Anda di halaman 1dari 9

Sunday, October 17, 2004

http://penentuanderajatluka.blogspot.com/2004/10/pembuktian-tindak-pidana.html
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM 1:48 AM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
Tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa manusia diatur dalam buku kedua KUHP. Dalam
tindak pidana ini sekurangnya ada tiga benda yang terkait langsung dengan tindak pidananya,
yang kita kenal sebagai BARANG BUKTI, yaitu korban, pelaku, dan alat atau senjata. Korban
dan pelaku adalah barang bukti biologi sedangkan alat merupakan barang bukti non biologis.
Barang bukti biologi berbeda dengan barang bukti non biologis dalam hal sbb:
Berbeda dengan barang bukti non-biologis yang tidak berubah menurut waktu, barang bukti
biologis akan berubah menurut waktu. Suatu luka akan berubah, sembuh dan menjadi jaringan
parut atau malah menjadi borok. Sebagai suatu barang bukti, keadaan awal luka ini harus
didokumentasi oleh seseorang ahli (yaitu dokter) untuk dijadikan alat bukti di Pengadilan.
Pemeriksaan oleh dokter ini kita kenal sebagai pemeriksaan Iorensic dan hasil dokumentasi dari
pemeriksaan ini yang kita kenal sebagai Visum et Repertum.

Dalam hal suatu luka terjadi pada tubuh seorang manusia, maka timbul masalah susila karena
tidaklah etis mempertunjukkan bagian tubuh yang terkena cedera kepada orang-orang di
Pengadilan, meskipun yang dipertunjukkan adalah bukti tindak pidana. Dokter sebagai proIesi
pemeriksa manusia, berperan mewakili sebagai pemeriksa korban, sehingga yang disajikan di
Pengadilan hanyalah hasil pemeriksaan dan pendapat dokter, bukan korbannya sendiri.
Proses penyitaan terhadap barang bukti non-biologis tidak dapat dilakukan karena korbannya
sendiri harus kembali ke keluarganya dan menjalani aktiIitasnya seperti semula sampai saatnya
kasusnya diproses di Pengadilan. Pemeriksaan oleh dokter pada Iase sedini mungkin setelah
kejadian, akan mempercepat proses pengembalian korban ke lingkungan keluarganya.
Atas dasar ketiga argumentasi tersebut maka dokter yang diminta oleh penyidik untuk
memeriksa korban berkewajiban mencatat segala perlukaan seakurat dan sedetil mungkin, serta
mengumpulkan berbagai bukti tindak pidana lainnya yang terdapat pada tubuh korban, membuat
laporan dsalam bentu Visum et Repertum (VER) dan menyerahkan VERnya ke penyidik
pengirim SPV.

Prinsip Locard menyatakan bahwa pada setiap kontak Iisik yang terjadi antara dua benda akan
menyebabkan tertinggalnya bekas pada masing-masing benda yang berkontak tersebut. Dalam
hal tindak pidana, prinsip ini menyebabkan terjadinya kaitan atau hubungan antara ketiga barang
bukti yang ada, sehingga secara skematis akan melahirkan suatu konsep yang kita kenal sebagai
SEGITIGA BUKTI. Segitiga bukti merupakan segitiga yang terbentuk akibat hubungan timbal
balik (interrelasi) antara korban, pelaku dan alat (yang masing-masing merupakan sudut segitiga)
yang saling berkontak pada saat terjadinya tindak pidana. Di pusat segitiga tersebut terdapat TKP
yang juga mempunyai interrelasi dengan ketiga barang bukti tersebut. Lihat gambar 1.
Adanya kaitan antara ketiga barang bukti dan TKP ini harus dievaluasi oleh siapa saja yang
melakukan pemeriksaan terhadap salah satu barang bukti. Sebagai contoh, seotrang dokter yang
memeriksa korban tindak pidana, selain memeriksa luka pada tubuh korban, ia juga harus
mencari tanda kontak korban dengan pelaku (kerokan kuku, rambut yang terenggut saat
pergumulan), alat (jenis senjata, perkiraan bentuk dan ukuran senjata) serta TKP (adanya rumput
atau Lumpur pada tubuh). Pembuktian adanya kaitan antara ketiga barang bukti dan TKP ini
dilakukan di Pengadilan. Pembuktian yang sempurna akan menyebabkan terbentuknya Segitiga
Bukti, yang nakan membuat hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut benar
terjadi dan benar terdakwalah yang bersalah.
Pembuktian Segitiga Bukti ini merupakan hal yang amat penting karena merupakan salah satu
dasar penjatuhan vonis oleh Hakim. Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa Indonesia
menganut sistem pembuktian negatiI (negatieI wettelijk beweijstheorie). Pasal ini menyatakan
bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurangnya dua alat bukti yang
sah, ia memperoleh keyakinan bahwa benar terjadi tindak pidana dan benar terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Alat bukti yang dimaksud oleh pasal tersebut adalah alat bukti
sebagaimana dinyatakan oleh pasal 184 KUHAP, yang menyatakan: Alat bukti yang sah adalah
1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa.
Dalam pembuktian tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa manusia, dokter mempunyai andil
yang besar, karena ia dapat memberikan:
Alat bukti yang sah: dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap korban, pelaku ataupun alat, dapat
menghasilkan produk berupa alat bukti surat (Visum et Repertum, hasil pemeriksaan
laboratorium), dan keterangan ahli di Pengadilan.
Keyakinan hakim: dengan melakukan pemeriksaan terhadap TKP, korban, pelaku atau alat,
dokter dengan kesaksiannya dapat membantu hakim merekonstruksi Segitiga Bukti, yang
menjadi dasar dari timbulnya keyakinan hakim. Dengan keyakinan hakim inilah, maka hakim
dapat menjatuhkan vonis yang seadil mungkin.














Sabtu, 22 Agustus 2009
http://mikirkritis.blogspot.com/2009/08/status-quo-tkp-sebagai-titik-awal-dari.html
STATUS QUO TKP SEBAGAI TITIK AWAL DARI PENYIDIKAN PERKARA PIDANA
SECARA ILMIAH (CRIMINAL SCIENTIFIC INVESTIGATION)
Semakin tinggi kesadaran tentang hak azasi manusia, semakin tinggi pula tuntutan peningkatan
kinerja kepolisian dalam hal penegakkan hukum. Penegakkan hukum secara proIessional,
proporsional, procedural, modern, dan humanis menjadi sesuatu yang harus dipenuhi oleh Polri
dalam mengemban tugasnya. Berat memang, namun itulah amanat undang-undang dan tuntutan
proIesi sebagai aparat negara penegak hukum sekaligus penjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat (kamtibmas).

Secara terminology, ProIesional berarti mumpuni atau mahir di bidang pekerjaan yang digeluti.
Orang yang bekerja secara proIessional akan melakukan pekerjaannya sesuai aturan dengan
sungguh-sungguh, tulus, senang hati hingga menghasilkan suatu target terbaik yang diharapkan.
Modern, berarti mengikuti trend teknologi terkini, up to date dan tidak ketinggalan zaman.
Modern disini bukan hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dasar melainkan mampu mengikuti
perkembangan zaman dengan penyesuaian yang positiI baik dari segi ilmu pengetahuan,
teknologi, cara berpikir dan cara bertindak. Sedangkan humanis berarti menghormati rasa
kemanusiaan sehingga tidak ada pelanggaran hak azasi manusia (HAM).

Pembuktian sebagai tolok ukur profesionalitas penyidikan

Membuktikan adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan
atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran
suatu peristiwa yang terjadi.

Hukum Pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-
macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat
dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian. (Drs. Sasangka,SH, MH, dan Lily Rosita, SH, MH, dalam Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana, hal 10, Bandung, 2003)

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi
2. keterangan ahli
3. surat
4. petunjuk
5. keterangan terdakwa

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan
persidangan adalah :
a. Bagi PU, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan
alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan
dakwaan.
b. Bagi terdakwa atau penasehat hokum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk
meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa
dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hokum atau meringankan pidananya. Untuk itu
terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang
menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yanga da
dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hokum/ terdakwa
dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Dalam pemeriksaan suatu perkara, penyidik meminta keterangan dari saksi, tersangka dan ahli
(dalam kasus tertentu). Seluruh keterangan tersebut adalah dalam rangka untuk mengumpulkan
Iakta-Iakta hukum guna mendukung pembuktian. Namun dari keterangan saja tidak cukup untuk
membuktikan suatu perbuatan, karena keterangan manusia bisa berubah. Manusia bisa saja
berbohong pada saat memberikan keterangan kepada penyidik, dengan berbagai alasan. Hal itu
akan menjadi Iatal jika tersangka mengingkari keterangannya yang telah diberikan kepada
penyidik dan para saksi turut merubah keterangannya pada saat di persidangan. Jika bukti lain
tidak mendukung maka tersangka/ terdakwa akan bebas, dan itu berarti akan melukai rasa
keadilan di masyarakat. Untuk itulah penyidik dituntut mampu melakukan penyidikan perkara
dengan pembuktian yang benar-benar berkualitas, dengan Iakta yang tak terbantah sehingga
mampu menggiring tersangka untuk memberikan keterangan dengan benar dan bertanggung
jawab.

Alat bukti yang diajukan penyidik kepada jaksa penuntut umum digunakan sebagai dasar dan
bahan pendukung dalam menyusun dakwaan dan tuntutan. Jika alat bukti yang diajukan tingkat
akurasinya tinggi dan dapat diterima serta dijelaskan secara ilmiah, maka hal itu akan
memudahkan jaksa dalam memberikan dakwaan dan tuntutan. Alat bukti yang diterima dari
penyidik dan kemudian diajukan jaksa di muka siding pengadilan, dapat mempengaruhi
keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara. Vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa
inilah yang ditunggu masyarakat pencari keadilan, apakah mampu memenuhi atau bahkan
melukai rasa keadilan. Tampaklah disini bahwa pembuktian yang berkualitas menunjukkan
proIesionalitas penyidikan yang akan menentukan pemenuhan rasa keadilan dan
mempertahankan martabat hukum di mata masyarakat.


Status quo TKP sebagai titik Awal Pembuktian Ilmiah

Status Quo TKP adalah kondisi tempat kejadian perkara (TKP) yang masih asli sebagaimana
pada saat pelaku beraksi, atau sesaat setelah pelaku beraksi dan meninggalkan TKP. Status quo
menjadi penting karena dari sinilah awalnya polisi mendapatkan petunjuk dan gambaran tentang
bagaimana suatu tindak pidana terjadi dan bagaiana cara pelaku melakukan kejahatannya. Maka
wajib bagi siapapun terutama anggota Polri yang pertama kali mendatangi TKP untuk
mengamankan TKP sampai petugas identiIikasi / petugas olah TKP datang. Secara umum
pengamanan TKP adalah dengan cara memasang garis polisi (police line) di TKP dan area di
sekitar TKP yang memungkinkan akan ditemukannya barang bukti. Selain bertujuan untuk
mengamankan TKP, pemasangan police line juga bertujuan untuk menghalau massa agar tidak
berkerumun di TKP.

Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hokum penyelesaian perkara pidana, sejak
penyidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah
berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.
Walaupun pembuktian perkara pidana terIokus pada proses kegiatan pembuktian di siding
pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat
penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses
perkara pidana oleh Negara. ( Adami Chazawi, 2006,Hukum Pembuktian TP Korupsi, hal 13)

Menurut Drs. Adami Chazawi, SH, MH, yang dimaksud dengan mencari bukti sesungguhnya
adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat
bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian diilai oleh
pejabat penyelidik untuk menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan asuatu
peristiwa yang diduga tindak pidana atau tidak. Bagi penyidik, bukti yang terdapat dari alat bukti
itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan
tersangkanya.

Pada saat mendatangi TKP, kemudian melakukan olah TKP, mengamankan barang bukti,
mengumpulkan Iakta dan petunjuk, maka petugas polri sudah secara otomatis menyusun
hypotessa / dugaan yang mengarah kepada siapa pelakunya dan bagaimana cara perbuatan itu
dilakukan. Untuk itu pengamanan TKP harus dilakukan dengan baik untuk menjaga agar TKP
tidak rusak atau berubah. Mengapa demikian? Ada dua alasan, pertama karena TKP merupakan
gudangnya bahan bukti yang menghubungkan dengan pelaku, dan kedua jika TKP rusak maka
tidak dapat dikembalikan pada kondisi awal/ kondisi semula. Maka dapatlah disimpulkan bahwa
status quo TKP dapat menjadi titik awal (starting point) pembuktian secara ilmiah dalam proses
penyidikan perkara pidana.

