Anda di halaman 1dari 28

PELAKSANAAN PERJANJIAN DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA SERTA DAMPAK PADA PERUSAHAAN-PERUSAHAAN DI KOTA PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Perkembangan bentuk-bentuk perjanjian telah tumbuh pesat dalam khasanah hukum di Indonesia yang menyentuh sampai pada Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan. Sebelum terbitnya Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan, di Indonesia berlaku hukum perburuhan. Dalam bukunya Pengantar Hukum Perburuhan, Prof. Iman Soepomo, SH. Mengatakan bahwa di negaranegara barat terdapat suatu pendirian bahwa hukum itu hanya terdapat dalam Undangundang , sehingga timbul suatu dalil yang menyamakan Undang-undang dengan hukum. : wet is recht (Undang-undang adalah hukum) ialah, suatu dalil yang keliru yang menimbulkan kesan pada penguasa asing terutama yang memerintah di Indonesia dahulu.1 Kata buruh sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman saat ini, dimana dominasi majikan sudah tidak lagi terlindungi oleh kekuasaan. Secara sosiologis, buruh adalah tidak bebas,. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpasa bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarrat-syarat kerja itu.2 Peran pemerintah tidak menjangkau dalam hubungan ini, hubungan kerja didominasi oleh peran majikan sebagai penyedia kerja dan telah menguasai tenaga buruh secara harfiah, dalam hubungan ini peran buruh hanya sebagai penjual jasa tenaga yang telah dibeli secara utuh oleh majikan dalam waktu yang ditentukan majikan sebagai penguasa atas tenaga buruh. Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
1 2

Prof. Iman Soepomo, SH., Pengantar Hukum Perburuhan, Jambangan, Jakarta, 1985, hal 10. Prof. Iman Soepomo, SH, ibid, hal. 7

pekerja dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.3Hubungan industrial adalah keseimbangan antara tujuan dan kepentingan bagi pekerja dan pengusaha dalam proses produksi barang dan jasa di perusahaan. Artinya para pekerja dan pengusaha secara individu dan kolektif mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang sama, karena dengan sukses hubungan industrial, baik pekerja maupun pengusaha akan mendapat manfaat baik secara individual maupun bagi organisasi perusahaan. Sebagai penyedia kerja dan penentu syarat kerja, maka majikan mempunyai kekuasaan atas tenaga buruh. Tenaga buruh yang terutama menjadi kepentingan majikan, merupakan sesuatu yang demikian melekatnya pada pribadi buruh sehingga buruh itu harus selalu mengikuti tenaganya ke tempat dan pada saat majikan memerlukanya serta mengeluarkanya menurut kehendak majikan itu. Dengan demikian, maka buruh juga jasmaniah dan rohaniah tidak bebas.4 Karena itu penguasa baik, dengan atau tanpa bantuan organisasi buruh , mengadakan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang bertujuan melindungi pihak yang lemah (menempatkan pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan). Dalam menjaga simbiosa mutualisma yang bermutu dan bermartabat ini, pemerintah selaku penyelenggara negara dan sebagai penerbit undang-undang yang merupakan regulator atas hubungan tersebut, dengan menimbang terbitnya Undangundang perrlindungan Hak Asasi Manusia, maka selaku pemangku kekuasaan, pemerintah menerbitkan Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan sebagai payung yang melindungi para pihak, terutama pihak pekerja selaku pelaku industri yang paling berpeluang untuk dirugikan dalam hubungan hukum yang berbentuk perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja tersebut. Perlindungan ini berlaku pada perjanjian kerja sebagai pembatas kekuasaan atas jasa tenaga kerja yang dianggap menjual jasa berupa tenaga sehingga tidak dikuasai sepenuhnya oleh pengusaha yang selanjutnya akan bertindak selaku pemilik tenaga yang telah dibayarnya dari tenaga kerja selaku buruh, tanpa memperhatikan pekerja sendiri selaku pemilik tenaga yang sebenarnya.
Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat (16) Prof. Iman Soepomo, SH lock cit hal 7.
3

Dalam upaya melindungi pekerja dari pengusaha rakus, hingga memicu perjuangan para buruh untuk menuntut keadilan dengan cara-cara yang dapat merugikan perekonomian itu, maka perlindungan lebih dari pemerintah dengan payung hukum yang melindungi pekerja dari tindakan rakus tersebut dinyatakan dalam terbitnya Undangundang nomor 23 tahun 2003. Seirama dengan terbitnya Undang-undang perlindungan Hak Asasi Manusia mendukung lebih kuat untuk itu. Tentu saja hal ini sangat berirama dengan gencarnya pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dalam segala bidang. Pembangunan dalam usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, kerhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.5 Begitupun pembangunan yang mental yang direalisasikan dalam berbagai bentuk peraturan pemerintah maupun undang-undang. Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; sehingga dipandang perlu bagi pemerintah untuk menerbitkan undang-undang yang tidak saja berpihak pada pekerja, tetapi juga berpihak pada pengusaha sebagai pelaku ekonomi yang turut menunjang perekonomian negara. Dalam hubugan kerja antara pengusaha dan pekerja terdapat suatu hubungan industrial yang diharapkan sebagai hubungan yang mutual simbiosa dimana terjadi suatu hubungan saling menguntungkan antara kedua belah pihak, yaitu hubungan yang selalu disebut sebagai hubugan industrial. Hubungan industrial adalah keseimbangan antara tujuan dan kepentingan bagi pekerja dan pengusaha dalam proses produksi barang dan jasa di perusahaan. Artinya para pekerja dan pengusaha secara individu dan kolektif mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang sama, karena dengan sukses hubungan industrial, baik pekerja maupun pengusaha akan mendapat manfaat baik secara individual
5

FX Djumiadji, Perjanjian Pemborongan, Jakarta : Penerbit Bina Aksara, 1987), hlm.1

maupun bagi organisasi perusahaan. Dalam hubungan ini peran pemerintah dalam bentuk Undang-undang memberikan batasan yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam hubungan tersebut. Hubungan industrial yang merupakan system yang membutuhkan peran serta pemerintah dalam ikatan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sebagai hubungan beraturan yang menjadi suatu hubungan mutualisma antara pelaku industri, dimana pengusaha sebagai penyelenggara kerja dalam bentuk kegiatan perekonomian yang berjalan di atas rel produksi barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat umum, maupun terbatas, dan pekerja selaku pelaku (ekonomi) bidang penyedia tenaga yang mensuplay kebutuhan pengusaha akan tenaga yang dibutuhkan sebagai operator produksi barang dan atau jasa dalam lingkungan indutri milik pengusaha. Dalam hubungan inlah peran pemerintah sangat diharapkan sebagai pemngayom bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kerja. Peran ini diwujudkan dalam bentuk regulasi yang memberikan batas-batasan yang diperkenankan dan tilarang terjadi dalam hubungan hukum tersebut.hal ini Dalam hubungan inilah tersirat hubungan tegas berupa ikatan kerja yang disebut sebagai hubungan kerja. Dalam hubungan ini terdapat perjanjian kerja meniratkan peran pemerintah dalan perjanjian kerja yang merupakan hubungan industrial. Hubungan industrial terjadi dalam lingkup hubungan kerja yang ditandai dengan peran pemerintah melalui Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan, yang mengatur hubungan tersebut agar seimbang antara kewajiban pekerja (prestsi) yang menjadi hak pengusaha dan kewajiban pengusaha (prestasi) yang menjadi hak pekerja sebagaimana dalam bab X Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan. Sebagi dasar bagi pengusaha untuk memenuhi kewajiban atas hak-hak pekerja, dalam bab X di uraikan tata cara dan norma-norma yang menjadi batasan pengusaha untuk menetapkan hak pekerja yang sesuai dengan amanah Undang-undang dasar negara Republik Indonesia 1945.

BAB II PERMASALAHAN

HUBUNGAN KERJA DAN PERJANJIAN KERJA Secara umum, perjanjian kerja yang menjadi landasan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sebagai para pihak dalam perjanjian adalah memiliki kedudukan yang sama, kaarena dalam perjanjian tersebut para pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap prestasi. Dalam prakteknya, perjanjian kerja meletakan pekerja yang bertindak selaku subjek yang mengikatkan diri pada pengusaha selaku pihak penyedia kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, sebagai dasar perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah sebagaimana diatur dalam bab IX mengenai hubungan kerja. Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.6 Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1601a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah.7 Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha. Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian
6 7

Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: Grhadika Binangkit Press, 2004) Hal. 15

antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan, yaitu : a. Kesepakatan kedua belah pihak Kesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

PERJANJIAN KERJA

Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan kerja dengan hubungan industrial. UU No. 13/2003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh atau dalam Pasal 1 Ayat (15) dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, dan Pasal 1 Ayat (16) menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsure pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Jadi, negara mengadakan peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajibabn buruh dan majikan, baik yang harus dituruti oleh kedua belah pihak, maupun yang hanya akan berlaku, bila kedua belah pihak tidak mengaturnya sendiridalam perjanjian kerja, dalam peraturan majikan, atau dalam perjanjian perburuhan.8 Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja. Dari perjanjian itu sendiri diharapkan mempunyai hasilyang baik sebagai buah dari perjanjian itu sendiri. Sebagaimana tujuan dari dari dibuatnya suatu perjanjian dalam itikad baik, karena pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada asas itikad baik sebagai ditentukan dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata9 Pada dasarnya hubungan keerja, yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majika,, dimana buruh menyatakan kesanggupanya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupanya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.10 Berdasarka perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut
8 9

