Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, kerena berkat izin dan
karunianya jualah maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Integrasi Politik.
Makalah ini penulis susun sebagai salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah Sosiolagi dan Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Yayasan Pendidikan Prabumulih.
Dalam penulisan makalah ini penulis sangat berupaya dengan semaksimal
mungkin. Kepada semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu demi kesempurnaan makalah ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Akhir kata penulis juga menyadari bahwa sesungguhnya manusia itu tidak pernah
lepas dari kesalahan, kekurangan, dan kehilaIan. Begitu juga dengan penulis yang masih
banyak mengalami kesalahan dalam menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penulis
sangat membutuhkan sumbangan pikiran, saran dan kritik yang siIatnya membangun
guna menyempurnakan makalah ini.


Prabumulih, Juni 2011

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara
seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan
kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan
Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu
diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan,
baik di pusat maupun di daerah.

1.2. BATASAN MASALAH
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1. Bagaimana Pengertian Politik
2. Bagaimana Integrasi Nasional dalam perspektiI Sejarah Indonesia
3. Bagaimana Integrasi Nasional Indonesia di Kebijakan Kebudayaan

1.3.MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan penulisan ini diharapkan agar pembaca dapat membantu
perkembangan wawasan penalaran dan kepribadian agar memproleh wawasan yang luas
dan ciri ciri kepribadian yang diharapkan dari mahasiswa, khususnya berkenaan
dengan sikap dan tingkah laku manusia dalam menghadapai manusia manusia lain,
terhadap manusia yang bersangkutan secara timbal balik.


BAB II

POLITIK

2.1. PENGERTIAN POLITIK
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai deIinisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
O politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
O politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
O politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
O politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.

2.2. Teori politik


Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana
mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik
antara lain adalah IilsaIat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat,
kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan
politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia
antara lain: anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, Iasisme, Iederalisme,
Ieminisme, Iundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme,
komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme,
rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.
2.3. Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu
kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang
diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh
masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah
suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk
menjalankan Iungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa Iormal
maupun inIormal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang
politik.
Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu
dan kemudian menjalankan Iungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu
bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan
umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita
mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk
duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi
seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan
perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai
dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga

Ieodalistik (perilaku yang terpola secara Ieodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-
orang berdasarkan kelahiran atau proIesi sebagai bangsawan politik dan yang lain
sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang
banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan
perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai
bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan
yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan
dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan
individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun
dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang
berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional
diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan
peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi
internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang
berperan penting dalam politik internasional.
Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting,
karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang
dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa
membuat keputusan eIektiI, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik
cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power,
PBB menjadi relatiI lebih eIektiI untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai
tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk
mendapatkan dukungan atas inisiatiInya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB,
merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.
Untuk mengatasi berbagai konIlik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan
perdamaian dunia (peace keeping Iorce) yang bersiIat tetap dan berada di bawah

komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi
berbagai konIlik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap
yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah
operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama
saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusiI para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang
bisa menjadi aktor dan memengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun
lokal.
Masyarakat adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber
kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan
seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Negara
Negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan
pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas
merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konIerensi Montevideo pada tahun
1933.
2.4. Tokoh dan pemikir ilmu politik
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun
kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels,
Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo
Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci,
Harold Crouch, Douglas E Ramage.

Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari
Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
2.5.Perilaku politik
Perilaku politik atau (Politic Behaviour) adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik. Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku
politik contohnya adalah:
O Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
O Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik
atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga
swadaya masyarakat
O Ikut serta dalam pesta politik
O Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
O Berhak untuk menjadi pimpinan politik
O Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna
melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang
dasar dan perundangan hukum yang berlaku







BAB III
INTEGRASI NASIONAL
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH INDONESIA



3.1. Pengertian Integrasi Nasional

Integrasi Nasional pada hakikatnya adalah Pengertian bersatunya suatu bangsa yang
menempati wilayah tertentu integrasi calam sebuah negara yang berdaulat. Dalam
realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi
politik, aspek ekonomi (integrasi ekonomi, saling ketergantungan ekonomi antardaerah
yang bekerjasarna secara sinergjs), dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya,
hubungan antara suku, lapisan dan golongan).
Integrasi nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara. Melihat
keadaan dan kondisi dari Indonesia dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa diwujudkan
dengan mudah atau seperti membalikkan telapak tangan, ini semua disebabkan oleh
masyarakat Indonesia itu sendiri.
Secara umum integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orang-orang dari
berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial
budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa (nation) terutama karena
pengalaman sejarah dan politik yang relatiI sarna (Drake, 1989:16). Selanjutnya, dalam
menjalani proses pembentukan sebagai satu bangsa berbagai suku bangsa ini sebenarnya
mencita-citakan suatu masyarakat baru, yaitu sebuah masyarakat politik yang
dibayangkan (imagined political community) akan memiliki rasa persaudaraan dan
solidaritas yang kental, memiliki identitas kebangsaan dan wilayah kebangsaan yang
jelas serta memiliki kekuasaan memerintah (Anderson, 1983:15-16). Dalam tataran
integrasi politik terdapat dimensi yang bersiIat vertikal menyangkut hubungan elit dan
massa, baik antara elit politik dengan massa pengikut, atau antara penguasa dan rakyat
guna menjembatani celah perbedaan dalam rangka pengembangan proses politik yang
partisipatiI, dan dimensi horisontal, yaitu hubungan yang berkaitan dengan masalah
teritorial (Sjamsuddin, 1989:2).

Marilah kita lihat bagaimana proses pembentukan proses persatuan bangsa Indonesia
menurut pengalaman pembentuk sejarahnya. Bukan secara kebetulan bahwa masyarakat
yang kita cita-citakan terpampang dalam lambang negara dan bangsa Republik Indonesia
BHINNEKA TUNGGAL IKA, berbeda-beda namun satu jua. Semboyan ini berakar dari
sejarah pada masa kerajaan Majapahit, diangkat dari karya kakawin Sutasoma ciptaan
Empu Tantular, menggambarkan berkembangnya agama-agama, sekte-sekte agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda namun hidup berdampingan secara damai, karena
hakikatnya satu: menyembah Tuhan Sang Pencipta (Poerbatjaraka,1957:40-45).

