Anda di halaman 1dari 16

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam rangka membuat makalah ini, perlu adanya suatu penelitian terhadap masyarakat untuk mencari faktor yang memotivasi masyarakat tidak menerima multikultural yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu makalah ini dibuat untuk memecahkan suatu problematika terhadap multikultural dan memberikan solusi. Bagaimana membumikan wawasan multikulturalisme di Indonesia dan faktor yang paling melatar belakangi pembuatan makalah ini. Makalah ini dibuat karena sering terjadi problem-problem tentang multikultural dalam masyarakat bangsa Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan makalah ini dibuat untuk memahami tentang multikultural. Pada khususnya di Indonesia terdapat banyak suku, ras, agama, dan sebagainya. Dari perbedaan-perbedaan tersebut bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan. Maka dari itu dengan adanya makalah ini yang membahas tentang pemahaman multikultural dan membumikan wawasan multikulturalisme di Indonesia sehingga menuju masyarakat multikultural.

BAB II. PEMBAHASAN/ ISI


2.1 Pemahaman Multikultural Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain. Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni multikulturalisme religius yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional. Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok

manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial (Okke KS Zaimar, 2007: 6). Multikulturalisme menurut para tokoh, antara lain: Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural Petter Wilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan untuk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik. Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa. Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnya. Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati. Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi

atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak masyarakat (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme iniz qqqA 1``1 `1`1111111111 QQ

`1`1`````1``1`1`1``111111`1``1`1`1``1`1`1111`111 sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah.

2.2 Metode Pembelajaran Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional. Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik. Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut. Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama. Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai.

2.3 Evaluasi Budaya 2.3.1 Jawa Contohnya adalah Bahasa Jawa dialek Surabaya. Surabaya merupakan salah satu kota terpenting di Indonesia. Surabaya merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur. Surabaya yang notabene merupakan kota pelabuhan banyak menerima pengaruh kebudayan dari luar. Sebagai kota pelabuhan Surabaya akan banyak dikunjungi oleh suku bangsa lain, yang berasal dari luar terutama. Namun tidak demikian, Surabaya tetap mendapatkan pengaruh lebih banyak dari pusat-pusat kebudayaan (Surakarta). Karena dilihat dalam struktur kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Dalam hal itu, maka kebahasaan di Surabaya dapat dibedakan lagi menjadi: 1. Bahasa Jawa Baku (Bahasa Jawa Surakarta) yang berfungsi seperti Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa jawa baku ini digunakan sebagai bahsa pengantar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, dalam peraturan-peraturan resmi yang telah ditetapkan. 2. Bahasa Jawa dialek Surabaya, yang dipakai dalam keadaan yang bersifat informal, tak dinas, santai, akrab, bernada kekeluargaan, dan berlatar belakang kedaerahan. Orang-orang yang memakai dialek Surabaya dapat disebut sebagai masyarakat Surabaya. Yang dimaksud dengan masyarakat Surabaya tidak terbatas pada kotamadya Surabaya. Tetapi cakupan wilayah masyarakat Surabaya meliputi daerah Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Di daerah ini, terutama di kampung-kampung atau di desa-desa, orang sering bercakap dengan bahasa Jawa krama, terutama anak muda pada orang tua atau orang yang dianggap tua, ataupun pada orang sebaya yang baru dikenalnya. Bahasa juga sebagai tanda status sosial dan penggunaannya. Di dalam pergaulanpergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam

bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko Bahasa Jawa Ngoko merupakan bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan. Bahasa Jawa Ngoko digunakan oleh: 1. Anak yang belum mengerti apa-apa (kanak-kanak) 2. Orang yang berbicara dengan orang seumurannya. 3. Orang tua yang berbicara dengan anak muda. 4. Pemimpin yang berbicara dengan bawahannya. Dalam bahasa Jawa ngoko, masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu: Ngoko lugu, adalah bahasa ngoko apa adanya, tanpa tercampur dengan bahasa Krama. Contoh: - Kowe mau numpak apa? - Bocah-bocah padha mlaku-mlaku. Ngoko andhap, adalah bahasa ngoko yang tercampur dengan bahasa krama. Contoh: - Sliramu mau nitih apa? - Sampeyan mau numpak apa? - Panjenengan mau nitih apa? - Pak Sastra ora sida tindak-tindak. Bahasa Jawa Krama. Bahasa Jawa Krama merupakan bahasa taklim atau bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang. Bahasa Jawa krama digunakan oleh: 1. Anak muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang dianggap lebih tua. 2. Murid kepada guru 3. Anak kepada orang tuanya. 4. Bawahan kepada atasannya. Wujud dari bahasa Jawa Krama adalah: a. Wujud dari pembetulan bahasa Jawa Ngoko yang di-krama-kan, contohnya Kurang Kirang 8

Dadi Upama Cedhak Mau Nganti

Dados Upami Celak Wau Ngantos

Kowe - Panjengengan b. Wujud kata lain, namun artinya tetap atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing, contohnya Telu Lima Tiga Gangsal

omah - griya c. Wujud kata yang sama dengan Jawa Ngoko, seperti; wani, pance, anyar, wulang, dsb. Kata-kata seperti itu disebut sebagai kata krama ngoko. d. Wujud kata yang boleh di-krama-kan atau tidak di-karama-kan, kata itu disebut krama wenang, contohnya; Rokok/ses, Utama/utami, Ijen/piyambak Bahasa Jawa Krama Inggil. Bahasa Jawa krama inggil, tingkatan untuk menghormati lebih tinggi daripada bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa krama inggil disebut sebagai bahasa kurmat luhur. Kata-kata bahasa Jawa krama inggil tidak terlalu banyak, krama inggil hanya menjelaskan mengenai nama anggota badan, tempat, tindakan, keadaan, dan nama-nama barang yang sering digunakan oleh orang yang dihormati. Contoh: Ngoko Njaluk Kandha Mlaku Lunga Kowe Krama Nyuwun Matur Mlampah Kesah Krama Inggil Mundhut Dhawuh, ngendika Tindak Tindak Arti Membeli Berkata Berjalan Pergi

Sampeyan Panjengengan Kamu Selain itu, bahasa Jawa yang telah diklarifikasinya dipergunakan juga tergantung

pada tempat bahasa itu digunakan. Sepert bahasa Kedhaton atau bahasa Bagongan yang digunakan khusunya untuk kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orangorang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa

daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang. Dalam bentuk morfologi, bahasa Jawa dialek Surabaya tidak mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Sistem imbuhan, ulangan dan kata majemuk umumnya tak berbeda dengan bahasa Jawa umum. Dilihat dari segi fonetik, perbedaan fonetik antara bahsa Jawa dialek Surabaya dengan bahasa Jawa umum terletak pada perbedaan vokal dan konsonan. Misalnya kata pitek menjadi petek, irung menjadi erung, dhuwur menjadi dhukur, nyilih menjadi nyelang, siji menjadi sithuk, dan kari menjadi gari. Daftar kata bahasa Jawa dialek Surabaya. Kata-kata itu seperti: arek, cacak, ndhuk, kon, pena, rika, embong, mene, nggone, montor muluk, praoto, kunci gombyok, diteleki, mumet, bahbah (e)na, temen, nedha nrima, dan lain-lain. Untuk mengingatkan pembaca jangan sekali-kali menggunakn kata gitik dan balon di Surabaya. Sebab kata gitik (digitik, nggitiki) berarti menyenggamai seorang wanita. Begitu pula kata balon, diartikan pelacur. Sebagai gantinya, sebaliknya menggunakan kata dop lampu atau plembungan. Bahasa Jawa berdialek surabaya merupakan bahasa rakyat. Bila bahasa ini kini digunakan oleh para pegawai di kotamadya, gubernuran, di universitas (baik dosen atau mahasisiwa), dan lain-lain, karena anak-anak rakyat tersebut kini banyak yang menjadi pegawai negeri atau orang yang berpangkat. Ciri bahasa rakyat ini antara lain ditandai dengan pemakaian kata-kata dancuk, damput, jangkrik, taek, simboke ancok, dobol, asu, matamu, e jaran, dan lain-lain, dalam pergaulan sehari-hari tanpa memandang pangkat, jabatan, maupun tempat. Kata-kata ini dalam bahasa Jawa umum dipandang orang sebagai kata-kata yang kasar atau kotor (saru), dan biasanya digunakan untuk memarahi seseorang atau ditujukan kepada orang yang dibenci, tapi dalam masyarakat Surabaya kata-kata ini digunakan dalam situasi penuh keakraban, terutama kata dancuk, diamput, dan jangkrik. Dikatakan penuh keakraban karena bila kata tersebut diucapkan seseorang terhadap orang lain (teman atau kenalan lama), maka yang dikenalinya tidak marah. Jadi sambil bersalaman, kata itu diucapkan.

10

Surabaya masih mendapatkan pengaruh besar kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa baku masih tetap digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dasar maupun menengah pertama, pedesaan-pedesaan. Bahasa Jawa baku masih tetap dipergunakan dalam situasi resmi (pertemuan, upacara pernikahan, rapat), dan bahasa tulis (surat kabar, surat, dan sastra). Bahasa Jawa baku yang digunakan masih tetap menggunakan kaedah bahasa yang telah ditetapkan di pusat-pusat kebudayaan. Penggunaan bahasa Jawa baku juga masih tetap mengunakan aturan-aturan yang mengait bahasa yang harus digunakan. Bahasa Jawa dialek Surabaya yang dianggap sebagai bahasa kasar diartikan sebagi sebuah bahasa untuk mengakraban. Bahasa yang digunakan bila pihak-pihak yang menggunakan telah saling memahami. Bahasa dengan dialek Surabaya tidak mengenal adanya klarifikasi sosial atau status sosial yang melekat pada diri seseorang. Untuk penyampaian kata-kata keakraban perlu diketahui dan diselidiki demi menumbuhkan pengertian antar daerah pengguna bahasa Jawa. (Yogyakarta:Kanisius,1998)

11

2.3.2 Bali Sejarah kebudayaan Bali Bali berasal dari kata Bal dalam bahasa Sansekerta berarti Kekuatan. Dan Bali berarti Pengorbanan yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita, supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik. Unsur-unsur kebudayaan Bali A. Bahasa Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan Bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah Bilingual atau bahkan Trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa Asing Utara. Bagi masyarakat Bali bahas ketiga ini dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali dibagi menjadi 2 yaitu Bahasa Aga dan Bahasa Bali Mojopahit. Bahasa Aga adalah bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, sedangkan Bahasa Mojopahit adalah bahasa yang pengucapannya lebih halus. B. Pengetahuan Banjar atau bisa disebut sebagai desa merupakan suatu bentuk kesatuankesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalai oleh Klian Banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan. Kehidupan sosial dan keagamaan tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat ranah dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan. C. Teknologi Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Fengshui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang

12

komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa. D. a) Organisasi Sosial Perkawinan Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada Patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan. Karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi menikah dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan. Hal tersebut terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan mmbuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dan anak wanita. Dibeberapa daerah Bali (tidak semua daerah) berlaku pula adat penyerahan mas kawin (Petuku Luh). b) Kekerabatan Adat menetap di Bali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada 2 macam adat menetap yang sering berlaku di Bali yaitu adat Vivi Lokal dan adat Neo Lokal. Vivi Lokal adalah adat yang membiarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami, sedangkan Neo Lokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. c) Kemasyarakatan Suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat Bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubunganya dengan keagamaan ataupun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan administratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi pemerintah dan pembangunan.

13

E.

Religi Agama yang dianut oleh sebagian besar orang Bali adalah agama Hindhu.

Orang Hindhu percaya 1 tuhan dalam bentuk konsep Trimurti {wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), wujud Siwa (sang perusak)}, tempat beribadah di pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindhu adalah weda (berasal dari India). Orang yang meninggal dunia orang hindhu diadakan upacara ngaben ( upacara pembakaran mayat) yang dianggap sangat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Hari Raya umat Hindhu adalah Nyepi perayaan Tahun baru Saka tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa). Selain F. itu ada juga Hari Raya Galungan-Kuningan, Saraswati, tumpek Landep,Tumpek Uduk dan Siwa Warti. Kesenian Kebudayaan kesenian di Bali di golongkan 3 golongan utama yaitu Seni Rupa (misalkan: seni lukis, patung, arsitektur) dan Seni Pertunjukan (misalkan: seni tari, seni drama, seni musik, seni sastra dn seni audiovisual) Nilai-nilai Budaya 1. Tata krama: Kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam hubungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya. 2. Nguopin: Gotong royong 3. Ngayah/ ngayang: Kerja bakti untuk keperluan agama 4. Sopan santun: Adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orangorang yang berbeda jenis kelamin.

14

2.3.3 Madura Madura dikenal sebagai wilayah tandus. Masyarakat madura dikenal juga mempunyai karakter yang keras, sehingga cara berbicaranya pun kasar. Menurut budaya lain atau orang Jawa, Madura dikenal sebagai orang yang tidak punya etika. Namun semua itu salah, di Madura juga banyak kebudayaan dan karya sastra, kebudayaan Madura yang paling menonjol salah satunya Kerapan Sapi. Banyak orang-orang yang bertanya Kenapa harus menyiksa hewan? dan bagi yang belum penah melihat pertanyaannya pun berbeda Bagaimana prosesnya?. Untuk jawaban yang pertama, menurut Leluhur Kerapan Sapi itu merupakan kesenangan yang dijadikan budaya. Yang kedua, Kerapan Sapi membutuhkan 2 ekor sapi yang diberi Kaleles dan itu tmpat untuk orang yang mempacu sapi. Untuk proses lomba membutuhkan 4-6 sapi seperti penjelasan diatas bahwa 2 sapi menjadi 1. Sedangkan bila ada 4 sapi dibagi menjadi 2, dan seterusnya. Lapangan karapan sapi mempunyai ukuran kurang lebih sepanjang 150 m. Dari segi bahasa, bahasa Madura mempunyai 3 tingkatan yaitu kasar, sedang dan halus. Madura selain dikenal seperti keteranagn diatas juga dikenal sebagian besar kental beragama Islam, tetapi sampai saat ini ada juga yang mempunyai kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Oleh karena itu, Madura bisa di claim bahwa Madura kaya akan kebudayaan dan juga kekayaan alam salah satunya tembakau.

15

BAB III. PENUTUP/ KESIMPULAN


Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional. Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif, pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya. Dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Dari perbedaan suku dan budaya, dapat menyamaratakan yang akan melahirkan multikulturalisme secara optimal. Antara kebudayaan satu dengan yang lainnya. Maka dari perbedaan tersebut akan terciptanya saling menghormati, menghargai, memahami, serta akan terwujudnya multikultural yang membumi di Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai