Anda di halaman 1dari 2

Bolehkah seorang wanita di bonceng dengan orang yang Bukan Mahramnya ?

Hukum dasarnya dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah
batas-batas dan adab Islami yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, haram untuk berduaan,
bersentuhan kulit, bepergian bersama serta haram untuk terlihat sebagian aurat. Semua itu
berlaku selama tidak ada uzur atau alasan syar'i yang bersiIat darurat. Sebaliknya bila ada unsur
kedaruratannya, maka kita mengenal kaidah yang menyebutkan bahwa kedaruratan itu
membolehkan larangan.

Misalnya dalam keadaan seperti yang dialami oleh Aisyah r.a. ketika tertinggal rombongan,
beliau sendirian di tengah padang pasir tanpa teman dan perbekalan. Kematian pastilah sudah
membayang. Karena itu ketika salah seorang shahabat Nabi yang mulia menemukan beliau,
segera diselamatkan dan dibawa dengan untanya. Unta itu lalu dituntunnya dan Aisyah r.a.
ummul mukminin naik di atasnya. Sama sekali tidak terjadi boncengan, kecuali hanya mereka
harus melintas padang pasing berdua. Itu adalah sebuah contoh darurat yang terjadi di masa
shahabat. Namun meski demikian, resiko digossipkan pun tetap terjadi sehingga Allah SWT
sampai harus membuat klariIikasi Iormal di dalam ayat yang turun.

Sedangkan contoh kasus yang umumnya sekarang, sebenarnya belum sampai ke tingkat darurat.
Sebab kejadiannya bukan urusan nyawa, juga bukan Iaktor keamanan, tidak ada padang pasir
luas dan tidak ada ancaman hewan buas. Sementara angkot masih berselieweran. Maka untuk
memberikan tumpangan dan duduk boncengan dengan wanita yang bukan mahram belum
menjadi sebuah kedaruratan. Masalahnya bukan hanya khalwat (berduaan), tetapi posisi duduk di
atas sepeda motor itu membuat pengemudi dan yang bonceng itu harus menempel, meski masih
dilapisi dengan pakaian masing-masing.

Ini jelas lebih parah dari sekedar -misalnya- duduk berduaan di sebuah ruangan. Karena bila di
dalam ruangan, masih ada batas jarak antara keduanya. Sedangkan naik sepeda motor, posisinya
menempel dan itu sulit dihindari. Apalagi bila mengerem mendadak, maka sudah pasti sentuhan
tubuh akan terjadi.

Namun kondisi tata kota seperti di Jakarta yang ibarat sebuah kampung besar memang
menyulitkan orang untuk bepergian dengan hanya mengandalkan bus dan sejenisnya.
Kebanyakan rumah tinggal itu adanya di dalam gang atau jalan kecil yang aksesnya ke jalan raya
dimana ada angkutan umum itu relatiI jauh. Sehingga masih dibutuhkan angkutan yang lebih
kecil untuk menyambug transportasi masuk ke perumahan.

Dahulu ada becak yang banyak berjasa mengantarkan ibu-ibu pergi dan pulang dari pasar
sekalian membawa barang belanjaan. Tapi di DKI Jakarta becak kini sudah dihapuskan dan
peranannya digantikan dengan ojek. Padahal bila dilihat dari sisi ikhtilat, becak lebih terlindungi.
Karena posisi penumpang dan penarik becak itu dipisahkan dan berbeda posisi. Sehingga tidak
terjadi duduk berduaan.
Dalam hal ini, maka ojek bukanlah kendaraan yang memenuhi syarat untuk dinaiki oleh wanita,
karena umumnya para pengemudi ojek itu laki-laki. Dan karena itu ikhtilat antara non mahram
ini menjadi hal yang tidak mungkin dihindari.

Sehingga kalaupun ingin dicarikan mubarrir, haruslah dengan alasan yang sangat kuat dan
tingkat kedaruratannya harus jauh lebih tinggi. Menurut hemat, jarak yang 100-200 meter itu
tidak bisa dijadikan alasan secara umum. Juga alasan takut terlambat sampai di tempat pun tidak
bisa dijadikan alasan yang kuat. Dengan demikian, para wanita harus diupayakan sedapat
mungkin untuk tidak naik ojek bila bepergian, karena ojek jelas-jelas tidak mencukupi syarat
sebagai kendaraaan para muslimah.
Dalam kondisi darurat memang bisa saja dilakukan, tapi darurat itu adalah sesautu yang siIatnya
sangat urgen dan genting dan tentu saja darurat itu tidak terjadi setiap hari.

Ini adalah tantangan tersendiri bagi para muslimah yang harus dicarikan jalan keluarnya dengan
cara yang sebaik-baiknya.
Wallahu a'lam bishshawab.

Anda mungkin juga menyukai