Anda di halaman 1dari 32

BAB I Ilustrasi Kasus

Identitas Nama Jenis kelamin Umur Pekerjaan Tanggal rawat No. RM Waktu tiba : Sdr. A : Laki-laki : 19 tahun : Swasta : 20 Agustus 2011 : 07 14 50 : pk 24:00 WIB

Anamnesis Keluhan utama: Tidak sadar sejak 1 jam SMRS

Riwayat perjalanan penyakit Pasien dibawa ke UGD RS Imanuel pk 24:00 dalam keadaan tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas antara motor dengan motor. Pasien sebelumnya sempat dibawa ke Klinik Husada untuk diberi pengobatan serta dilakukan CT-Scan dan kemudian dirujuk ke RS Imanuel untuk dilakukan tindakan operasi. Pasien tidak sadar, pasien tidak muntah, pasien mengalami kejang saat dibawa ke UGD RS Imanuel
1

Riwayat penyakit dahulu Pasien belum pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. Penyakit lainnya tidak diketahui, maag (-), hipertensi (-), DM (-), asma (-)

Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan Pasien belum menikah

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan tanda vital: Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu : 110/70 mmHg : 90 x / menit : 24 x / menit : 39,0 0C

Tinggi badan : tidak diketahui Berat badan : tidak diketahui

Keadaan umum Kesadaran

: tidak sadar : DPO ( E1 M4 V1)

Kepala

: Normocephali, hematoma pada dahi sebelah kiri dan belakang kepala sebelah kanan, rambut hitam, distribusi merata tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil miosis isokor (diameter 2 mm), refleks cahaya langsung -/-, refleks cahaya tidak langsung -/-

Telinga

: normotia, hematoma pada bagian belakang telinga sebelah kiri, keluar darah dari telinga (-), serumen (-), sekret (-)

Hidung Mulut

: deviasi septum (-), sekret (-), deformitas (-), nyeri pada sinus (-) : dalam batas normal

Tenggorokan : tidak diperiksa Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakea di tengah, deviasi (-), tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-) KGB Toraks Paru : tidak tampak pembesaran : simetris statis-dinamis, retraksi (-) : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi : simetris statis-dinamis, retraksi -/: fremitus taktil-audio kanan dan kiri sama : sonor pada kedua lapang paru : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/: Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis kiri : Batas jantung kanan : linea sternalis kanan Batas jantung kiri Auskultasi : linea miclavicularis kiri

: S1-S2 normal, regular, murmur (-), gallop (-)


3

Abdomen

: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: datar, venektasi (-), scar (-), ekskoriasi pada punggung : supel, hepar dan lien tidak teraba : timpani, SD (-) : BU (+) normal

Extermitas

: fleksi abnormal, vulnus excoriasi pada ventral palmar dextra, dorsum pedis dextra, dorsal tungkai sebelah kanan

Pemeriksaan penunjang: Hasil laboratorium 20 Agustus 2011 Darah rutin Hb Ht Eritrosit Leukosit Trombosit MCV MCH MCHC MPV : 14,9 g/dL : 45 % : 4,75 juta/uL : 21.180 /uL : 171.000 /uL : 94 fl : 31 pg : 33 g/dL : 9 fl

Analisis Gas Darah pH pCO2 pO2 HCO3TCO2 Base Excess : 7,304 : 47,2 mmHg : 279,7 mmHg : 22,9 mmol/L : 24, 2 mmol/L : -3,3 mmol/L

O2 Saturation : 99,6 % HCT Na+ K+ iCa tHb : 33,6 % : 139,4 meq/L : 4,65 meq/L : 0,53 g/dL : 11,4 g/dL

Pemeriksaan Radiologi CT-Scan Kesan: Hasil pemeriksaan CT-scan kepala terdapat hematoma subkutis pada kepala belakang dan dahi sebelah kiri, hematoma subdural + hematoma intrakranial.

Resume Pasien Sdr A usia 19 tahun dibawa ke UGD RS imanuel dalam keadaan tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas antara motor dengan motor. Pasien dalam keadaan tidak sadar, tidak terdapat muntah, kejang saat dibawa ke UGD Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tidak sadar (GCS 6), pada kepala terdapat hematoma pada dahi sebelah kiri dan pada kepala belakang sebelah kanan, pupil miosis isokor dengan diameter 2 mm, hematoma pada bagian belakang telinga sebelah kiri, abdomen terdapat luka lecet pada pinggang sebelah kiri, pada pemeriksaan ekstremitas pasien dalam keadaan fleksi abnormal, vulnus excoriasi pada ventral palmaris dekstra, dorsum pedis dekstra, bagian dorsal tungkai sebelah kanan. Hasil pemeriksaan CT-scan kepala terdapat hematoma subkutis pada kepala belakang dan dahi sebelah kiri, hematoma subdural + hematoma intrakranial.

Masalah Cedera kepala berat + intrakranial hematoma + subdural hematoma

Dasar diagnostik: Pasien tidak sadar (GCS 6), pupil miosis isokor (diameter 2 mm), posisi tubuh pasien dalam postur fleksi abnormal. Hasil CT-scan hematoma subdural dan hematoma intrakranial

Rencana terapi:

Pro Kraniotomi Infus RL 500 cc 20 tetes / menit Manitol 4 x 150 cc Ceftriaxone 1 gr 2 x 1 IV


6

Post-operasi Kraniotomi:

Cairan 2500 cc/hari termasuk diet cair Nutrien balance CBC dan AGD Simu ventilator 14, TV 500 cc, RR: 14, PS: 10, PEP: 5, FiO2: 50% Propofol 10 cc/jam TD < 140/90 beri vascon mulai 5 cc/jam. MAP > 90 mmHg Diet cair 1500 cc/hari

Brain protection

GD < 200 mg/dL Elevasi kepala 300 Normovolume CVP 10 mmHg MAP > 90 mmHg Tpo > 70 mmHg PO2 100 PCO2 30-35 mmHg Hb > 10 gr%

Prognosis Ad vitam Ad functionam Ad sanactionam : dubia ad bonam : dubia : dubia

BAB II
8

Tinjauan Pustaka

I.