Prof. Iman Soepomo, SH. Op cit. hal 54. Suharnoko, SH., Hukum Perjanjian , teori dan Analisis Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal Prof. Iman Soepomo, SH. Op cit. hal 53.

10

di Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek (BW)11 atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sebagaimana suatu perjanjian yang terjadi antara pekerja selaku tenaga kerja dan pengusaha selaku penyedia kerja yang saling membutuhkan dan mengikat diri satu sama lain untuk saling memberikan prestasi dan kewajiban sesuai peran masing-masing sebagaimana tertuang dalam perjanjian tersebut. Asas yang utama di dalam suatu perjanjian adalah adanya sas yang terbuka atau open system, maksudnya bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja. Ketentuan tantang pasal ini disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang sah berlaku sebgai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini biasa disebut dengan asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract.12 Perjanjian kerja, menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1601a disebutkan bahwa : Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, yaitu buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, yaitu majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah Dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja menurut KUHPerdata ini hanya mengatakan bahwa buruh mengikatkan diri di bawah perintah yang lain, yaitu majikan. Maka dengan ini buruh harus tunduk kepada majikan, melakukan perintah majikan, mengikuti aturan yang dibuat oleh majikan dan seterusnya. Lalu untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaann dengan menerima upah. Berarti bahwa majikan berkewajiban memberikan upah pada buruh selama waktu buruh mengikatkan diri kepadanya, sementara hak majikan adalah mendapatkan tenaga buruh untuk kebutuhan majikan dalam waktu

11

Indonesia masih menggunakan dasar hukum dalam BW/KUH Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum perburuhan mulai dari pasal 1601 a pasal 1752 KUH Perdata.
12

Jumadi, SH., MHum. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal 23.

tertentu tersebut, dan buruh mendapatkan upah untuk tenaga yang dikeluarkanya untuk mengerjakan sesuai kemauan majikan. Prof. Subekti, SH, sebagaimana dikutip oleh Imam Soepomo memberikan pengertian lebih jauh tentang perjanjian kerja; Perjanjiann antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan yang diperatas (bahasa Belanda diertverhanding) yaotu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.13 Dari hubungan yang terikat dalam perjanjian ini diharapkan bahwa masing-masing pihak menjalankan perananya untuk saling mengisi dan melengkapi dalam proses industri. Latar belakang lahirnya kebebasan berkontrak adalah adanya paham

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, menurut ajaran individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak.14 Sebagaimana telah diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata seperti telah penulis singgung di atas, maka demi menjaga keseimbangan antar para pihak, maka pemerintah membatasi kebebasan berkontrak ini sebagaimana diatur dalam bab IX Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 untuk menghindarkan kesewenang-wenangan salah satu pihak dalam hubungan kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa betapapun tinggi kebutuhan pengusaha akan pekerja, atau sebaliknya dan telah diatur dalan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap individu bebas untuk mengikatkatkan diri pada individu lain dengan semua konsekwensinya, tetapi dalam hal kontrak dan perjanjian kerja adalah terbatas.
13 14

Djumadi, SH., M.Hum, Ibid, hal. 30.

Salim H.S., SH., M.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunnan kontrak, Jakarta, penerbit Sinar Grafika, 2008, hal. 9

