Anda di halaman 1dari 2

Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

ANTARA NURANI DAN SIKAP APOLITIS PUBLIK : Catatan Untuk Tulisan Jeni Akmal (Sriwijaya Post)
Contributed by Doni Riadi Friday, 17 January 2003

Saat membaca tulisan Jeni Akmal di Sripo (14/1) yang berjudul “ Politik Kebersamaan dan Keberagaman” , maka saya berusaha keras untuk dapat menemukan ide utama sang penulis yang ia cantumkan sebagai judul yaitu kebersamaan dan keberagaman. Sebuah diskursus yang sebenarnya menarik untuk ditelaah lebih jauh. Sayangnya, hingga akhir tulisan Kamal, saya tak mendapati secara lugas konsep politik keberagaman dan kebersamaan yang dimaksud itu. Yang ada justru adalah keluhan (complain), kekecewaan, pesimistis, dan sikap apatisme terhadap kondisi sosial politik tanpa diimbangi secercah sikap optimistis. Konsep revolusi akal sehat yang ia pinjam dari Mudji Sutrisno pun menjadi debatable, karena konsep itu lahir pada tahun 1999 sehingga menjadi tidak relevan dengan kasus atau latar belakang riuh rendahnya Indonesia 2002-2003. Revolusi akal sehat yang disebutnya diawali dengan keberanian untuk tidak malas berfikir, menggunakan pikiran untuk berdialog dan berdebat, mengumpulkan rencana rencana-rencana rasional untuk perubahan agar tidak terjadi korban nyawa justru menemukan antitesisnya di awal 2003 ini. Dalam konteks kenaikan harga BBM, TDL dan telepon, hitung-hitungan ekonomi rasional an sich yang dilakukan pemerintah tanpa diimbangi unsur moral / nurani dan kepekaan sosial dan dialog dengan DPR, justru telah menyebabkan penderitaan di kalangan grass root dan memaksa mahasiswa untuk turun ke jalan kembali. Sehingga sangat naf jika kemurnian dasar gerakan mahasiswa yang berjuang demi rakyat ditengarai sebagai martir dari pihak-pihak yang ingin menggulingkan pemerintah. Pernyataan seperti itu justru berdampak buruk pada semangat perubahan dan demokrasi, dimana setiap kritik selalu dipandang sebagai niatan buruk untuk menjatuhkan rezim. Jika kita berpikir lebih dalam, pernyataan itu adalah bentuk modus pemerintah yang tidak ingin disudutkan sendirian atas kebijakan-kebijakan publiknya. Sehingga menyusun kamuflase dengan mengkabinghitamkan pihak lain. Melawan Apolitis dengan Kerja Keras Sehingga pertanyaan yang timbul adalah, apakah karena kekecewaan menjadi alasan utama kita untuk menggeneralisasi bahwa politik itu maya dan penuh pura-pura? Tidakkah kita pernah melihat dan mendengar adanya politisi yang menjadikan nurani sebagai dasar aktivitas politiknya di negeri ini ? Tentu saja masih ada walaupun minor, dan tindakan yang dewasa adalah sejauh mana kita bersikap dalam memberi dukungan terhadap aktivitas politik dengan nurani itu. Jika kita konsisten ingin melakukan perubahan di negeri ini, maka kita tidak akan memilih untuk meninggalkan gelanggang dan acuh tak acuh dengan pilihan golput misalnya. Untuk dapat bangkit dari keterpurukan, negara ketiga seperti Indonesia membutuhkan masyarakat bermental pekerja keras, dan membutuhkan pemain bukan sekedar penonton. Apalagi jika kriteria good governance ingin kita raih memulihkan citra negeri ini sebagai failed state (negeri yang bangkrut). Partisipasi konstruktif sebagai bentuk sociability dari publik menjadi salah satu faktor dominan untuk mewujudkannya. Partisipasi publik menjadi niscaya karena menurut definisi UNDP, good governance adalah hasil kolaborasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta (private) dan masyarakat (civil society). Secara umum, pemerintah berperan untuk menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif sedangkan sektor swasta memiliki peran untuk mengerakkan dunia usaha sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Sementara masyarakat sipil berperan untuk memfasilitasi interaksi-interaksi sosial politik dan memobilisasi kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Sehingga, sudah saatnya kita meninggalkan dunia keluhmengeluh menuju dunia partisipasi peran. Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan pertama, merubah paradigma cara pandang politik. Masyarakat banyak yang terpasung pada paradigma bahwa politik itu kejam. Paradigma ini muncul karena rakyat dibuat menderita oleh perilaku politik baik penjajah di masa lampau maupun perilaku politik penguasa kekinian yang korup. Sehingga masyarakat membenci politikus dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dalam hal ini, Machiaveli adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan hegemoni falsafah politik kekerasan yang dianut oleh kebanyakan politikus di dunia. Padahal hakikatnya, politik mengandung nilai luhur. Politik diambil dari bahasa yunani yaitu polis dan etic. Polis berarti kota dan etic berarti norma, sehingga politik bermakna kumpulan norma-norma yang mengatur keberlangsungan sebuah kota. Itu berarti, tidak ada tendensi buruk sedikitpun dalam definisi politik yang artifisial. Bahkan dalam buku “Fikih Negara”, Dr. Yusuf Qordhowi (1997) mengutip Imam Ibnu Qoyim bahwa politik adalah tindakan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkannya dari kekerasan, selama tidak bertentangan dengan syariat atau hukum. Imam Al Ghozali dalam “Ihya Ulumuddin” juga mengatakan
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 1 December, 2011, 06:27

Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

bahwa dunia adalah ladang akhirat, agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu yang tidak dijaga akan hilang. Jika kemudian publik benar-benar apriori dan menjadi apolitis, maka tentu para badut-badut politik itu akan merayakan kemenangannya karena tidak mendapatkan rival yang mengkritisi dan memonitoring sepak terjang mereka. Mereka dapat dengan mudah melakukan praktek-praktek rent seeking (aji mumpung) dan segala macam KKN lainnya. Kunci perubahan paradigma ini terletak pada usaha dan kerja keras pendidikan politik yang benar kepada masyarakat lewat berbagai medium maupun contoh teladan langsung dari kehidupan sehari-hari pelaku politik. Kedua, memperbesar porsi informasi dan pemberitaan politisi yang mengedepankan nurani dan kejujuran agar diperoleh wacana baru tidak hanya seputar keburukan para politisi. Dan perlakuan ini bersifat inklusif. Contohnya, dalam hal kebersihan KKN sosok seperti Kwik Kian Gie yang buddhis tetap mendapat apresiasi publik ketimbang Akbar Tanjung yang muslim. Langkah ini diikuti pula dengan komitmen kuat untuk menegakan hukum bagi para politisi yang dholim. Jika tidak berhasil, maka masyarakat dapat bersepakat untuk melakukan ‘pengucilan sosial’ sebagai bagian dari shock therapy kepada politisi jahat. Tentu saja jika ternyata masyarakat juga berkarakter ‘setali tiga uang’ atau sama-sama dholimnya, maka itu adalah persoalan lain lagi. Saking kecewanya dengan hal yang seperti ini, Syeik Muhammad Abduh mengungkapkan perasaannya yang terkenal : “Saya berlindung kepada Allah dari politik, dari orang yang menggeluti politik, dari penguasa dan yang dikuasai”. Ketiga, membuka keran partisipasi politik publik seluas-luasnya. Partisipasi politik tidak hanya melalui bergabung dengan partai politik saja. Partisipasi politik dapat kita salurkan melalui curah pendapat, public hearing, surat pembaca, opini, class action, seminar, diskusi, hingga aksi demonstrasi, yang dapat dimainkan baik dengan bergabung lewat LSM, ormas atau secara individual sesuai dengan kompetensi masing-masing. Peran publik ini umumnya terbagi dua antara peran sekedar menjadi watchdog terhadap kinerja politisi atau peran yang terlibat langsung dalam pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat. Dan yang terakhir adalah belajar untuk berprasangka baik terhadap sesama elemen masyarakat dengan menjauhkan ‘filosofi jangan-jangan’ dari segala aktivitas publik. ‘Filosofi jangan-jangan’ adalah bentuk saling curiga sesama elemen horizontal masyarakat yang berpeluang mematikan daya kritis dan cita-cita masyarakat madani. Contohnya adalah pikiran ‘jangan-jangan mereka ditunggangi’, ‘jangan-jangan nanti kita ditelikung’, atau ‘jangan-jangan mereka punya maksud tertentu’. Prasangka buruk antarmasyarakat demikian ini menurut pengalaman empirik bangsa-bangsa lain tidak akan pernah bisa menghasilkan suatu negeri yang kuat. Berhasilnya sebuah revolusi sosial selalu ditandai dengan bersatunya elemenelemen masyarakat. Yang justru timbul dari prasangka negatif ini adalah fenomena konflik dan disharmoni sosial seperti yang terjadi di negara-negara ketiga. Pertanyaannya adalah apakah kemunduran negara ketiga itu akibat konspirasi jahat negara asing ataukah karena ulah penduduknya sendiri yang apolitis? Wa Allahua’lam bisshowab

http://www.wedangjae.net

Powered by Joomla!

Generated: 1 December, 2011, 06:27

Anda mungkin juga menyukai