Pengenalan

Traumatic brain injury (TBI) dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan mekanis terhadap jaringan otak yang disebabkan oleh adanya gaya atau cedera yang mengenai jaringan otak. Cedera kepala berat masih merupakan suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat menantang sehingga para klinisi memerlukan kesiapan, koordinasi, dan pendekatan yang bersifat multidisiplin dalam penangannnya. Di AS sendiri diperkirakan 1,4 juta orang terkena TBI setiap tahunnya. Dan sekitar 50.000 orang meninggal, 235.000 mendapat perawatan rumah sakit, dan sekitar 1,1 juta lainnya pernah mendapat pertolongan di unit gawat darurat (UGD). Golongan usia yang paling rentan antara lain adalah anak-anak, pemuda, dan lansia umur 75 tahun atau lebih. Golongan lansia (65 tahun keatas) memiliki jumlah kesakitan sebesar 155.000 kasus setiap tahunnya, dan penduduk usia 75 tahun keatas memiliki angka kesakitan tertinggi serta angka mortalitas tertinggi. TBI pada pria memiliki frekuensi lebih besar dibanding wanita. Selain itu TBI terutama disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor (30%) dari seluruh penyebab TBI, namun pada usia yang lebih muda atau kelompok usia lebih tua terutama disebabkan oleh jatuh (28% pada kelompok usia tersebut). TBI memiliki angka morbiditas tinggi mulai dari efek ringan hingga efek yang sangat berat seperti koma atau gangguan fisik dan mental yang bersifat permanen. Berdasarkan data CDC tahun 2004 mengenai kasus-kasus TBI didapatkan sekitar 80.000 hingga 90.000 pasien dengan TBI menderita kecacatan permanen karena TBI. Derajat beratnya suatu TBI ditentukan berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Skor GCS 3-8 menandakan suatu TBI berat, 9-12 merupakan TBI sedang, 13-15 TBI ringan. Diperkirakan sekitar 10% pasien TBI dikategorikan berat, 10% lainnya sedang, dan sekitar 80% dikategorikan sebagai cedera ringan

II.

Pendekatan fisiologi

Otak merupakan suatu organ kecil yang menyumbang sekitar 2% dari berat badan namun otak memiliki konsumsi energi dan oksigen yang besar (otak mengkonsumsi sekitar 18% total energi tubuh basal, utilisasi 15% dari cardiac output, memakai 20% total oksigen tubuh, menggunakan 25% glukosa tubuh). Pada Cerebral Blood Flow (CBF) normal otak memakai 50% oksigen dan 10% dari glukosa dari arteri. Karena sitoplasma neuron tidak memiliki cadangan glukosa maka otak seluruhnya bergantung pada suplai yang cukup dan terus-menerus dari oksigen dan glukosa sehingga apabila terjadi suatu gangguan sirkulasi selama beberapa detik maka dapat dipastikan otak mengalami kerusakan, dan apabila interval gangguan semakin panjang maka dapat menyebabkan kerusakan yang berat dan hebat. Otak mengandalkan sumber energi yang berasal dari ATP yang diproses dengan proses aerob dan otak secara keseluruhan sangat mengandalkan ATP sebagai sumber energi yang diproduksi dengan proses oksidatif glukosa. Faal Otak:

Otak mengkonsumsi 3-5 ml O2/menit/100 gr tissue (45-75 ml O2/menit/1500 g tissue) Konsumsi glukosa 5 mg/menit/100g tissue (75 mg/mnt/1500 g tissue) CBF normal 50 ml/mnt/100 g tissue (750 ml/mnt/1500 g tissue) yang berisi O2 20 ml O2/100 ml (150 ml O2/ 1500 g tissue), sekitar 2-3x dari aktifitas normal

Otak memakai 35-50% oksigen dari arteri untuk metabolisme

Hemodinamik otak CBF otak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain: SBP (Systemic Blood Pressure) ICP (Intracranial Pressure)

10

Venous outflow Viskositas darah Autoregulasi pembuluh darah otak PaCO2 PaO2 Collateral flow Vasoreaktifitas pembuluh darah

CBF ditentukan oleh suatu faktor yang disebut Central Perfusion Pressure (CPP) yang merupakan perbedaan antara MAP (Mean Arterial Pressure) dengan ICP (Intracranial Pressure). Lokasi utama untuk pengaturan resistensi pembuluh darah otak terletak pada arteriol dan segmen prekapiler, dam selain itu faktor yang menentukan aliran darah regional otak adalah metabolisme cerebral. Pada pasien dengan iskemia pada otak dalam kurun waktu 12 jam didapatkan pada 30% pasien ditemukan adanya penurunan CBF secara global hingga mencapai kadar dibawah ambang iskemia ( < 18 ml/100 g/menit). Autoregulasi cerebral adalah suatu mekanisme yang memungkinkan CBF tetap konstan meskipun terdapat perubahan pada CPP. Apabila didapatkan peningkatan ICP maka sistem autoregulasi mempertahankan aliran darah dengan melakukan vasokonstriksi untuk meningkatkan MAP sehingga otak dapat mempertahankan CPP dan CBF tetap adekuat, namun apabila terjadi kegagalan dari mekanisme kompensasi maka terjadi kegagalan autoregulasi cerebral

III. Mekanisme TBI

11

Semua cedera kepala disebabkan oleh adanya transmisi energi kinetik ke otak. Mekanisme utama dari TBI dapat dibagi 2 bagian besar yaitu cedera tumpul (Blunt Injury) atau cedera tembus (Penetrating Injury). Mekanisme dari cedera tumpul antara lain yaitu: Acceleration-decceleration injury Defomasi Rotasi

Cedera akselerasi terjadi apabila tengkorak dan otak mendapat gaya dorong yang sangat cepat. Cedera deselerasi terjadi apabila kepala mengenai obyek yang dia sehingga tengkorak dan otak mengalami deselerasi yang cepat. Pada cedera tipe ini maka otak akan bergerak dan menabrak tengkorak dalam dan prominensia tulang bagian dalam, selain itu otak juga dapat terdorong kebelakang dan menyebabkan tumbukan pada tengkorak kontra-lateral. Rotasi otak dapat terjadi pada cedera tipe akselerasi-deselerasi karena dapat terjadi perputaran otak dalam tengkorak yang dapat menyebabkan robekan pada jaringan otak / pembuluh darah. Beratnya cedera tumpul umumnya didasarkan pada kecepatan, arah, kekuatan rotasi, dan daya Cedera tembus umumnya dikaitkan oleh luka tembak atau luka tusuk. Cedera tembus terutama disebabkan oleh kerusakan akibat terjangan peluru, namun setiap obyek yang menembus tengkorak dapat menyebabkan adanya trauma tembus. Pada cedera tembus yang diakibatkan oleh terjangan peluru atau benda lainnya dalam kecepatan tinggi, umumnya kerusakan terlokalisir sepanjang jalur yang ditembus. Pada luka tusuk yang merupakan luka dengan kecepatan rendah dapat menyebabkan kerusakan hingga struktur vaskuler, saraf kranial, dan serabut saraf white matter IV. Klasifikasi TBI Cedera pada TBI dibagi berdasarkan 2 bagian utama yaitu cedera fokal atau cedera difus. Cedera fokal merupakan suatu cedera yang disebabkan oleh adanya efek langsung ke kepala, biasanya mudah ditemukan dan dibuang secara langsung melalui operasi. Cedera fokal dapat menyebabkan hematoma atau kontusio. Jenis-jenis cedera fokal: Fraktur tengkorak Meskipun secara teknis bukan merupakan suatu cedera otak, namun banyak fraktur tengkorak menyertai adanya cedera otak (terdapat pada separuh jumlah pasien dengan
12

cedera otak berat). Semakin berat derajat TBI maka kemungkinan adanya fraktur semakin dapat dipastikan. Fraktur linier merupakan tipe fraktur paling ringan dan pada umumnya tidak memerlukan terapi yang spesifik. Pada fraktur linier pada regio temporal dapat dilakukan CT-scan karena arteri di daerah tersebut mudah robek Fraktur depresi lebih kompleks dan menyebabkan tulang kranial tertekan kebawah sehingga menyebabkan kompresi pada otak. Bagian fraktur dapat menyebabkan laserasi dan adanya hematoma sehingga perlu dilakukan debridement untuk evakuasi bekuan darah dan potongan tulang, perbaikan robekan dura, serta elevasi dari fragmen tulang yang tertekan Fraktur basilar terletak pada basis cranii terutama pada fossa anterior atau media. Fraktur pada basilar sulit dideteksi dengan pemeriksaan rontgen biasa sehingga diagnosis dilakukan berdasarkan temuan klinis. Adanya ekimosis periorbital (racoon eyes), pendarahan subkonjungtiva ekstensif, otorrhea CSF, rhinorrhea CSF, dan ekimosis pada prosesus mastoideus (Battles Sign) merupakan beberapa petanda klinis pada adanya suatu fraktur basilar. Adanya otorrhea dan rhinorrea berisi CSF merupakan suatu petanda penting karena menandakan adanya robekan dura sehingga pasien memiliki resiko terjadi meningitis Kontusio Kontusio terjadi apabila adanya daya fokal yang merusak pembuluh darah kecil dan komponen jaringan otak lainnya pada parenkim neuron. Kontusio umumnya terletak pada lobus inferior frontal dan lobus inferolateral temporal dan jarang terjadi pada lobus occipital dan cerebelum. Sehingga pasien pada umumnya datang dengan suatu perubahan dari sikap dan kepribadian yang disertai adanya defisit wicara dan motorik. Kontusio dapat sembuh dengan sedikit sequale atau dapat berkembang menjadi edema otak. Adanya expanding lesion dapat menyebabkan peningkatan ICP. Penyebab utama dari kontusio adalah cedera coup-countrecuop karena adanya efek akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan tumbukan otak pada cavum kranii dan tulang tengkorak kontra-lateral. Hematoma Hematoma dibagi berdasarkan letak lokasinya:
13

Epidural hematoma (EDH) Epidural hematoma terletak diluar duramater namun di dalam tulang tengkorak, sehingga memberikan EDH gambaran bentuk konveks. EDH merupakan cedera yang jarang dan hanya terjadi pada 1-2% pasien dengan TBI namun 15% dari cedera kepala yang fatal merupakan akibat adanya EDH. Lokasi tersering dari EDH pada regio temporo-pareintal dan sering diakibatkan adanya laserasi dari arteri meningea media karena adanya fraktur pada tulang temporal. Gejala klinis yang muncul pada EDH adalah kehilangan kesadaran yang diikuti oleh periode lucid dan kemudian terjadi kehilangan kesadaran yang bersifat progresif. EDH memerlukan tindakan segera karena pendarahan arteri yang cepat dapat menyebabkan herniasi serebral

o Subdural Hematoma (SDH) SDH terletak dibawah duramater namun masih diluar otak, berbentuk bulan sabit dengan sisi yang tidak tegas. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, terjadi pada sekitar 30% dari cedera kepala berat. SDH umumnya disebabkan oleh robekan dari vena-vena penghubung yang terletak antara korteks dan sinus venosus dan sering disebabkan oleh cedera akselerasi-deselerasi. Mortalitas sekitar 30-90% dengan angka terendah pada pasien yang segera dioperasi dalam kurun waktu 4 jam post trauma. Berdasarakan waktu maka SDH dibagi menjadi SDH akut (berisi bekuan darah yang terjadi segera atau beberapa hari), SDH subakut (berisi campuran bekuan darah dan cairan yang terjadi beberapa hari hingga 3 minggu setelah trauma) dan SDH kronik (konsistensi utama cairan dan terjadi 3 minggu atau lebih). Tipe kronik lebih sering terjadi pada dewasa usia lanjut, peminum alkohol, atau pada orang yang mengkonsumsi antikoagulan
o

Intracerebral Hematoma (ICH) ICH merupakan suatu area pendarahan yang terletak pada parenkim otak yang berukuran 2 cm atau lebih namun tidak kontak dengan permukaan otak. ICH disebabkan oleh adanya ruptur dari pembuluh darah parenkim saat cedera. ICH ditandai dengan area hiperdens pada CT-scan. 28% ICH dihubungkan dengan
14