Dalam hal dimana penulis menyatakan dalam makalah ini bahwa perjanjian ini terbatas adalah, karena dalam perjanjian kerja terdapat hal-hal yang dibatasi sebagai hak dan kewajiban dari para pihak dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata pasal 1603, 1603a, 1603b,1603c, yang secara singkat dapat penulis ringkaskan bahwa pekerja wajib memberikan tenaganya sesuai dengan perintah majikanya dalam waktu tertentu yang telah diatur oleh majikanya dan majikan wajib memberikan imbalan berupa upah untuk tenaga dan waktu yang diperolehnya dari pekerja sebagaimana aturan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. TENTANG UPAH Telah disinggung pada bagian perjanjian kerja diatas tentang hal upah. Upah adalah salah satu bagian dari perjanjian kerja antara pekerja dan majikan yang pada perusahaan tertentu dicantumkan besaran upah yang didapat oleh pekerja beserta dengan tambahan-tambahan lain berupa tunjangan dan lain-lain. Maka bisa disimpulkan bahwa upah adalah bagian dari isi perjanjian yang menjadi satu kesatuan yang besarnya berfariasi sesuai dengan posisi dan jabatan serta tanggung jawab yang dibebabnkan pada pekerja. Secara umum, besaran upah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan bidang kerja dan wilayah kerja. Dalam Pasal 88 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 ; 1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Tentang hal ini, kebijakan setiap daerah adalah berbeda-beda sesuai dengan taraf ekonomi di daerah setempat. Menurut peraturan yang tertuang dalam Undang-undang No.13 tahun 2003, penetapan besaran upah ini diserahkan kepada daerah masing-masing yang lebih mengetahui kebutuhan hidup di daerah masing-masing, sebagaimana diketahui, bahwa satu piring nasi dengan lauk ikan di warung makan di kota Batam, akan mendapatkan dua bungkus nasi dengan lauk yang sama, bahkan masih bersisa. Dari pengalaman pendek inipun kita sudah bisa melihat perbedaan tingkat ekonomi dan nilai perekonomian antara yang satu dengan yang lain. Dengan pertimbangan akan hal tersebut, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan tentang pemberlakuan upah tersebut dengan Pasal 89 Unadang-Undang No. 13 tahun 2003 : (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Sebagaimana yang ditetapkan di Sumatera Selatan oleh Gubernur Sumatera Selatan dengan Keputusan Gubernur Sumatem Selatan Nomor : 902 /Kpts/D|Snakertranst2011 Tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi Suiiiatera Selatan Tahun 2011. Dengan keputusan ini diharapkan kesejahteraan pekerja di Sumatera Selatan sebanding dengan nilai perekonomian di Sumatera Selatan sehingga mendukung kesejahteraan pekerja di daerah setempat. Hal ini merupakan manifestasi dari kebijakan perekonomian yang mendukung kesejahteraan pekerja diberbagai sector yang juga mendukung perekonomian daerah. Pemerintah dalan hal ini gubernur selaku eksakutif daerah memberikan kebijakan berupa batasan minimum yang diperbolehkan bagi pengusaha untuk menilai secara ekonomis jasa atau tenaga dari pekerja yang telah dipergunakan oleh pengusaha selaku majikan .

BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA Berakhirnya perjanjian kerja lazim disebut dengan Pemutusan Hubungan Kerja. Istilah terakhir ini sering menimbulkan konotasi negatif dalam masyarakat, karena sering dianggap bahwa dalam masalah ini, pekerja dirugikan. Istilah ini sudah dipakai sejak jaman perburuhan, dan sekarang istilah perburuhan telah diganti dengan ketenaga keerjaan. Tentu jika dipandang sari sisi filosofis, makna dalam ketenagakerjaan lebih manusiawi dan memanusiakan pekerja buruh yang sebenarnya bermakna sama. Lalu dengan dilandasi Undang-undang Dasar 1945 setelah diamandemen dengan memasukan unsur Hak Asasi Manusia, maka istilah yang dipakai tidak lagi perburuhan,

tetapi ketenagakerjaan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terlepas dari hakhak, syarat-syarat, unsur-unsur yang termasuk PHK dan prosedur PHK itu sendiri, yang harus dipenuhi oleh Pengusaha ketika terjadi pengakhiran hubungan kerja. Hal tersebut jelas diatur dalam Undang-Undang. Bagi pembuat Undang-Undang sendiri dimaksudkan untuk melindungi buruh, meskipun dalam praktek masih banyak terjadi penyimpangan dan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut serta masih jauh dari perlindungan terhadap buruh. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha (Pasal 1 UU 13/2003). Ruang lingkup PHK dalam UU 13/2003 meliputi PHK yang terjadi pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial maupun usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 150 UU 13/2003). Ssyarat PHK aadalah sebagai berikut : 1. Buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. 2. Buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. 3. Buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundangundangan. 4. Buruh meninggal dunia. (Pasal 154 UU 13 Tahun 2003).

Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya atau pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasanya diterima buruh (Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) UU 13 Tahun 2003). Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat : 1) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan. 2) Memberikan keterangan palsu/yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan. 3) Mabuk, minum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja. 4) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja. 5) Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja. 6) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 7) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 8) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja. 9) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara. 10) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Mengenai pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat; pasal tersebut tidak digunakan lagi sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial(Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan SE Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005). Apabila pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat (eks pasal 158 ayat 1) maka PHK dapat dilakukan setelah ada Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan apabila buruh ditahan oleh pihak yang berwajib serta buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan SE Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005). Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB setelah buruh diberi Surat Peringatan I, II dan III secara berturut-turut (berlaku paling lama 6 bulan kecuali ditentukan lain) dengan mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 161 UU 13/2003). Buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang

penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam UU 13/2003 dan ditambah denganuang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB (bila tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung) Pasal 162 UU 13 Tahun 2003. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan(pasal 163 UU 13/2003) : 1) bila buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka buruh berhak atas 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan dan uang penggantian hak.

2) bila pengusaha yang tidak bersedia menerima buruh di perusahaannya maka buruh berhak 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian. 3) Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup yang

disebabkan (Pasal 164 UU 13/2003) : a. Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa, buruh berhak mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon dan uang penggantian hak. b. Perusahaan melakukan efisiensi, buruh berhak mendapat 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. c. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena perusahaan pailit, buruh berhak mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 165 UU 13/2003). d. Bila hubungan kerja berakhir karena buruh meninggal dunia, ahli waris buruh berhak mendapatkan 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 166 UU 13/2003). e. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena memasuki usia pensiun dengan ketentuan (Pasal 167 UU 13/2003) : f. Buruh yang mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis (keterangan tertulis diserahkan paling lambat hari pertama buruh masuk kerja) dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis dapat di PHK karena dikualifikasikan mengundurkan diri; dengan mendapat uang penggantian sesuai ketentuan dan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB (Pasal 168 UU 13/2003).

g. Buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI dalam hal pengusaha (Pasal 169 UU 13/2003) :
(1)

Menganiaya, menghina secara kasar atau

mengancam buruh.
(2)

Membujuk dan/atau menyuruh buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.

(3)

Tidak membayar upah tepat pada waktunya selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.

(4)

Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada buruh.

(5)

Memerintahkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang telah diperjanjikan.

(6)

Memberikan

pekerjaan

yang

membahayakan

jiwa,

keselamatan, kesehatan dan kesusilaan buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja. h. Buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 2 kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 kali ketentuan (Pasal 172 UU 13/2003).

BAB III PEMBAHASAN PERJANJIAN KERJA YANG CACAD HUKUM Dari berbagai masalah yang timbul dalam hal ketenagakerjaan adalah, yang paling sering terjadi adalah tentang pemahaman makna dari suatu perjanjian kerja. Sebagaimana kasus yang terjadi dan menimpa pekerja sebagaimana penulis uraikan diatas, ternyata ada satu hal yang mengganjal dalam pewrmasalahan tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata bahwa perjanjian kerja yang terjadi dalam hubungan kerja antara pekerja dan majikan adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian inilah yang menjadi pegangan bagi majikan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja sepihak yang secara kebetulan masa berlaku perjanjian tersebut telah habis masa berlakunya. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.15 Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.16 Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap.17 Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif
15 16 17

F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 14 R. Goenawan Oetomo, Op.Cit., hal. 18. F.X. Djulmiaji, Loc.Cit.

yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perihal PKWT yang terungkap ini menjadi alasan bagi pekerja untuk menempuh langkah-langkah hukum untuk menuntut hak-haknya secara normative dari majikan sebagai mana terungkap dalam suratnya kepada Disnaker kota Palembang. Hak sebagaimana diatur dalam pasal 93 undang-undang no 23 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, sebagaimana telah penulis singung pada alenia terdahulu. Hak normative adalah hak pekerja yang telah di tetapkan oleh pemerintah melalui DPR dan tuangkan dalam undang-undang. Hak-hak ini setelah terjadi ikatan kerja antara pekerja dan majikan melalui perjanjian kerja adalah menjadi hak sepenuhnya pekerja yang harus di penuhi oleh majikan selaku penyelenggara kerja kepada pekerja. Hak sebagaimana di atur dalam undang-undang no 23 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, pada bab X berupa perlindungan terhadap pekerja dengan menyandang cacat tubuh permanent, perlindungan terhadap pekerja anak, perlindungan terhadap pekerja perempuan, perlindungan atas hak pekerja mengenai waktu istirahat, waktu menjalankan ibadah, dan hak pekerja atas hari libur. Dalam bab X ini juga diatur hak-hak pekerja mengenai batasan jam kerja serta jam lembur. Mengenai perihal upah, dalam undang-undang ini memberikan kesempatan pada daerah masing-masing dalam hal ini, di Propinsi Sumatera-Selatan, diatur dengan SK Gubernur Sumatera Selatan nomor : 902 /kpts/disnakertranst 2010 tentang upah minimum sektoral provinsi Sumatera Selatan tahun 2011. Selain upah yang diterima secara berkala tersebut dalam bab ini juga mengatur upah yang harus diberikan pada pekerja setelah pekerja melakukan pekerjaan lembur sesuai dengan batasan-batasan yang diperbolehkan. Semua ini adalah hak-hak pekerja yang harus diberikan oleh majikan kepada pekerja selama pekerja masih menjalankan tigasnya sesuai denga isi perjanjian kerja.

