1. PENGERTIAN HUKUM ADAT WARIS Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menerapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseoang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Menurut Prof.Soepomo dalam "Bab-bab Hukum Adat merumuskan hukum adat waris sebagai berikut : "Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriale goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Ter Haar dalam "Beginselen en stelsel van het adat recht merumuskan hukum adat waris sebgai berikut : "Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dalam proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil, dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah, bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur essensialia (mutlak), yakni : a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan. b. Seorang atau beberapa ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan "in concreto yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu. Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta pengoperan kepada orang yang berhak menerima harta-kekayaan itu, selalu menimbulkan persoalan sebagai berikut : 4 Unsur pertama menimbukan persoalan, bagaimana dan samapai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana sepeninggal warisan itu berada. 4 Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeuargaan antara peninggal warisan dan ahli waris. 4 Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana sipeninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada. Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa kita wajib mengadakan pemisahan yang jelas antara proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan pada masa pemiliknya masih hidup dan proses pada waktu sesudah pemiliknya meninggal dunia.
. SIFAT HUKUM ADAT WARIS Hukum adat waris menunjukan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional ndonesia. Hukum adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa ndonesia. Oleh karena itu, maka hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang prinsipal dengan hukum Waris Barat antara lain sebagai berikut : Hukum Adat Waris Hukum Waris Barat seperti yang tercantum daIam KUHPer Tidak mengenal "legitimie por tie, akan tetapi Hukum Adat Waris menetapkan dasar persamaan hak; hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan hak hukum adat waris juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.
Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk untuk dibagi antara para ahli waris. Mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta peninggallan, bagian warisan menurut ketentuan undang- undang ("wettelijk erfdeel atau "legitieme portie pasal 913 s.d 929).
Menentukan adanya hak mutlak dari ahli waris masing- masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. (pasal 1066 KUHPer).
Sedangkan kalau kita adakan perbandingan dengan hukum waris menurut hukum islam, maka diketemukan perbedaan-perbedaan prinsipal yang antara lain sebagai berikut : Hukum Adat Waris Hukum IsIam Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk watu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. Tiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya. Tidak dikenal ketentuan ini. Dikenal system "penggantian waris Tidak dikenal Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Bagian-bagian para ahli waris telah ditentukan; pembagian harta peninggalan menurut ketentuan tersebut. Anak perempuan, khususnya di Jawa apabila tidak ada anak laki-laki, dapat menutup hak mendapat bagian harta- peninggalan kakek-neneknya dan saudara- saudara orangtuanya. Hanya menjamin kepada anak perempuan mendapat bagian yang pasti dari harta peninggalan orangtuanya. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, asal dan Merupakan suatu kesatuan harta warisan, kedudukan hukum daripada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.
Hukum adat waris sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan serta pengaruhnya pada harta kekayaan yang diinggalkan dan berada dalam masyarakat itu.
. SISTEM KEWARISAN ADAT Di ndonesia kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut : a. Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa. b. Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum dimana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi- bagikan pemiliknya diantara para ahli waris dimaksud dan ahanya boleh dibagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat "matrilineal di Minangkabau. c. Sistem kewarisan mayorat, ciri harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari suatu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua di tanah Semendo di Sumatera Selatan di mana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.
4. HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini, berdasarkan atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibeda-bedakan sebagai berikut : a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi (misalnya barang-barang milik suatu kerabat atau famili). b. Karena kedudukan hukumnya memang terikan kepada suatu tempat/jabatan tertentu. c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon. d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak dijumpai di Jawa. e. Karena hanya diwaris oleh seorang saja (sistem kewarisan mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya yang memang tidak memberi kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama, dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi, atau barang itu merupakan lambing persatuan serta kesatuan daripada keluarga yang bersangkutan. Tiap anak yan lahir dalam keluarga itu turut serta menjadi pemilik. Sedangkan tiap-tiap suami ataupun isteri yang meninggal dunia selalu membiarkan saja barang-barang itu dalam keadaan semula.
Harta-pusaka di Minangkabau Sifat kekeluargaan di Minangkabau yang "matriarchaal ini memperlihatkan adanya barang-barang keluarga seperti tanah-pertanian, pekarangan dengan rumah ternak, perkebunan, keris dan lain sebagainya, yang merupakan harta-pusaka milik suatu keluarga. Barang-barang demikian ini hanya dapat dipakai saja ("genggam bauntuiq) oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak boleh dimiliki oleh mereka itu masing-masing. Dengan demikian harta pusaka itu mempunyai tingkatan yang sesuai dengan tingkatan-tingkatan keluarga, artinya sebagai berikut : a. Harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau kerabat (Ter Haar menyebut "familie) yang dipimpin oleh seorang "penghulu andiko. b. "harta pusaka rendah dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil, yang terdiri atas isteri dengan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-saudaranya sekandung beserta keturunan saudaranya perempuan yang sekandung.
Tanah - dati di semenanjung Hitu (Ambon) Sifat kekeluargaan di daerah ini adalah "patriarchaal. Tanah-tanah yang didapat seorang secara membeli atau membuka hutan, lama-lama menjadi miliknya famili keturunan pemilik semula. Jadi sepeninggalnya pemilik semula tanah-tanah dengan tanamannya tetap tinggal tidak dibagi-bagi. Seperti halnya harta-pusaka di Minangkabau, maka tanah-dati ini, apabila Dati (=kerabat) yang menguasai tanah itu lenyap (habis karena tiada keturunannya lagi), maka tanah itu jatuh ke tanga Dati yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang terdekat.
5. PENGHIBAHAN ATAU PEWARIS (TER HAAR : "TOESCHEIDINGEN") Merupakan kebalikan daripada harta peninggalan yang tidak dapat dibagi- bagi adalah perbuatan penghibahan atau pewarisan, yaitu pembagian keseluruhan atau sebagian daripada harta-kekayaan semasa pemiliknya masih hidup. Adapun dasar pokok ataupun motif daripada penghibahan ini adalah tidak berbeda dengan motif daripada tidak memperbolehkan membagi-bagi harta peninggalan kepada para ahli waris yang berhak, yaitu harta kekayaan "somah merupakan dasar kehidupan materil yang disediakan bagi warga "somah yang bersangkutan beserta keturunannya. Disamping motif umum ini, khususnya di daerah-daerah yang sifat hubungan kekeluargaannya "matriarchaat ataupun "patriarchaat, penghibahan harta kekayaan demikian ini merupakan juga suau jalan untuk seoran bapak ataupun seorang ibu memberikan sebagian daripada harta-pencahariannya langsung kepada anak-anaknya, hal mana sesungguhnya merupakan penyimpangan daripada ketentuan hukum adat waris yang berlaku di daerah-daerah yang bersangkutan. Agar supaya di dapat gambaran yang jelas mengenai masalah hibahan ini, maka di bawah ini diuraikan beberapa contoh penghibahan yang terjadi di ketiga daerah sifat kekeluargaan yang ada, yaitu parental, patriarchaat dan matriarchaat. a. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan parental, contohnya adalah suatu keluarga di Jawa yang terdiri atas suami-isteri dengan beberapa anak laki0laki dan perempuan. Apabila anak yang tertua itu seorang anak laki-laki, maka ada suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah sebagian daripada harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian, pada waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuwat gawe) sebagai dasar materiil untuk kehudupannya selanjutnya setelah ia mentas. b. Pada suatu keluaga dengan sifat kekeluargaan matriarchaat, menurut hukum adat waris di daerah Minagkabau, maka harta-pencarian seoran suami, tidak akan diwaris oleh anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara-saudaranya sekandung beserta keturunan saudara-saudara perempuan sekandung. c. Pada suatu keluarga dengan sifat kekeluargaan patriarchaat, pada suku Batak di daerah Toba, ketetuan hukum adat warisnya adalah, bahwa hanya anak laki-laki sajalah yang akan mewarisi harta peninggalan bapaknya. Ketentuan-ketentuan demikian ini dalam prakteknya diperlunak dengan penghibahan sawah atau ternak oleh bapak kepada anak-anak perempuan yang tidak atau suda kawin, bahkan juga kepada cucu-cucunya yang pertama. Yang perlu diperhatikan dalam maslah hibah ini adalah, bahwa penghibahan sebidang tanah kepada seorang anak itu merupakan suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual, melainkan suatu transaksi pengoperan tanah dalam lingkngan keluarga. Oleh karena merupakan suatu transaksi tanah, maka penghibahan tanah harus dilakukan dengna bantuan kepala persekutuan, supaya menjadi sah serta "terang. Perlu pula diketahui , bahwa sesuai dengan Keputusan Mahakamah Agung tanggal 23 Agustus 1960 Reg. No. 225K/Sip/1960 tentang hibah ini ditetapkan sebagai berikut : i. Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris. ii. Hibah tidak mengakibatkan ahli waris dari sipenghibah tidak berhak lagi atas harta peninggalan dari sipenghibah.
. HIBAH-WASIAT, WEKASAN (JAWA), UMANAT (MINANGKABAU), PEUNEUSAN (ACEH), NGENDESKAN (BATAK) Hibah-wasiat merupakan juga suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa masih hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tenang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Yang dimaksud dengan hibah-wasiat ialah terutama untuk mewaibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya. Maksud yang kedua ialah untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta-peninggalannya di kemudian hari di antar para ahli waris. Hibah-wasiat dapat meliputi haya sebagian harta-kekayaan yang akan ditinggalkan saja atau keseluruhan dari harta-kekayaan. Yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh seorang yang akan pergi naik haji. Hibah- wasiat ini, sepert juga pewarisan atau penghibahan, menurut Prot. Soepomo mempunyai dua corak sebagai berikut : a. Mereka yang menrima barang-barang harta itu adalah ahli waris yaitu isteri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewarisan atau hibah-wasiat hanya merupakan perpindahan harta benda di dalam ahli waris. b. Orangtua yang mewariskan itu meskipun terikat oleh peraturan, bahwa segala anak harus harus mendapat bagian yang layak, demikian, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris sesuat anak adalah bebas di dalam menetapkan barang-barang manakah akan di terimakan kepada anak A dan barang-barang mana kepada anak B atau kepada isteri. Hibah-wasiat juga mempunyai fungsi lain yaitu : :mengadakan koreksi di mana perlu, terhadap hukum waris abintestato menurut peraturan-peraturan tradisional atau agama, yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh peninggal warisan.
. HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA PENINGGALAN Harta peninggalan keluarga tida merupaka satu kumpulan ataupun kesatuan harta benda yang semacam dan seasal. Oleh karena itu, maka pelaksanaan pembagiannya kepada para ahli waris yang berkepentingan tidak dapat begitu saja dilakukan melainkan wajib diperhatikan sepenuhnya sifat (macam), asal dan kedudukan hukum daripada barang-barang itu masing-masing. Dan sekarang tergantung daripada sifat (macam), asal dan kedudukan hukum dari barang-barang yang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah kekuasaan atas barang-barang itu akan beralih kepada para ahli waris atau beberapa orang dari mereka. Didalam harta-benda kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan itu terdapat barang asal dari suami, barang asal dari isteri dan barang gono-gini. Perbedaan sifat daripada barang-barang ini, sama sekali tidak berarti, apabila suami-isteri yang bersangkutan mempunyai anak. Perlu kiranya diperhatikan juga, bahwasanya harta peninggalan itu tidak selamanya terdiri atas bagian-bagian yang menguntungkan para ahli waris saja, tetapi kadang-kadang terdapat pula bagian- bagian yang menguntungkan para ahli waris saja, tetapi kadang-kadang terdapat pula bagian-bagian yang merupakan beban kepada para ahli waris, yaitu hutang- piutang dari yang meninggal dunia yang masih belum dilunasi.
Barang-barang kerabat ataupun barang formiI Barang-barang ini biasanya dibawa ke dalam harta kekayaan keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang diperolehnya secara warisan dari orangtuanya dan orangtua ini memperoleh barang-barang itu dulu jug asecara warisan dan begitu seterusnya; pokony abarangbarang itu sudah menjad turun- menurun menjadi barang warisan. Barang-barang pusaka yang keramat Barang-barang pusaka yang keramat, seperti keris, tumbak, rencing dan lainnya yang dianggap dapat membawa kebahagiaan kepada keluarga, tidak boleh disamakan dengan barang-barang biasa rumah tangga lainnya. Barang-barang somah atau barang-barang keIuarga Hubungan keluarga di dalam somah (suami-isteri-anak-anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap barang-barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama, kedua, ketiga da seterusnya. Anak anak dari perkawinan pertama berhak mewariskan barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pertama , sedangkan anak-anak dari perkawinan kedua tidak mempunyai hak itu. Barang-barang yang beIum bebas dari hak pertuanan, hak uIayat desa Sepeti sawah "Kasikepan di Cirebon yang tidak bebas dari hak pertuanan itu, apabila pemeganya meninggal dunia, maka sawah itu tidak boleh jatuh kepadaorang yang : i. Bukan warga desa yang bersangkutan ii. Tidak bertempat tinggal di desa di dalam daerah mana sawah kasikepan dimaksud terletak. iii. Telah memiliki sawah kasikepan yang lain. Peninggal sawah kasikepan ini hanya diperbolehkan mengoperkan sawah itu kepada anak yang tetap tinggal di desanya dengan persetujuan rapat desa. Barang-barang dengan wujud tertentu Peraturan sendiri yang mengatur tntang pengoperan barang-barang dengan wujud tertentu ini ("feitelijk bepaalde goederen) bukan merupakan peraturan yang melarang atau mewajibkan, melainkan merupakan suatu anjuran yang seberapa boleh supaya diturut.
Hutang-hutang Dalam hukum adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang sipeninggal warisan. Biaya membayar mayat (khusus untuk BaIi = biaya membakar mayat) Biaya untuk menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkannya (membakarnya, "mengabeni mayat di Bali) memang bukan termasuk bagian dari harta peninggalan. Malahan harta yang masuk menjadi harta peninggalan harus dipakai terutama sekali untuk membiayai penyelenggaraan upacara mayat beserta penguburannya (pembakarannya).
8. PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN Pembagian harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada suatu ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan pemufakatan atau atas kehendak bersama daripada para ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli wari, maka pembagianit biasanya berjalan secara rukun, di dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris. Pembagian berjalan atas dasar kerukunan. Sebagai contoh dapat dikemukakan berdasarkan kebiasaan di daerah Banten, yakni bahwa rmah tinggal orangtua biasanya dibagikan kepada anak perempuan, oleh karena si suami lazimnya datang berdiam di rumah isterinya. Pembagian harta peninggalan atas dasar kerukunan, biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan, bahwa semua anak, baik laki maupun perempuan, pada dasarnya mempunyai hak sama atas harta peninggalan orangtuanya. Perbadaan agama adalah tidak merupakan soal; bukan soal pula siapa yang lahir terlebih dahulu. Jikalau dalam pembagian harta itu tejadi pengoperan sebidang tanah, maka pelaksanaan pengoperannya wajib dilakukan dengan bantuan kepala desa, satu dan lain supaya menjadi terang dan sah.
9. PARA AHLI WARIS Unsur ahli waris ini, seperti telah diuraikan menimbulkan suatu persoalan, yaitu bagaimana dan sampai di mana harus ada tali-kekeluargaan antara sipeninggal warisan di satu pihak dan para ahli waris di pihak lain, agar harta kekayaan sipeninggal warisan data beralih kepada ahli waris. Dalam hukum adat anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris, apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak. Tentang pembagiannya, menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179 K/Sip./1961, anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan berama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan. Di daerah minangkabau misalnya, yang masyarakatnya menganut sifat susunan kekeluargaan matriarchaat, apabila yang wafat itu seorang suami, maka anak-anaknya tidak merupakan ahli waris dari harta pencahariannya, sebab anak- anak itu merupakan warga anggota famili ibunya, sedangkan bapanya tidak; bapaknya merupakan warga familiya sendiri. Oleh karena itu maka harta pencariannya idak diwarisi anakanaknya, tetapi diwarisi oleh saudara-saudara sekandungnya. Di daerah Lampung dan Tapanuli yang masyarakatnya menganut sifat susunan kekeluargaan patriarchaat, seorang gadis yang sudah kawin secara "jujuran dan oleh karenanya setelah perkawinan masuk kerabat suaminya dan dilepaskan dari hubungan kerabatnya sendiri, tidak meripakan ahli waris dari orangtuanya yang meninggal dunia. Tetapi sekarang pada umumnya dilakukan penghibahan kepadanya oleh orangtuanya sebagai koreksi terhadap hukum adat waris yang berlaku di daerah itu. Di pulau Bali yang hubungan kekeluargaannya jug abersifat patriarchaat, hanya anak lelaki yang tertua sering mewarisi seluruh harta peninggalan, tatpi dengan kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Di Savu dengan sifat hubungan keluarga parental, harta peinggalan seorang ibu hanya diwarisi oleh anak-anak perempuan dan harta peninggalan seorang bapak hanya diwarisi oleh anak laki-laki. Kini di daerah ini juga terjadi penghibahan barang-barang pusaka dari seorang bapak ke anak perempuannya, hal mana juga merupakan koreksi terhadap hukum adat waris yang berlaku di daerah itu. Tetapi dalam masyarakat ndonesia tidak hanya dikenal anak kandung saja, meliankan terdapat juga : anak angkat, anak tiri, dan anak yang lahir di luar perkawinan. Kedukuan hukum warisnya akan dibahas sebagai berikut :
Anak yang Iahir di Iuar perkawinan Menurut hukum adat waris Jawa, anak yang lahir di luar perkawinan itu hanya menjadi waris di dalam harta peninggalan ibunya saja serta jug adi dalam harta peninggalan kerabat ataupun famili dari pihak ibu. Seorang anak demikian ini, menurut hukum adat di Jawa tengah, dianggap (=fiksi) tidak mempunyai bapak dan oleh karenya juga tidak memiliki hubungan kekeluargaan pihak bapak. Anak angkat Kedudukan hukum anak angkat ini, di beberapa lingkungan hukum adat di ndonesia tenyata tidak sama. Di dalam masyarakat yang mempunyai hubungan kekeluargaan parental seperti di pulau Bali, Jawa barat dan Jawa tengah kedudukan anak angkat berbeda. Di pulau Bali perbuatan mengangkat anak dalah merupakan perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orangtuanya sendiri serta memasukan anak itu kedalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan anak kandung untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. D pulau Jawa(Barat-Tengah-Timur) perbuatan mengangkat anak itu hanyalah memasukan anak itu ke kehidupan rumah tangganya saja, sehingga ia selanjutnya menjadi anggota rumah tangga orangtua yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orangtuanya sendiri. Jadi anak angkat di daerahini tidakmempunyai kedudukan anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan turunan orangtua angkatnya. Konsekuensi itu digambarkan dalam beberapa yurisprudensi seperti dbawah ini : a. Putusan Landraad Purworejo tanggal 25 Agustus 1937, barang pencarian dan barang gono-gini jatuh kepada janda dan anak angkat, sedangkan barang asal kembali pada saudara-saudara peninggal harta, jikalau yang meninggal itu tidak mempunyai anak kandung. b. Putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 24 mei 1940, menurut hukum adat Jawa Barat, anak angkat berhak atas barang-barang gono-gini orangtua angkatnya yang telah meninggal, jikalau tidak ada anak kandung atau turunan seterusnya. Dalam kedua yurisprudensi diatas nampak denga jelas digambarkan kedudukan anak angkat sebagai anggota rumah tangga, sedangkan ia bukan waris. Anak angkat berhak mendapatkan nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya. Anak tiri Anak tiri yang hidup bersama dalam satu rumah dengan ibu kandung dan bapak tiri atau sebaliknya adalah warga serumahtangga pula. Terhadap ibu atau bapak kandungnya, anak itu adalah ahli waris, tetapi terhadap ibu atau bapak tirinya, anak itu bukan ahli waris, melainkan hanya warga serumahyangga saja. Anak tiri tidak berhak atas warisan bapak tirinya, tetapi ia ikut mendapat penghasilan dan bagian dari harta peninggalan bapak tiri yang diberikan ibu kandungnya sebagai nafkah janda. Kedudukan janda Di dalam rumah tangga suami-isteri, isteri itu setelah suaminya meninggal dunia, mempunyai kedudukan yang khusus. Kalau yang dijadikan syarat bagi waris itu tali kekeluargaan berdasarkan atas persamaan darah atau keturunan, maka sudah jelas sekali, bahwa seorang janda itu tidak mungkin merupakan waris suaminya. Tetatpi ada kenyataan juga, bahwa dalam suatu perkawinan itu, hubungan baik lahir maupun batin anra suami dengan isterinya itu dapat sedemikian eratnya, sehingga jauh melebihi hubungan antara suami dan saudara sekandung misalnya. Raad Justisi Jakarta tanggal 26 Mei 1939 memutuskan bahwa, janda tidak adapat dianggap sebagai waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari harta peninggalan suami , jika ternyata, bahwa harta gono-gini tidak mencukupi. Janda berhak untuk terus hidup sedpat-dapatnya seperti keadaannya pada waktu perkawinan. Pangkal pikiran hukum adat adalah, bahwa isteri sebagai orang luar tidak mempunyai hak sebagai waris, akan etapi sebagai isteri ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia memerlukannya. "Hukum adat diseluruh ndonesia perihal warian mengenai seorang janda perempuan dapat dirumuskan sedemikian rupa, bahwa seorang janda perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti, bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di tangan janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia ataukawin lagi, sedang di beberpa daerah ndonesia di samping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, si janda perempuan berhak atas sebagian dari barang-barag warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, s janda perempuan berhak atas sebagian dari barang- barang warisan seperti seorang anak kandung dari sipeninggal warisan. Kedudukan janda atau "duda" (Jawa) Janda laki-laki atau duda berhak atas mendapat nafkah dari harta kekayaan rumah tangga setelah isterinya meninggal dunia. Tetapi kenyataan menunjukan keadaan yang berlainan, sebab biasanya duda itu, tidak begitu mudah akan terlantar perihal kehidupan sehari-harinya, setelah isterinya meninggal, sebab duda yang bersangkutan lazimnya dengan biasameneruskan pekerjaannya sehhari-hari sudah dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari. Jadi bagi seorang duda pada umumnya tidak mempunyai asan yang kuat dan mendesak seperti halnya dengan janda perempuan, untuk menahan pembagiaan harta peninggalan, sebab kehidupan selanjutnya tidak semata-mata tergantung dari nafkah harta peninggalan isterinya. AhIi waris - ahIi waris Iainya (seIain anak dan janda) Ahli waris- ahli waris lain ini baru barhak atas harta peninggalan, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak. Dengan memperhatikan adanya peraturan penggantian waris, maka ketentuan di muk tadi harus dibaca dan diartikan, bahwa apabila seorang anak lebih dahulu meninggal dunia daripada si peninggal warisan, dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucu-cucu dari peninggal warisan ini mengganti orngtuanya; mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan kakek-nenek mereka.
10. BEBERAPA HAL LAIN SEKITAR HUKUM ADAT WARIS Hadiah kepada orang bukan waris peninggal harta. Hadiah orangtua kepada anak yang tidak bersifat penghibahan. Adakalanya orangtua menghadiahkan kepada salah seorang anaknya, sebuah barang yang tidak seberapa nilainya apabila dibandingkan dengan jumlah harta kekayaan seluruhnya. Hadiah yang demikian ini dipandang bukan bersifat hibah. Menurut putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 31 Maret 1939 dalam "ndisch Tijdschfift van het recht 151 halaman 183 berbunyi, bahwa penghibahan dapat dicabut kembali atas alasan-alasan berdasar adat, sebagai misalnya kurang hormat atau tabiat lain yang membuktikan kelalaian anak terhadap orangtua. Kemiskinan orang tua tidak merupakan alasan untuk menabut pengibahan kembali; orangtua yang jatuh miskin dapat menuntut nafkah kepada anak-anaknya. Djojodigoeno Tirtawinata menegaskan, bahwa pencabutan hibah demikian ini hanya mungkin, sekedar barang-barang yang dihibahkan itu masih di tangan waris yang menerima hibah dimaksud. Tetapi apabila barang-barang itu telah berpindah tangan ke orang lain (bukan waris), maka pengoperan terakhir ini tidak dapat diganggu gugat lagi.
BAB XII HUKUM HUTANG PIUTANG
Dalam hukum adat hutang-piutang tidak hanya meliputi ataupun mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut masalah kredit perseorangan saja, tetapi juga masalah-masalah yang menyangkut : a. Hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang. b. Sumbang-menyumbang, sambat sinambat, tolong-menolong. c. Panjer.
1. HAK ATAS PERUMAHAN, TUMBUH-TUMBUHAN, TERNAK DAN BARANG Pertama-tama harus ditegaskan, bahwa perbedaan prinsipal antara hak ini dengan dengan hak-hak atas tanah adalah, bahwa terhadap hak ini berlaku terutama hak milik perseorangannya, sedangkan pada hak atas tanah hak persekutuanlah yang lebih diutamakan. Terhadap ketentuan ini memang terdapat pengecualian di beberapa daerah, sepertim misalnya di : a. Kamilantan, pada beberapa suku Dayak (seperti Maanyan Siung) harta pusaka tidak boleh diwariskan kepada orang luar bukan anggota persekutuan ; juga tidak boleh dibawa ke luar desa. b. Di Bali di daerah Tnganan Pagringsingan terhadap semua milik warga persekutuan (ternak, peralatan rumah, unggas) berlaku sepenuhnya hak persekutuan, sedangkan di beberapa desa lainnya untuk kepentingan persekutua, desa dapat meminta penyerahan ternak dan barang-barang lainnya tanpa ganti rugi. Dalam prinsipnya hak milik atas rumah dan tumbuh-tumbuhan terpisah daripada hak milik atas tanah dimana rumah atau tumbuh-tumbuhan itu berada. Jadi ini artinya, bahwa seseorang dapat memiliki rumah atau/dan pohon di atas pekarangan milik orang lain. Terhadap prinsip ini terdapat pengecualian- pengecualian sebagai berikut: a. Dalam transaksi-transaksi tentang pekarangan termasuk praktis selalu rumah dan tumbuh-tumbuhan yang ada disitu. Obyek transaksi (transaksi jual) dalam hal ini jadinya pekarangan, rumah dan tumbuh-tumbuhan. Transaksi jual demikian ini disebut "adol ngebrengi. b. Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak milik atas tanahnya. Jadi dalam hal ini hak tanah mengikuti hak tumbuh-tumbuhan. c. Hak milik atas tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang ada di situ, satu dan yang lain karena rumah tembok itu tidak mudah untuk dipindahkan seperti rumah yang dibuat dari bamboo atau kayu. Hak milik atas tumbuh-tumbuhan dapat pula digadaikan (misalnya pohon jeruk, dan lain-lain, pohon buah-buahan). Apabila pohon-pohon buah-buahan itu digadaikan, maka si pemegang gadai memiliki kuasa/hak penuh untuk memetik buah-buahan dari pohon-pohon tersebut untuk dimilikinya. Hak petik buah-buahan ada harus mengizinkan si pemegang gadai untuk masuk ke kebunnya guna memetik buah-buahan yang bersangkutan. Hak milik atas ternah kadang-kadang terikat oleh peraturan-peraturan khusus tentang memotongnya dan menjualnya; tetapi dengan ikatan yang sedemikian ini tidaklah berarti, bahwa hak milik atas ternak itu tidak ada.Perlu dikemukakan disini, bahwa pemilik ternak (kerbau, sapi, kambing atau ayam) kadang-kadang membiarkan ternaknya di[elihara oleh orang lain dengan suatu perjanjian, bahwa yang memelihara itu akan berhak atas sebagian daripada anak- anak ternak yang nantinya akan dilahirkan. Pemelihara ternak wajib menanggung sendiri ongkos-ongkos pemeliharaannya; ini sebagai imbangan ia memperoleh hak sebagian dari anak-anak ternak yang kemudian lahir. Apabila ternyata si pemelihara tidak melakukan tugasnya(memlihara) sebagaimana mestinya, maka pemilik ternaknya, tanpa diwajibkan memberi gantu rugi kepada si pemelihara. Hak miIik atas barang Peralihan hak milik atas barang-barang yang mempunyai kekuatan magis (barang-barang pusaka seperti keris dan lain sebagainya) hanya dapat dilakukan dengan transaksi jual. Barang-barang dapat pula digaadaikan (nyekelake (jawa) atau mengaken). Barang pindah tangan kepada yang memberi uang. Kalau pinjaman pada waktunya tidak dilunasi, barang yang digadaikan itu dapat dijual oleh yang memberi hutang uang dan dari hasil penjualan itu uang pinaman diperhitungkan atau barang itu menjadi miliknya yang memberi hutang uang. Barang-barang itu juga dapat dijual. Penjualan barang bergerak terjadi dengan penyerahan barang dimaksud untuk selama-lamanya kepada si pembeli dengan disertai bayaran kontan sebesar nilai harga barang tersebut. Apabila pembayarannya baru dilakukan sebagian ataupun baru disanggupkan akan dilakukan kemudian, maka transaksi itu dinamakan "hutang barang, di daerah Pasundan disebut "nganjuk. Tentang benda bergerak Dalam hukum adat pembedaan benda dalam dua macam ini sebetulnya tidak ada . Tetapi jika diharuskan menjawab pertanyaan apakah sesungguhnya tanah, ternak, rumah, tumbuh-tumbuhan, dan barang-barang itu maka dapat dikemukakan yang berikut : a. Tanah adalah barang yang tidak bergerak b. Ternak dan barang-baang lain adalah barang yang pasti dapat bergerak c. Rumah dan tumbuh-tumbuhan adalah barang yang ada kepastiannya termasuk bergerak atau tidak; untuk ini wajib dilihat keadaanya. (rumah dari bamboo yang mudah dipindahkan = benda bergerak, rumah tembok atau batu yang sukar dipindahkan = benda tidak bergerak).
. SUMBANG-MENYUMBANG, SAMBAT-SINAMBAT, TOLONG- MENOLONG Tolong menolong yang kita jumpai dalam adat, ternyata ada yang mempunyai dasar : "Gotong-rotong artinya tanpa ada pikiran supaya di kemudian hari dapat menerima balasan pertolongan sekarang memberikan pertolongan. Dasar gotong royong ini lazimnya terdapat pada kerja sama untuk mencapai sesuatu maksud ataupun tujuan bersama, sehingga tiap warga persekutuan merasa berkewajiban untuk turut serta memberikan bantuan. Contoh-contohnya antara lain : a. Dalam satu desa harus dibangun misalnya balai desa ataupun langgar. Dalam hal ini tiap warga desa merasa berkewajiban menyumbangkan tenaga dan/atau material. b. Suatu desa membuka hutan untuk dijadikan tanah pertanian. Juga untuk pekerjaan ini semua warga desa merasa berkewajiban menyumbangkan tenaganya. c. Pak lurah (=Kepala desa yang bersangkutan) membetulkan rumah-rumah. Warga desa merasa berkewajiban memberi bantuan. (pancen di Jawa, resayo di Minangkabau, kwarto di ambon) Disamping dasar dimaksud diatas, ada pula tolong-menolong yang bermotif : supaya di kemudian hari menerima pertolongan pula atau oleh karena telah meerima pertolongan merasa berkewajiban untuk membalas memberipertolongan yang sepadan. Contoh-contohnya antara lain: a. Memberi sumbangan kepada seorang warga desa yang sedang mempunyai hajat perkawinan, sunatan dan lain sebagainya, atau yang sedang menemui kesusahan karena kematian, kecelakaan dan lain sebagainya; bantuan ini disebut "sumbang di Jawa, "panyumbang di Priangan, "passolog di Bugis. b. Memberi bantuan kepada warga sedesa yang sedang mengerjakan sawahnya, sedang membangun rumah, sedang membersihkan kebun kelapanya dan lain sebagainya; bantuan demikian ini disebut "sambat- sinambat (Jawa), "resaya (sunda), "marsiadapari (batak), "masohi (ambon). Dengan dasar sumbang menyumbang ini timbul perkumpulan-perkumpulan yang asas dan tujuannya, kecuali mempererat ikatan persaudaraan di antara para anggotanya juga memberikan bantuan kepada para anggotanya tersebut secara bergilir seperti : a. Perkumpulan Mapalaus di Minahasa untukmenyokonga pekerjaan pertanian. b. Jula-jula di Minangkabau, Mohakka di Salayar, Mapalaus-ang di Minahasa yang pada zaman sekarang terkenal dengan nama perkumpulan arisan, mewajibkan para anggotanya tiap bulan menyumbang sejumlah uang serta memberi kesempatan kepada merek amasing-masing secara berilir untuk menggunakan uang yang telah dikumpulkan itu. Apabila diteliti secara mendalam, maka dapat pula digolongkan dalam perbuatan-perbuatan yang motifnya (dasarnya) juga tolong-menolong : i. Transaksi maro, mertelu tanah, sebab pemilik tanah memberi bantuan dengan menyerahkan tanahnyauntuk digarap kepada warga persekutuan lain yang sangat membutuhkan dan tidak mempunyai tanah, sedangkan dilihat dari sudut lain warag persekutuan yang menggarap tanahnya itu memberi bantuan kepada pemilik tanah yang ingin memungut hasil dari tanahnya tetapi tidak dapat mengerjakan sendiri-sendiri. ii. Memberi kesempatan memelihara ternaknya kepada warga persekutuan yang tidak memiliki ternak dengan perjanjian hasil penjualan atau kemban biak ternak akan dibagi : disini pemilik ternak memberi pertolongan kepada warga persekutuannya yang ahli dalam memelihara ternak tetapi tidak memiliki ternak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya sedangkan warga persekutuan tersebut memberi bantuan pemilik ternak yang bersangkutan yang tida paham akan cara pemeliharaan ternak untuk memeliharakan ternaknya. iii. Kerajasama yan dilakukan pada penangkapan ikan oleh pemili perahu beserta alat-alat penangkap ikan dengan para nelayan, dimana pamilik perahu (juragan) wajib menanggung ongkos perawatan perahu beserta alat- alat penangkap ikan tersebut, juga menanggung makannya paa nelayan selama berlayar,sedangkan para nelayan (bidak, bandega) wajib menjalankan tugas penangkapan ikan serta perawatan perahu serta alat- alatnya, hasil tangkapan ikannya dibagi antara mereka, pemilik perahu menerima bagian yang terbanyak sedangkan para bidak menerima bagian sesuai dengan berat ringan tugas mereka dalam penangkapan ikan tersebut.
. PANJER (TANDA YANG KELIHATAN) Perbedaan antara perjanjian dengan panjer dan perbuatan kontan adalah jelas sekali yakni : Perjanjian dengan panjer Perbuatan kontan Mengandung janji untuk melaksanakan apa yang telah dimufakati bersama di kemudian hari Prestasi (perbuatannya dilaksanakan pada saat pemufakatan itu tercapai)
Sedangkan perjanjian dengan panjer ini, apabila dibandingkan dengan perbuatan hutang, maka perbedaannya adalah sebagai berikut : Perjanjian dengan panjer Perbuatan hutang Seperti diatas. Pelaksanaan apa yang telah dimufakati bersama di kemudian hari itu dari kedua belah pihak. Pelaksanaan pebuatan telah ada dari satu pihak, yaitu dari yang memberi pinjaman uang, sedangkan prestasi pihak yang hutang baru dilaksanakan di kemudian hari sesuai apa yang telah dimufakati bersama.
Perjanjian dengan panjer lazimnya mengandung janji untuk mengadakan perbuatan kontan. Dalam perjanjian ini sama sekali tidak ada paksaan dan apabila ada salah satu pihak yang dirugikan, maka pihak yang lain seringkali membayar kerugian itu. Perlu kiranya dikemukakan disini, bahwa tidak selalu ada perjanjian dengan panjer itu, kedua-dua pihak hanya berjanji saja akan melakukan perbuatannya dikemudian hari. Ada pula pemberian panjerdari satu pihak telah disusul dengan pemberian prestasi dari pihak yang lai, tetapi prestasi yang telah mulai diberikan oleh pihak yang lain itu merupakan suatu prestasi yang telah mulai diberikan oleh pihak yang lain itu merupakan suatu prestasi yang membutuhkan waktu yang lama, sedangkan dari pihak yang memberikan panjer tadi, prestasinya masih akan dilakukan di kemudian hari. Sejenis dengan panjer adalah Paningset (jawa), Panyancang (Sunda), Paletak (kerinci), yang diberikan pada waktu pertunangan. Di Minangkabau ada adat saling memberikan tanda pertunangan yang disebut "mempertimbangkan tanda. Akhirnya perlu disebutkan disini, surat piagam ataupun pikukuh yang diberikan oleh raja-raja dahulu kepada pejabat-pejabat bawahannya, sebagai tanda kelihatan atau tanda ikatan pengakuan hubungan raja dengan hambanya; tanda- tanda dalam bentuk piagam ata pikukuh ini dapat dilihat juga sebagai semacam panjer. Tanda kelihatan lain yang oleh raja diberikan kepada pejabat-pejabatnya adalah paying jabatan, misalnya untuk para bupati paying warna kuninng dan lain sebagainya.
4. KREDIT PERSEORANGAN Hutang atau pinjaman adalah merupakan perbuatan normal dalam masyarakat ndonesia, baik pinjaman yang memakai maupun yang tidak memakai bunga. Meskipun memungut bunga menurut agama islam tidak dibenarkan, tetapi dalam kenyataan banyak orang atau perkumpulan juga yang melakukan peminjaman dengan bunga. Dalam praktek, dapat hutang itu berwuud hutang barang, hutang makanan dan lain sebagainya; ada pula yang hutang uang denga perjanjian mengembalikan dengan natura, berwujud misalnya bumi, hasil peternakan dan lain sebagainya.
Tanggung-menanggung Salah satu akibat daripada perbuatan hutang adalah tanggung menanggung. Perasaan kesatuan dan persatuan yang kuat sekali dalam persekutuan, menyebabkan timbulnya kewajiban adat yang menganggap hutang dari salah satu warga persekutuan atau clan adalah hutang persekutuan atau clan, sehingga kewajiban melunasi hutang itu dapat dimintai kepada sala satu warga persekutuan yang bersangkutan dan tidak perlu terbatas kepada warga yang melakukan pinjaman itu saja. Apabila seorang warga persekutuan (clan) sering kali memberikan pertanggungan-pertanggungan yang berat-berat pada persekutuannya (clannya), maka warga sedemikian ini akhirnya dapat dibuang dari persekutuannya atau clannya. Borg atau jaminan Hutang dengan borg atau jaminan terjadi, apabila ada orang ketiga yang bersedia menanggung pinjaman tersebut. Orang yang menanggung ini dapat ditegur, kalau sipeminjam tidak dapat melunasi pinjamannya. Kempitan ni adalah semacam perjanjian dengan komisi yang terdapat di Jawa (sekarang kebiasaan ini kiranya sudah meluas juga ke lain-lain daerah). Dalam perjanjian ini, pemilik barang mempercayakan penjualan barangnya (lazimnya barang0barang yang mudah dibawa tangan, seperti kain, bahan pakaian dan lain sebagainya) kepada orang lain dengan ketentuan setelah lampau waktu tertentu, barangnya atau jumlah uang yan telah ditetapkan sebelumnya, diberika kepada pemilik barang. Ngeber Transaksi ini dijumpai di Jawa Barat serta tanpa transaksi menjualka barangnya orang lain (barang bergerak barang hidup) dengan ketentuan : a. Kalau tida laku dapat dikembalikan pada pemilik barang. b. Kalau laku dengan harga yang lebih besar daripada harga yang ditetapkan pada penutupan transaksi, maka selisihnya menjadi haknya orang yang menjualkan barang tersebut. Ijon atau ijoan Perbuatan ini sering terjadi di desa-desa. jon ialah penjualan tanaman padi yang masih muda. Sekarang ini diijinkan bukan padi saja, tetapi dapat juga jagung, ketela dan lain-lain polowijo, bahkan dapat diijonkan buah-buahan yang masih muda seperti jeruk, mangga dan lain sebagainya. Hasil panen dalam hal ini menjadi milik yang membeli pada waktu masih hijau itu. Kalau yang membeli padi dan lain sebagainya itu dilakukan pada saat padi telah masak dan sudah tiba waktunya untuk panen, maka perbuatan itu disebut tebasan. Pembelian jadinya dilakukan selagi padi masih di sawah; kalau bukan padi, tetapi misalnya buah-buahan, maka buah-buahan yang sudah masak itu masih dipohon. Ngaranan atau mangara anak Di Minahasa dikenal adanya suatu perjanjian yang istimewa, suatu kontrak yang isinya adalah : piha pertama A mewajibkan diri untuk memelihara pihak kedua B pada waktu hidupnya dan mengatur harta bendanya setelah ia meninggal dunia. Pihak pertama A berhak menerima sebagian dari harta peninggalan pihak kedua B, lazimnya sebesar bagian seorang anak. Kalau pihak kedua tidak kawin atau tidak mempunyai anak, maka pihak pertama malahan menerima keseluruhan harta peninggalan. Makidihang raga Mirip dengan ngaranan di Minahasa adalah yang dijumpai di bali dan yang disebut makidihang raga, yaitu meletakkan ataupun menigikat kan diri sendiri beserta segala harta kekayannya di bawah asuhan orang lain dan orang lain ini wajib mengurus segala sesuatu setelah ia meninggal dunia (upacara pembakaran mayat dan lain-lain urusan yang perlu diselesaikan setelah ia meninggal dunia); sebagai imbalannya orang lain itu berhak mewarisi harta peninggalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Soerojo, Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Pt Gunung Agung, 199