SDH dan sekitar 10% dengan EDH. Sepertiga hingga setengah pasien dengan ICH datang dalam keadaan tidak sadar dan sekitar 20% memiliki periode lucid antara periode post-trauma hingga koma. Pembentukan ICH dapat terlambat dan dapat tidak muncul pada CT-scan dalam waktu 24 jam. Pada fase seperti ini CTscan ulang dilakukan apabila adanya defisit neurologis yang bertambah dan adanya peningkatan ICP Pendarahan basal ganglia Bentuk pendarahan yang dapat ditemukan pada TBI adalah pendarahan basal ganglia dan sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Suatu studi menunjukkan bahwa 88% pasien dengan pandarahan basal ganglia dan peningkatan ICP memiliki keluaran yang buruk (cacat berat, vegetative state, atau kematian); sekitar 50% dengan ICP normal memiliki keluaran yang buruk. Lee dan Wang melaporkan bahwa 53,8% pasien pada studi terhadap pasien dengan pendarahan basal ganglia memiliki pendarahan intravantrikular atau pendarahan batang otak. Pendarahan ini disebabkan oleh dua mekanisme, pertama adanya tarikan atau robekan pada saluran choroid anterior pada tepi tentorium; yang kedua akibat adanya perforasi dari cabang arteri cerebri media. Robekan pada pembuluh darah dalam biasanya disebabkan oleh karena efek akselerasi-deselerasi. Pendarahan intraserebral pada thalamus atau basal ganglia didapatkan pada 10% pasien dengan cedera kepala berat dan sangat berhubungan dengan peningkatan insidens dari cedera axon difus. Cedera difus bersifat luas dan tidak terlokalisir pada satu tempat, sehingga menyebabkan sulinya mendeteksi dan melakukan terapi untuk cedera yang bersifat difus. Cedera difus yang paling sering yaitu konkusio dan cedera akson difus. Konkusio Konkusio merupakan suatu disfungsi neurologik yang singkat (transient) yang disebabkan oleh faktor mekanik terhadap otak. Gambaran klinis yang terutama adalah adanya hilangnya kesadaran (pingsan), selain itu juga didaptkan adanya kebingugan, sefalgia, disorientasi selama beberapa menit dan dapat juga disertai amnesia, dapat pula disertai gangguan penglihatan. Diagnosis utama melalui pemeriksaan klinis dan jarang didapatkan lesi pada CT-scan. Konkusio tidak menyebabkan kerusakan neuron namun
15

menyebabkan disfungsi neuron temporal karena adanya perubahan metabolisme, fungsi neurotransmiter, dan ionic shift dan biasanya sembuh dengan sendirinya Cedera akson difus Cedera akson difus merupakan suatu kerusakan difus pada akson di hemisfer serebri, corpus callosum, batang otak, atau cerebelum.cedera akson difus ini menyebabkan adanya ketidaksadaran pasien segera setelah trauma dan bersifat lama. Patofisiologi belum diketahui pasti namun diduga akibat perubahan gradien ion sehingga menyebabkan adanya pembengkakan fokal pada akson sehingga menyebabkan terlepasnya akson. Cedera akson difus sulit dilihat pada CT-scan sehingga memerlukan MRI untuk deteksi dan menentukan derajat beratnya kerusakan. Cedera akson difus sering dihubungkan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan pasien dengan cedera akson difus sering mengalami persistent vegetative state

Subarachnoid Hemorrhage (SAH) SAH sering dihubungkan dengan adanya ruptur dari aneurisma atau adanya malformasi arteri-vena, namun dapat juga disebabkan oleh adanya TBI. SAH merupakan kelainan tersering pada TBI namun biasanya memiliki makna klinis yang kecil. SAH dapat menganggu sirkulasi dan reabsorpsi dari CSF sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus dan adanya hipertensi intrakranial. SAH akibat trauma dihubungkan dengan adanya kontusio dan laserasi pada korteks sehingga adanya akumulasi dari darah yang masif dapat membentuk suatu Space-Occupying Lesion (SOL)

V.

Patofisiologi

Mekanisme cedera pada otak yang terjadi pada TBI dapat terjadi melalui dua mekanisme. Trauma pertama pada otak menyebabkan terbentuknnya area pendarahan atau adanya kompresi. Hal ini disebut sebagai cedera otak primer. Cedera primer dapat berupa hematoma simpel atau suatu lesi yang bersifat kompleks dan difus. Cedera awal menyebabkan disfungsi neuron dan kematian dari sel otak yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada pembuluh darah, akson dan neuron itu sendiri. Kerusakan neuron pada cedera primer bersifat ireversibel

16

Daerah di sekitar cedera primer merupakan suatu zona dengan sel-sel yang mengalami gangguan dan terjadi iskemia yang disebut penumbra. Jaringan otak pada daerah penumbra ini masih dapat diselamatkan atau dapat mati beberapa waktu setelah cedera pertama sehingga diperlukan neuroprotektif khusus untuk mempertahankan fungsi sel di penumbra dan meminimalkan daerah kerusakan. Cedera otak sekunder terjadi apabila telah terjadi kerusakan sel di perbatasan atau di luar penumbra. Mekanisme yang menyebabkan cedera otak sekunder ini biasanya multipel antara lain hipotensi, hipoksemia, hipertermia, peningkatan ICP, gangguan elektrolit. Pada tingkat seluler, proses menuju cedera otak sekunder merupakan suatu kaskade dari proses molekular yang apabila tidak segera diintervensi maka dapat menyebabkan kerusakan seluler dan edema otak. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ICP, gangguan perfusi, kematian neuron, gangguan neurologi permanen. Faktor faktor lainnya yang berperan dalam cedera otak sekunder antara lain: Iskemia Iskemia serebri merupakan faktor yang paling dominan sebagai penyebab cedera otak sekunder hal ini dibuktikan pada suatu studi yang dilakukan menunjukkan 90% pasien dengan TBI fatal mengalami iskemia regional maupun global saat dilakukan autopsi. Hipotensi yang terkait dengan iskemia primer cenderung mempengaruhi area-area yang diperdarahi arteri. Pasien dengan trauma multipel paling berbahaya karena terjadi penurunan CBF karena adanya pendarahan karena trauma lainnya atau karena syok. Penurunan CBF sekunder Excitoxicity Kerusakan yang ditimbulkan karena faktor iskemik menyebabkan pelepasan dari excitatory amino acid (EAA) yang dapat menyebabkan excitoxicity. Utamanya disebabkan oleh karena pelepasan dari EAA terutama glutamat dan aspartat. Asam-asam amino ini berperan sebagai neurotransmiter eksitasi yang mempengaruhi reseptor17