Bab X juga mengatur hak-hak pekerja setelah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja baik yang dilakukan oleh majikan maupun oleh pekerja sendiri, ataupun Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi karena habisnya masa perjanjian kerja.

BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA Sebagaimana telah penulis singgung di atas, terdapat dua jenis perjanjian kerja yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Sekilas tentang kedua jenis perjanjian tersebut adalah berfungsi sebagai media pengikat dalam hubungan kerja antara pekerja dan majikan. Jenis pekerjaan mempengaruhi jenis perjanjian kerja yang mengikat. Berbeda kasusnya jika perjanjian kerja tersebut merupakan perjanjian kerja outsoiurcing dimana pekerja terikat kerja dengan penyedia jasa tenaga kerja (badan hukum) yang mengikatkan diri dengan perusahaan (majikan) pengguna jasa dalam kurun waktu tertentu untuk jenis pekerjaan tertentu. Dalam hubungan kerja yang demikian, pekerja tidak terikat secara langsung dengan pengguna jasa, tetapi pekerja terikat dengan badan hukum yang bertindak sebagai penyedia jasa tenaga kerja. Dalam hubungan kerja yang secara langsung dimana pekerja mengikatkan diri secara langsung dengan majikan tanpa perantara penyedia jasa tenaga kerja tertentu, pekerja dalam hal ini tunduk langsung dibawah perintah dan aturan yang dibuat oleh majikan. Terkait dengan jenis perjanjian PKWTT dalam hubungan kerja ini, majikan memp[unuyai tujuan sebagai control kwalitas terhadap sumber daya manusia. Biasanya dalam perjanjian kerja jenis ini, majikan membutuhkan pekerja dengan kwalitas dan kwantitas tertentu dan dalam jenis pekerjaan tertentu pula, misalnya sebagai pramu niaga di dalam perusahaan jenis Supermarket. Dengan pembatasan waktu berlakunya perjanjian kerja, memungkinkan bagi majikan untuk mempertahan mutu pelayanan terhadap konsumen. Jika dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu ini tidak dibatasi dengan perjajian PKWTT, maka akan terjadi

penurunan mutu pelayanan terhadap konsumen yang tentu saja dalam hal ini akan merugikan majikan sebagai pelaku usaha dan penyedia pekerjaan. Maka dengan perjanjian jenis PKWT ini, pekerja akan tersaring secara natural masalah kwalitas Sumber Daya Manusia-nya dan ada kesempatan bagi majikan untuk memperpanjang masa perjanjian kerja dan bahkan meningkatkan perjanjian kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) kepada pekerja yang dianggap majikan memenuhi syarat untuk itu. Dan guna lebih meningkatkan lagi, maka majikan akan memberikan pelatihan khusus terhadap pekerja untuk dapat mendsuduki jabatan yang sesuai dengan kwalitas yang dimiliki oleh pekerja. Akan berbeda halnya jika PKWT digunakan oleh majikan sebagai pengikat hubungan kerja antara pekerja dengan majikan pada jenis pekerjaan yang tidak ada masa selesainya selain berakhirnya amasa jabatan karena batasan waktu yang ditentukan dengan Anggaran Dasar atau dibatasi dengan masa pensiun karena usia. Sebagaimana kasus yan penulis angkat dalam makalah ini. Dalam hal pekerjaan yang terus berkelanjutan dan tidak menggunakan batas waktu penyelesaian, jika digunakan jenis PKWT, maka hal ini dapat merugikan pihak pekerja tang tentu saja jika mengacu pada KUHP, dan khususnya undang-undang no 23 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian jenis ini batal demi hukum. Seperti yang telah penulis singung tentang pekerja out sourcing diatas, outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.18 Di dalam Undang-Undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah outsorcing. Tetapi pengertian outsourcing dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan

18

Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm 10

kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.19 Perjanjian Outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.1820 Di bidang ketenagakerjaan, outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada dua perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan yang kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. PENGATURAN OUTSOURCING Pelaksanaan outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing, dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya suatu peraturan agar pihakpihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing. Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek ketenagakerjaan, maka Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan outsorcing di Indonesia yang ditemukan dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66. Dasar Pelaksanaan Outsourcing Prinsip dasar pelaksanaan outsourcing adalah terjadinya suatu kesepakatan kerjasama antara perusahaan pengguna jasa tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dalam bentuk perjanjian pemborongan pekerjaan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja, dimana perusahaan pengguna tenaga kerja akan membayar suatu jumlah
19

H.Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, (Internet : Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005), hlm.80 20 I Wayan Nedeng, Lokakarya Dua Hari : Outsourcing Dan PKWT, (Jakarta : PT. Lembangtek, 2003), hlm. 82

tertentu sesuai kesepakatan atas hasil pekerjaan dari tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 64, yang berbunyi sebagai berikut : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dengan demikian outsorcing dapat terlaksana bila sudah ditandatangani suatu perjanjian antara pengguna jasa tenaga kerja dan penyedia jasa tenaga kerja yaitu perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan jasa tenaga kerja. Pengertian perjanjian pemborongan menurut Pasal 1601 b Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebut perjanjian pemborongan dengan pemborongan pekerjaan yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Definisi tersebut kurang tepat karena menganggap perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak karena pemborong hanya mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hanya memiliki hak saja. Oleh karena itu F.X. Djumialdji, SH memberikan suatu definisi yaitu : Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan.21 Perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja harus dalam bentuk tertulis, sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) sebagai berikut : Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Mengenai pekerjaan dan jenis-jenis pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja diatur lebih lanjut dalam pasal-pasal tesebut di
21

Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 34

atas, begitu juga halnya dengan perusahaan jasa tenaga out sourcing harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut. PENYELESAIAN JIKA TERJADI PERSELISIHAN Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Bila menyimak dari pasal di atas, maka perselisihan dalam perkara sehubungan dengan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakrjaan, diatur khusus dalam undang-undang. Yaitu (UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI). Dalam Undang-undang ini diatur tatacara penyelesaianya yang melibatkan pihak ketiga yaitu pihak pemerintah selaku pemangku kekuasaan melalui lembaga peradilan dalam lingkup ketenaga keerjaan. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau SP/SB karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan. Sehingga bisa berakibat tidak tercapainya kesepakatan bersama dalam hal-hal ketenagakerjaan terutama yang banyak terjadi adalah dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja.

BAB IV

PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa perjanjian kerja adalah suatu penghubung antara pekerja dan pengusaha, karena perjanjian merupakan titik awal bertemunya kesepakatan antara pekerja majikan, sehingga dalam bertemunya kata sepakat tersebut, para pihak yaitu pekrja dan majikan saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Perjanjian yang berisikan suatu kesepakatan bersama untuk saling memberikan prestasi, dimana pekerja selaku pihak pertamanya berkewajiban memberikan tenaga dan jasa sabagai prestasi yang merupakan hak dari pengusaha dan pengusaha juga sepakat memberikan prestasinya berupa jaminan kesejahteraan yang diatur oleh pemerintah melalui Undang-undang serta upah yang menjadi hak pekerja dan juga perlu diingat bahwa dalam perjanjian tersebut terdapat peranan pemerintah berupa suatu aturan yang memberikan persyaratan-persyaratan tentang sah atau tidaknya perjanjian antara pekerja dan pengusaha tersebut yang akan menentukan berlakunya dalam hubungan industrial.. Bahwa perjanjian kerja yang merupakan pengikat atau penghubung secara langsung antara pengusaha atau majikan sebagai yang diperatas dan pekerja yang bertindak selaku pemberi jasa berupa tenaga yang megikatkan diri dibawah perintah majikan yang bertindak selaku yang diperatas dalam suatu ikatan perdata tentang pekerjaan yang dibatasi ataupun tidak dibatasi oleh masalah waktu, dimana pekerja wajib menjalankan perintah majikan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang dimana perjanjian tersebut tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak sebagaimana dalam KUHPerdata dan undang-undang no 23 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan. Bahwa dalam hal perjanjian yang merugikan salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum. Untuk masalah perselisihan yang timbul akibat dari pembatalan perjanjian tersebut, diselesaikan dengan cara musyawarah ataupun melalui instansi yang telah ditunjuk undang-undang no 13 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, yang berkompetensi dalam hal tersebut untuk menyelesaikan permasalahan perselisihan dalam bidang ketenaga kerjaan.

