihal larangan-larangan melakukan
perbuatan yang disertai ancaman pidana bagi yang melanggar larangan
tersebut, baik yang dimuat dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun yang
berada diluarnya, (Ghazawi, 2005:3).
Moeljatno, (2002: 1) menyebutkan bahwa hukum pidana adalah bagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Perlu penguraian secara sistematik tentang pengertian hukum pidana.
Pengertian hukum pidana sebagai objek studi, Enschede-Heijder mengatakan
bahwa menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan:
I. Ilmu-ilmu hukum sistematik;
a. Hukum pidana hukum pidana materiil;
b. Hukum acara pidana hukum pidana Iormil;

3. Unsur-unsur tindak pidana


Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri ats unsure-unsur lahir oleh
karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.
Unsur atau elemnen perbuatan pidana adalah (Moeljatno, 2002: 63) :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektiI
e. Unsur melawan hukum yang subjektiI
B. Tinjauan Tentang Pem-inaan Narapidana
1. Pem-inaan dan Bim-ingan Dalam Sistem Pemasyarakatan
Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik (KBBI Depdikbud 1989).
Pada walanya pembinaan narapidana di Indonesia menggunakan sistem
kepenjaraan. Model pembinaan seperti ini sebenarnya sudah dijalankan jauh
sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum atau undang-undang yang
digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah Reglemen penjara, aturan ini
telah digunakan sejak tahun 1917 (Harsono, 1995: 8).
Pada waktu itu bisa dikatakan pembinaannya seperti perlakuan penjajah
Belanda terhadap pejuang yang tertawan. Mereka diperlakukan sebagai objek
semata yang dihukum kemerdekaan, tetapi tenaga mereka seringkali
dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan Iisik. Ini menjadikan sistem
kepenjaraan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Dengan demikian tujuan diadakannya penjara sebagai tempat
menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk membuat jera
(regred) dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu peraturan-
peraturan dibuat keras, bahkan sering tidak manusiawi (Harsono, 1995: 9).


Poernomo, (1986: 187) mengunkapkan bahwa pembinaan narapidana


mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk
dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik.
Atas dasar pengertian pembinaan tersebut sasaran yang perlu dibina
adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk
membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta
mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya
berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
Arah pembinaan menurut Poernomo (1989: 187), harus tertuju kepada
a. Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi
kejahatan dan mentaati peraturan hukum.
b. Membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar
dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.
Pembinaan narapidana dalam rumusan penjelasan pasal 2 (dua) R.U.U.
Ketentuan Pokok Pemasyarakatan yaitu pembinaan narapidana yang
mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk turut serta dalam
pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Cita-
cita sistem pemasyarakatan menurut rumusan rancangan undang-undang
tersebut, mempunyai tujuan jauh kedepan dan luhur itu dapat disebut
pemasyarakatan yang bersiIat teoritis-idealis.
Kegiatan pembinaan dapat disajikan berupa pembimbingan dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Wujud bimbingan dan kegiatan-kegiatan lainnya
itu, akan disesuaikan dengan kemampuan para pembimbing dan kebutuhan
bagi para narapidana, yang kesemuanya itu tergantung pada keadaan, tempat,
lingkungan, dan Iasilitas lainnya.
Menurut Saharjo dalam Harsono (1995: 1) tujuan pemasyarakatan
mempunyai arti:
'bahwa tidak saja masyarakat yang diayomi terhadap diulangi
perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga yang telah tersesat
diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidp sebagai warga
yang berguna dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata

bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari


negara.. Tobat tidak dapt dicapai dengan penyiksaan, melainkan
dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana
penyiksaan, melainkan pidana hilang kemerdekaan..negara
mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan
mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai
kewajiban terhadap orang terpidana itu dalam masyarkat.

V. KERANGKA BERPIKIR
























Sebab-sebab anak pidana
melakukan tindak
kejahatan
Lembaga Pemasyarakatan Pola pembinaan perilaku
anak pidana
Anak kembali ke
masyarakatan

VI.METODE PENELITIAN
A. Dasar Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatiI. Metode
penelitian kulaitatiI pada hakekatnya mengamati orang dalam lingkup hidupnya,
berinteraksi dengan mereka, dan memahami bahasa serta taIsiran mereka tentang
dunia sekitarnya.
Bodgan dan Taylor dalam Moeloeng (2000: 43), menyatakan bahwa
penelitian kualitatiI adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptiI berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Sedangkan menurut Sugiyono (2009: 15), dalam penelitian
kualitatiI tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada
makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatiI dinamakan transferability.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Semarang.
. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi Iokus penelitian adalah:
1. Model pembinaan narapidana anak
2. Peran petugas lapas dalam membina narapidana anak
D. Sum-er Data Penelitian
1. Data Primer
Menurut LoIland dalam Moeloeng (2000: 113), sumber data utama dalam
penelitian kualitatiI adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data primer adalah:
a. Responden
Responden adalah orang yang dimintai memberikan keterangan tentang
suatu Iakta atau pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk
tulisan, yaitu ketika mengisi angket, lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto
2002: 122).

Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah anak pidana


Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang
b. InIorman
InIorman adalah seseorang yang memberikan inIormasi. Dengan
pengertian ini inIorman dapat dikatakan sama dengan responden, apabila
pemberian keterangannya dipancing oleh pihak peneliti (Arikunto, 2002: 122)
Dalam penelitian ini yang menjadi inIorman adalah petugas-petugas yang
terkait dengan pembinaan anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Semarang.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder berupa sumber tertulis. Dilihat dari segi sumber
data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber
buku, majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi
(Moeloeng, 2000: 113).
Peneliti menggunakan sumber data tertulis berupa buku-buku yang terkait
dalam penelitian ini, sumber arsip, dan dokumen resmi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Semarang.
Selain sumber data primer dan sumber data sekunder, penelitian ini
menggunakan sumber data statistik. Moeloeng (2000: 116), menyatakan bahwa
statistik dapat membantu member gambaran tentang kecenderungan subjek pada
latar penelitian.
Sumber data statistik dalam penelitian ini adalah:
a. Data statistik anak pidana tentang usia, jenis kelamin, agama, pendidikan,
tempat tinggal, jenis kejahatan yang dilakukan, lama pidana, mata pencaharian
orang tua, dan data statistik lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
b. Data statistik petugas Lembaga Pemasyarakatan khususnya tim Pembina anak
pidana tentang nama, jabatan, agama, dan data statistik lain yang terkait
dengan penelitian ini.


E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data


Sugiyono (2009: 308) menyatakan bahwa teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data,
maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan. Metode dan alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah:
1. Obesrvasi
Nasution (1998) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu
pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu Iakta
mengenai dunia kenyataaan yang diperoleh melalui obeservasi.
Teknik yang digunakan dalam obeservasi ini adalah teknik observasi
langsung. Observasi langsung adalah pengamatan dan pencatatan yang dilakukan
terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer
berada bersama objek yang diselidiki (Rachman, 1999: 77)
Teknik obeservasi dalam penelitian ini yaitu dengan mengamati secara
langsung pola pembinaan dan Iasilitasnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Semarang. Dengan hal tersebut dapat diketahui tentang gambaran tentang pola
pembinaan anak pidana pelaku tindak kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Semarang.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, (Moeloeng, 2000:
135). Percakapan ini dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara atau
interviewer yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai atau interviewe
yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
Menurut Rachman (1993: 77), wawancara merupakan metode
pengumpulan data atau inIormasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan
secara lisan untuk dijawab dengan lisan pula.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara yang dikemukakan oleh Patton dalam Moeloeng (2000: 135-136)
yaitu dengan pendekatan dengan menggunakan petunjuk umum wawancara.

Untuk memperoleh data mengenai pembinaan narapidana anak di


Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang, maka pewawancara akan melakukan
wawancara dengan petugas-petugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Semarang tentang pola pembinaan narapidana anak sebagai inIormannya dan para
narapidana anak penghuni Lembaga Pemasyaakatan Kelas I Semarang senagai
respondennya.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui peninggalan tertulis
seperti arsip-arsip dan termasuk juga pendapat, teori dalil atau hukum-hukum, dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian (Rachman, 1999: 96).
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mencari
data-data mengenai hal-hal atau variable berupa arsip-arsip, dokumen-dokumen
maupun rekaman kegiatan/aktivitas pembinaan narapidana anak di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Semarang.
Alasan-alasan penggunaan metode dokumnetasi di dalam penelitian ini
adalah:
a. Sesuai dengan penelitian kualitatiI
b. Dapat digunakan sebagai bukti pengajuan
c. Merupakan sumber stabil
F. Pemeriksaan Kea-sahaan Data
Untuk membuktikan kebenaran dari data yang ada diperlukan teknik yang
tepat sehingga data tersebut benar-benar valid. Moeloeng mamandang bahwa data
merupakan konsep paling penitng bagi penelitian kulitatiI yang diperbaharui dari
konsep kesahihan atau validitas dan keandalan atau reliabilitas menurut versi
positivism dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria, dan
paradigmanya sendiri (Moeloeng 2000: 171).
Penelitian ini menggunakan teknik pemeriksaan data triangulasi.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan
demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan
waktu (Sugiyono 2009: 372).

Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi


sumber. Triangulasi dengan memanIaatkan sumber berarti berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu inIormasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatiI (Patton
dalam Moeloeng, 2000: 178).
Hal ini dapat dicapai dengan cara:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan orang secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dengan perspektiI seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan
rendah atau tinggi, orang kaya atau miskin, orang pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
G. Metode Analisis Data
Dalam hal analisis data kualitatiI, Bodgan menyatakan bahwa analisis data
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinIormasikan kepada orang lain (Bodgan dalam
Sugiyono, 2009: 334).
Menurut Miles dan Huberman dalam Rachman (1999: 20) ada dua metode
analisis data yaitu:
'Pertama model analisis mengalir, dimana komponen analisis (reduksi
data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verivikasi) dilakukan secara
saling mengalir secara bersamaan.
Kedua model analisis interaksi, dimana komponen reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan proses pengumpulan
data. Setelah data terkumpul, maka ketiga komponen analisis (reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan) saling berinteraksi.

Penelitian ini menggunakan model analisis data yang kedua dari
penjelasan model analisis di atas yaitu komponen reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan dilakukan dengan proses pengumpulan data. Setelah data

terkumpul, maka ketiga komponen analisis (reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan) saling berinteraksi.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
kualitatiI dengan model analisis interaktiI. (Miles dan Huberman, 1998: 20)
1. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan pemusatan pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transIormasi data kasar yang ada dalam
catatan yang diperoleh dilapangan. Data yang diperoleh selama penelitian baik
melalui wawancara, observasi dan dokumentasi dengan petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan narapidana ditulis dalam catatan sistematis.
2. Penyajian data, berupa sekumpulan inIormasi yang telah tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Data yang sudah diperoleh selama penelitian kemudian disajikan
dalam bentuk inIormasi-inIormasi yang sudah dipilih menurut kebutuhan
penelitian. Setelah peneliti mendapatkan data-data yang berhubungan dengan
pelaksanaan pembinaan narapidana, kemudian data tersebut diuraikan dalam
bentuk pembahasan narapidana.
3. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dalam analisis data.
Penarikan kesimpulan didasarkan pada reduksi data. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatiI yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada.

VII. SISTEMATIKA SKRIPSI
Penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab dimana masing-masing
mempunyai isi dan uraian sendiri-sendiri. Namun antara bab yang satu dengan
bab yang lainnya saling terkait sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Bab-
bab tersebut adalah:
Ba- I Pendahuluan berisi tentang latar belakang, perumusan masalah yang
memberikan ruang lingkup pada peneliti agar dapat memudahkan
didalam menentukan sasaran yang akan diteliti. Tujuan dan manIaat
penelitian untuk mengetahui tentang apa yang akan dicapai dalam
penulisan ini dan sistematika penulisan untuk menjelaskan secara garis

besar penyusunan skripsi yang berjudul 'Pola Pembinaan Narapidana


Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang.
Ba- II Tinjauan Pusataka berisi tentang teori-teori kejahatan dan pemidanaan.
Selain itu juga disajikan mengenai lembaga pemasyarakatan dan
sistem pembinaan narapidana anak di lembaga pemasyarakatan yang
benar-benar bermanIaat sebagai bahan untuk melakukan analisis
terhadap permasalahan yang akan diteliti.
Ba- III Metode Penelitian berisi tentang langkah-langkah peneliti yang
dilakukan meliputi: metode pendekatan, spesiIikasi penelitian teknik
pengumpulan data, dan analisis data.
Ba- IV Hasil Peneletian dan Pembahasan berisi tentang hasil penelitian diolah,
dianalisa, ditaIsirkan, dikaitkan dengan kerangka teoritik atau
kerangka analitis, sehingga tampak jelas bagaiman data hasil penelitian
itu dikaitkan dengan permaslahan dan tujuan pembahasan dalam
kerangka teoritik atau kerangka analisis yang telah dikemukakan
terlebih dahulu. Hasil penelitian mengenai pola pembinaan narapidana
anak di Lembaga Pemasyarakatan.
Ba- V Kesimpulan dan Saran berisi tentang semua yang telah dicapai di
dalam masing-masing bab sebelumnya. Selain itu berisi saran-saran
penulis yang diharapkan dapat berguna bagi semua pihak yang terkait










DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam. 2007. riminologi. Jakarta: Restu Agung.
Ghazawi, Adami. 2005. Pelafaran Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajagraIindo
Persada
Hamzah, Andi.2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Harsono Hs, C.I.1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan
Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 2. enakalan Remafa. Jakarta: PT. Raja
GraIindo Persada.
Mangunhardjana.1989. Pembinaan, Arti, dan Metodenya. Yogyakarta: kanisius.
Mulyadi, Lilik. 2004. apita Selekta. Hukum Pidana riminologi&Jictimologi.
Jakarta: Djambatan.
Moeljanto. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penfara Dengan Sistem
Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Simadjuntak. 1981. Pengantar riminologi dan Patologi Sosial. Bandung:
Tarsito.

Anda mungkin juga menyukai