pada jaringan menyebabkan pembengkakan astrosit, hipotensi, dan

peningkatan ICP sehingga menyebabkan disfungsi seluler dan memicu cedera otak

reseptor kanal kalsium pada jaringan otak yang rusak sehingga menyebabkan terjadinya perubahan konsentrasi natrium dan kalsium yang menyebabkan kerusakan neuron Gangguan metabolisme Otak sangat bergantung pada suplai dari oksigen dan glukosa untuk metabolisme aerob dan untuk produksi dari ATP. Gangguan perfusi dan oksigenisasi sering terdapat pada cedera kepala yang hebat, terutama terkait dengan adanya hipermetabolisme post trauma. Adanya gangguan metabolisme merupakan suatu hal yang sering terjadi dan umum ditemukan pada pasien dengan TBI. Adanya peningkatan metabolisme menyebabkan terjadinya peningkatan uptake dari glukosa dan oksigen yang sudah berkurang sehingga menimbulkan adanya hipoksia, metabolisme anaerob dan mendorong terjadinya cedera otak sekunder. Adanya hiperglikolisis pada beberapa hari awal setelah trauma menandakan adanya respon seluler untuk melakukan perbaikan terhadap perubahan gradien ion yang ditandai dengan adanya zona hiperemis atau daerah dengan peningkatan CBF. Adanya peningkatan dari kadar laktat pada TBI biasanya hal yang sering terjadi dan pada umumnya akan menjadi normal dalam beberapa hari pada pasien yang sembuh, namun kadar laktat yang meningkat hingga 5-10 kali dapat menyebabkan kematian karena saat kadar laktat meningkat maka diiringi oleh penurunan kadar glukosa hingga sangat rendah Produksi laktat dan adanya metabolisme serebral yang anaerob pada CBF yang normal dapat menandakan adanya disfungsi dari mitokondria untuk melakukan metabolisme aerob Gangguan Blood-brain Barrier (BBB) Fungsi utama BBB adalah untuk memfasilitasi atau membatasi pasase dari berbagai macam substrat dari darah ke otak. Sel-sel endotel pada kapiler serebral pada BBB terikat dengan kuat oleh suatu hubungan yang sangat rapat dan mengandung mitokondria dalam jumlah yang besar untuk memfasilitasi transpor substrat ke otak dan hanya komponen yang larut dalam lemak yang dapat langsung berdifusi ke dalam CSF (CO2, O2, amonia, steroid, prostaglandin, dll). Sel-sel dengan berat molekul lebih besar atau larut dalam air
18

memerlukan transpor aktif atau pasif untuk berpindah dari endotel ke CSF. Proses transpor ini diatur oleh astrosit-astrosit yang mensekresi zat-zat kimia untuk mengatur permeabilitas endotel. Pada TBI maka dapat terjadi gangguan pada astrosit sehingga menyebabkan terbentuknya edema yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik dari kapiler dan selain itu faktor hipertermia juga berperan terhadap gangguan pada BBB Faktor-faktor inflamasi Fungsi sitokin sebagai faktor inflamasi sangat penting dalam patofisiologi TBI. Sitokin merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam komunikasi intraseluler. Sitokin dilepaskan sebagai mekanisme pertahanan terhadap adanya infeksi, trauma, dan iskemia pada TBI. Pada TBI sitokin yang dihasilkan berasal dari intrinsik (oleh neuron, astrosit, dan mikroglia) dan ekstrinsik (karena infiltrasi leukosit). Ekspresi sitokin yang berlebihan berbahaya untuk jaringan yang rusak dan dapat menyebabkan kematian seluler dan kontrasnya kadar sitokin yang rendah dapat memacu proses perbaikan seluler. Sitokin utama yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) berperan sebagai mediator apoptosis neuronal sehingga memicu terjadinya neuronal loss pada pasien dengan TBI. Selain itu IL-1 dan TNF menganggu aktivitas sel endotel sehingga terjadi kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas. Edema serebral Salah satu faktor yang turut menyebabkan cedera otak sekunder adalah adanya edema serebral yang disebabkan oleh adanya leukosit dan platelet sebagai akibat adanya aktifasi dari faktor-faktor inflamasi dan respon imun. Klasifikasi edema serebral: o Vasogenic edema Disebabkan oleh adanya gangguan pada BBB yang menyebabkan akumulasi dari cairan kaya protein pada ruang ekstraseluler. Vasogenic edema menyebabkan pembengkakan lokal pada daerah sekitar kontusio atau hematoma o Cytotoxic edema
19

Edema ini terjadi bersamaan dengan kerusakan hipoksia-iskmik diman terjadi gangguan gradien ion sehingga terjadi akumulasi cairan intraseluler o Hydrostatic edema Disebabkan oleh peningkatan dari tekanan intravaskuler secara tiba-tiba pada pembuluh darah yang intak sehingga terjadi akumulasi dari cairan yang miskin protein. Hydrostatic edema juga dapat menyertai dekompresi mendadak pada lesi yang besar atau saat terjadi gangguan autoregulasi o Osmotic brain edema Disebabkan oleh adanya penurunan dari osmolalitas serum dalam jumlah besar, sehinggga menyebabkan peningkatan cairan intraseluler. Etiologinya disebabkan oleh adanya hemodilusi yang iatrogenik akibat adanya penggunan dextrosa IV/ cairan berbasis air atau adanya SIADH o Interstitial brain edema Disebabkan oleh adanya ekstavasasi air periventrikular, edema terjadi hanya pada hydrosefalus dengan obstruksi tekanan tinggi

Hubungan antara ICP dan perfusi serebral Peningkatan dari kadar ICP selalu dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Level ICP dapat digunakan untuk menentukan keluaran serta kemungkinan tingkat morbiditas dan mortalitas. Berdasarkan doktrin Monro-Kellie, kunci utama untuk menentukan ICP adalah tekanan dan volume. Doktrin ini menyatakan bahwa ruang kranium merupakan suatu struktur yang tidak dapat berkembang dengan tiga komponen utama yakni darah, otak, dan CSF. Apabila salah satu
20

meningkat maka yang lain harus berkurang agar ada ruang bagi salah satu komponen untuk berkembang, apabila mekanisme ini tidak terjadi maka otak pada ruang kranial akan mengalami kompresi dan terjadi kerusakan yang ireversibel serta herniasi. ICP normal adalah 0 hingga 15 mmHg, dan ICP ini dapat meningkat pada keadaan normal tanpa adanya cedera kepala. Terapi untuk mengurangi ICP dilakukan apabila level ICP mencapai 2025 mmHg. Hal yang lebih perlu diperhitungkan adalah CPP. Pada managemen TBI, CPP harus mencapai 60 mmHg atau lebih. Pada TBI dapat terjadi adanya kerusakan dari jaringan otak yang dapat menyebabkan timbulnya edema sehingga terjadi suatu lesi desak ruang sehingga menekan perfusi dari otak. Apabila perfusi jatuh hingga titik kritis maka mulai terjadi iskemia yang dapat berlanjut menjadi kerusakan neuron yang ireversibel. Peningkatan edema juga menyebabkan peningkatan ICP yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya herniasi. Manifestasi klinis adanya peningkatan ICP: Sakit kepala (postural, terbangun pada malam hari) Nausea dan vomitus Somnolen Edema papil dan pandangan kabur

Pada CT-scan ditemukan gambaran yang sesuai dengan peningkatan ICP yaitu midline shift, hilangnya sulci, hilangnya gambaran ventrikel, edema

VI. Monitoring otak Monitoring otak dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa jaringan otak mengenai adanya kerusakan terkait dengan adanya TBI. Monitoring yang terutama dilakukan adalah pengukuran
21

ICP, oksigenisasi otak, aktifitas EEG, CBF, dan elektrolit atau substrat lainnya pada jaringan otak. Monitoring ICP ICP dapat dimonitor dengan pada jaringan intraparekimal, ruang epidural, ruang subdural, dan intraventrikel. Gold-standart pada monitoring ICP adalah dengan menggunakan monitor ICP intraventrikel dan selain itu juga dapat berfungsi untuk drainase dari CSF. Namun kateter intraventrikel sulit untuk dipasang terutama apabila ventrikel sempit atau mengalami pergeseran dan juga memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi dan komplikasi lainnya. Perbandingan alat monitor intrakranial Tipe alat Kateter intraventrikel Letak pemasangan Ventrikel Keuntungan Kerugian pendarahan, kebocoran

Paling akurat, dapat Resiko ambil kultur CSF, infeksi,

drainase CSF, untuk CSF, sulit dipasang kontras radiologi Subarachnoid bolt Ruang subaraknoid Bisa atau dipakai kolaps, pada Tidak bisa drainase tidak pembacaan dapat

ventrikel yang kecil CSF, dapat tersumbat, menembus parenkim kurang akurat setelah otak, resiko infeksi beberapa hari, resiko rendah, biaya murah, herniasi pemasangan aman Sensor epidural Ruang epidural Pemasangan mudah, Respon lambat, rusak, tulang, oleh diafragma tidak bisa
22

kurang invasif, terbaik mudah pada meningitis atau mengganjal infeksi CNS, resiko dipengaruhi infeksi rendah, tidak suhum perlu kalibrasi akurat,

dapat ruptur, kurang

drainase Kateter intraparenkim Jaringan intraparenkim Akurat, gelombang gambaran Kateter fiberoptik

baik, dapat rusak apabila bisa drainase dan

akurasi terbaik setelah tertekuk atau tertarik, kateter intraventrikel, tidak pemasangan yang kecil Indikasi untuk dilakukannya monitoring ICP: Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) Gambaran CT scan menunnjukkan adanya kontusio, edema, hematoma, kompresi basal ganggial

mudah CSF,

kompliukasi

bahkan pada ventrikel infeksi pendarahan

Pasien dengan cedera kepala berat namun dengan gambaran CT scan yang tampak normal; namun ditemukan adanya dua atau lebih temuan klinis yaitu: umur > 40 tahun, postur motorik unilateral atau bilateral, hipotensi sistolik. (Reference: Brain Trauma Foundation: Indications for Intracranial Pressure Monitoring, in Guidelines for the Management of Severe Head Injury. Chicago, American Association of Neurological Surgeons, 1995, pp. 5-1-5-25.)

Neuroimaging Metode neuroimaging yang paling sering digunakan adalah CT-scan karena sangat membantu untuk melihat kelainan secara global, pendarahan, fraktur, hidrosefalus, dan edema. CT-scan merupakan prosedur diagnostik pilihan untuk evaluasi cedera kepala karena cepat dan banyak tersedia. Pemeriksaan CT scan dilakukan pada setiap pasien trauma dengan GCS < 15 dengan defisit neurologik fokal, gambaran klinis terhadap adanya fraktur depresi atau basilar, dan adanya riwayat kehilangan kesadaran.

23

Cerebral oxygen monitoring Monitoring kadar oksigen serebral dengan menggunakan metode monitor oksgien vena jugular dan brain tissue oxygen sensors. Metode utama yang digunakan adalah dengan monitoring terhadap tekanan parsial oksigen pada otak (PbtO2) karena lebih menunjukkan oksigenisasi dari jaringan otak setempat sebelum terjadinya peningkatan dari ICP sehingga memungkinkan terapi awal lebih cepat. PbtO2 15 mmHg diterima sebagai batas terendah pada pasien dengan TBI berat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kateter yang dipasang pada bolt intrakranial. Metode lain yang digunakan untuk monitor oksigenisasi jaringan otak adalah dengan menggunakan jugular venous bulb catheter. SjvO2 memberikan gambaran terhadap oksigenisasi global dan indikasi indirek terhadap CBF. Kateter dimasukkan ke vena jugular secara retorgrade sehingga ujung kateter berada pada bulbus jugularis yang dipastikan dengan foto rontgen. SjvO2 normal pada orang dewasa 65% (antara 55-71%). Apabila terdapat penurunan dari SjvO 2 dibawah 50% maka dapat disebabkan oleh penurunan PaO2, hiperventilasi berkepanjangan, penurunan CPP (<70 mmHg), vasospasme, atau penurunan konsentrasi hemoglobin. Peningkatan dari SjvO2 menandakan adanya peningkatan suplai oksigen ke otak (hiperemis) atau penurunan penggunaan oksigen oleh karena sedasi, barbiturat, hipotermia, atau karena adanya daerah infark serebral yang luas. Perbedaan oksigen arteri-vena jugular (AvjdO2) dihitung dengan mengurangkan jumlah oksigen vena jugular dengan jumlah oksigen pada arteri, hal ini mmeberikan gambaran secara keseluruhan mengenai CBF dan konsumsi oksigen. Nilai normal AvjdO2 berkisar antara 4,5 8,5 ml/dl. Peningkatan dari nilai tersebut menunjukkan adanya CBF yang tidak adekuat atau penurunan konsumsi oksigen, sedangkan penurunan nilai menunjukkan adanya peningkatan suplai oksigen dibandingkan kebutuhan oksigen.

Reduced SjO2 values may occur in:


vasoconstriction induced by low PaCO2 values hypoxaemia anaemia


24

insufficiently low CPP inappropriately high CPP and vasoconstriction in the face of intact autoregulation

Elevated SjO2 values may occur in:


the hyperaemic phase of TBI hypercapnia induced vasodilatation brain death (brain cells cease to extract oxygen).

If brain hyperaemia is present the CPP target may need to be reduced

VII. Terapi pada TBI Prinsip terapi pada TBI adalah dengan mengurangi kerusakan akibat hipoksia dan hipotensi yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak. Penanganan pada fase awal dititikberatkan pada mempertahankan airway yang adekuat, ventilasi, imobilisasi pada tulang belakang, pengukuran derajat kesadaran dan resusitasi cairan. Pada fase awal ini pasien sebaiknya segera dilakukan intubasi untuk membantu ventilasi dan oksigenisasi, pemasangan intubasi dilakukan tanpa penggunaan obat-obatan paralitik atau sedasi yang dapat mempengaruhi evaluasi neurologi. Resusitasi cairan segera dilakukan apabila tekanan darah sistolik < 110 mmHg dengan RL atau hipertonik saline. Pasien dengan TBI diberikan oksigenisasi dengan saturasi 100% dengan mempertahankan PaO2 dan serta tetap mempertahankan PaCO2 35-40 mmHg. Pengamanan sirkulasi darah dengan mempertahankan MAP > 90 mmHg dan CPP > 60 mmHg dengan menggunakan infus cairan isotonik seperti NS atau RL untuk pasien dengan keadaan hipotensi dan hipovolemia, selain itu dapat digunakan cairan lain seperti koloid atau PRC untuk mempertahankan sirkulasi. Apabila pasien masih refrakter dengan terapi cairan maka dapat dipertimbangkan untuk memeberikan norepinefrine untuk meningkatkan MAP

Manajemen hipertensi intrakranial


25

Manajemen pada TBI umumnya dilakukan dengan pencegahan dan reduksi dari ICP yang meningkat untuk mempertahankan fungsi otak. Terapi untuk mengatasi peningkatan ICP harus dilakukan apabila telah terjadi peningkatan ICP > 20 mmHg selama 5-10 menit atau lebih. Pada TBI harus selalu dilakukan CT-scan untuk memeriksa adanya kemungkinan terhadap suatu massa yang menjadi penyebab dari peningkatan ICP, apabila terlihat adanya massa pada CT-scan maka dilakukan kraniotomi untuk menyingkirkan massa. Manajemen ICP fase awal Pendekatan dasar untuk mengurangi ICP adalah dengan memfasilitasi drainase vena dan mencegah konstriksi dari aliran vena, yang dilakukan dengan memposisikan pasien dengan kepala elevasi 30-450 , cegah hiperekstensi, fleksi atau rotasi dari kepala dan leher; kaki lurus dan jangan sampai ada fleksi tungkai. Penggunaan posisi reverse trendelenburg dapat membantu drainase vena dengan mencegah konstriksi femoral. Pemberian sedasi dan analgesik merupakan suatu intervensi penting dalam penanganan TBI. Tujuan pemberian sedasi adalah untuk mempertahankan CPP dan mengendalikan ICP dengan menurunkan kebutuhan metabolik, membantu ventilasi efektif, dan menurunkan ICP karena rasa nyeri dan agitasi dapat meningkatkan teakanan darah yang dapat menyebabkan peningkatan ICP, dan agitasi berat dapat meningkatkan tekanan intratorakal sehingga mengurangi aliran vena, lebih lanjut agitas meningkatkan kebutuhan metbolisme sehingga terjadi peningkatan CBF yang pada akhirnya meningkatkan ICP. Propofol menjadi pilihan utama untuk digunakan mengatasi peningkatan ICP karena memiliki efek sedatif yang baik, bersifat larut lemak sehingga mudah menembus BBB, waktu paruh yang singkat (kurang dari 1 jam)sehingga mudah untuk dihentikan untuk mengases status neurologi pasien. Pemberian dengan infus 0,3 mg/kgBB/jam dapat ditingkatkan hingga 3 mg/kgBB/jam dalam waktu 5-10 menit. Karena komponen lipid dari propofil maka perlu dilakukan monitoring terhadap kadar trigliserida dan fungsi liver dan pankreas apabila direncanakan penggunaan jangka panjang dengan dosis tinggi. Efek samping penggunaan propofol jangka panjang antara lain yaitu asidosis metabolik, rhabdomiolisis, hipotensi, dan bradikardia. Benzodiazepin memiliki efek sedasi dan antikonvulsan sehingga membuat obat ini sangat berguna untuk penanganan pasien TBI selama anestesi dan ICU. Pemberian analgesik pada
26

pasien TBI utama dengan pemberian obat-obatan golongan narkotik seperti morfin atau fentanil untuk mengatasi rasa nyeri. Diuretik osmotik sering digunakan untuk mengurangi ICP dan diuretik yang tersering digunakan adalah manitol. Mekanisme kerja manitol dengan membentuk gradien osmotik antara CSF di ruang subaraknoid dengan plasma sehingga menarik cairan dari intraseluler dan interstisial ke dakam kompartemen pembuluh darah, sehingga terjadi hemodilusi yang mengurangi viskositas darh dan berakibat pada peningkatan dari CBF dan aliran oksigen, selain itu juga mengurangi rigiditas pada RBC sehingga membantu mobilisasi RBC ke pembuluh darah yang lebih kecil. Manitol diberikan dalam bentuk bolus dalam 0,25 1 g/kgBB dalam larutan 20%. Setelah pemberian ini maka dapat terjadi penurunan ICP dalam waktu 5 10 menit dan waktu maksimum untuk efeknya sekitar 1 jam dan bertahan selama 4 jam. Efek penggunaan manitol dalam jangka panjang dapat menggangu BBB sehingga menyebabkan manitol dan molekul besar lainnya masuk ke dalam ruang ekstraseluler sehingga terjadi reverse osmosis dan mendorong terjadinya penarikan cairan ke dalam jaringan otak sehingga menyebabkan peningkatan kembali ICP. Pada pemberian manitol perlu dipertahankan osmolalitas antara 300-320 mOsm/L. Efek penggunaan maintol jangka panjang antara lain dehidrasi, hipotensi, hipokalemia, dan gagal ginjal, sehingga penting untuk memberikan rumatan cairan bersamaan dengan pemberian manitol. Selain manitol dapat juga mempertimbangkan penggunaan HTS untuk menarik cairan dari intrasel dan interstisial ke pembuluh darah

Perbandingan Manitol dengan hipertonik saline Medikasi Dosis bolus Dosis infus Osmolalitas serum maksimal Manitol 0,25-1 g/kg rapid bolus 320 mOsm/L Hipertonik saline 0,1-1 ml/kg/hr 360 mOsm/L
27

Efek diuretik

Diuretik hipovolemia

osmotik,

perlu Efek diuresis melalui atroal

rumatan cairan untuk cegah natriuretic peptide (ANP)

Efek yang menguntungkan

Efek antioksidan

Perbaikan

dari

potensial

membran istirahat dan volume sel, inhibisi inflamasi Efek samping Gagal ginjal, hipotensi, Peningkatan rebound dari ICP, mielinolisis pontine sentral, pendarahan, elektrolit gangguan

peningkatan rebound dari ICP

Penggunaan obat-obatan relaksan otot penting untuk memfasilitasi ventilasi mekanik dan untuk mengontrol hipertensi intrakranial yang disebabkan karena pergerakan otot seperti bergerak atau batuk. Penggunaan relaksan otot harus disertai dengan pemberian analgesik dan sedatif. Pemberian obat ini hanya pada pasien dengan ventilasi mekanik dan sangat menolong pada 2448 jam pertama setelah trauma untuk mengurangi batuk dan aktivitas lainnya yang dapat meningkatkan ICP dan penggunaan oksigen. Pada intubasi rutin digunakan golongan nondepolarisasi serpti suksinil kolin namun pemberiannya dihindari pada intubasi pada pasien TBI karena dapat menyebabkan peningkatan ICP, golongan depolarisasi menyebabkan pelepasan kalium sehingga dapat menggangu sistem kardiovaskuler dan penggunaannya dihindari pada pasien yang imobile atau dalam perawatan lama di ICU. Penggunaan terbaik adalah dengan golongan non-depolarisasi kerja panjang seperti cisatracurium atau vecuronium

Manajemen ICP fase lanjut Apabila pasien TBI masih mengalami peningkatan ICP dan refrakter terhadap terapi awal maka dilakukan terapi lini kedua yaitu dengan menggunakan barbiturat, hiperventilasi, hipotermia, dan dekompresi dengan kraniotomi.

28

Penggunaan barbiturat seperti tiopental atau pentobarbtial digunakan dengan memberikan secar IV sehingga menyebabkan respon anestesi dan penurunan CBF dan CMR yang bersifat dosedependent. Pengunaan barbiturat untuk menginduksi koma digunakan untuk mengurangi metabolisme otak sehingga terjadi pengurangan pembengkakan dan kerusakan seluler dari otak. Barbiturat menekan peningkatan ICP dengan vasokonstriksi serebral serta meningkatkan aliran darah ke jaringan mengalami kekurangan suplai oksigen karena penurunan dari vasoreaktifitas, selain itu efek lainnya yseperti stabilisasi plasma dan membran lisosom serta penurunan eksitoksisitas dari asma amino dan konsentrasi kalsium intraseluler juga menunjang efek pencegahan kerusakan sel otak. Penggunaan barbiturat ternyata tidak memberikan peningkatan terhadap efek keluaran pada pasien dengan cedera kepala berat. Efek samping penggunaan barbiturat antar lain penuruan motilitas GIT, penurunan mekanisme proteksi seperti batuk dan muntah, dan imunosurpresi sehingga terjadi peningkatan resiko komplikasi paru-paru seperti pneumonia, penggunaan pentobarbital dosis tinggi dapat menyebabkan depersi miokardial sehingga memerlukan penggunaan vasopressor untuk mempertahankan BP dan CPP. Loading dose: 10 mg/kg pentobarbital IV selama 30 menit dilanjutkan dengan 5 mg/kg/hr x 3 jam IV, rumatan: 1-3 mg/kg/hr secara terus menerus dititrasi untuk surpresi bust EEG 10-12 detik. Peningkatan suhu dapat menyebabkan gangguan dari metabolisme, menganggu BBB, dan meningkatkan neurotransmiter eksitasi dan radikal bebas yang memicu peningkatan dari ICP, selain itu peningkatan temperatur berperan pada peningkatan pelepasan sitokin dan memperburuk keluaran pada pasien TBI. Tindakan hipotermia ditujukan untuk menekan aktifitas otak sehingga terjadi penurunan uptake glukosa dan penurunan proses metabolisme sehingga dapat mencegah peningkatan ICP, namun pada beberapa studi tidak terdapat peningkatan keluaran yang signifikan pada pasien yang telah dilakukan hipotermia. Efek samping hipotermia adalah gemetar, disritmia, dan peningkatan viskositas darah

Nutrisi pada TBI Nutrisi pada pasien TBI sangat penting karena pasien-pasien dengan TBI pada umumnya mengalami hipermetabolisme dan hiperkatabolik sehingga memerlukan dukungan nutrisi baik
29

enteral maupun parenteral. Pemberian parenteral dihubungkan dengan faktor hiperglikemia dan peningkatan dari resiko infeksi. Pemberian nutrisi enteral dini memiliki efek menjaga integritas mukosa GIT dan mengurangi respon hipermetabolik dan dapat memperbaiki kompetensi sistem imun sehingga mengurangi tingkat komplikasi kalori: 25-35 kkal/kg/hari protein: 2-2,5 g/kg/hari cairan: 30-40 ml/kg/hari elektrolit
o o o o o

Na+ : 100-120 mEq K+ : 80-120 mEq Ca+ : 4-10 mEq Mg+ : 12-15 mEq PO4 : 10-15 mEq

Suplementasi vitamin Glukosa 600-900 g

VIII. Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul antara lain: Imunosurpresi Koagulopati Gangguan elektrolit Deplesi cairan
30

Resiko infeksi Kejang

DAFTAR PUSTAKA 1.

31

32

Anda mungkin juga menyukai