Bahwa untuk memenuhi rasa keadilan antara pekerja dan majikan dalam hal hak dan kewajiban masing-masing pihak, terutama pihak pekerja, maka undang-undang no 13 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan memerintahkan kepada pihak pemerintah daerah dalam hal ini, untuk daerah Propinsi Sumatera Selatan, gubernur mengeluarkan Keputusan Nomor 902 /kpts/disnakertranst 2010 tentang upah minimum sektoral provinsi Sumatera Selatan tahun 2011 tentang upah, sebagai upaya pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja. Bahwa harus adanya pembedaan antara pekerja biasa dan pekerja out sourcing sebagai pelaksana pekerjaan tertentu yang tidak berhubungan secara langsung dengan proses produsi barang maupun jasa, maka untuk hal tersebut secara khusus undangundang no 13 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan mengaturnya juga, dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal perjanjian kerja dengan pekerja biasa yang terikat perjanjian kerja secara langsung dengan majikan atau penyedian pekerjaan. Hal ini sebagai pengikat dalam hubungan hukum baik dalam waktu tertentu ataupun dalam waktu tidak tertentu antara pekerja dengan majikan. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat oleh majikan untuk mengikat pekerja dalam waktu tertentu digunakan oleh pihak majikan sdalam sutau pekerjaan yang memmbutuhkan persyaratan tertentu dimana persyaratan tersebut hanya bisa didapatakan pada usia-usia produktif tertentu juga, maka untuk membatasi persyaratan tersebut, pengusaha menggunakan sarana Perjanjian Kerja Waktu tertentu ini untuk mengikat perjanjian dengan pekerja sehngga apabila pada suatu saat terlewati batas-batas persyaratan tadi, maka pengusaha bisa mengakiri perjanjian tersebut, demikianpun halnya pekerja bisa mendapatkan hak-haknya serta mempertahankan diri untuk tetap memenuhi persyaratan tersebut sebagau upaya pekerja untuk mempertahankan mutu tenaga dan jasa yang menjadi prestasi yang merupakan hak dari pengusaha. Dalam melakukan usaha tersebut membutuhkan Sumber Daya Manusia dengan persyaratan dan kwalitas tertentu yang hanya bisa diperoleh ataupun didapatkan pada manusia dengan usia tertentu juga. Dalam hal ini, selama tidak bertentangan dengan norma-norma dan undang-undang no 23 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, maka persyaratan tersebut tidak dilarang dengan ketentuan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dalam tipe pekerjaan ini sesuai dengan pasal-pasal tentang tata cara Pemutusan Hubungan Kerja.

Dalam rangka menjaga kwalitas hubungan industrial sebagaimana penulis uraikan dalam makalah ini, maka selama masa sebelum dan sesudah terjadinya hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha, pemerintah telah memberikan arahan-arahan dan perlindungan berupa pelatihan-pelatihan dalam badan-badan pelatihan milik pemeerintah ataupun milik swasta yang memenuhi kriteria tertentu dan dibiayayai sendiri oleh swasta atau dibiayayai oleh pemerintah dan badan swasta tersebut selaku mitra pemerintah dalam hal mempersiapkan tenaga kerja yang ememiliki skil dan pengalaman khusus dalam bidang industri barang dan jasa. Jadi jelaslah peran pemerintah dalam hal ini, yaitu sebagai mediator atau

penghubung antara pengusaha dan pekerja dalam hubunganya dibidang industri barang ataupun jasa dengan memberikan batasan-batasan tertentu dalam hubungan tersebut sehingga tercapai hubungan simbiosa mutualisma yang berkwalitas antara pengusaha dan pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

1. HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Undangundang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, 2. Perjanjian Pemborongan, FX Djumiadji, Jakarta : Penerbit Bina Aksara, 1987), 3. Pengantar Hukum Perburuhan, prof. Imam Soepomo, SH., Jakarta: Djambatan, 1999, 4. Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Goenawan Oetomo, Jakarta: Grhadika Binangkit Press, 2004
5.

Hukum Perjanjian , teori dan Analisis Kasus, Suharnoko, SH., Prenada Media, Jakarta, tahun 2004

6. Hukum perburuhan Perjanjian Kerja, cetakan kelima, Djumadi, SH., M.Hum, Rajawali pers, Jakarta, 2004, 7. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunnan kontrak, Salim H.S., SH., M.S., Jakarta, penerbit Sinar Grafika, 2008 8. Perjanjian Kerja Edisi Revisi, F.X. Djulmiaji, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, 9. Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, H.Zulkarnain Ibrahim, Internet :Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005 10. Lokakarya Dua Hari : Outsourcing Dan PKWT, I Wayan Nedeng, (Jakarta : PT. Lembangtek, 2003 11. Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Sehat Damanik, Jakarta : DSS Publishing, 2006

Anda mungkin juga menyukai