Anda di halaman 1dari 8

BAB I

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami ucapakan. Segala puji bagi Allah swt.yang telah
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah kami ini dan atas
nikmat-NYA pula kita masih dapat sama-sama berkumpul di tempat dan waktu
yang sama ini.
Shalawat beriring salam tak lupa kami hanturkan kepada Nabi Muhammad
saw.yang telah mengangkat derajat kaum muslim dalam berbagai bidang,
khususnya dalam bidang pendidikan. Dan kelurga serta sahabat Rasul semoga di
ridhoi Allah swt.
Kami sangat yakin bila dalam penulisan makalah kami ini masih banyak
terdapat kekurangan karena ibarat pepatah Tak ada gading yang tak retak maka
kami mohon maaI atas segala kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam
penyajian makalah ini.
Akhir kata, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan
sekalian dan khususnya dari dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqhiyah
yaitu Bpk. Drs. Sapiudin Sidiq, M.Ag.
Robbi Zidni Ilman war Zuqni Fahma
Jakarta, April 2009
Pemakala
h
1
PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi
abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa UIrajah,
seorang sahabat Nabi saw.kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan
hidung palsu seperti perak. Hidungn buatannya itu kemudian menimbulkan bau
yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw.kemudian Nabi
menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.1
Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah
terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah
dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing
lain. Sampai pada akhirnya, ProI. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya
dari AIrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan
pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia
54 tahun.
Sedangkan tranpusi darah pertama kali dilakukan oleh Dr. James Blundell
pada tahun 1818 dari RS. St. Thomas and Guy. Ia berhasil melakukan transIuse
darah dari manusia ke manusia setelah ia berhasil menemukan alat transpusi darah
secara langsung.
Begitulah singkatnya sejarah mengenai transplantasi organ tubuh dan
transpusi darah. Dan sampai sekarang masih dilakukan di dunia kedokteran di
berbagai penjuru dunia.
Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan)organ tubuh dan
transpusi darah, maka pada kali ini pembahasan makalah mata kuliah Masail
Fiqhiyah ini adalah mengenai permasalahan hukum pencangkokan jantung,
ginjal, mata, transpusi darah dan bedah mayat.
BAB II
1 Abu Dawud Sulayman ibn al-Asyats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah
al-Nabawiyah,t.t), Kitab al- Khatim, hadis no.4232, vol.2, hal.92.
2
PEMBAHASAN
A. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) 1ANTUNG, GIN1AL, MATA
Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai
daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berIungsi lagi dengan baik.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini
adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tersebut sangat penting
Iungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.
Orang yang menderita penyakit mata, ginjal, dan jantung, tentu
mengharapkan uluran tangan dari para donor, yaitu donor mata, ginjal, dan
jantung.. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan
orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.
Hukum Pencangkokan Jantung, Ginjal, Mata
Masalah pencangkokan jantung biasanya dilakukan pada oaring dewasa,
yang pada umumnya sudah berumur 40-50 tahun. Yaitu penderita yang pernah
terserang demam rematik atau penyakit khas lainnya, yang berakibat terjadinya
penyakit jantung.
Pada dasarnya, agama Islam membolehkan pencangkokan jantung pada
pasien sebagai salah satu upaya pengobatan penyakit, yang sebenarnya dianjurkan
dalam Islam.
Masalah donor mata, terjadi dua pendapat di kalangan Iuqaha. Ada yang
mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakan
alasan masing-masing; seperti:
1) Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada
hadist yang Artinya: Sesungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyakkoyak),
seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecah tulangnya di
waktu ia masih hidup. H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang
bersumber dari Aisyah.
2) Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat
3
(kebutuhan) orang yang buta untuk melihat. Maka perlu ditolong agar
dapat terhindardari kesulitan yang dialaminya, dengan cara donor mata
dari mayat. Berdasarkan pada qaidah Iiqhiyah yang berbunyi:
...... .... .......
Artinya: 08ulitan (yang dialami manu8ia), bol0h diupayakan untuk
m0ndapatkan k0mudahan.
Dan ayat al-Quran memberikan petunjuk umum yang terdapat pada ayat
yang artinya berbunyi: .dan Dia (Allah) 80kali-kali tidak
m0nfadikan 8uatu k08ulitan untuk kamu dalam agama. (Q.S. al-Hajj
:78)
Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari
manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh
kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila dicangkokan kepada
pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan dan bahkan
darurat. Kedua alasan inilah yang membolehkannya, sebagaimana qaidah Iiqhiyah
diatas. Namun, ulama hukum Islam masih memperdebatkan mengenai ginjal yang
diambil dari binatang (babi).2
Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ
merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatiI medis modern tidak ada
perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam
simposium Nasional II mengenai masalah Transplantasi Organ yang telah
diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di
arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil
dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari
berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut
juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; !7in8ipnya, ma8lahat o7ang
yang hidup l0bih didahulukan. selain itu KH. Ali YaIie juga menguatkan bahwa
ada kaedah ushul Iiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi
yaitu hu7matul hayyi adhamu min hu7matil mayyiti (kehormatan orang hidup
2Drs. H.Mahjuddin, M.pd.I, a8ailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, cet.ke-7, hal.140
4
lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.).3
Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam
diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : !07tama : Penanaman
jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. 0dua : Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian
tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi
penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil
pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh
berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian
tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab.
Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari
orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut
diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.
Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat
mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak.
Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan Iirman Allah Swt dalam al-
Quran surat Al-Baqarah:195, An-Nisa:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan
menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam
pelanggaran.
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain
yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh
ganda diantaranya ginjal atau kulit. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan
selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur
jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya
tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
3E:\semesterVI\link-2\S0fa7ah T7an8planta8i dan hukum dono7 fa7ingan tubuh m0nu7ut i8lam
Manusia biasa.htm
5
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan
tidak boleh diperjual belikan.
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai
alternatiI peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benarbenar
darurat.
4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat
besar.
Dalam buku Fatwa-Iatwa Kotemporer Dr. YusuI Qharhawi mengatakan
adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim
tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentiIikasi sebagai Islam
atau kaIir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya
sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh
dipindahkan dari orang kaIir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari
wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi
hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan
orang muslim yang mengambil senjata orang kaIir dan mempergunakannya
untuk berperang Ii sabilillah.
. TRANSPUSI DARAH
TransIusi darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke
dalam system peredaran darah seseorang yang lain (resipien).
Menurut Dr. Rustam Masri, transIusi darah adalah proses pekerjaan
pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan
untuk:
Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang
darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi,
kecelakaan dan sebab lainnya. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit
untuk menambah/membawa zat asam.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan
donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena
6
menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang
sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan
jiwa manusia, sesuai dengan Iirman Allah: dan ba7ang 8iapa yang m0m0liha7a
k0hidupan 80o7ang manu8ia, maka 80olah-olah ia m0m0liha7a k0hidupan
manu8ia 80muanya. (QS. Al-Maidah:32).
Hubungan Antara Donor Dengan Resipien (Penerima)
TransIusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor
dan resipien. Karena itu, jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan
perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama Islam. Sebagaimana tersebut
dalam An-Nisa:23, yaitu: ah7am ka70na adanya hubungan na8ab. Misalnya
hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena
adanya hubungan p07kawinan misalnya hubungan antara seorang dengan
mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan
mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang
dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan
sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain
wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab
tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transIusi darah tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena
itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Hendaknya diingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transIusi
darah ini, maka akan ada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus
diperhatikan pengaruhnya, misalnya setiap donor harus terhindar dan bebas dari
segala macam penyakit yang dapat mengganggu kesehatan resipien.
Hukum Transpusi Darah
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah
itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya. Para
resipien hendaknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama
7
dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah
mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut.
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat
dalam kaidah hukum Islam berikut:
.... .. ...... ...... ... ... ...... ... .......
Bahwa pada p7in8ipnya 80gala 808uatu itu bol0h(mubah), k0.uali ada
dalil yang m0ngha7amkannya.
Berdasarkan kaidah diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan,
karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Namun
demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas
lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya
diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien,
maka akhirnya menjadi terlarang. maka berarti transIusi darah diperbolehkan,
bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan
Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transIusi darah itu berkaitan
dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus
dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah Iiqih seperti: Adh-Dha7a7u Yu:al
(Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit
harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., Ad-Dha7a7u La Yu:alu Bidha7a7i
it8lihi (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya
seorang yang memerlukan transIusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau
operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa
mendatangkan bahaya lainnya yang lebih Iatal. Dan Kaedah La Dha7a7a wa La
Dhi7a7 (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain). Kaidah terakhir ini berasal dari hadits
riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
C. EDAH MAYAT
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat,
8
karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Bedah mayat tidak boleh
dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari
tubuh (perut) mayat. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi
mayat.
Diantara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah :
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2. Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.
3. Untuk kepentingan penegakkan hukum.
4. Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.
Hukum Bedah Mayat
Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan
dengan hukum Islam, agar orang yang melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu
dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
1. Menyelamatkan janin
Seorang wanita hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan
sebelum jelas betul atau sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga
meninggal, berdasarkan keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan
terhadap janin yang sudah berumur tujuh bulan atau lebih.
Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang didalam
rahimnya terdapat janin yang masih hidup.
2. Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat
Bedah mayat wajib hukumnya apabila dalam perutnya ada batu permata
(barang berharga) milik orang lain.
3. Menegakkan kepentingan hukum
Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab
kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan
tersebut, cukup menjadi alas an untuk membolehkan membedah mayat sebagai
bahan penyelidikan,
Karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah
Iiqhiyyah:
9
..... .. ....... .. ..... .. ......
Tidak ha7am bila da7u7at dan tidak mak7uh ka70na hafat
4. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang
susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori
dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap
manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat
yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanIaatkan ilmunya
kelak.
Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk
mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini
dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk
mensejahterakan umat manusia.
Sedangkan para ulama Iiqh, berbeda pendapat mengenai hukum bedah
mayat, sebagaimana terlihat pada uraian berikut:
OImam Ahmad 3 Hambal
Seorang yang sedang hamil kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya
tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar bahwa janin itu masih hidup.
OImam Syaf
Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia, dan ternyata janinnya
masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya.
OImam Mal
Seorang yang meninggal dunia, kemudian didalam perutnya ada barang
yang berharga, maka mayat itu harus dibedah.
OImam Ha3af
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah
untuk mengeluarkan janin itu.
10
BAB III
KESIMPULAN
Hukum permasalahan cangkok jantung, ginjal, dan mata sesungguhnya
diperbolehkan dalam Islam. Hanya saja asalkan tidak membahayakan bagi
pendonor maupun bagi penerima. Karena ulama sepakat pada qaidah Iiqh yang
artinya berbunyi 08ulitan (yang dialami manu8ia), bol0h diupayakan untuk
m0ndapatkan k0mudahan.
Masalah transpusi darah boleh saja tanpa mengenal batas bahwa
mentransIusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya,
11
demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah
sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia,
sebagaimana Iirman-Nya: dan 808ungguhnya ami m0muliakan anak .u.u Adam
(manu8ia). (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling
menolong dan menghormati sesamanya.
Sedangkan masalah hukum bedah mayat dibolehkan untuk beberapa
kepentingan, salah satunya yaitu untuk menyelamatkan janin yang masih hidup
namun Ibu yang mengandungnya sudah meninggal maka janin tersebut harus
diselamatkan.
PENUTUP
Akhirnya kami selesaikan penulisan makalah ini, kami mohon maaI
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan baik dalam
penulisan maupun dalam penyajiannya.
Kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari kawankawan
sekalian.
DAFTAR ISI
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih 080hatan. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta. Cet.ke-1. Agustus 2007
E:\semesterVI\link-2\S0fa7ah T7an8planta8i dan hukum dono7 fa7ingan
tubuh m0nu7ut I8lam Manusia biasa.htm
Mahjuddin. a8ail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia. 2003
Qardhawi, YusuI. Fatwa-fatwa ot0mpo707. Jakarta: Gema Insani Press
Zuhdi, MasyIuq. a8ail Fiqhiyah. Jakarta: PT Gunung Agung. 1987
12
.
13

Anda mungkin juga menyukai