Anda di halaman 1dari 4

1.

Pembuatan Vaksin
Dalam praktikum pembuatan vaksin ini diketahui bahwa pada prinsipnya vaksin dapat
mencegah terjadinya inIeksi yaitu vaksin yang mengandung seluruh sel dan vaksin
dapat mencegah eIek inIeksi. Hal ini senada dengan Anderson (1974), yang
menyatakan bahwa vaksin berIungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu sel-sel
terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah
limIosit
Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah
disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktiIkan dengan larutan
Iormalin sampai 2 dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen,
sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan
menggunakan sentriIuse selama 10 menit pada kecepatan 4000 rpm. Sebelum vaksin
digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat
kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil
sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada
yang hidup, inaktiIasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam
reIrigerator untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur
murni bakteri pada medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24
jam. Inaktivasi bakteri dengan cara pemanasan pada suhu 100
o
C selama 30 menit.
Selanjutnya dicuci dengan Phosphate BuIIer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali
dengan sentriIuse (4000 rpm selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan
dalam reIrigerator sampai digunakan.
Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar didapat
bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi
campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antibodi terhadap antigen O
bersiIat protektiI.
2. Vaksinasi
Pada praktikum ini dilakukan secara oral yaitu memasukan langsung kedalam
mulut ikan nila. Hal ini senada dengan pendapat Souter (1984), bahwa
vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal, injeksi intramuskular,
merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin bertekanan
tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral.
Metode ini dilakukan pada awal vaksinasi dan akhir vaksinasi. Kemudian
setelah 1 minggu dilakukan booster atau vaksinasi ulang untuk meningkatkan
antibodi dikarenakan adanya proses pengenalan terhadap antigen yang sama
untuk kedua kalinya. Hal tersebut dapat meningkatkan respon imun yang
disebabkan karena sel-sel memori yang terbentuk setelah dilakukan booster
(Kamiso dan Triyanto, 1990)
Namun kenyataannya pada praktikum ini mengalami kematian pada ikan yang
diberi vaksin (perlakuan) maupun ikan yang tidak diberi vaksin (kontrol).
Hal ini kemungkinan disebabkan tidak terbentuknya antibodi yaitu dimulai
dengan adanya 2 macam sel limIosit, limIosit T yang dipersiapkan oleh atau
mempunyai ketergantungan dari kelenjar timus dan berperanan dalam
kekebalan seluler dan limIosit B yang mempunyai ketergantungan dari bursa
dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua macam limIosit seharusnya
setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliIerasi dan perubahan
morIologi. LimIosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan
mengeluarkan antibodi. Kemudian limIosit T berubah menjadi sel limIoblas
yang mengandung banyak ribosom sehingga menjadi basoIilik dalam
pewarnaan. Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan
dalam Ab adalah serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi
digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antara antigen dengan antibodi
atau disebut dengan aglutinasi.
Setelah dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas
yaitu terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin. Namun hal
tersebut tidak sesuai dengan hasil praktikum kami, dimana tidak ada peningkatan,
seharusnya didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah ada respon imun yang
terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi
antigen- antibodi.
Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer antibodi
tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan
bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang
memilki titer tinggi. Hal tersebut tergantung siIat dan kemampuan Ab yang terbentuk
walaupun Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan).
SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin. Tingkat
SR dalam praktikum ini , hal ini dipengaruhi adanya perbedaan kondisi lokasi
percobaan, baik keadaan Iisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin
tingkat keganasan dari bakteri aeromonas hydrophila yang ada serta cara
pemeliharaan.
RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatiI digunakan untuk
menunjukkan eIikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari
serangan bakteri. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji
laboratorium dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100.
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum dari vaksinasi dan kontrol menunjukkan
hasil , rendahnya nilai RPS dalam praktikum ini diduga karena kondisi lingkungan
yang kurang memadai dan relatiI tidak stabil, serta ukuran ikan yang tergolong masih
kecil yaitu berukuran panjang 4-5 cm dengan bobot 1 gr. Hal dikarenakan umur ikan
sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau semakin tua ikan nila
yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune (1980), semakin besar
atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin baik, sebab organ
tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih berkembang.

MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu
mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk
mencegah bakteri aeromonas hydrophila mengatakan bahwa meskipun vaksinasi
meningkatkan tingkat perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak
berbeda antara ikan yang divaksin dan kontrol.

Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi juga
seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-
sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun
seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa
pertahanan humoral berperan di dalam sel limIosit B dan sedangkan petahanan seluler
berperan dalam sel limIosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh
antigen maka akan mengalami proliIerasi dan perubahan morIologi. Pada sel limIosit
B akan menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan
demikian apabila sel limIosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka
produksi antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat.

Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri
adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk
merangsang kekebalan spesiIik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan
yang erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya
titer antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja
pada jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan
demikian tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan
variasi antigenik dari bakteri vibrio tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat
kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik eIikasi vaksin
yang digunakan untuk merangsang sel limIosit dalam membentuk antibodi maka
semakin baik pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan
menekan tingkat kematian yang tinggi akibat inIeksi bakteri dan sebaliknya akan
meningkatkan laju pertumbuhan.

2216 dl nenlyullus ulposkan oleh

Anda mungkin juga menyukai