Demikian pula dengan bangsa Indonesia yang Perbedaan berangkat dari suku Bangsa
yang beraneka ragam berikut dan banyak keberagaman lain yang melekat pada dirinya.
Kesamaan keberagaman, atau lebih lazim disebut perbedaan yang dimiliki bangsa ini
meliputi antara lain wilayah kepulauan yang demikian tersebar di antara kawasan-
kawasan laut di Nusantara, geograIi, ekologi, sistem mats pencaharian, ratusan budaya
etnis atau lokal, agama, kepercayaan, da:1bahasa (Wertheim, 1999:1-10;
Koenqaraningrat, 1971).
Di samping keberagaman atau perbedaan, berbagai suku bangsa di Indonesia juga
memiliki beberapa kesamaan :
O Pertama, adalah bahasa perhubungan antar suku dan antar bangsa (lingua Iranca),
yaitu bahasa Melayu yang dikenal dan digunakan oleh semua suku danorang-
orang asing yang mengunjungi seluruh kepulauan Indonesia, bahkan tE;.rsebar
hingga ke Asia Tenggara, pantai timur AIrika, Jazirah Arab, Asia Selatan, dan
Taiwan.
O Kedua, budaya penghormatan roh nenek moyang yang dilaksanakan dengan
berbagai bentuk sesajil penghorrnatan rnakam leluhur, pensakrala!l makam nenek
moyang atau ritual kematian.
O Ketiga, budaya pembuatan dan penggunaan jenis kapak batu, anak panah, dan
berbagai peralatan lain dari batu, dan perunggu pada budaya palaeolithicum,
mezolithicum, dan neolithicum. Budaya yang tersebar dari daratan Asia
Tenggara ke Sumatera hingga Papua Barat menunjukkan adanya persamaan
tingkat budaya dan hubungan budaya yang telah terja1in antara berbagai suku
(Soejono, 1984; Koentjaraningrat, 1971 :-21).

O Keempat, budaya bahari (maritim), yaitu kemampuan berlayar, pengetahuan alam


kelautan, dan teknologi perkapalan yang telah dimilikisuku-suku di Indonesia
yang meniscayakan mereka saling berkomunikasi untuk aktivitas ekonomi
(perdagangan), sosial (mobilitas penauduk), budaya (pe~umpaan budaya,
penyebaran agama) dan aktivitas politik (kunjungan pejabat, atau penyerbuan)
(Tjandrasasmita, 1984: 1 02-172;PUSPINOO, 1990; Manguin, 1993:197-213;
Lapian, 1992).
O Kelima, adalah kesamaan sejarah bahwa semua suku bangsa Indonesia
mengalami penjajahan kolonial Barat yang merendahkan harga diri kita sebagai
suku bangsa yang berdaulat, dan menyebabkan keterbelakangan disegala bidang.

Dengan adanya berbagai perbedaan di satu sisi dan kesamaan-kesamaan pada sisi lain,
cukup beralasan bagi berbagai suku di Indonesia untuk bersatu. Motto Bhinneka Tinggal
Ika sebagai lambang kesatuan bangsa atau integrasi nasional masih relevan untuk
digunakan, dengan substansi agak berbeda namun sama dalam makna.

Dilihat dari sejarah Indonesia, sebelum atau pra-kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat
bersatu baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mempertahankan
identitas nasionalnya. Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pemuda dan
pemudi Indonesia mencerminkan bahwa persatuan dan kesatuan itu merupakan suatu
tujuan mutlak untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. setelah
kemerdekaan dikumandangkan keseluruh pelosok Indonesia, disusunlah UUD Negara
dan Dasar Negara, dimana di dalamnya dicantumkan dengan jelas kata-kata persatuan
dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan tersebut memang terwujud karena pada
saat itu persatuan dan kesatuan itu memang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Melihat Indonesia sekarang ini, akan timbul sebuah pertanyaan besar, apakah masih ada
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sekarang ini?. Pertanyaan ini bisa dijawab oleh
diri kita masing-masing, apakah kita benar telah melaksanakan dan mewujudkan rasa
persatuan dan kesatuan tersebut.

Menurut pengamatan yang saya lihat di dalam kehidupan bermasyarakat bangsa


Indonesia sekarang ini, rasa persatuan dan kesatuan Indonesia bisa dikatakan tidak ada,
kita lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan bersama sebagai
wujud bahwa kita negara yang benar-benar bersatu.
Contohnya bahwa persatuan dan kesatuan itu tidak ada dapat kita lihat di dalam
masyarakat. Paratai-partai politik yang terdapat di Indonesia sangatlah banyak, partai-
partai itu saling berebut untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi dengan cara
apapun, dari sini bisa memicu suatu perkelahian massa yang sangat banyak. Misalnya
satu partai melaksanakan kampanye disuatu daerah, kemudian di daerah tersebut
pendukung partai ini bisa dikatakan hanya sepertiga dari masyarakat di daerah itu, maka
bila ada pendukung partai itu melakukan suatu kegiatan yang dipandang oleh masyarakat
sangat tidak menyenangkan maka akan terjadi perkelahian massa yang akan
menimbulkan korban.
Tidak hanya itu saja siIat kedaerahan yang kita anut juga sebenarnya adalah penyebab
dari tidak terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa di dalam diri
kita. Kita hanya selalu membanggakan daerah kita masing-masing, selalu hanya
membela daerah kita apabila ada masalah, tapi apabila negara kita dalam masalah kita
hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan pemerintah, ini yang salah pada diri kita,
urusan negara bukan hanya urusan pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab
kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Hilangkanlah rasa kedaerahan yang sangat melekat dalam diri kita, jangan hanya kita
berbangga menjadi penduduk suatu daerah tetapi berbanggalah bahwa kita adalah bangsa
Indonesia, janganlah masalah bangsa Indonesia kita tumpahkan hanya kepada
pemerintah tetapi pikullah masalah itu dan jadikan sebagai masalah kita bersama, karena
dengan bersama kita bisa menyelesaikannya.
Kebersamaan yang kita bangun dan rasa nasionalisme yang kita junjung tinggi dalam
diri kita masing-masing, ini merupakan suatu jalan untuk mengembalikan integrasi
nasional kita dan memajukan Indonesia itu sendiri. Dengan kemajuan bagi Indonesia
maka kita sebagai masyarakat yang hidup di dalam negara Indoneisa ini juga akan
menjadi masyarakat yang maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.

Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh kajian sistem
sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka biIurkasi sosial menurut
garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih memiliki signiIikansi untuk
bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang
baru oleh sebab consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem
krusial di masa-masa kemudian adalah Indonesia terus mencari Iormat-Iormat baru
integrasi nasionalnya sendiri.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan integrasi
nasional. Spanyol, sebagai misal, mengalami masalah integrasi nasional lewat persaingan
politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki masalah integrasi
nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen
Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus berkembang akibat
perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia seperti Thailand dan
Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus wilayah Pattani dan Moro.
Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan multikultur bukan Cuma monopoli
Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentiIikasi pola integrasi
nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positiI menuju integrasi
nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan. Pertanyaan pentingnya
kemudian adalah, apa yang sesungguhnya 'bergerak dalam pola integrasi nasional
Indonesia?

3.2. Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia
Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna
menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini
memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian akan
dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional Indonesia.
1.Neopatrimonialisme

Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia yang
ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus integrasi

nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas dikontraskan


dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.
Patrimonialisme adalah 'the object oI obedience is the personal authority oI the
individual which he enjoys by virtue oI his traditional status. The organized group
exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations oI personal
loyalty, cultivated through a common process oI education. The person exercising
authority is no a superior`, but a personal chieI`. His administrative staII does no
consist primarily oI oIIicials, but oI personal retainers . Wha determines the relations
oI the administrative staII to the chieI is not the impersonal obligations oI oIIice, but
personal loyalty to the chieI.2
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara pimpinan
pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di mana ia diangkat
ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang
mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini
kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang kedaerahan ke tingkat
nasional.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang
dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab itu,
bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan, loyalitas
para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik
tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada
Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah
Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh
kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik
Indonesia.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme?
Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan antara pengikut dan pemimpin.
Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa
yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol sumber daya sekaligus
mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan
pemimpin patrimonial mampu menjamin keamanan dan perlindungan yang ia berikan
kepada para pengikut.

Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi


penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para
elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Loyalitas
dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan keamanan menjadi
bersiIat material (kuasa, uang, kemakmuran).
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara tradisional)
memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi dalam menggamit
massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun tahta` menjadi
broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli loyalitas massa suatu
daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul communal leader` yang berbeda
dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini mengklaim punya massa
tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik. Inilah
pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu, dalam Negara yang terintegrasi menurut
garis neopatrimonial, menjadi penting kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.

2.Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 Iaktor yang mendorong integrasi nasional
Indonesia.
O Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan kepada persamaan nasib
selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran
bersama mencapai satu tujuan.
O Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama,
bahasa yang sama, agama yang sama, dan kemudian membimbing pada ikatan
bersama untuk bersatu di dalam Indonesia.
O Ketiga, dimensi interaktiI, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-
orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu
sama lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon,
migrasi, dan televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan
ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia.


3.Teori Proses Industri


Anthony Harold Birch.4 Birch coba cari jawaban bagaimana kelomopk etnik dan budaya
yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional dan mendirikan
Negara nasional. Sebagai proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan
pemerintah (atau elit) yang disengaja. Integrasi nasional awalnya 'tidak direncanakan
lewat proses mobilisasi sosial. Initinya suatu proses bagaimana industrialisasi
mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industry baru.
Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial di area pedesaan dan
memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan
kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek local makin samar untuk kemudian
digantikan bahasan nasional. Budaya local dan kebiasaan kehilangan pendukungnya.

Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional. Pembukaan jalan
membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh.
Terlebih, media massa kemudian muncul memberikan inIormasi-inIormasi baru harian
kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal
dari budaya atau kultur spesiIik secara gradual masuk ke dalam terma masyarakat yang
lebih luas.`
Empat argumentasi diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional:
O Pertama, dalam terminology keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa
depan umat manusia terletak dalam organisasi yang disebut negara`. Negara
merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat.
Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke
dalam elemen bersama` dan siIatnya lebih tinggi.
O Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi
nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih minor` kepada
budaya yang lebih mayor`. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau
harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di
Indonesia kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia.
Demikian pula etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di Indonesia harus
mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat Indonesia.
Disintegrasi nasional muncul akibat asimilasi gagal dilakukan.

O Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah didasarkan atas perasaan


kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta jika perasaan tersebut
belumlah lagi terbangun. Untuk itu, masalah bahasa persatuan, ideology nasional,
merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah memiliki
tugas menjamin hal-hal tersebut terselenggara, baik secara teori maupun praktik.
O Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan masalah representasi politik.
Negara yang terbangun dari garis primordial berbeda memiliki sensitivitas tinggi
warganegara atas aspek primordial ini. Agama, etnis, region, merupakan unsure
primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak
nasional memerlukan kohesi yang membuat representasi elemen primordial yang
berlainan tersebut menggapai consensus. Partai-partai politik utamanya
mengambil peran dalam integrasi nasional yang berhubungan dengan representasi
politik ini.
Singkatnya, ketulusan pendekatan akan muncul sebagai Iaktor utama. Kita perlu
memperkuat sistem politik kita dan institusi, mengembangkan pertumbuhan yang
dinamis dan berkelanjutan, memberantas korupsi, memberikan keadilan tepat waktu,
meningkatkan kerja, melakukan langkah-langkah untuk mengontrol populasi, mencari
solusi berbasis konsensus politik, dan menyelesaikan garis pemisah etnis, sektarian dan
agama. Dengan waktu hampir habis, kegagalan untuk menyelesaikan krisis berarti bahwa
tidak akan ada melarikan diri dari kenyataan gelap akhirnya disintegrasi. Sesungguhnya
Allah tidak akan pernah mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubah apa
yang ada dalam Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih dulu arti
Identitas Nasional Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri, siIat-siIat khas yang melekat pada
suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-
hal lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita, tujuan
serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas Nasional Indonesia adalah
ciri-ciri atau siIat-siIat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Uraiannya mencakup :
1. Identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional,
paradoksal dan monopluralistik. Keadaan manusia yang multidimensional,
paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut akan mempengaruhi

eksistensinya. Eksistensi manusia selain dipengaruhi keadaan tersebut juga


dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau pedoman hidupnya. Pada
akhirnya yang menentukan identitas manusia baik secara individu maupun kolektiI
adalah perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan
implementasi nilai-nilai yang dianutnya.
2. Identitas nasional Indonesia bersiIat pluralistik (ada keanekaragaman) baik
menyangkut sosiokultural atau religiositas. - Identitas Iundamental/ ideal
Pancasila yang merupakan IalsaIah bangsa.- Identitas instrumental identitas
sebagai alat untuk menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa
UUD 1945, lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.- Identitas
religiusitas Indonesia pluralistik dalam agama dan kepercayaan.- Identitas
sosiokultural Indonesia pluralistik dalam suku dan budaya.- Identitas alamiah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
3. Nasionalisme IndonesiaNasionalime merupakan situasi kejiwaan dimana kesetiaan
seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa. Nasionalisme
sangat eIektiI sebagai alat merebut kemerdekaan dari kolonial. Nasionalisme
menurut Soekarno adalah bukan yang berwatak chauvinisme, bersiIat toleran,
bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
4. Integratis NasionalMenurut MahIud M.D integrai nasional adalah pernyataan
bagian-bagian yang berbeda dari suatu masayarakat menjadi suatu keseluruhan
yang lebih utuh, secara sederhana memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang
banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.

Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan, kebijaksanaan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membersakan SAR. Ini perlu dikembangkan
karena pada hakekatnya integrasi nasional menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan
persatuan bangsa. Kesimpulan Identitas Nasional Indonesia adalah siIat-siIat khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau yang
dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya pun
berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut kemudian disatupadukan dan diselaraskan dalam
Pancasila. Nilai-nilai ini penting karena merekalah yang mempengaruhi identitas
bangsa. Oleh sebab itu, nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk
ditekankan pada diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan

identitas. Persatuan dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya
saja kita bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan
kebahagian, ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan
diimpikan oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini.






















BAB IV
INTEGRASI NASIONAL INDONESIA
KEBIJAKAN KEBUDAYAAN

Indonesia sebagai sebuah negara dalam realitasnya terpisah pada beberapa bagian dan
tingkatan, dari segi geograIis dipisahkan oleh lautan dengan beratus-ratus pulau besar
dan beribu-ribu pulau kecil. Kadangkalanya banyak pulau yang belum diberi nama,
bahkan belakangan ini dua pulau yang berada di kawasan Kalimantan telah menjadi
milik Negara Malaysia. Dari perspektiI kewilayahan tampak pembagian Indonesia
Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat, atau kawasan perkotaan dan perdesaan.
Realitas itu menyebabkan pula kewargaan penduduk Indonesia berbeda-beda dari segi
kebudayaan. Pengelompokkan kewargaan serupa itu diwujudkan dalam satuan satuan
etnik. Menurut kajian Hildred Geetz (1963), terdapat 300 kelompok etnik dan 250 jenis
bahasa. Yang setiap kelompok etnik itu memiliki identitas kebudayaan sendiri, termasuk
di dalamnya bahasa-bahasa yang digunakannya.
Paling tidak menurut Koentjaraningrat (1971), dari keanekaragaman itu dapat
dikategorikan atas 6 tipe sosial budaya masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat yang mata pencahariannya didasarkan kepada sistem berkebun yang
amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman utamanya dalam
gabungan dengan berburu dan meramu, sedangkan azas kemasyarakatnnya adalah
berupa desa terpencil tanpa diIerensiasi dan stratiIikasi sosial yang tegas.
2. Masyarakat perdesaan yang mata pencahariannya berazaskan kepada bercocok
tanam di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman utama, sistem dasar
kemasyarakatan adalah komunitas petani, sebagai kesatuan masyarakat petani.
Selain itu, masyarakatnya berorientasi kepada arah kehidupan kota, karena
masyarakat seperti ini merasa dirinya sebagai bagian dari suatu kebudayaan yang
lebih besar, yaitu kebudayaan kota, dari keadaan itu terwujud suatu peradaban
kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh para misionaris dan zending,
atau penyebar agama dan gelombang pengaruh agama Islam tidak dialaminya.
3. Masyarakat perdesaan yang berazaskan kepada pencaharian di ladang atau
mengarahkan segala perhatiannya untuk mewujudkan suatu peradaban bekas
kerajaan dagang, pengaruh kuat dari agama Islam bercampur dengan peradaban
kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh sistem pemerintahan kolonial.

4. Masyarakat perdesaan yang berazaskan mata pencaharian bersawah dengan diikuti


oleh makin berperannya diIerensiasi dan stratiIikasi sosial yang rumit. Masyarakat
ini mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian yang bercampur baur
dengan peradaban kepegawaian, atau pekerja, yang diperkenalkan oleh
pemerintahan kolonial. Dalam masyarakat seperti itu gelombang pengaruh
kebudayaan asing telah dialaminya, bahkan turut pula mempengaruhi
kebudayaannya.
5. Masyarakat kekotaan, yang bercirikan sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan,
dalam masyarakat ini semua kebudayaan asing amat berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakatnya.
6. Masyarakat metropolitan, yang berazaskan kepada kehidupan perdagangan dan
industri, sehingga semua kehidupan masyarakatnya bersandar kepada aktivitas
perdagangan dan industri, sebagian masyarakat itu diwarnai oleh kehidupan
pemerintahan dengan jumlah aparat pemerintahan yang banyak serta berbaur dengan
kesibukan politik. Di dalam masyarakat metropolitan seperti itu banyak pula orang
yang berasal dari luar negara, atau orang asing.

Apabila tahun 1971, ProIesor Koentjaraningrat membagi masyarakat Indonesia dalam 6
tipe sosial budaya, sebagai perwujudan keanekaragaman itu, atau dilakukan jauh
sebelumnya menurut pengelompokkan yang berazaskan kepada 19 daerah hukum adat,
maka tahun 1985-1993 sebagai dasar dari keanekaragaman itu diwujudkan dalam 3
golongan suku-bangsa (Koentjaraningrat, 1993; J. Garna, 1993), yaitu:
1) suku-bangsa;
2) Keturunan asing; dan
3) Masyarakat terasing yang kini dikenal dengan sebutan komunitas adat terpencil.

Kelompok suku-bangsa menunjukkan bahwa semua suku-bangsa yang memiliki daerah
asal di dalam wilayah Indonesia, seperti suku-bangsa Minangkabau, Jawa, dan Sunda.
Lain halnya dengan keturunan asing, kelompok masyarakat yang dianggap tidak
memiliki daerah asal di Indonesia, karena daerah asal mereka berada di luar negeri (Cina,
Arab, dan India). Golongan masyarakat yang ketiga, masyarakat terasing, adalah mereka
yang dianggap penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana, dan
biasanya masih bertempat tinggal dalam lingkungan hidup yang terisolasi. Hal tersebut
merupakan pembelahan penduduk secara makro. Namun, jika ditinjau lebih mikro lagi,

maka akan wujud pemisahan kepada kelompok yang lebih kecil lagi. Pemisahan yang
didasarkan pada dialek, tempat asal dan ikatan sosial yang merujuk pada kesamaan
kepentingan ekonomi, keyakinan, dan bahkan kerabat, belum lagi keanekaragaman
penduduk Indonesia itu dilihat dari agama, maka akan dijumpai agama dunia yang diakui
pemerintah dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu, bermakna bahwa,
dalam kehidupan masyarakat Indonesia dari segi kebudayaan menunjukkan
kebhinnekaan yang beragam itu tentunya memerlukan secara berterusan upaya integrasi
dalam suatu kebudayaan nasional Indonesia.
Dengan demikian, tidaklah menutup kemungkinan apabila mengabaikan segi masyarakat
dan kebudayaan serupa itu, maka dapat menimbulkan konIlik antarsuku-bangsa dan
agama seperti telah terjadi di masa-masa sebelum ini, yang berwujud pemberontakan:
1) Republik Maluku Selatan;
2) kelompok gerilyawan Bugis, atau dikenal sebagai peristiwa Kapten Andi Azis;
3) Darul Islam di Jawa Barat, yaitu gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk
negara yang berazaskan Islam;
4) Darul Islam di Sulawesi Selatan;
5) Darul Islam di Kalimantan Selatan
6) Darul Islam di Aceh;
7) Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat; dan
8) Permesta di Sulawesi Selatan. Meski menurut Karl D.Jackson (1990), ideologi
Islam kurang terbukti sebagai sumbu ledak pemberontakan Darul Islam di Jawa
Barat.

Pembelahan penduduk Indonesia juga dapat ditimbulkan oleh adanya pelapisan sosial,
maka akan wujud dalam masyarakat strata atas, menengah dan strata bawah. Masyarakat
berpendidikan dan tidak berpendidikan, atau masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Pembelahan sosial dan budaya serupa itu, menunjukkan bahwa Bangsa
Indonesia memang penduduknya beragam dengan segala ciri-ciri dan siIa-siIatnya yang
dapat memberikan kesan ke atas suasana gejolak kehidupan sosial. Tidak dapat
dipungkiri lagi segala implikasi dari keberagaman itu, seringkali menjadi duri
penghalang kepada berlangsungnya integrasi nasional. Bahkan belakangan ini, hampir
setiap hari disuguhkan oleh pelbagai media massa baik elektronik maupun cetak tentang
berita dan tayangan mengenai konIlik antar kelompok kepentingan, etnik, dan agama.
Dalam konteks itu, pada masa pemerintahan Orde Lama ada kata baku yang ditabukan

untuk diucapkan atau dinyatakan oleh setiap Warga Negara Indonesia, yaitu SARA.
Padahal realitas sosial dan budaya seperti itu, jika hanya dijadikan kata tabu dan
dinyatakan tidak perlu dipertentangkan lagi, justru akan bercorak centrifugal. ang bila
tidak mendapat perhatian dan penanganan serius akan berakibat negatiI pada kehidupan
bermasyarakat di masa mendatang. Memang upaya ke arah wujudnya kebudayaan
nasional Indonesia sebagai mekanisme dan tata pergaulan kehidupan warga masyarakat
terus diupayakan tetapi tidak jarang pula usaha itu mengarah pada dominasi kebudayaan.
Penyeragaman atas unsur-unsur kebudayaan telah menjadi ciri di negeri ini, sebut saja
misalnya dalam hal pangan, beras menjadi makanan pokok bangsa ini, pakaian,
bentuk dan model arsitektur rumah dan bangunan menjadi pemandangan yang serupa
yang dapat dilihat pada setiap daerah di wilayah Indonesia. Belum lagi penyeragaman
tata pemerintahan dan sejarah nasional yang mengabaikan sejarah lokal. Upaya
penyeragaman kebudayaan dengan cara dominasi satu kebudayaan terhadap kebudayaan
lainnya seperti yang telah dilakukan selama ini, tampaknya dimaksudkan agar tercapai
persatuan bangsa yang terintegrasi dalam tataran nasional. Padahal hakekat integrasi
nasional dalam takaran sosio-antropologis mencakup arena yang lebih luas dan tidak
sekadar untuk penyelesaian sekitar konIlik sosial yang berlatar etnik. Sebab, seperti telah
dikemukakan di atas bahwa pemisahan dan pembelahan sosial yang berlangsung di
Indonesia wujud dalam pelbagai bentuk dan tingkat. Itu artinya, penyelesaian melalui
penyeragaman kebudayaan atas nama kebudayaan nasional, seperti yang selama ini
dilakukan justru dapat menimbulkan ancaman disintegrasi.

Kebijakan kebudayaan dalam konteks integrasi nasional bukan berarti tidak pernah
dikenal dalam peta politik di Nusantara, karena pemerintah kolonial Belanda tatkala
menguatkan kekuasaannya di Nusantara tempo dulu, menempatkan semua jabatan di
wilayah yang paling gawat dalam kacamata mereka dipercayakan kepada ahliahli yang
tahu tentang masyarakat dan kebudayaan setempat untuk dengan bijak (lihay?)
menangani masalah politik dan sosial regional, ekonomi dan kebudayaan lokal tanpa
menimbulkan pemberontakan bersenjata yang akan amat mahal harganya untuk dibasmi.
Pidato pengukuhan gurubesar J.P.B. De Josselin De Jong pada Universiteit Leiden,
tanggal 24 Mei 1935 yang bertajuk epulauan Indonesia Sebagai Lapangan Penelitian
Etnologi, salah satu bukti betapa pendekatan etnologi ketika itu amat sangat
diperhatikan untuk dapat lebih mengenal dan memahami suku bangsa yang beragam di
Indonesia. Pendekatan itu mendapat tempat yang utama dalam

melahirkan kebijakan untuk meneguhkan kewibawaan kolonial melalui penelusuran


Nusantara sebagai ethnologisch studieveld.
ProIesor De Josselin De Jong, mengungkapkan dua konsep untuk dapat memahami
masyarakat di Nusantara, yaitu:
O Menganggap seluruh Kepulauan Indonesia itu sebagai suatu lapangan penelitian
etnologi, melalui konsep itu dimaksudkan satu daerah di mana tersebar banyak
kebudayaan yang beranekawarna bentuknya, tetapi yang semuanya mengundang
perhatian akan betapa siIat dasar itu cukup konsisten, sehingga dapat dilakukan suatu
metode perbandingan antara masyarakat-masyarakat yang memiliki siIat-siIat dasar
yang sama.
O Konsep mengenai pendiriannya tentang siIat dasar yang secara konsisten melandasi
semua aneka warna masyarakat dan kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara,
dan sekaligus merupakan prinsip-prinsip inti susunan dari bentuk masyarakat
Nusantara. Karena itulah, melalui pendekatan tersebut, diupayakan penguasaan
wilayah atau perluasan teritorial dengan cara 'aman.

