Anda di halaman 1dari 3

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang bertujuan membentuk santri-santrinya menjadi manusia yang mandiri, yang dapat diharapkan

dapat menjadi pemimpin umat dalam menuju keridhoan Allah SWT. Pesantren memiliki tugas yang besar yaitu mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan serta berakhlak mulia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pesantren mengajarkan berbagai ilmu yang umumnya meliputi ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu maani, ilmu hadi dan bayan, ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, dan ilmu mantiq. Pengajaran ilmu-ilmu tersebut sering distandarisasikan dengan kitab-kitab wajib sebagai buku teks yang dikenal dengan sebutan kitab kuning. Sedangkan kitab yang digunakan beragam mulai dari yang sederhana sampai tingkat atas atau yang lebih rinci. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain tidak selalu sama kitab yang digunakan, meskipun demikian semuanya sama dalam macam jenis ilmu yang diajarkan. Adapun metode pengajaran yang umumnya digunakan untuk mendalami kitab-kitab tersebut di pesantren adalah metode wetonan, metode sorogan, metode mudzakarah, dan metode majlis talim. Metode-metode ini sudah diterapkan sejak berdirinya pesantren sampai sekarang ini, meskipun ada beberapa perkembangan. Metode-metode tersebut masih menunjukkan efektivitasnya untuk tetap digunakan dalam pengajaran. Metode-metode tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Metode Wetonan Pelaksanaan metode pengajaran wetonan ini adalah sebagai berikut; Kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Perkataan weton asal mulanya dari perkataan jawa wektu, maka disebut weton karena pelajaran yang diberikan pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu sehabis shalat shubuh atau dhuhur (Amir Hamzah Wirjosukarto, 1995: 25). Metode ini mendidik santri supaya kreatif dan dinamis karena di dalam metode ini nampak adanya kebebasan, tidak ada absensi dan tidak ada pemaksaan melainkan menurut kesadaran masing-masing santri karena tidak sistem kenaikan kelas. Santri yang cepat menamatkan kitab boleh melanjutkan ke kitab yang lebih tinggi atau mempelajari kitab yang lain yang diminatinya. 2) Metode Sorogan Istilah sorogan berasal dari kata sorog (dari bahasa Jawa) mendorong. Asal mulanya disebut sorogan ialah karena santri-santri yang mau belajar mendorongkan (menyodorkan) kitabnya di hadapan guru (Amir Hamzah Wirjosukarto, 1995: 28). Dalam metode ini santri menghadap kyai secara bergantian satu persatu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, kemudian dibaca, diterjemahkan, dan dijelaskan maksudnya. Kalau dalam membaca dan memahami kitab tersebut ada kesalahan maka langsung dibenarkan oleh kyai.

Metode sorogan ini dilakukan untuk santri yang permulaan belajar atau sebaliknya dilakukan oleh santri-santri khusus yang dianggap pandai dan diharapkan di kemudian hari menjadi orang alim, metode ini memerlukan ketelatenan, kerajinan, dan kedisiplinan santri. Dalam hal ini Zamakhsyary Dhofir mengatakan bahwa metode sorogan dalam pengajian merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab metode tersebut menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid (Zamakhsyari Dhofir, 1982: 28). Meskipun demikian metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan tanya jawab langsung. 3) Metode Mudzakarah Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya (Imron Arifin, 1993: 39). Metode mudzakarah ada yang diselenggarakan oleh santri dengan sesama santri dan ada pula yang dipimpin oleh Kyai. Metode mudzakarah yang diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan. Metode mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai adalah kelanjutan dari mudzakarah para santri, dimana hasil yang telah mereka peroleh dari mudzakarah sesama santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti pada suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi suatu tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab. Metode ini bertujuan menguji ketrampilan santri bauk dalam bahasa Arab maupun ketrampilan mengutip sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Biasanya santri yang dinilai cukup matang untuk sumber-sumber referensi, memiliki keluasan bahanbahan bacaan dan mampu menemukan atau menyelesaikan problem-problem, maka santri tersebut akan ditunjuk sebagai pengajar kitab-kitab yang dikuasainya. 4) Metode Majlis Talim Majlis talim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka ((Imron Arifin, 1993: 39). Dalam majlis talim ini tidak hanya santri yang mengaji, tetapi juga berbagai lapisan masyraakat di sekitarnya atau bahkan dari daerah lain yang memiliki latar belakang pengetahuan yang bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun jenis kelamin. Pengajian atau metode ini hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu saja. Adapun materi yang diajarkan Kyai dalam majlis talim ini biasanya bersifat umum dan berisi nasehat-nasehat keagamaan seperti amar maruf nahi mungkar. Ada kalanya materi itu diambil dari kitab-kitab tertentu seperti tafsir al-Quran dan Hadits. Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem pengajaran di pesantren pada umumnya menggunakan metode-metode yang telah dijelaskan di atas. Metode-metode

tersebut sepintas lalu nampak sederhana atau tradisional. Namun di sisi lain memiliki efektivitas untuk tetap digunakan dalam sistem pengajaran di pesantren pada masa sekarang, meskipun mungkin perlu adanya perubahan sebagai perkembangan dari kebutuhan dan perkembangan zaman.

Anda mungkin juga menyukai