Anda di halaman 1dari 21

Diposting oleh Ciciren

Oleh: DR.H.Ridjaluddin.FN.M.,Ag
A. Pendahuluan
Kontak-kontak awal antara pengembangan agama Islam yang dibawa oleh para pengajur
Islam dengan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat Indonesia, menunjukkan terjadinya
proses akomodasi kultural. Di samping bermula dari perbenturan dalam dunia dagang,
sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam kadang-kadang terjadi dalam suatu
kontak intelektual, ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika
kepercayaan, pada dunia lama mulai menurun.
Oleh karena itu, ketika kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi
nusantara dengan misinya yang ganda (antara Imperalisme dan Kristenisasi) justru sangat
merusak dan menjungkirbalikkan tatanan yang sudah ada.Memang cukup diakui bahwa
Belanda cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah alam di Indonesia. Cukup banyak
peristiwa dan pengalaman yang dicatat Belanda sejak awal kedatangan di Indonesia, baik
sebagai pedagang perorangan, kemudian diorganisasikan dalam bentuk kongsi dagang yang
bernama VOC, maupun sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah, oleh sebab
itu kehadiran mereka selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk pribumi, raja-
raja dan tokoh-tokoh agama setempat.
Mereka (kaum kolonial Belanda) menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan
kekuasaannya di Indonesia, mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk
penduduk pribumi yang dikuasainya. Merekapun tahu bahwa agama penduduk yang
dijajahnya itu mayoritas beragama Islam. Kedatangan bangsa Barat di satu pihak telah
membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk
pribumi, tujuannya hanyalah untuk meningkatkan hasil jajahannya. Begitu pula halnya
dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru dan tentu saja
lebih eIektiI, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang
dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali
dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.|1|
Kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar-
besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya, sementara di lain pihak juga
diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai
penjajah berbeda sekali dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda
benar-benar tidak gentlement. Inggris meskipun mereka sebagai kolonialis, mereka tidak
mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa negara bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan
sebagainya. Sekarang semua negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.|2|
Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi
yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motiI inilah yang mewarnai kebijaksanaan
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 Abad.|3| KH
SaiIuddin Zuhri menggambarkan, bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam tidak
memandang orang-orang Barat tersebut melainkan sebagai penakluk dan penjajah, mereka
kaum Imperialis, tidak peduli mereka Katolik ataupun Protestan. Dalam dada penjajah
tersebut begitu kuatnya ajaran dari politikus curang dan licik Machiavelli|4|.
B. Pembahasan
1. Sikap Hindia Belanda terhadap Pendidikan Islam.
Setelah Belanda dapat mengatasi perlawanan atau pemberontakan-pemberontakan dari tokoh-
tokoh politik dan agama, seperti: Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan lain-lainnya, maka sejarah kolonialisme Indonesia
mengambil Iase yang baru, yaitu Belanda secara politik sudah menguasai Indonesia. Memang
raja-raja di daerah tertentu masih ada, namun keberadaannya dan kekuasaannya sangat tidak
berkuasa penuh, baik dari segi kewilayahan maupun ketatanegaraannya. Dengan begitu maka
hampir semua kekuasaan politik maupun ekonomi dan sosial budaya sudah berada di tangan
penjajah. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama yang mereka
sesuaikan, dengan prinsip-prinsip yang mereka pegang sebagai kaum imperialis dan
kolonialisme, yaitu kebarat-baratan (Westernisasi) dan misi Kristenisasi.
Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat jelas,
misalnya ketika Van Den Bosh menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta (1831) keluarlah
kebijakan batas sekolah-sekolah, Gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Sedang Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu,
sementara di setiap daerah Karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Meskipun Van Den Capellen saat itu menginstruksikan kepada seluruh Bupati tentang
perlunya pemerataan kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi, namun jelas
bahwa semuanya demi kepentingan mereka semata, sebab dengan meratanya kemampuan
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi diharapkan agar segera mentaati ketentuan
pemerintah (Hindia Belanda). Jiwa dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan
Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau, Masjid,
langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Hindia Belanda.
Politik yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam kebenarannya didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa penggilan agamanya yaitu
Kristen dan rasa kolonialismenya sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan yang
menyangkut pendidikan agama Islam, yaitu :
Tahun 1882 pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan, Islam yang mereka sebut Priesterraden.
Dari nasehat badan inilah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru yang
isinya bahwa orang-orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus
terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintahan Belanda.
1. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan Islam yaitu bahwa
tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat
semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
2. Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak
disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School
Ordonatie).|5|
Tidak hanya sampai di situ, bahwa tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut, telah
menempuh berbagai usaha lain, dengan maksud menekan dan mematikan kegiatan-kegiatan
keagamaan (Islam)|6| Strategi kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivitas
keIslaman oleh penduduk pribumi semakin rapih dan terkesan akomodatiI setelah adanya
salah seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda di bidang keagamaan, yaitu Snouck
Horgronye.|7|
Selanjutnya Snouck Horgronye setelah mempelajari seluk beluk masyarakat Muslim
Indonesia dengan segala karakteristiknya, lalu menasihatkan kepada pemerintah Hindia
Belanda bahwa :
Menyarankan azas pemerintah Hindia Belanda bersiIat netral terhadap agama, tidak memihak
terhadap salah satu agama yang ada. Menurut Snouck bahwa Ianatisme Islam itu akan luntur
sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
Pemerintah Hindia Belanda diharapkan dapat membendung Pan-Islamisme yang sedang
berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau brosur
ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung ataupun tidak dari tokoh-tokoh Islam
dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi ke Makkah,
bahkan jika memungkinkan melarangnya.|8|
Demikianlah beberapa kebijakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap umat Islam di
Indonesia. Jika kita lihat peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda yang demikian ketat
dan keras tersebut, maka tampaknya dalam tempo yang tidak lama pendidikan Islam akan
menjadi lumpuh dan porak poranda, akan tetapi kenyataannya berbicara lain, apa yang dapat
disaksikan dalam sejarah justeru adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam pada
zaman itu laksana air hujan atau bagaikan gelombang air laut 'Tsunami yang tak dapat
dibendung.
Begitu juga praduga pemerintah Hindia Belanda, sesuai dengan saran dan nasihat Snouck
Horgronye ternyata jauh meleset yakni tokoh-tokoh agama Islam di Indonesia banyak yang
mendapatkan majalah-majalah atau brosur-brosur serta literatur lain dari dunia luar seperti
Timur Tengah.
Kenyataan lain adalah orang-orang yang berpendidikan Baratpun tidak kehilangan
identitasnya sebagai Muslim dan bangsa Indonesia. Politik Islam dan politik pendidikan yang
dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menomor satukan anak-anak pejabat dan
pembesar dan membatasi pendidikan pribumi justeru menggiring putra pribumi tersebut pergi
ke pondok-pondok pesantren. Proses ini di satu pihak justru mendasari kuatnya kepercayaan
beragama bagi penduduk pribumi yang beragama Islam.
Oleh sebab itu, benar sekali yang diungkapkan oleh Wertheim bahwa:
'Apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya
senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaannya tersebut.|9|
Tekanan demi tekanan sama sekali tidak menggoyahkan mereka.Tentang kondisi pendidikan
Islam itu sendiri tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya, meskipun berbagai
kebijakasanaan yang diterapkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda seperti yang dipaparkan
di atas tadi.
2. Awal Mula Proses Modernisasi Surau pada Masa Hindia Belanda.
Usainya Perang Paderi, Minangkabau sepenuhnya dikuasai oleh Hindia Belanda. Mahmud
Yunus menjelaskan bahwa pada dekade Perang Paderi, pendidikan Islam mulai mengalami
kemunduran. |10| Namun demikian, pendidikan Islam yang berlangsung di surau-surau tetap
bertahan. Pendidikan Islam pada masa ini adalah disebut oleh Mahmud Yunus sebagai
sistem lama . Sistem lama yang dimaksudkan adalah sistem halaqah dengan materi
pelajaran keagamaan yang praktis, seperti membaca al-Qur`an, tata cara ibadah, siIat dua
puluh (akidah) dan akhlak.
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan ilmu alat, yakni pengajian kitab-kitab seperti Iikih,
taIsir, hadis, tarikh Islam dan lain sebagainya. Graves juga menyebutkan bahwa pendidikan
Islam pada masa Perang Paderi mulai mengalami kemunduran, sementara pemerintah Hindia
Belanda mulai gencar mendirikan sekolah-sekolah sekuler.|11| Sekolah-sekolah sekuler ini
berhasil menyedot sejumlah murid yang tertarik untuk belajar demi kepentingan ekonomi dan
status sosial. Sekolah-sekolah sekuler di negeri tahun 1946 telah berdiri sebanyak 11 buah, 5
buah berada di Bukit Tinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Sijunjung dan Solok. Sementara 6
lainnya berada di Bonjol, Maninjau, Sungai Puar, Singkarak, Buo, dan Puar Datar.|12|
Perkembangan baru di bidang pendidikan dan pengajaran di Minangkabau di atas berdampak
langsung terhadap eksistensi yang memang sudah berada di dalam kemunduran. Hal ini
dimungkinkan selain karena tekanan kolonial Belanda juga karena banyaknya ulama
terkemuka yang tewas pada Perang Paderi. Akibatnya banyak surau yang terlantar karena
tidak ada Syeikh dan guru agama.|13|
Berdasarkan kondisi surau di atas agaknya mendorong para ulama untuk mengirim anak-
anaknya ke Tanah Suci.|14| Mengingat dengan menjamurnya sekolah-sekolah Nagari
(sekolah sekuler oleh Hindia Belanda), eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam
semakin terdesak ke dalam posisi marjinal. Di sisi lain surau tidak mampu menjawab
dinamika masyarakat yang semakin meningkat tuntutan sosial ekonominya. Surau terlalu
asyik dengan kajian keagamaannya (Iikih, dan tasawuI) yang kurang applicable. Di samping
itu juga surau tidak memberikan ijazah sebagai identitas untuk mendapatkan pekerjaan.
Pada sistem sekolah baru sekuler yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda ini, bahasa
Melayu dijadikan sebagai alat pengantar pengajaran. Mata pelajaran agama dilarang, murid-
muridnya berpakaian Eropa. Di pihak lain mereka dididik menjadi calon birokrat
pemerintahan kolonial di nagari-nagari.|15| Gambaran ini terus berlangsung hingga
munculnya sekolah administrasi untuk mencetak tenaga sipil perkebunan kopi.|16|
Atas kemenangan kaum liberal di parlemen, Belanda di awal abad ke 20 terus gencar
mendirikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah sekuler untuk mendidik pribumi sesuai dengan
kemauan dan kehendak pemerintah Hindia Belanda. Karenanya sejak awal tahun 1900-an
didirikan sekolah rakyat (Volks School) hingga di (niozi-niozi (Mininokiji)). Tahun 1913
jumlah sekolah baru yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau ini
tercatat sebanyak 111 buah-an tahun 1915 meningkat menjadi 358 buah.|17|
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka wajarlah para tokoh pembaharu yang datang dari
Makkah dan didukung oleh para ulama setempat (di Minangkabau) mengharuskan untuk
mengubah kondisi (proses modernisasi) yang menyangkut tentang keterbelakangan surau
tersebut. Nampak gerakan pembaharuan muncul sebagai gerakan reaksi terhadap situasi
keterbelakangan surau dimasa itu.
Hamilton yang dikutip oleh Burhanuddin Daya menyebutkan bahwa gerakan pembaharuan
atau modernisasi di Minangkabau lebih banyak terpusatkan pada lokasi-lokasi surau yang
telah berkembang dengan baik. Di lembaga ini, para pengajar agama dan pemuda-pemuda
yang pernah pergi ke Makkah dan pulang ke Minangkabau, kemudian mengajar di surau
asalnya, gerakan itu berkembang karena surau mempunyai hubungan terbuka dengan
masyarakat luas.|18| Dari para pengajar inilah usaha pemurnian Islam dilahirkan di Sumatera
Barat, bukan hanya pemurnian yang terjadi melainkan modernisasi pendidikan khususnya
berkaitan dengan surau sebagai lembaga pendidikan Islam.
Tokoh reIormasi utama dalam proses modernisasi surau ini adalah Ahmad Khatib Al-
Minangkabaui. Meskipun beliau tidak pernah kembali ke Minangkabau, tetapi melalui murid-
muridnya yang kembali ke Nusantara.|19| Di antara mereka adalah Muhammad Thaib Umar,
Abdul LatiI Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim Musa Parabek, Agus Salim, Abdul Karim
Amrullah, Daud Rasyidin, dan Sultan Darap Pariaman. Semuanya kembali ke Nusantara
berkiprah dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembaharuan dan modernisasi surau
yang telah terbelakang dan tertinggal akibat hadirnya sekolah-sekolah sekuler yang didirikan
oleh Hindia Belanda, selain kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang kurang
menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Nusantara umumnya dan di
Minangkabau khususnya.
Sejak itu, eksistensi surau mulai bangkit dengan nuansa baru, meskipun tetap menggunakan
sistem halaqah yang tradisional. Surau yang mendapat sentuhan modernisasi pertama adalah
surau Tanjung Sungai Batusangkar yang didirikan oleh Syeikh HM Tahib Umar tahun 1897,
dan surau Parabek di Bukit Tinggi didirikan oleh Syeikh Ibrahim Musa tahun 1908. Mahmud
Yunus menyebutkan bahwa, gerakan pembaharuan pendidikan Islam oleh para ulama ini
merupakan gerakan pembaharuan menjelang kelahiran madrasah sebagai masa perubahan
.|20|
Pembaharuan surau ini tampak sebagai lembaga pendidikan Islam, terletak pada buku-buku
acuan yang sebelumnya hanya satu macam saja, kemudian dikaji berbagai kitab bagi tiap
ilmu. Pada masa ini kitab-kitab yang ditulis tangan, Dhammun dan Awamil tidak dipelajari
lagi. Kitab-kitab yang dipakai, tulisan cetak seluruhnya. Awalnya, kitab-kitab ini dibawa dari
Makkah dan Singapura, lalu oleh tokoh Syeikh Ahmad Khalidi Bukittinggi, kitab-kitab itu
dipesan sendiri ke Mesir. Dengan demikian, banyak kitab agama dari Mesir, bahkan majalah
Al-Manar juga mendapatkan perhatian.
3. Modernisasi Surau di Masa Hindia Belanda.
Proses modernisasi selanjutnya secara ekspansiI dilakukan oleh kaum muda.|21| Gerakan ini
mulai melancarkan serangannya terhadap praktik-praktik ulama tradisionalis dan praktik-
praktik kaum adat yang cenderung selalu membesar-besarkan adat.|22| Gerakan ini telah
berhasil menggebrak kesunyian, kesepian dan kemunduran lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan masyarakat Minangkabau memasuki dasawarsa ke dua abad ke 22.
Secara langsung atau tidak gerakan ini mempengaruhi eksistensi surau. Mereka mulai
mendirikan sekolah agama. Tahun 1914 Syeikh Abdullah Ahmad memprakarsai berdirinya
Syarikat Oesaha di Padang . Usaha pertama gerakan ini adalah mendirikan HIS Adabiyah
(tanggal 23 Agustus 1915) sebagai reaksi terhadap politik Hindia Belanda yang mendirikan
HIS (Hollands Inslandse School) yang sekuler. Berdirinya Adabiyah adalah menampung
umat Islam yang tidak memperoleh kesempatan untuk belajar di sekolah Belanda.|23|
Pada sisi lain, kelompok tradisionalis yang eksistensinya semakin terancam dengan hadirnya
lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh kelompok kaum Muda berusaha menyatukan
langkah. Sayangnya kesepakatan yang diharapkan itu tidak mampu mempertahankan sistem
pendidikan surau yang tradisional. Rapat besar ulama tradisional yang diselenggarakan di
Parabek Bukittinggi tanggal 5 Mei 1930 menghasilkan keputusan untuk membentuk
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). Persatuan ini memutuskan agar lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI dimodernisasikan mengikuti pola yang
dikembangkan oleh 'Kaum Muda. Dengan demikian, tampak bahwa kaum Ulama
tradisionalis tidak punya alternatiI lain untuk menyelamatkan sistem pendidikan surau,
kecuali dengan merombak seperti yang dilakukan 'Kaum Muda|24|
Keputusan ini melahirkan babak baru dalam perkembangan pendidikan Islam di
Minangkabau. Lembaga surau yang telah lama sebagai satu-satunya sistem pendidikan Islam
di daerah ini mulai tergeser oleh kehadiran madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam
modern. Surau menempati babak marjinalisasi dibanding dengan madrasah. Namun disadari
bahwa lahirnya madrasah di Minangkabau ini adalah sebagai reaksi atas ketidakpuasan para
praktisi pendidikan dengan sistem pendidikan yang menggunakan cara tradisionalis. Selain
itu, tak dapat dipungkiri bahwa munculnya madrasah adalah sebagai kelanjutan dari proses
modernisasi surau.
Sebab sekolah Adabiyah sebagai lembaga pendidikan Islam pertama selain surau tetap
menerapkan sistem klasikal sebagai diterapkan di surau. Hanya siIatnya berbeda dengan
surau yakni menggunakan papan tulis, meja dan bangku tulis. Karena masih kentalnya
masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan surau yang tradisional tersebut, maka
sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah Adabiyah mendapat reaksi yang tajam di
kalangan masyarakat. Tidak lama kemudian Sekolah Adabiyah tutup dan pindah ke
Padang.|25| Di Padang didirikan sekolah yang sama. Pendirian lembaga pendidikan ini
mengambil model lembaga pendidikan Islam Al-Iqbal Al-Islamiyah di Singapura yang
didirikan oleh Usman EIIendi RaIat dari Mesir (1908). Sekolah ini banyak mencontoh sistem
lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir dan Barat.|26|
Karena dalam perkembangan selanjutnya bahwa sekolah ini menerima sumbangan atau
subsidi dari pemerintah Hindia Belanda dan mengganti namanya dengan Hollandisch
Malaische School Adabiyah tahun 1915, dan kepala sekolah adalah seorang Belanda dari
agama Nasrani, maka pupuslah tumpuan harapan para 'Kaum Muda untuk
memodernisasikan lembaga tersebut, sebab telah menyimpang dari cita-cita 'Kaum Muda
dan tidak memperhatikan pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan yang lebih penting yang berpengaruh di Minangkabau adalah Sumatra
Thawalib. Sekolah ini tumbuh dari suatu surau yang disebut surau Jembatan Besi, yang pada
mulanya juga memberikan pelajaran agama secara tradisional. Pelajaran-pelajaran yang biasa
diberikan seperti Iikih dan taIsir al-Qur`an merupakan pelajaran utama. Dengan masuknya
Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar di surau ini setelah kembali dari Makkah
tahun 1904, pelajaran lebih menekankan kepada ilmu alat berupa kemampuan menguasai
Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
Tekanan kepada pelajaran ini dimaksudkan agar para siswa mempelajari sendiri kitab-kitab
yang diperlukan, dan dengan demikian lambat laun mengenal Islam dari al-Qur`an dan al-
Sunnah. Maksud terakhir ini hanya dapat diwujudkan dengan berdirinya sekolah
Thawalib.|27| Bagindo Jamaluddin Rasyad, yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915
memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan dari tokoh ini
adalah pentingnya organisasi yang mengilhami para pelajar surau Jembatan Besi berpikir
tentang usaha mendirikan organisasi.
Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut 'Perkumpulan Sabun, karena organisasi ini
memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar. Aktivitas organisasi ini berkembang secara
pesat hingga mampu menggaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini
dirubah menjadi Sumatra Thawalib.|28|
Modernisasi surau lebih banyak lagi dengan berdirinya sebuah surau dengan nama Surau
Parabek yang diprakrasai oleh Ibrahim Musa yang baru kembali dari Makkah tahun 1916.
Surau ini makin terkenal di seluruh wilayah. Tahun 1919 murid-murid Surau ini mendirikan
perkumpulan Muzakarat al-Ikhwan , dengan tujuan mengadakan diskusi ilmiah, latihan
debat terbuka dan sebagainya. Selanjutnya organisasi ini berganti nama menjadi
Thawalib.|29|
Tanggal 15 Februari 1920, diadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk organisasi umum dengan melebur dan menggabungkan Sumatra Thawalib Surau
Jembatan Besi dengan Sumatra Thawalib, Surau Parabek menjadi satu dengan nama baru
yaitu Sumatra Thawalib. Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama ini segera diikuti oleh
lahirnya Sumatra Thawalib di beberapa wilayah seperti di Sumatera Barat, sampai di luar
yakni Aceh dan Bengkulu.
Selanjutnya Sumatra Thawalib bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan yang juga dinamakan Sumatra Thawalib, atau
mengubah pengajian surau menjadi sekolah dengan nama Sumatra Thawalib, dan seterusnya.
Haji Jamaluddin Thaib, sebagai ketua Sumatra Thawalib memperkenalkan cara mengajar
modern ke lembaga ini, seperti sistem berkelas yang lebih sempurna penggunaan bangku dan
meja, kurikulum yang lebih diperbaiki, dan juga kewajiban belajar untuk membayar uang
sekolah. Mata pelajaran umum seperti ilmu-ilmu bumi diajarkan, meskipun yang utama
adalah pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi, kitab-kitab dari Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha, terutama taIsir al-Manar dijadikan buku pegangan. Mereka juga membaca
kitab Ibnu Taimiyah, disamping Ibnu Qayyim.|30|
Tahun 1923, ketika Sumatra Thawalib berkembang pesat menjadi model organisasi
pendidikan Islam modern, dengan masuknya paham komunis yang dibawa oleh Datuk
Batutah dan Zainuddin setelah kembali dari Jawa, pemerintah Hindia Belanda tahun 1926
mulai mengambil tindakan terhadap Thawalib Padang Panjang dengan menutup kaIetaria
pelajar BuIIet Merah karena dipandang sebagai pusat kegiatan komunis terselubung.
Selanjutnya tahun 1927, sebagai akibat pemberontakan Silungkang, banyak guru-guru
Thawalib Padang Panjang dilarang mengajar.|31|
Modernisasi surau juga ditandai oleh berdirinya Diniyah School di Padang Panjang tahun
1915. Lembaga ini sebagian adalah merupakan bias dari perkembangan surau Jembatan Besi
dengan menggunakan sistem ke-edukasi sekolah campuran yang dicontohkan dari kebiasaan
yang berlaku di sekolah-sekolah pemerintahan. Berdirinya lembaga pendidikan ini diikuti
oleh sejumlah 15 buah lembaga pendidikan yang sama di Minangkabau. Mata pelajaran
ditekankan pada ilmu pengetahuan umum, walaupun pelajaran agama mendapat tempat tak
kalah pentingnya.|32|
Sekolah-sekolah ini juga mulai memakai kitab-kitab dari Mesir, seperti Durus al-Nahwiyah,
Qawaid al-Lughah al-Arabiyah, dan sebagainya. Setelah Zainuddin Labay meninggal dunia,
cita-citanya dilanjutkan oleh adiknya yang termuda, Encik Rahmah al-Yunusiah. Rahmah
mendirikan sekolah putri dengan nama Madrasah Diniyah, dan pada tahun 1923 murid-
muridnya menggabungkan organisasi yang bernama Persatuan Murid-murid Diniyah School.
4. Penutup.
Gencarnya penetrasi pemerintah Hindia Belanda terhadap keberadaan lembaga pendidikan
Islam di daerah Minangkabau, ternyata tidak mengurangi semangat dan antusiasme para
ulama dan tokoh pembaharu Islam setempat. Malah justeru sebaliknya semakin memperoleh
tekanan dari pemerintah Hindia Belanda melalui berbagai pendidikan Islam, konsolidasi yang
dilakukan oleh para ulama dan pembaharu Islam semakin menunjukkan kemapanannya.
Eksistensi surau sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau
sempat melakukan upaya modernisasi di tengah penetrasi Hindia Belanda. Modernisasi
dimaksud menyangkut sistem kelembagaan yang lebih akomodatiI terhadap tuntunan
perkembangan masyarakat Muslim.
Modernisasi surau ditandai oleh berdirinya institusi pendidikan Islam yang modern, seperti
Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib, Madrasah Diniyah dan sebagainya yang cikal
bakalnya dari surau Jembatan Besi. Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra
Thawalib, Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut adalah menggunakan kurikulum yang
tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.
Selanjutnya perkembangan organisasi-organisasi di bidang pendidikan yang berasal dari
surau ini, semakin modernkan surau sebagai lembaga pendidikan.
http://pensa-sb.inIo/surau-dan-modernisasi-pendidikan-di-masa-hindia-belanda/

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Oleh : Ramahadin Damanik
PENDIDIKAN DIMASA BELANDA
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu
pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia
Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan)
dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan
kepentingan komersial.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman
Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC
dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari
kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain
mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa
kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geograIis, pusat pendidikan yang
dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi
mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di
pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1
(tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata
pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran Iokus
pada alphabet dan mengeja kata-kata|1|. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya
didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk
mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain
Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-
negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai
namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa
Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun
1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur
Jenderal van ImhoII tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang.
Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-
dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa
Yunani dan Yahudi, IilsaIat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya
pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama
dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi
6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu,
Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda,
anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de
Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali
secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatiI telah mapan melalui lembaga-lembaga yang
secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke
Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda
akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini,
pendidikan mulai memperoleh perhatian relatiI maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di
bidang pendidikan antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan
keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari
penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanIaatkan sebagai pendukung
supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah
memanIaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial
di Indonesia.




PENDIDIKAN MASA JEPANG
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari
rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan
Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan
Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut.
Dengan konsep 'Hakko Ichiu (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan 'Asia
untuk Bangsa Asia, bangsa Iasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial
yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut
dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan
dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan
Jepang sangat dipengaruhi motiI untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
PasiIik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan
akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama
bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
(2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan
berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai
berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun.
Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3
atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari
Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu
Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan bersiIat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran,
pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan
konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple
Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami
nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai
penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini
dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China
yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka
mencobakan Iormat pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.
Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat
Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu
(propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan
ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian
tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
(1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan
semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan
perspektiI geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan
kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa
aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2)
Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap
pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita
Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5)
Melakukan latihan-latihan Iisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah
berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke
sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang
berimplikasi pada adanya proses resiniIication (penyadaran dan penegasan identitas sebagai
keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan
buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses
pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-
sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan
dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk
dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa
menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini
menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari
aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
(1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy`ari. Di
daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan
bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang
mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H.
Zainal AriIin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan
K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan
menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A`la
Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam,
Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memIasilitasi berbagai aktivitas
kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan
umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Terima kasih
http://www.Iacebook.com/topic.php?uid109803170427&topic8776

Anda mungkin juga menyukai