Tidak jarang pada saat petugas tiba di TKP, kondisinya sudah berubah atau sudah tidak dalam
keadaan status quo. Hal ini tentu bisa menjadi hambatan bagi upaya pengungkapan kasus, karena
hal sekecil apapun di tempat kejadian dapat menjadi petunjuk atau alat bukti yang bernilai tinggi
dalam pembuktian.

Hambatan bagi terjaganya Status quo TKP

1. Pemahaman anggota Polri dan masyarakat masih minim.
Tidak perlu dipungkiri bahwa kenyataannya masih ada anggota Polri yang kurang memahami
pentingnya status quo, sehingga pada saat pertama kali tiba di TKP melakukan tindakan yang
salah dan dapat merusak atau menghilangkan bukti di TKP, seperti misalnya sidik jari latent.
Masyarakat awam banyak yang tidak tahu tentang status quo TKP.

2. Rasa ingin tahu masyarakat mengabaikan status quo.
Seringkali masyarakat yang ingin tahu atau ingin menyaksikan suatu kejadian datang ke TKP
berbondong-bondong dan berkerumun di TKP. Sudah bisa ditebak apa akibatnya bukan?

3. Bencana alam.


Faktor yang mendorong/ mendukung terjaganya status quo TKP

1. Respon positiI polisi pada saat penerimaan laporan sehingga dapat bergerak cepat dan tepat
dalam pengamanan TKP (quick respon).

2. Kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan suatu kejadian tindak pidana dan mampu
menjaga status quo TKP sampai petugas polri datang.

3. Kemampuan polisi yang pertama kali datang ke TKP untuk melakukan tindakan pertama di
TKP (TPTKP) utamanya dalam mengamankan TKP.

4. Masyarakat di sekitar TKP yang ingin tahu tidak berkerumun di TKP, melainkan di area aman
di luar garis polisi.

Mengingat TKP adalah gudang barang bukti, maka sebanyak mungkin hal-hal yang terdapat di
TKP diIoto secara seksama dan dikelola dengan baik untuk keperluan pembuktian. Seiring
pemenuhan kebutuhan akan rasa keadilan yang berperikemanusiaan, pembuktian secara ilmiah
sudah menjadi keharusan dalam setiap proses penyidikan.

Pembuktian ilmiah meliputi bidang-bidang keahlian, antara lain:
1. IdentiIikasi (IotograIi dan daktiloscopy)
2. Kedokteran Iorensik
3. Dokumen Iorensik
4. Uji Balistik
5. Jihandak (penjinakan bahan peledak)
6. Teknologi InIormasi
7. dan lain-lain


Pembuktian ilmiah sebagai budaya humanis dalam penegakkan hukum

Sebagaimana disebutkan di atas, pembuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang
berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim
tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi. Ilmiah erat kaitannya dengan istilah
bahasa Inggris yaitu $.en.e (sains) yang dideIinisikan sebagai pengetahuan yang terorganisasi
yang didapatkan melalui observasi dan Iakta (oxford d.tonary). Atau dalam bahasa Arab 'Al
Ilmu` yang oleh para ulama dideIinisikan sebagai pengertian tentang sesuatu sesuai hakikatnya
Jadi, pembuktian ilmiah adalah cara membuktikan suatu peristiwa dengan menggunakan ilmu
pengetahuan yang terorganisasi sesuai Iakta untuk meyakinkan hakim tentang kepastian
kebenaran peristiwa yang terjadi.

Pembuktian secara ilmiah menghindari cara-cara kekerasan, intimidasi dan hal sejenis yang
kemungkinan dilakukan penyidik terhadap tersangka. Jika penyidik sudah memiliki bukti yang
cukup berbobot, maka proses pembuktian selanjutnya tidak terlalu sulit. Namun demikian, masih
ada penyidik yang terkadang mengabaikan pembuktian secara ilmiah ini dan lebih
mengutamakan mengejar pengakuan tersangka. Memang keterangan saksi dan keterangan
terdakwa di pengadilan adalah alat bukti yang sah di mata undang-undang, namun keterangan
manusia bisa berubah. Mungkin karena berbagai alasan seorang saksi atau terdakwa tiba-tiba
merubah keterangannya dimuka sidang pengadilan. Namun jika bukti yang didapat berupa benda
(dari TKP) maka benda inilah yang akan menerangkan suatu peristiwa, karena benda bersiIat
tetap.

Jika proses pembuktian yang dilakukan menggunakan pendekatan ilmiah (8.entf. approa.
maka hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah, hukum, dan kemanusiaan. Ini
akan menjadi budaya humanis dalam penegakkan hukum, karena tetap menghormati hak-hak
tersangka meskipun tersangka diduga kuat telah melanggar hak orang lain. Kalaupun nantinya
tersangka dihadapkan dimuka sidang pengadilan sebagai terdakwa, maka vonis yang dijatuhkan
hakim setimpal dengan perbuatannya. Dengan demikian setidaknya pemidanaan yang dijalaninya
dapat menimbulkan eIek jera (detteren.e effe.t).

Akibat NegatiI dari kurangnya penggunaan pembuktian ilmiah dalam penyidikan antara lain :

1. Orang yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka menjadi bebas
2. Karena kekurangan bukti ilmiah, penyidik akhirnya mengejar pengakuan tersangka, sehingga
bisa menghasilkan keterangan yang tidak obyektiI. Tersangka bisa saja memberikan keterangan
salah atau 'asal ngomong agar selamat sehingga menyebabkan penyidik salah tangkap, salah
prosedur dan hal lain yang dapat melanggara HAM.
3. Kepercayaan public atas kinerja aparat penegak hukum menurun
4. Mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara.
5. Tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat


Akibat positiI penggunaan pembuktian ilmiah antara lain :

1. Tidak melanggar HAM
2. Keterangan tersangka dan saksi tidak dapat dipermainkan/ dirubah seenaknya karena
dipengaruhi pihak lain, misalnya pengacara atau keluarganya.
3. Penyidik lebih proIessional dengan memperhatikan hal-hal kecil sejak pada proses cek TKP,
tidak melulu mengejar pengakuan tersangka dalam pemeriksaan, namun tersangka akan terpojok
dengan bukti yang dimiliki penyidik.
4. Mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara sehingga vonis yang dijatuhkan
sesuai dengan perbuatan terdakwa.
5. Memenuhi rasa keadlian masyarakat, baik bagi korban maupun tersangka sehingga hasil
kinerja lebih humanis.
6. Penyidik akan mengembangkan cara-cara ilmiah dalam penyidikan sehingga tidak pernah
ketinggalan teknologi (gaptek).
7. Kepercayaan publik meningkat.


Daftar Pustaka :


Undang-undang RI No. 8 th 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Drs. Sasangka,SH, MH, dan Lily Rosita, SH, MH, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Bandung, 2003.

Drs. Adami Chazawi, SH, MH, Hukum Pembuktian TP Korupsi, 2006.

JICA, Arti Penting Aktivitas Pengamanan TKP, Proyek Bekasi Proyek Peningkatan Aktivitas
Polisi Sipil, 2007.

(http://tigornomics.blog.Iriendster.com).


DeIinisi

Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah suatu tempat penemuan barang bukti atau
tempatterjadinya tindak pidana atau kecurigaan suatu tindak pidana, merupakan suatu
persaksian.Pengertian tempat kejadian perkara di dalam petunjuk lapangan No. Pol:
Skep/1205/IX/2000tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi 2 (dua)
yakni:a.

Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang ditimbulkannya. b.

Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana barang- barang
bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan.
ManIaat pemeriksaan TKP

1.Menentukan saat kematian.
2.Menentukan pada saat itu sebab akibat tentang luka
3.Mengumpulkan barang bukti.
4.Menentukan cara kematian.

2.3 Penanganan Tempat Kejadian Perkara
Ketika terjadi sebuah perisitiwa yang diduga adalah tindak pidana, maka penyelidik
atau penyidik melakukan tindakan berupa:
Tindakan Pertama di TKP (TPTKP)
Tindakan Pertama di TKP dilakukan setelah adanya:
Laporan
Pengaduan
Tertangkap tanga
Diketahui sendiri oleh PetugasTPTKP dilakukan dengan Standar Operasi dan Prosedur sebagai
berikut:
a.Pengamanan TKP
Police Line
Tanda-tanda
Pengawasan TKP
IdentiIikasi
b.Penanganan Korbana.

a.Ringan
b.Berat
c.Mati

Anda mungkin juga menyukai