Anda di halaman 1dari 3

Abstrak

Ada beberapa kaidah-kaidah yang harus diperhatikan dalam ushul Iiqih, yang daripadanya
akan memberikan arahan dan aturan-aturan dalam usaha menggali dan menetapkan hukum-
hukum Islam. Diantaranya adalah ta`wil, nasakh, muradiI dan musytarak. Ta`wil menurut
Ushul Iiqh seperti disimpulkan Adib Sholeh, berarti pemalingan suatu laIal dari maknanya
yang zahir kepada makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh laIal itu. Nasakh diartikan pembatalan
hukum sayara` yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaI dengan hukum syara` yang
sama yang datang kemudian.. MuradhiI adalah laIal yang hanya mempunyai satu makna,
jumhur ulama` menyatakan bahwa mendudukan dua muradiI pada tempat yang lain
diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara`. Sedangkan musytarak laIal
yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur ulama memperbolehkan penggunaan
musyatarak menurut arti yang dikehendaki atau berbagai makna.
Kata Kunci: Ta`wil, nasakh, muradiI dan musytarak
Pendahuluan
Seperti yang telah diungkapkan di atas tadi bahwa kaidah-kaidah akan memberikan arahan
dan aturan dalam menggali dan menetapkan hukum Islam. Ada beberapa kaidah-kaidah yang
harus diperhatikan dalam ushul Iiqih , yang akan memberikan arahan dan aturan-aturan
dalam usaha menggali dan menetapkan hukum-hukum Islam. Diantaranya adalah ta`wil,
nasakh, muradiI dan musytarak. Karena itulah kiranya diperlukan penjelasan-penjelasan lebih
lanjut mengenai pengertian, macam-macam ta`wil, nasakh, muradiI dan musytarak.

C. MuradhiI
1. Pengertian
MuradhiI adalah laIal yang hanya mempunyai satu makna (Usman: 1996, hal. 64).
2. Kaidah Yang Berkaitan Dengan MuradhiI
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhiI pada tempat yang lain
diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara`. Kidahnya:
=~ _ ' = -= -- ' ~ ' =- =`' '~ - ~' ~' ~ . _'- - ' .
'Mendudukkan dua muradhiI itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak
ditetapkan oleh syara`.
Al-Qur`an adalah mukjizat, baik dari sudut laIal maupun maknanya , karena itu tidak
diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiah menyatakan bahwa takbir shalat tidak
diperbolehkan kecuali 'Allahu Akbar, sedang Imam SyaIi`i hanya memperbolehkan 'Allahu
Akbar atau 'Allahul Akbar sedangkan Abu HaniIah memperbolekan semua laIal yang
semisal dengannya, misalnya ' Allahul A`dhom 'Allahul Ajal dan sebagainya (Usman:
1996, hal. 65).
D. Musytarak
1. Pengertian
LaIadz Musytarak adalah laIadz yang mempunyai dua makna atau lebih (Usman:1996. hal,
64). LaIadz musytarak adalah laIadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan
yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian. Artinya laIadz itu bisa
menunjukkan arti ini dan itu. Seperti laIadz a`in, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber
mata air, dan mata-mata. LaIadz quru` menurut bahasa bisa berarti suci atau haid. Begitu juga
dengan laIadz sanah dan yadun (Halimuddin: 2005. hal, 221)
2. Penggunaan LaIadz Musytarak
Jumhur ulama dari golongan SyaIi`i, Qodli Abu bakar, dan Abu Ali
Al-jaba`i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki. Atau
berbagai makna. Kaidahnya:
= - - -'~ ' - - ~ = ~~ ' .'~ ~'
'Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya yang
diperbolehkan '.
Misalnya Iirman AllahSWT:
=~' .' = ' =- ' ~- ' ~ ~ ' `' ~ ' ~~ ' ~ ~ =~- -' ' '
18: _=' ) ' - ' ~ - ` -' ~ ' )
'Apakah kamu tiada mengetahui, kepada Allah bersujud aopa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang, yang melata dan sebagian besar daripada
manusia (Qs. Al-Hajj: 18).
Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan mengarahkan wajah pada tanah,
ataupun bersujud berarti kepatuhan (inqiyad). Kiranya pengggunaan kedua makna ini
diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon dan sebagainya, dan penggunaan makna sujud dengan
menghadapkan wajah pada tanah bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain
penggunaan laIadz musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya (Usman: 1996,
hal. 65-66).
3. Sebab Adanya Musytarak
Sebab adanya laIadz musytarak dalam bahasa itu karena beberapa kabilah kabilah atau
suku-suku yang mempergunakan laIadz-laIadz itu untuk menunjukkan satu pengertian.
Beberapa kabilah yang dimaksud dengan tangan ialah seluruh harta yang lain mengatakan
ialah lengan dan telapak tangan, yang lain mengatakan hanya telapak tangan saja. Menurut
catatan bahasa orang berpendapat bahwa perkataan dalam bahasa arab yaitu laIadz Musytarak
mempunyai 3 arti yaitu: Diantarnya orang menempatkan laIadz itu diatas berbentuk hakiki.
Sudah itu orang enggunkan dengan bentuk lain yaitu majazi kemudian ada pula orang yang
mempergunakan laIadz ini bermakna majazi inilah yang banyak dipakai orang sehigga orang
lupa bahwa dia adalah majazi (KhallaI:2005, hlm 222).
Musytarak adalah isim (kata benda) seperti yang dikatakan diatas.Apabila laIadz-laIadz
musytarak terdapat pada nash syar`i, bersekutu dengan makna lughawi dan makna istilahi
maka orang harus memilih yang dimaksud dengan istilahi syar`i. LaIadz shalat menurut
istilah bahasa artinya do`a dan menurut istilah artinya ibadah tertentu berbunyi: Dirikanlah
olehmu sembahyang.Yang dimaksud disini menurut syar`i ialah ibadat tertentu bukan
makna lughawi yang berarti Do`a (KhallaI: 2005, hlm 222).

kLSlMuLAn
Ta`wil adalah pemalingan suatu laIal dari maknanya yang zahir kepada makna lain yang
tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang
dimaksud oleh laIal itu.
Nasakh diartikan pembatalan hukum syara` yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaI
dengan hukum syara` yang sama yang datang kemudian.
MuradhiI adalah laIal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama` menyatakan
bahwa mendudukan dua muradiI pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak
dicegah oleh pembuat syara`.
Sedangkan musytarak laIal yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur ulama
memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang dikehendaki atau berbagai makna
sesuai proporsinya.
Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna menggali dan
menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.

DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 2003. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja GraIindo Persad.
Amir, DjaIar. 1968. Ushul Fiqih. Semarang: CV. Toha Putera.
EIIendi, Satria & Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
KhallaI, Abdul Wahhab.1994. Kaidah- kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh).
Terjemahan Noer Iskandar. Jakarta: PT Raja GraIindo Persada.
KhallaI, Abdul Wahhab.2005. Ilmu Ushul Fiqih .Terjemahan Halimudin Jakarta: PT Renaka
Cipta.
SyaIe`i, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Usman, Muhsin. 1995. Kaidah kaidah istinbath hukum Islam, Kaidah kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja GraIindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai