Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, kerena berkat izin dan
karunianya jualah maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Integrasi Politik.
Makalah ini penulis susun sebagai salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah Sosiolagi dan Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Yayasan Pendidikan Prabumulih.
Dalam penulisan makalah ini penulis sangat berupaya dengan semaksimal
mungkin. Kepada semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu demi kesempurnaan makalah ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Akhir kata penulis juga menyadari bahwa sesungguhnya manusia itu tidak pernah
lepas dari kesalahan, kekurangan, dan kehilaIan. Begitu juga dengan penulis yang masih
banyak mengalami kesalahan dalam menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penulis
sangat membutuhkan sumbangan pikiran, saran dan kritik yang siIatnya membangun
guna menyempurnakan makalah ini.
Prabumulih, Juni 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara
seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan
kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan
Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu
diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan,
baik di pusat maupun di daerah.
1.2. BATASAN MASALAH
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1. Bagaimana Pengertian Politik
2. Bagaimana Integrasi Nasional dalam perspektiI Sejarah Indonesia
3. Bagaimana Integrasi Nasional Indonesia di Kebijakan Kebudayaan
1.3.MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan penulisan ini diharapkan agar pembaca dapat membantu
perkembangan wawasan penalaran dan kepribadian agar memproleh wawasan yang luas
dan ciri ciri kepribadian yang diharapkan dari mahasiswa, khususnya berkenaan
dengan sikap dan tingkah laku manusia dalam menghadapai manusia manusia lain,
terhadap manusia yang bersangkutan secara timbal balik.
BAB II
POLITIK
2.1. PENGERTIAN POLITIK
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai deIinisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
O politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
O politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
O politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
O politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.
Ieodalistik (perilaku yang terpola secara Ieodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-
orang berdasarkan kelahiran atau proIesi sebagai bangsawan politik dan yang lain
sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang
banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan
perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai
bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan
yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan
dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan
individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun
dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang
berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional
diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan
peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi
internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang
berperan penting dalam politik internasional.
Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting,
karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang
dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa
membuat keputusan eIektiI, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik
cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power,
PBB menjadi relatiI lebih eIektiI untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai
tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk
mendapatkan dukungan atas inisiatiInya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB,
merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.
Untuk mengatasi berbagai konIlik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan
perdamaian dunia (peace keeping Iorce) yang bersiIat tetap dan berada di bawah
komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi
berbagai konIlik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap
yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah
operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama
saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusiI para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang
bisa menjadi aktor dan memengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun
lokal.
Masyarakat adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber
kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan
seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Negara
Negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan
pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas
merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konIerensi Montevideo pada tahun
1933.
2.4. Tokoh dan pemikir ilmu politik
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun
kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels,
Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo
Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci,
Harold Crouch, Douglas E Ramage.
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari
Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
2.5.Perilaku politik
Perilaku politik atau (Politic Behaviour) adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik. Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku
politik contohnya adalah:
O Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
O Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik
atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga
swadaya masyarakat
O Ikut serta dalam pesta politik
O Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
O Berhak untuk menjadi pimpinan politik
O Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna
melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang
dasar dan perundangan hukum yang berlaku
BAB III
INTEGRASI NASIONAL
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH INDONESIA
3.1. Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi Nasional pada hakikatnya adalah Pengertian bersatunya suatu bangsa yang
menempati wilayah tertentu integrasi calam sebuah negara yang berdaulat. Dalam
realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi
politik, aspek ekonomi (integrasi ekonomi, saling ketergantungan ekonomi antardaerah
yang bekerjasarna secara sinergjs), dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya,
hubungan antara suku, lapisan dan golongan).
Integrasi nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara. Melihat
keadaan dan kondisi dari Indonesia dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa diwujudkan
dengan mudah atau seperti membalikkan telapak tangan, ini semua disebabkan oleh
masyarakat Indonesia itu sendiri.
Secara umum integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orang-orang dari
berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial
budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa (nation) terutama karena
pengalaman sejarah dan politik yang relatiI sarna (Drake, 1989:16). Selanjutnya, dalam
menjalani proses pembentukan sebagai satu bangsa berbagai suku bangsa ini sebenarnya
mencita-citakan suatu masyarakat baru, yaitu sebuah masyarakat politik yang
dibayangkan (imagined political community) akan memiliki rasa persaudaraan dan
solidaritas yang kental, memiliki identitas kebangsaan dan wilayah kebangsaan yang
jelas serta memiliki kekuasaan memerintah (Anderson, 1983:15-16). Dalam tataran
integrasi politik terdapat dimensi yang bersiIat vertikal menyangkut hubungan elit dan
massa, baik antara elit politik dengan massa pengikut, atau antara penguasa dan rakyat
guna menjembatani celah perbedaan dalam rangka pengembangan proses politik yang
partisipatiI, dan dimensi horisontal, yaitu hubungan yang berkaitan dengan masalah
teritorial (Sjamsuddin, 1989:2).
Marilah kita lihat bagaimana proses pembentukan proses persatuan bangsa Indonesia
menurut pengalaman pembentuk sejarahnya. Bukan secara kebetulan bahwa masyarakat
yang kita cita-citakan terpampang dalam lambang negara dan bangsa Republik Indonesia
BHINNEKA TUNGGAL IKA, berbeda-beda namun satu jua. Semboyan ini berakar dari
sejarah pada masa kerajaan Majapahit, diangkat dari karya kakawin Sutasoma ciptaan
Empu Tantular, menggambarkan berkembangnya agama-agama, sekte-sekte agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda namun hidup berdampingan secara damai, karena
hakikatnya satu: menyembah Tuhan Sang Pencipta (Poerbatjaraka,1957:40-45).
Demikian pula dengan bangsa Indonesia yang Perbedaan berangkat dari suku Bangsa
yang beraneka ragam berikut dan banyak keberagaman lain yang melekat pada dirinya.
Kesamaan keberagaman, atau lebih lazim disebut perbedaan yang dimiliki bangsa ini
meliputi antara lain wilayah kepulauan yang demikian tersebar di antara kawasan-
kawasan laut di Nusantara, geograIi, ekologi, sistem mats pencaharian, ratusan budaya
etnis atau lokal, agama, kepercayaan, da:1bahasa (Wertheim, 1999:1-10;
Koenqaraningrat, 1971).
Di samping keberagaman atau perbedaan, berbagai suku bangsa di Indonesia juga
memiliki beberapa kesamaan :
O Pertama, adalah bahasa perhubungan antar suku dan antar bangsa (lingua Iranca),
yaitu bahasa Melayu yang dikenal dan digunakan oleh semua suku danorang-
orang asing yang mengunjungi seluruh kepulauan Indonesia, bahkan tE;.rsebar
hingga ke Asia Tenggara, pantai timur AIrika, Jazirah Arab, Asia Selatan, dan
Taiwan.
O Kedua, budaya penghormatan roh nenek moyang yang dilaksanakan dengan
berbagai bentuk sesajil penghorrnatan rnakam leluhur, pensakrala!l makam nenek
moyang atau ritual kematian.
O Ketiga, budaya pembuatan dan penggunaan jenis kapak batu, anak panah, dan
berbagai peralatan lain dari batu, dan perunggu pada budaya palaeolithicum,
mezolithicum, dan neolithicum. Budaya yang tersebar dari daratan Asia
Tenggara ke Sumatera hingga Papua Barat menunjukkan adanya persamaan
tingkat budaya dan hubungan budaya yang telah terja1in antara berbagai suku
(Soejono, 1984; Koentjaraningrat, 1971 :-21).
Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh kajian sistem
sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka biIurkasi sosial menurut
garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih memiliki signiIikansi untuk
bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang
baru oleh sebab consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem
krusial di masa-masa kemudian adalah Indonesia terus mencari Iormat-Iormat baru
integrasi nasionalnya sendiri.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan integrasi
nasional. Spanyol, sebagai misal, mengalami masalah integrasi nasional lewat persaingan
politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki masalah integrasi
nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen
Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus berkembang akibat
perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia seperti Thailand dan
Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus wilayah Pattani dan Moro.
Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan multikultur bukan Cuma monopoli
Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentiIikasi pola integrasi
nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positiI menuju integrasi
nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan. Pertanyaan pentingnya
kemudian adalah, apa yang sesungguhnya 'bergerak dalam pola integrasi nasional
Indonesia?
3.2. Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia
Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna
menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini
memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian akan
dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional Indonesia.
1.Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia yang
ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus integrasi
identitas. Persatuan dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya
saja kita bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan
kebahagian, ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan
diimpikan oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini.
BAB IV
INTEGRASI NASIONAL INDONESIA
KEBIJAKAN KEBUDAYAAN
Indonesia sebagai sebuah negara dalam realitasnya terpisah pada beberapa bagian dan
tingkatan, dari segi geograIis dipisahkan oleh lautan dengan beratus-ratus pulau besar
dan beribu-ribu pulau kecil. Kadangkalanya banyak pulau yang belum diberi nama,
bahkan belakangan ini dua pulau yang berada di kawasan Kalimantan telah menjadi
milik Negara Malaysia. Dari perspektiI kewilayahan tampak pembagian Indonesia
Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat, atau kawasan perkotaan dan perdesaan.
Realitas itu menyebabkan pula kewargaan penduduk Indonesia berbeda-beda dari segi
kebudayaan. Pengelompokkan kewargaan serupa itu diwujudkan dalam satuan satuan
etnik. Menurut kajian Hildred Geetz (1963), terdapat 300 kelompok etnik dan 250 jenis
bahasa. Yang setiap kelompok etnik itu memiliki identitas kebudayaan sendiri, termasuk
di dalamnya bahasa-bahasa yang digunakannya.
Paling tidak menurut Koentjaraningrat (1971), dari keanekaragaman itu dapat
dikategorikan atas 6 tipe sosial budaya masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat yang mata pencahariannya didasarkan kepada sistem berkebun yang
amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman utamanya dalam
gabungan dengan berburu dan meramu, sedangkan azas kemasyarakatnnya adalah
berupa desa terpencil tanpa diIerensiasi dan stratiIikasi sosial yang tegas.
2. Masyarakat perdesaan yang mata pencahariannya berazaskan kepada bercocok
tanam di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman utama, sistem dasar
kemasyarakatan adalah komunitas petani, sebagai kesatuan masyarakat petani.
Selain itu, masyarakatnya berorientasi kepada arah kehidupan kota, karena
masyarakat seperti ini merasa dirinya sebagai bagian dari suatu kebudayaan yang
lebih besar, yaitu kebudayaan kota, dari keadaan itu terwujud suatu peradaban
kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh para misionaris dan zending,
atau penyebar agama dan gelombang pengaruh agama Islam tidak dialaminya.
3. Masyarakat perdesaan yang berazaskan kepada pencaharian di ladang atau
mengarahkan segala perhatiannya untuk mewujudkan suatu peradaban bekas
kerajaan dagang, pengaruh kuat dari agama Islam bercampur dengan peradaban
kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh sistem pemerintahan kolonial.
maka akan wujud pemisahan kepada kelompok yang lebih kecil lagi. Pemisahan yang
didasarkan pada dialek, tempat asal dan ikatan sosial yang merujuk pada kesamaan
kepentingan ekonomi, keyakinan, dan bahkan kerabat, belum lagi keanekaragaman
penduduk Indonesia itu dilihat dari agama, maka akan dijumpai agama dunia yang diakui
pemerintah dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu, bermakna bahwa,
dalam kehidupan masyarakat Indonesia dari segi kebudayaan menunjukkan
kebhinnekaan yang beragam itu tentunya memerlukan secara berterusan upaya integrasi
dalam suatu kebudayaan nasional Indonesia.
Dengan demikian, tidaklah menutup kemungkinan apabila mengabaikan segi masyarakat
dan kebudayaan serupa itu, maka dapat menimbulkan konIlik antarsuku-bangsa dan
agama seperti telah terjadi di masa-masa sebelum ini, yang berwujud pemberontakan:
1) Republik Maluku Selatan;
2) kelompok gerilyawan Bugis, atau dikenal sebagai peristiwa Kapten Andi Azis;
3) Darul Islam di Jawa Barat, yaitu gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk
negara yang berazaskan Islam;
4) Darul Islam di Sulawesi Selatan;
5) Darul Islam di Kalimantan Selatan
6) Darul Islam di Aceh;
7) Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat; dan
8) Permesta di Sulawesi Selatan. Meski menurut Karl D.Jackson (1990), ideologi
Islam kurang terbukti sebagai sumbu ledak pemberontakan Darul Islam di Jawa
Barat.
Pembelahan penduduk Indonesia juga dapat ditimbulkan oleh adanya pelapisan sosial,
maka akan wujud dalam masyarakat strata atas, menengah dan strata bawah. Masyarakat
berpendidikan dan tidak berpendidikan, atau masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Pembelahan sosial dan budaya serupa itu, menunjukkan bahwa Bangsa
Indonesia memang penduduknya beragam dengan segala ciri-ciri dan siIa-siIatnya yang
dapat memberikan kesan ke atas suasana gejolak kehidupan sosial. Tidak dapat
dipungkiri lagi segala implikasi dari keberagaman itu, seringkali menjadi duri
penghalang kepada berlangsungnya integrasi nasional. Bahkan belakangan ini, hampir
setiap hari disuguhkan oleh pelbagai media massa baik elektronik maupun cetak tentang
berita dan tayangan mengenai konIlik antar kelompok kepentingan, etnik, dan agama.
Dalam konteks itu, pada masa pemerintahan Orde Lama ada kata baku yang ditabukan
untuk diucapkan atau dinyatakan oleh setiap Warga Negara Indonesia, yaitu SARA.
Padahal realitas sosial dan budaya seperti itu, jika hanya dijadikan kata tabu dan
dinyatakan tidak perlu dipertentangkan lagi, justru akan bercorak centrifugal. ang bila
tidak mendapat perhatian dan penanganan serius akan berakibat negatiI pada kehidupan
bermasyarakat di masa mendatang. Memang upaya ke arah wujudnya kebudayaan
nasional Indonesia sebagai mekanisme dan tata pergaulan kehidupan warga masyarakat
terus diupayakan tetapi tidak jarang pula usaha itu mengarah pada dominasi kebudayaan.
Penyeragaman atas unsur-unsur kebudayaan telah menjadi ciri di negeri ini, sebut saja
misalnya dalam hal pangan, beras menjadi makanan pokok bangsa ini, pakaian,
bentuk dan model arsitektur rumah dan bangunan menjadi pemandangan yang serupa
yang dapat dilihat pada setiap daerah di wilayah Indonesia. Belum lagi penyeragaman
tata pemerintahan dan sejarah nasional yang mengabaikan sejarah lokal. Upaya
penyeragaman kebudayaan dengan cara dominasi satu kebudayaan terhadap kebudayaan
lainnya seperti yang telah dilakukan selama ini, tampaknya dimaksudkan agar tercapai
persatuan bangsa yang terintegrasi dalam tataran nasional. Padahal hakekat integrasi
nasional dalam takaran sosio-antropologis mencakup arena yang lebih luas dan tidak
sekadar untuk penyelesaian sekitar konIlik sosial yang berlatar etnik. Sebab, seperti telah
dikemukakan di atas bahwa pemisahan dan pembelahan sosial yang berlangsung di
Indonesia wujud dalam pelbagai bentuk dan tingkat. Itu artinya, penyelesaian melalui
penyeragaman kebudayaan atas nama kebudayaan nasional, seperti yang selama ini
dilakukan justru dapat menimbulkan ancaman disintegrasi.
Kebijakan kebudayaan dalam konteks integrasi nasional bukan berarti tidak pernah
dikenal dalam peta politik di Nusantara, karena pemerintah kolonial Belanda tatkala
menguatkan kekuasaannya di Nusantara tempo dulu, menempatkan semua jabatan di
wilayah yang paling gawat dalam kacamata mereka dipercayakan kepada ahliahli yang
tahu tentang masyarakat dan kebudayaan setempat untuk dengan bijak (lihay?)
menangani masalah politik dan sosial regional, ekonomi dan kebudayaan lokal tanpa
menimbulkan pemberontakan bersenjata yang akan amat mahal harganya untuk dibasmi.
Pidato pengukuhan gurubesar J.P.B. De Josselin De Jong pada Universiteit Leiden,
tanggal 24 Mei 1935 yang bertajuk epulauan Indonesia Sebagai Lapangan Penelitian
Etnologi, salah satu bukti betapa pendekatan etnologi ketika itu amat sangat
diperhatikan untuk dapat lebih mengenal dan memahami suku bangsa yang beragam di
Indonesia. Pendekatan itu mendapat tempat yang utama dalam
bukan sekadar berita, tetapi suatu kenyataan yang dijumpai di Mapanduma dan Timika,
penyelesaian Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Loro Sae, peristiwa Sangau
Ledo di Kalimantan Barat, dan kerusuhan di Sampit Kalimantan Tengah. Perseturuan
yang cenderung tiada henti di Ambon dan Maluku, atau kerusuhan lainnya di pelbagai
kota di Indonesia dan keinginan berbagai daerah membentuk provinsi dan kabupaten
atau kota sendiri yang lepas dari provinsi ataun kabupaten/kota induknya, dan bahkan
kecenderungan hendak melepaskan diri dari ikatan NKRI. Semuanya itu tidaklah dapat
dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan
dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan Indonesia sebagai wahana
pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan yang selama ini memang untuk
memperbaiki taraI hidup dan kesejahteraan manusia, hanya sayang bahwa dalam hal ini,
orang sering lupa, yaitu manusia manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia
dengan berbagai macam kebudayaan masalah ini menjadi masalah yang sangat perlu
diperhatikan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak
selamanya cocok bagi orang Bugis atau Batak; apa yang dipandang menguntungkan oleh
orang Minangkabau atau Padang tidak selamanya demikian bagi orang Jawa atau Bali,
atau apa yang bernilai bagi orang Melayu belum tentu bernilai bagi orang Banten. Dalam
konteks itu, persoalan integrasi untuk siapa menjadi sangat penting diperhatikan, artinya,
kita tidak dapat mengunakan ukuran yang ada pada sistem nilai kita saja, yang biasa
menjadi ukuran penentu kebijakan itu. Apakah untuk ukuran baik-buruk, bahagia-celaka
atau untung-rugi. Bagaimana pun juga kita perlu memahami betul nilai-nilai yang ada
pada masyarakat agar tujuan bernegara tercapai dan sesuai dengan nilai yang ada pada
masyarakat itu. Dengan pemahaman ini, strategi kebudayaan dapat ditentukan dari
pandangan atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang akan
ditentukan itu mengikuti realitas sosial-budaya yang dihadapi masyarakat. Kematian
akibat kelaparan seperti yang terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala pengenalan
beras sebagai makanan pokok mereka di-introduksi melalui teknik bercocok tanam yang
sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri. Bukan kebijakan yang
dipaksakan untuk penyeragaman makanan pokok bangsa Indonesia. Demikian juga
berbagai kasus lainnya di Indonesia yang sekarang muncul kepermukaan yang dikemas
politik, tetapi jika dikaji lebih mendalam lagi persoalannya ialah kebudayaan masyarakat
diabaikan. Artinya, kebijakan yang diterapkan selama ini menempatkan sahabat menjadi
musuh atau kawan menjadi lawan. Integrasi menjadi disitegrasi, sehingga mengarah pada
terpecahnya NKRI,
serta keinginan yang berbasis masyarakat lokal untuk menjadikan negara-negara bagian
pada satuan-satuan wilayah kebudayaan suku-bangsa Semua itu, akibat menempatkan
kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan seolah-olah telah memperhatikan
sisi kebudayaan masyarakat lokal. Lebih jauh lagi, sering dinyatakan, bahwa kebijakan
itu sudah sejalan dengan aspirasi warga masyarakat serta sudah memenuhi semua
ketentuan hukum yang diwujudkan dalam takaran politik nasional berbungkus
ketetapan MPR dan Perundang-undangan, seperti halnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Padahal kebijakan-kebijakan tersebut
merupakan politik penyeragaman kebudayaan tanpa memperhitungkan keragaman
budaya suku-bangsa yang ada di Indonesia. Itu artinya, selama 30 tahun telah
berlangsung pengingkaran atas semangat inneka Tunggal Ika. Dari sisi ini
menunjukkan kepada kita bahwa politik penyeragaman kebudayaan yang dikemas
dalam selimut kebudayaan nasional itu kini mulai digugat banyak pihak, sehingga
terciptalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Semangat
otonomi yang sedemikian deras telah melahirkan sikap dari berbagai daerah ingin
melepaskan diri dari kekuatan kekuasaan pusat atau provinsi, seperti halnya yang
dahulu dikenal sebagai Wilayah Keresidenan Banten, kini telah menjadi provinsi
tersendiri lepas dari Provinsi Jawa Barat, demikian juga provinsi-provinsi lainnya yang
baru terbentuk selepas pemberlakuan undang-undang tersebut. Bahkan tidak dapat
dinaIikan kecenderungan warga masyarakat lokal yang terikat oleh kebudayaan dalam
satuan provinsi tumbuh keinginan melepaskan diri dari NKRI.
Akhir-akhir inipun tumbuh suatu sikap menentang dari orang-orang daerah atas
keputusan pusat. Misalnya, kepemilikkan PT. Semen Padang di Sumatera Barat dan
penolakan terhadap apa-apa yang telah diputuskan Jakarta (orang pusat), seperti yang
terjadi pada PDI-Perjuangan di Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Bali. Tentunya, realitas sosial-budaya yang berkembang itu tidak dapat dibiarkan begitu
saja. Sebab, kenyataan yang berkembang itu dapat menimbulkan banyak persoalan yang
wujud sebagai akibat meningkatnya sentimen kemasyarakatan yang didasarkan pada
semakin menebalnya rasa kesukubangsaan di setiap daerah, terutama pada tataran
daerah kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia.
artinya, antara sektor modern dan tradisonal tiada keterpaduan yang diarahkan kepada
jalinan saling menguntungkan. Imbas dari keadaan itu menunjukkan masyarakat dan
kebudayaan yang terbentuk oleh situasi tersebut menjurus pada tingkat kehidupan sosial
dan budaya yang berbeda satu masa lainnya. Masyarakat pendukung sektor modern
semakin maju dan berkembang, sedangkan yang keadaan masyarakat satunya lagi
semakin terpuruk dan tertinggal oleh perkembangan dunia modern. Dari segi ini dilema
etnisitas menjadi pemicu bangkitnya solidaritas etnik. Karena itu, seringkali terdengar,
bahkan sudah biasa dianjurkan, bahwa persatuan etnik atau suku-bangsa itu sangat
diperlukan untuk mencapai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Manurut pendapat
dan anjuran itu, menunjukkan bahwa persatuan etnik sudah seharusnya dicapai terlebih
dahulu sebelum dicapai persatuan nasional. Hal ini, berarti bahwa persatuan etnik
dilihat sebagai satu syarat mutlak untuk mencapai persatuan nasional, kemudian timbul
masalahnya ialah apakah pendapat ini bernar? Perbedaan pendapat terhadap
pembenaran demikian tentulah tidak dapat dikesampingkan, malahan menjadi hal yang
utama, ada suatu anggapan pula bahwa
dengan terlalu menekankan etnisitas dan membangkitkan perkembangan perasaan
kesuku-bangsaan akan menghambat komunikasi di antara warga-warga dari etnik yang
berbeda. Selain itu, juga pada suatu negara yang wujud dengan perasaan solidaritas
etnik yang padu dan kuat, justru akan membangkitkan masyarakatnya untuk
menyatupadukan perasaan ketidakpuasan dan tuntutan politik mereka dengan mengikut
garis etnik. Mereka menyadari bahwa apa pun tindakan politik, tidak akan bermakna
dan berkesan apabila tidak dikaitkan dengan kepentingan etnik. Hal ini berarti akan
memperkuat lagi perasaan permusuhan, prasangka sosial-budaya dan ketegangan sosial
di antara etnik-etnik pada akhirnya dapat memusnahkan kesadaran tentang pengalaman
bersama yang mutlak diperlukan dalam kehidupan bernegara. Kesimpulannya, masalah
kebijakan kebudayaan yang terkait dengan integrasi nasional menjadi penting
direnungkan kembali setelah sekian puluh tahun masyarakat di Indonesia menjalani
kehidupan bernegara.
Dalam konteks untuk mencari dasar persatuan melalui gejala empirik tentang:
1) pengentasan kemiskinan tanpa membeda-bedakan etnik;
2) ketidakseimbangan capaian ekonomi di antara etnik dan menghilangklan kesan
monopoli terhadap kegiatan ekonomi serta penguasaan penghunian kawasan tempat
tinggal oleh suatu golongan atau etnik tertentu;
BAB V
PENUTUP
5.1.KESIMPULAN
Demikianlah proses integrasi nasional bangsa Indonesia telah dipaparkan dalam
dimensi sejarah, sebuah jawaban yang sangat panjang atas pertanyaan "apa yang terjadi
dengan proses integrasi nasional kita". Inti historis jawabnya adalah bahwa kita telah
membangun suatu bangsa dan mencapai integrasi nasional. Namun banyak harapan tidak
terwujud pada sebagian bangsa ini, hingga melakukan langkah berbeda arah dengan
tujuan umum bangsa yang melemahkan integrasi. Harus diakui bahwa kita masih
menyimpan banyak masalah yang harus diselesaikan, dan kita meninggalkan luka-luka
yang masih menyakitkan pada diri kita sebagai bangsa yang harus kita sembuhkan.
Masalah pertama adalah membangun kembali Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya berperan sebagai kultur normatiI dan alat pemersatu bangsa.
Nilai-nilai Pancasila akan menentukan orientasi tujuan serta sistem sosiopolitik pada
tingkat makro dan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan
individual. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya menjadi Iaktor determinan bagi
kehidupan moral berbangsa, tetapi juga memberikan landasan ideologis bagi berbagai
unsur dalam masyarakat Indonesia yang bersiIat pluralistis itu. Selain itu, Pancasila
sebagai ideologi negara mengandung nilai-nilai yang menjadi komponen dari
nasionalisme sebagai dasar untuk memperjuangkan realisasi dari integrasi nasional
Indonesia.
5.2.SARAN
Dari paparan pembahasan di atas, kita sebagai generasi penerus bangsa dari golongan elit
terpelajar, yang memiliki ilmu pengetahuan, keariIan intelektual, dan kepekaan sosial.
Dengan membaca sejarah kita mengetahui bahwa golongan terpelajar adalah pelopor
perubahan, pembawa ide kemajuan dan pembaharuan, dan motor penggerak perjuangan
bangsa. Perjuangan kita menjadi berbobot berkat proses belajar dan berdialog dengan
masyarakat. Maka teruslah membaca, menganalisis, menulis dan berdialog, agar tugas
sejarah" dapat laksanakan dengan baik.