Human Trafficking Ind
Human Trafficking Ind
ONDISI masyarakat Aceh yang merupakan korban konflik dan sekaligus korban tsunami sangat rentan dengan kondisi apapun. Apalagi, situasi ini terkadang diperparah dengan terpuruknya kondisi ekonomi, sosial dan pendidikan. Himpitan kehidupan ini kemudian menimbulkan masyarakat untuk mencari jalan keluar dengan melakukan segala daya upaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dalam pemenuhan itu, kadang kala mereka tidak memikirkan dampak dari apa yang mereka kerjakan. Yang penting bagi mereka, hidup harus terus berjalan. Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pihak-pihak terkait. Tidaklah mengherankan jika korban trafiking terus berjatuhan, bahkan, rentetan korban demi korban masih mungkin akan terus bertambah. Karenanya, untuk mencegah bertambahnya korban yang lebih banyak lagi terhadap masyarakat khususnya masyarakat Aceh, masyarakat perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan trafiking. Human Trafficking Apa itu Human Trafficking? Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Tabel dibawah ini, yang disarikan dari Definisi PBB diatas, adalah alat yang berguna untuk menganalisis masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafiking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat dikatakan sebagai trafiking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan.
Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya adalah trafiking. Faktor Penyebab Trafiking Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking manusia di Indonesia atau di Aceh. Trafiking terjadi karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antar lain: 1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban. 2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut 3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua 4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas 5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking. Lantas apa yang harus dilakukan seseorang jika dia merasa sudah terjebak dalam kasus trafiking. Dijelaskan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrim Polda NAD, Inspektur satu (Iptu) Elviana, jangan pernah takut untuk melaporkan kejadian trafiking. Baik korban maupun masyarakat yang mengetahuinya, harus segera melaporkan. Laporan dapat disampaikan kepada aparat kepolisian di tingkat Polsek atau Polres. Oleh karena itu, menurutnya saat ini aparat kepolisian di seluruh tingkatan telah dilatih untuk menangani kasus-kasus yang menimpa perempuan dan anak, meskipun di kantor-kantor tersebut tidak memiliki polisi wanita (Polwan), tetapi penanganan khusus untuk perempuan dan anak tetap dapat dilakukan oleh polisi laki-laki. Meskipun kasus trafiking tidak didominasi oleh korban dari pihak perempuan dan anak, ada kecenderungan korban trafiking adalah perempuan dan anak. Di kepolisian, sebut Iptu Elviana, sudah ada unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri No.10 Tahun 2007 tertanggal 6
Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website IDLO di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM
INDONESIA
dengan IDLO