Demikian juga halnya tentang Aceh, bukan dilakukan oleh Jenderal Koehler, atau
Jenderal-Mayor DeijkerhoI yang mengenalkan strategi mengalahkan orang Aceh oleh
orang Aceh, melainkan dilakukan oleh seorang bukan militer, yaitu DR Snouck
Hurgronje, seorang etnolog yang paham betul masyarakat dan kebudayaan Aceh,
sehingga dengan pemahamannya itulah dapat menentukan operasi Jenderal van Heutz
mempasiIikasi Aceh dalam kesatuan Hindia Belanda. Sederetan daItar keberhasilan
pemerintahan kolonial dalam menerapkan kebijakan kebudayaan untuk mengembangkan
kekuasaan di Nusantara yang tidak menimbulkan banyak gejolak, sehingga tidak harus
dibayar mahal. Itu artinya, pemerintahan kolonial menempatkan musuh menjadi sahabat
sebagai strategi kebudayaannya.
Bagaimana dengan pelaksanaan program pembangunan di Indonesia yang dalam hal ini
melaksanakan amanat rakyatnya untuk mengintegrasikan bangsa pada tataran Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tampak cenderung tidak memperhatikan
masyarakat dan kebudayaan. Coba lihat ada kelaparan penduduk di Papua, dan di
tempat-tempat lain yang amat sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan pokok dari
Jakarta. Padahal wilayah ini secara kasat mata alamnya telah menyediakan melimpah
keperluan mereka, dan bukan itu saja, adanya kematian ratusan penduduk asli yang

bukan sekadar berita, tetapi suatu kenyataan yang dijumpai di Mapanduma dan Timika,
penyelesaian Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Loro Sae, peristiwa Sangau
Ledo di Kalimantan Barat, dan kerusuhan di Sampit Kalimantan Tengah. Perseturuan
yang cenderung tiada henti di Ambon dan Maluku, atau kerusuhan lainnya di pelbagai
kota di Indonesia dan keinginan berbagai daerah membentuk provinsi dan kabupaten
atau kota sendiri yang lepas dari provinsi ataun kabupaten/kota induknya, dan bahkan
kecenderungan hendak melepaskan diri dari ikatan NKRI. Semuanya itu tidaklah dapat
dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan
dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan Indonesia sebagai wahana
pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan yang selama ini memang untuk
memperbaiki taraI hidup dan kesejahteraan manusia, hanya sayang bahwa dalam hal ini,
orang sering lupa, yaitu manusia manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia
dengan berbagai macam kebudayaan masalah ini menjadi masalah yang sangat perlu
diperhatikan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak
selamanya cocok bagi orang Bugis atau Batak; apa yang dipandang menguntungkan oleh
orang Minangkabau atau Padang tidak selamanya demikian bagi orang Jawa atau Bali,
atau apa yang bernilai bagi orang Melayu belum tentu bernilai bagi orang Banten. Dalam
konteks itu, persoalan integrasi untuk siapa menjadi sangat penting diperhatikan, artinya,
kita tidak dapat mengunakan ukuran yang ada pada sistem nilai kita saja, yang biasa
menjadi ukuran penentu kebijakan itu. Apakah untuk ukuran baik-buruk, bahagia-celaka
atau untung-rugi. Bagaimana pun juga kita perlu memahami betul nilai-nilai yang ada
pada masyarakat agar tujuan bernegara tercapai dan sesuai dengan nilai yang ada pada
masyarakat itu. Dengan pemahaman ini, strategi kebudayaan dapat ditentukan dari
pandangan atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang akan
ditentukan itu mengikuti realitas sosial-budaya yang dihadapi masyarakat. Kematian
akibat kelaparan seperti yang terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala pengenalan
beras sebagai makanan pokok mereka di-introduksi melalui teknik bercocok tanam yang
sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri. Bukan kebijakan yang
dipaksakan untuk penyeragaman makanan pokok bangsa Indonesia. Demikian juga
berbagai kasus lainnya di Indonesia yang sekarang muncul kepermukaan yang dikemas
politik, tetapi jika dikaji lebih mendalam lagi persoalannya ialah kebudayaan masyarakat
diabaikan. Artinya, kebijakan yang diterapkan selama ini menempatkan sahabat menjadi
musuh atau kawan menjadi lawan. Integrasi menjadi disitegrasi, sehingga mengarah pada
terpecahnya NKRI,

serta keinginan yang berbasis masyarakat lokal untuk menjadikan negara-negara bagian
pada satuan-satuan wilayah kebudayaan suku-bangsa Semua itu, akibat menempatkan
kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan seolah-olah telah memperhatikan
sisi kebudayaan masyarakat lokal. Lebih jauh lagi, sering dinyatakan, bahwa kebijakan
itu sudah sejalan dengan aspirasi warga masyarakat serta sudah memenuhi semua
ketentuan hukum yang diwujudkan dalam takaran politik nasional berbungkus
ketetapan MPR dan Perundang-undangan, seperti halnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Padahal kebijakan-kebijakan tersebut
merupakan politik penyeragaman kebudayaan tanpa memperhitungkan keragaman
budaya suku-bangsa yang ada di Indonesia. Itu artinya, selama 30 tahun telah
berlangsung pengingkaran atas semangat inneka Tunggal Ika. Dari sisi ini
menunjukkan kepada kita bahwa politik penyeragaman kebudayaan yang dikemas
dalam selimut kebudayaan nasional itu kini mulai digugat banyak pihak, sehingga
terciptalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Semangat
otonomi yang sedemikian deras telah melahirkan sikap dari berbagai daerah ingin
melepaskan diri dari kekuatan kekuasaan pusat atau provinsi, seperti halnya yang
dahulu dikenal sebagai Wilayah Keresidenan Banten, kini telah menjadi provinsi
tersendiri lepas dari Provinsi Jawa Barat, demikian juga provinsi-provinsi lainnya yang
baru terbentuk selepas pemberlakuan undang-undang tersebut. Bahkan tidak dapat
dinaIikan kecenderungan warga masyarakat lokal yang terikat oleh kebudayaan dalam
satuan provinsi tumbuh keinginan melepaskan diri dari NKRI.
Akhir-akhir inipun tumbuh suatu sikap menentang dari orang-orang daerah atas
keputusan pusat. Misalnya, kepemilikkan PT. Semen Padang di Sumatera Barat dan
penolakan terhadap apa-apa yang telah diputuskan Jakarta (orang pusat), seperti yang
terjadi pada PDI-Perjuangan di Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Bali. Tentunya, realitas sosial-budaya yang berkembang itu tidak dapat dibiarkan begitu
saja. Sebab, kenyataan yang berkembang itu dapat menimbulkan banyak persoalan yang
wujud sebagai akibat meningkatnya sentimen kemasyarakatan yang didasarkan pada
semakin menebalnya rasa kesukubangsaan di setiap daerah, terutama pada tataran
daerah kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia.

ARAH KEBI1AKAN KEBUDAYAAN SEBAGAI TUNTUTAN


MASYARAKAT LOKAL

Atas dasar pemahaman gejala empirik tersebut, menunjukkan kebijakan pembangunan
yang dahulu dikenalkan pemerintah melalui Repelita dan kini melalui Propenas lebih
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional. Ukuran
keberhasilannya adalah peningkatan pendapatan penduduk, pertumbuhan kawasan
industri di setiap provinsi dan kabupaten/kota dengan kecenderungan mengabaikan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan itu tumbuh sebagai upaya
menjaga keutuhan negara kesatuan melalui konsep penyeragaman kebudayaan di
tengah-tengah keragaman masyarakatan dan keanekaragaman kebudayaan. Untuk itu,
pembangunan kebudayaan diarahkan pada menghilangkan struktur kekuasaan lokal
dengan kekuasaan birokrasi pemerintahan melalui pelbagai kebijakan seperti yang
tertulis dalam dokumen GBHN-GBHN yang lalu, yaitu peningkatan manajemen
pembangunan nasional yang terpadu dan
tetap bertumpu pada stabilitas nasional serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan hampir serupa pun tersirat pada Propenas 2001 2005. Malah dengan
kebijakan seperti itu menambah semakin dipertajam pembelahan sosial-budaya dalam
tataran sektor modern dan sektor tradisional. Yang mungkin tidak disadari oleh para
penentu kebijakan bahwa adanya ciri-ciri dan siIat-siIat bangsa Indonesia yang
beragam. Dalam Propenas tersebut, menggambarkan bahwa wujud sektor modern
terbentuk oleh penggunaan modal yang banyak, sehingga dianggap lah sektor ini akan
banyak mendapat hasil dibandingkan sektor tradisional yang dianggap tidak produktiI
dan terbelakang. Pengkategorian ini sebenarnya dari sisi ide dan teori, adalah
berdasarkan pendekatan teoretis yang dikenal sebagai dualisme, yang biasa digunakan
oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam menggambarkan situasi sosioekonominya.
Teori dualisme ini mengandaikan bahwa dalam suatu negara yang sedang
melaksanakan pembangunan selalu akan wujud dua bagian atau sektor yang berbeda
tingkat atau taraI kemajuannya. Oleh penganut teori ini, diandaikan bahwa sektor
modern lebih maju teknologinya, lebih kaya dengan modal dan lebih tinggi taraI
institusi yang wujud di dalamnya. Sebaliknya, sektor tradisional yang selalu dikaitkan
dengan kemunduran dari segi teknologi, tanpa modal dan institusinya pun terbelakang.
Dalam konteks itu, hubungan antara sektor modern dan tradisional terpisah yang
seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa suatu ikatan yang saling menunjang. Itu

artinya, antara sektor modern dan tradisonal tiada keterpaduan yang diarahkan kepada
jalinan saling menguntungkan. Imbas dari keadaan itu menunjukkan masyarakat dan
kebudayaan yang terbentuk oleh situasi tersebut menjurus pada tingkat kehidupan sosial
dan budaya yang berbeda satu masa lainnya. Masyarakat pendukung sektor modern
semakin maju dan berkembang, sedangkan yang keadaan masyarakat satunya lagi
semakin terpuruk dan tertinggal oleh perkembangan dunia modern. Dari segi ini dilema
etnisitas menjadi pemicu bangkitnya solidaritas etnik. Karena itu, seringkali terdengar,
bahkan sudah biasa dianjurkan, bahwa persatuan etnik atau suku-bangsa itu sangat
diperlukan untuk mencapai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Manurut pendapat
dan anjuran itu, menunjukkan bahwa persatuan etnik sudah seharusnya dicapai terlebih
dahulu sebelum dicapai persatuan nasional. Hal ini, berarti bahwa persatuan etnik
dilihat sebagai satu syarat mutlak untuk mencapai persatuan nasional, kemudian timbul
masalahnya ialah apakah pendapat ini bernar? Perbedaan pendapat terhadap
pembenaran demikian tentulah tidak dapat dikesampingkan, malahan menjadi hal yang
utama, ada suatu anggapan pula bahwa
dengan terlalu menekankan etnisitas dan membangkitkan perkembangan perasaan
kesuku-bangsaan akan menghambat komunikasi di antara warga-warga dari etnik yang
berbeda. Selain itu, juga pada suatu negara yang wujud dengan perasaan solidaritas
etnik yang padu dan kuat, justru akan membangkitkan masyarakatnya untuk
menyatupadukan perasaan ketidakpuasan dan tuntutan politik mereka dengan mengikut
garis etnik. Mereka menyadari bahwa apa pun tindakan politik, tidak akan bermakna
dan berkesan apabila tidak dikaitkan dengan kepentingan etnik. Hal ini berarti akan
memperkuat lagi perasaan permusuhan, prasangka sosial-budaya dan ketegangan sosial
di antara etnik-etnik pada akhirnya dapat memusnahkan kesadaran tentang pengalaman
bersama yang mutlak diperlukan dalam kehidupan bernegara. Kesimpulannya, masalah
kebijakan kebudayaan yang terkait dengan integrasi nasional menjadi penting
direnungkan kembali setelah sekian puluh tahun masyarakat di Indonesia menjalani
kehidupan bernegara.

Dalam konteks untuk mencari dasar persatuan melalui gejala empirik tentang:
1) pengentasan kemiskinan tanpa membeda-bedakan etnik;
2) ketidakseimbangan capaian ekonomi di antara etnik dan menghilangklan kesan
monopoli terhadap kegiatan ekonomi serta penguasaan penghunian kawasan tempat
tinggal oleh suatu golongan atau etnik tertentu;

3) kebebasan dan hak azasi individu yang dijamin dalam perlembagaan;


4) sistem pendidikan diperankan sebagai agen sosialisasi untuk memupuk kepribadian
dan kesadaran berbangsa; dan
5) peranan Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga
melahirkan satu identitas kebangsaan

GOLONGAN GOLONGAN YANG BERBEDA DAN INTEGRASI SOSIAL
Masyarakat sebagai kumpulan individu , maka dilihat dari prosesnya dapat dibagi :
a. Proses mengikat yang meliputi proses mendekati, ikat mengikat dan bersatu
b. Proses memisah, meliputi bercerai, perpisahan hidup masing masing
c. Proses campuran atau pertengahan, yang meliputi percampuran proses pertama
dan kedua.
Secara lebih terperinci proses di atas dapat dijabarkan :
1) Keadaan golongan sebelum bergabung : terperinci, mengasingkan diri,
bermusuhan
2) Keadaan peralihan : orang/individu mulai mencari kontak atau hubungan.
3) Proses yang mendahului penggabungan, meliputi
1) Membolehkan, membiarkan
2) Berkompromi, berdamai
4) Proses penggabungan, yang meliputi :
1) Dekat- mendekati
2) Menyesuaikan diri
3) Persamaan, pembauran
4) Kerja sama
5) Proses pemisah, yang meliputi :
1) Persaingan
2) Oposisi
3) Pertikaian/konplik
6) Proses campuran (pertengahan)

Pada proses penggabungan, maka pada masyarakat sudah berkembang adanya
pembagian kelompok, Kelompok diartikan sejumlah individu yang berinteraksi secara
bersama sama dan memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan atas kehendak
kehendak perilaku yang disepakati.

Kelompok kelompok dalam masyarakat antara lain :


1. Kelompok sukarela dan kelompok paksa
2. Kelompok dalam dan kelompok luar
3. GemeinschaIt dan GesellscaIt
4. Kelompokn primer dan kelompok sekunder
5. Kelompok Therapeutic dan Encounter
Pada proses memisah pada kehidupan masyarakat terjadi pengelompokan yang lebih
tegas. Dalam proses ini termasuk didalamnya adanya persaingan, posisi dan konplik.
Pada dasarnya bahwa integrasi masyarakat tidak terlalu menjadikan masalah bagi
kehidupan masyarakat apabila dua kunci telah dipegang oleh anggota anggota
masyarakat. Dua kunci pokok tersebut adalah pertama, masing masing anggota
masyarakat telah memahami pranata pranata sosial atau norma masyarakat yang ada
dan kedua dalam menerapkan pranata sosial dan norma kemasyarakatan tersebut
anggota masyarakat dapat melaksanakan sosialisai dengan baik.
Dengan pengendalian sosial perlu dikembangkan berbagai cara atau metode yang
diharapkan dapat mendorong anggota masyarakat untuk berperilaku selaras dengan
kehendak kehendak masyarakat umum.
1. SiIat integritas pada seluruh aspek kehidupan bangsa yang saling ada
hubungannya.
2. SiIat mawas ke dalam, tetapi mengisolir diri dari dunia luar. Kemampuan untuk
meneliti kemmpuan sendiri, mengatasi kelemahan yang ada dengan
mengunakan daya yang ada.
3. Harus mempunyai kewibawaan, mempunyai kekuatan memaksa hingga tidak
dianggap remeh oleh bangsa lain.
4. Dapat mengikuti perubahan yang setiap waktu terjadi di dunia nasional dan
internasional, harus ada sikap dinamis, yang berarti berubah setiap waktu.
5. Dipentingkan perundingan dengan bangsa bangsa lain, bukan pemaksaan
kekuasaan atas kekuatan.



BAB V
PENUTUP
5.1.KESIMPULAN
Demikianlah proses integrasi nasional bangsa Indonesia telah dipaparkan dalam
dimensi sejarah, sebuah jawaban yang sangat panjang atas pertanyaan "apa yang terjadi
dengan proses integrasi nasional kita". Inti historis jawabnya adalah bahwa kita telah
membangun suatu bangsa dan mencapai integrasi nasional. Namun banyak harapan tidak
terwujud pada sebagian bangsa ini, hingga melakukan langkah berbeda arah dengan
tujuan umum bangsa yang melemahkan integrasi. Harus diakui bahwa kita masih
menyimpan banyak masalah yang harus diselesaikan, dan kita meninggalkan luka-luka
yang masih menyakitkan pada diri kita sebagai bangsa yang harus kita sembuhkan.

Masalah pertama adalah membangun kembali Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya berperan sebagai kultur normatiI dan alat pemersatu bangsa.
Nilai-nilai Pancasila akan menentukan orientasi tujuan serta sistem sosiopolitik pada
tingkat makro dan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan
individual. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya menjadi Iaktor determinan bagi
kehidupan moral berbangsa, tetapi juga memberikan landasan ideologis bagi berbagai
unsur dalam masyarakat Indonesia yang bersiIat pluralistis itu. Selain itu, Pancasila
sebagai ideologi negara mengandung nilai-nilai yang menjadi komponen dari
nasionalisme sebagai dasar untuk memperjuangkan realisasi dari integrasi nasional
Indonesia.


5.2.SARAN
Dari paparan pembahasan di atas, kita sebagai generasi penerus bangsa dari golongan elit
terpelajar, yang memiliki ilmu pengetahuan, keariIan intelektual, dan kepekaan sosial.
Dengan membaca sejarah kita mengetahui bahwa golongan terpelajar adalah pelopor
perubahan, pembawa ide kemajuan dan pembaharuan, dan motor penggerak perjuangan
bangsa. Perjuangan kita menjadi berbobot berkat proses belajar dan berdialog dengan
masyarakat. Maka teruslah membaca, menganalisis, menulis dan berdialog, agar tugas
sejarah" dapat laksanakan dengan baik.

5.3. DAFTAR PUSTAKA


1. Abdullah, TauIik, 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung : Satya Historika.
2. Hartomo.dan Arnicum Aziz,1990, Ilmu sosial dasar. Bumi aksara, Jakarta
4. Rush Michael dan Philip althoII, 2009, Pengantar Sosiologi politik, Pt Raja
Grapindo Persada, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai