Anda di halaman 1dari 17

Umar bin Abdul Aziz membersihkan kedua tangannya. la berdiri.

Di depannya nampak makam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat al marhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara riuh. "Ada apa?", tanya Khalifah kedelapan Bani Umayyah itu heran. "Ini kendaraan Anda, wahai Amirul Mukminin," ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kendaraan mewah yang khusus disiapkan untuk sang khalifah. Dengan suara gemetar dan terbata bata karena kelelahan dan kurang tidur, Umar berkata, "Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah kendaraan ini. Semoga Allah memberkahi kalian." Lalu ia berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama in! Baru saja ia duduk di atas punggung hewan itu, serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang khalifah dari marabahaya. Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, "Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa." Selanjutnya, Umar berjalan bersama orang prang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun bermusyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.' Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, "Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.' Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara' (menjauhi syubhat). Kisah dirinya ketika memadamkan lampu minyak saat menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. la tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga. Kits bandingkan dengan sikap pemimpin saat ini. Sulit membedakan mana harta mereka pribadi dan mana milik pemerintah. Berapa banyak para pejabat yang tetap menggunakan fasilitas negara saat kampanye yang nota bene untuk kepentingan sendiri. Begitu pun setelah mereka berkuasa. Bahkan, mereka yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat

menjadi jauh. Akibatnya, mereka sendiri merasa tidak aman. Kemana pun pergi selalu dijaga ketat oleh para pengawal. Kenyataan ini akan sangat bertolak belakang jika kita tengok jauh lagi ke belakang. Pada akhir abad 17 Hijriyah, misalnya. Saat itu kaum Muslimin sebenarnya sedang menikmati kemenangan pasukan mereka di Irak dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka dikejutkan oleh datangnya musim kemarau berkepanjangan. Selama sembilan bulan hujan tak turun. Bumi gersang dan penuh debu. Hewan dan tanaman menjadi korban. Kondisi Madinah tak terlalu buruk. Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, Khalifah Kedua setelah Rasulullah saw wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya, dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong bondong, mengungsi di kota Nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan. Tapi lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Khaththab kala itu? Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar benar menikmati makanan itu. "Agaknya, Anda tak pernah mengenyam lemak?" tanya Umar. "Benar," kata Badui itu. "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang orang memakannya sampai sekarang, tambahnya. Mendengar kata kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat ini, "Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya," ujar Umar. Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya. Kita diberikan pelajaran sangat berharga oleh dua Umar. Dengan meneladani kehidupan dua khafrfah itu, para pemimpin akan merasakan penderitaan rakyat. Perasaan inilah yang akan melipatgandakan perjuangannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa berjuang kalau ia sendiri tak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Sikap zuhud dan kedekatan dengan rakyat ini akan menenteramkan masyarakat. Kedekatan pada rakyat akan melahirkan kecintaan. Bayangkan dengan diri Rasulullah saw. Bagaimana mungkin rakyat tidak dekat dengannya kalau menjelang ajal pun beliau masih menyebut nyebut, "Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku)." Kepedulian Rasulullah saw pada umatnya nyaris tak berbalas. Kecintaan inilah yang akan menciptakan rasa aman. Kedekatan dengan rakyat berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan seorang pemimpin. Semakin dekat dirinya dengan rakyat, semakin tinggi juga tingkat rasa aman dirinya. Inilah yang menjelaskan mengapa kedua Umar, baik Umar bin Abdul Aziz maupun Umar bin Khaththab tak pernah mau dikawal. Mereka tak memerlukan pengawal karena merasa dirinya aman. Mereka terbiasa berkeliling di tengah gelapnya malam. Mereka juga

biasa tidur tiduran di tempat umum. Tak ada rasa takut dan khawatir dalam diri mereka. Penyebabnya: mereka berlaku adil, bersih, dekat dengan rakyat, maka rakyat pun mencintainya.

"Anakku, Khalifah Umar bin Khaththab RA boleh jadi tak melihat apa yang kita kerjakan malam ini. Tapi, Tuhan Umar? Sungguh, Dia MahaMelihat!" Siapakah Umar bin Abdul Aziz RA, pemimpin / pejabat yang adil dan bijaksana itu? Siapakah Umar bin Abdul Aziz RA, yang ketika dia memimpin, masyarakat yang dipimpinnya semua sejahtera sehingga tak satupun yang berstatus sebagai mustahiq (lantaran fakir atau miskin)? Susu yang Menyelamatkan Cerita bermula dari Madinah. Umar bin Khaththab RA kala itu sedang memegang amanah sebagai khalifah. Sebagai salah satu wujud tanggung jawab seorang Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab RA memiliki sebuah tradisi yang tak semua pemimpin mau melakukannya. Apa itu? Dia suka berkeliling -pagi, siang, atau malam- untuk memantau perkembangan / keadaan dari masyarakat yang dipimpinnya. Saat memantau, dia lebih sering menyamar sehingga masyarakat yang ditemuinya tak tahu bahwa yang sedang bersama atau kadang berbincang-bincang dengan mereka itu adalah seorang khalifah bernama Umar bin Khaththab RA. Di sebuah malam yang dingin, ketika rata-rata warga Madinah sudah terlelap tidur, Umar bin Khaththab RA justru sigap berkeliling kota, sendirian. Umar bin Khaththab RA adalah pemimpin/pejabat yang sangat sadar bahwa kelak amanah itu harus dipertanggungjawabkan di Hari Akhir. Umar bin Khaththab RA berkeliling, ingin mengetahui barangkali ada warga yang lapar, sakit, atau dizalimi pihak lain. Dia khawatir, barangkali ada urusan orang yang luput dari perhatiannya, sedangkan kelak Allah akan menanyainya tentang hal itu. Malam itu, dia berkeliling dalam waktu yang lama, sampai dia kelelahan dan kedinginan. Refleks Umar bin Khaththab RA berlindung di dekat sebuah rumah, yang jika melihat ukurannya yang kecil dan tampak teramat sangat sederhana, milik sebuah keluarga yang tergolong miskin. Umar bin Khaththab RA berniat menumpang berteduh sebentar sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid karena fajar hampir tiba. Sejurus kemudian, tak sengaja Umar bin Khaththab RA mendengar dialog dari dalam rumah, sebuah percakapan antara seorang ibu yang berprofesi sebagai penjual susu dengan anak gadisnya. Hari itu rupanya susu hasil perahan kambing mereka tak banyak, sehingga jika dijual tak cukup untuk membeli berbagai keperluan esok hari nya. Anakku, campurlah susu itu dengan air, pinta si ibu, Tentu saja itu dimaksud agar susu terlihat lebih banyak sehingga bisa mendapat lebih banyak uang. Bagaimana aku bisa melakukannya, sebab bukankah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA telah melarang hal yang demikian, tolak sang anak gadis.

Si ibu terus mendesak: Orang-orang lain juga mencampurnya. Ayo, campurlah, karena siapa yang akan memberi tahu Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA tentang hal ini? Bukankah dia tak melihat kita? Wahai ibu, jika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA tak melihat, namun -ketahuilahTuhan yang memiliki Amirul Mukminin pasti melihat kita, terang sang anak gadis dengan nada yang lembut namun tegas. Subhanallah! Tak kuasa Umar bin Khaththab RA menahan haru atas performa gadis putri si penjual susu yang kemuliaan akhlaqnya terbangun di atas fondasi aqidah yang kukuh. Air mata haru Umar bin Khaththab RA mengucur. Allahu-Akbar! Lalu, bergegas Umar bin Khaththab RA ke Masjid, karena Subuh sudah masuk. Usai mengimami shalat berjamaah, Umar bin Khaththab RA pulang ke rumah. Tak menunda waktu, dia lalu memangil Ashim, putranya. Umar bin Khaththab RA meminta Ashim menyelidiki keadaan penghuni rumah yang semalam sempat disinggahi-nya. Singkat cerita, setelah melaksanakan amanat dari sang ayah, Ashim kembali ke rumah dengan membawa informasi yang cukup lengkap tentang ibu (si penjual susu) dan anak gadisnya. Sebaliknya, Umar bin Khaththab RA menceritakan apa yang didapatnya semalam secara tak sengaja itu. Pergilah Anakku, nikahilah anak gadis itu karena saya lihat dia seorang yang baik dan semoga- dia akan melahirkan seorang laki-laki yang menjadi pemimpin Arab, pinta Umar bin Khaththab RA kepada putranya yang ketika itu memang sedang berniat untuk menikah. Ashim-pun menikahi gadis miskin namun suci dan mulia itu. Dari rahimnya lalu lahir anak perempuan yang lalu mereka beri nama Laila dan dijuluki Ummi Ashim. Sebagaimana ibunya, Ummi Ashim tumbuh-kembang menjadi wanita shalihah, wanita bertakwa. Lalu, di kemudian hari Ummi Ashim dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pasangan inilah, lahir Umar bin Abdul Aziz RA, yang di kemudian hari saat dia menjadi khalifah- disebut-sebut sebagai Khulafaur-Rasyidin yang kelima, setelah Abu Bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Usman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.

Panas yang Mengingatkan Jika di antara perjalanan panjang kebaikan Umar bin Khaththab RA ada Kisah penjual susu dan anak gadisnya yang amanah, maka kini kita saksikan kisah sang cicit, Umar bin Abdul Aziz RA saat menjadi Khalifah. Umar bin Abdul Aziz RA punya bibi yang karena merasa sang kemenakan sedang menjadi pejabat tinggi, maka dia ingin meminta hak lebih dari yang seharusnya dia dapat dari Kas Negara.

Bahwa api itu panas mestinya bisa selalu menjadi pengingat untuk sekali-kali tak melanggar Larangan-Nya. Sang Khalifah -Umar bin Abdul Aziz RA- masuk ke dalam rumah dan mengambil satu dirham uang perak. Uang itu lalu dibakarnya. Sesudah cukup panas, uang itu dia bungkus dengan kain, dan dia berikan kepada sang bibi seraya berucap: Inilah tambahan yang Bibi minta. Saat menerima bungkusan itu, tentu saja sang bibi kaget, lantaran merasakan panas. Kalau api di dunia terasa panas, bagaimana dengan api di akhirat yang kelak akan membakar saya dan bibi karena tak amanah, yaitu menyelewengkan harta Baitul Maal / Kas Negara, yang tak lain adalah harta kaum muslimin? Kisah dua Umar RA di atas semoga bisa menjadi sumber spirit bagi kita dalam mengelola amanat yang kita pegang, terutama saat menjadi pemimpin / pejabat. [] Di tengah keheningan malam, di bawah atap rumah yang tidak seberapa bagusnya, sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan penjual susu kepada anak gadisnya, "Campurlah susu ini dengan air!", katanya. Serta merta sang anak pun menolak seraya bertanya: "Apakah ibu tidak takut kalau hal ini diketahui khalifah Umar bin Khattab? "Umar tidak akan tahu", jawab ibunya spontan. Dengan penuh keyakinan gadis itu pun menimpali, "Kalau pun Umar memang tidak mengetahuinya, apakah berarti Tuhan yang menciptakan Umar juga tidak mengetahuinya?. Sang ibu pun terperanjat lalu terdiam seribu bahasa. Di sisi bumi yang lain, di bawah remang-remang cahaya rembulan, di samping dinding rumah penjual susu, berdirilah seseorang yang sedari awal mendengarkan percakapan itu melalui celah-celah di dinding rumah, seseorang yang sangat berwibawa, Umar bin Khattab sang khalifah.

Lalu bergegaslah Umar meninggalkan rumah itu seraya memberikan instruksi kepada asistennya, "Tandailah rumah ini!". Keesokan harinya ia segera memanggil Ashim, salah satu anak laki-lakinya seraya bertanya: "Maukah kamu aku nikahkan dengan seseorang yang sangat baik agamanya?", terbetik di benaknya anak gadis penjual susu. Tanpa pikir panjang lagi Ashim pun menjawab dengan penuh keyakinan, "Ya".[1] Subhanallah! Pernikahan penuh barakah, dua insan yang sama-sama memiliki keimanan kokoh mengikrarkan janji lewat seuntai ikatan tali suci. Kelak terlahir dari keduanya tokoh panutan sejarah yang namanya takkan pernah usang di telan zaman. Perjalanan hidup mencatat seiring bergulirnya waktu tokoh-tokoh panutan dan teladan yang mengabadikan namanya dalam memori sejarah. Kebesaran nama mereka diakui di seantero penjuru dunia, dari ujung ke ujung. Ketokohan mereka dielu-elukan di setiap sudut belahan bumi. Ketenaran mereka selalu menjadi sumber inspirasi kesuksesan dari generasi ke generasi. Berbicara tentang keteladanan, tidaklah ada kisah yang lebih mengagumkan dari pada kisah yang tercatat dalam sejarah Islam. Dengan tinta emas terukirlah nama-nama tokoh teladan yang layak dijadikan panutan dalam meniti hidup ini. Perjalanan hidup mereka

terbimbing oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah. Keteladanan mereka terbentuk di bawah kemuliaan Islam dan kesohoran mereka tergapai berkat naungan Islam. Merekalah termasuk golongan yang Allah I kisahkan dalam al-Qur'an,

( )
Artinya: "Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat". (QS. Al-An'aam: 90). Di antara deretan nama-nama besar itu, tersebutlah nama Umar bin Abdul Aziz, sang khalifah ke delapan dinasti Bani Umayah. Ketokohannya tidak diragukan lagi, keteladanannya membuat decak kagum setiap pembaca biografinya, lebih dari itu nama besarnya selalu digaungkan sebagai ikon keadilan setelah pendahulunya; Umar bin Khattab. Sungguh pribadi yang mengagumkan! 1. Biografi Umar bin Abdul Aziz. a. Nasabnya. Beliau adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abu al-'Ash bin Umayah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab; salah satu keturunan Bani Umayah, yang tentu saja berdarah Quraisy. Beliau biasa dipanggil dengan sebutan Abu Hafs, sedangkan di kalangan Bani Umayyah beliau lebih dikenal dengan al-Asyaj (si pemilik luka di wajah)[2]. Ayahnya; Abdul Aziz -seorang gubernur mesir pada pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan- adalah salah satu kandidiat yang dicalonkan untuk menduduki tampuk kekhalifahan sepeninggal ayahnya; Marwan bin Hakam, namun ajal keburu menjemputnya. Sedangkan ibunya; Laila bintu Ashim bin Umar bin Khattab, biasa dipanggil dengan Ummu Ashim. Secara garis keturunan dari pihak ibu, beliau adalah cicit Umar bin Khattab.[3] Dikisahkan ketika Abdul Aziz hendak melamar Laila, ia berkata kepada atasannya, "Kumpulkanlah untukku empat ratus dinar dari hartaku yang terbaik, karena aku ingin melamar seorang perempuan dari keluarga baik-baik". Singkat cerita, akhirnya Abdul Aziz pun menikahi Laila.[4] b. Kelahirannya. Beliau dilahirkan tahun 61 H di Madinah pada era pemerintahan khalifah Yazid bin Mu'awiyah, bertepatan dengan meninggalnya Maemunah istri Nabi Muhammad r. Beliau menghabiskan masa kecilnya di Madinah Munawwarah dengan menimba ilmu dari para ulama yang hidup saat itu. Sehingga terkumpullah pada diri beliau keutamaan ilmu dan agama, disamping keturunan 'darah biru' dan gelimpangan materi. Pasca meninggalnya sang ayah, beliau diminta untuk tinggal di Damaskus oleh khalifah Abdul Malik, paman beliau, lalu dinikahkan dengan salah seorang anaknya; Fatimah.[5] c. Wafatnya. Beliau meninggal dunia hari jum'at di sepuluh hari terakhir bulan Rajab tahun 101 H pada umur 40 tahun, setelah memegang tampuk kekuasaan selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan 4 hari, dikarenakan stroke yang menimpanya. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal dunia karena diracun para pejabat Bani Umayah. Wallahu A'lam.[6] Beliau meninggalkan 3 orang istri: Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan, Lumais bintu Ali bin Haris, Ummu Utsman bintu Syu'aib bin Zayyan, dan 14 orang anak laki-

laki: Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Bakr, Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zayyan, Abdul Aziz, Abdullah, serta 3 orang anak perempuan: Ummu Ammar, Aminah, Ummu Abdillah.[7] Adz-Dzahabi berkomentar: "Beliau adalah seorang yang berperawakan dan berakhlak bagus. Memiliki kesempurnaan dalam berpikir, pintar menempatkan diri, jago lobi politik, menjunjung tinggi nilai keadilan dan berusaha mengaplikasikannya semaksimal mungkin, luas ilmunya, mumpuni dalam ilmu psikologi dan diberi kecerdasan luar biasa yang dibungkus pemahaman yang menakjubkan. Di samping itu beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah, memiliki akidah yang lurus, zuhud meskipun memegang tampuk pemerintahan dan lantang menyuarakan kebenaran meskipun sedikit yang mendukungnya. Para ulama mengkategorikan beliau sebagai salah satu al-Khulafa' arRasyidun[8] dan ulama yang mengamalkan ilmunya.[9] 2. Kepribadian Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja, mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problematika yang ada dan memiliki analisa yang tajam. Di antara karakteristik yang dimilikinya: a. Rasa takut yang tinggi kepada Allah I. Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal. Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku teringat mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.[10] Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. "Berilah aku petuah!", Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin[11]!! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.[12] b. Wara'. [13] Di antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keenganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, "Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?".[14] Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: "Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali, "Hadiah di zaman Nabi r benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap".[15]

c. Zuhud. Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di genggamannya. Malik bin Dinar pernah berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku, "Malik bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya".[16] Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si zuhud Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya![17] d. Tawadhu'.[18] Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya. Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud u dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah I,

( )

Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi". (QS. Shad: 26). [19] Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya. Pernah suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: "Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman".[20] e. Adil.

Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya. Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: "Seorang lakilaki Dzimmi [21]dari penduduk Himsh[22] pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau maksud?", sergah Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, "Apa komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik", sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?". "Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah", ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.[23] Kisah di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di dapati di buku-buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang memenuhi lembar demi lembar buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah, siapa pun pembacanya pasti akan menggelenggelengkan kepala tanda takjub sambil menyunggingkan rasa masygul tanpa ragu, diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana. Bersambung

Selengkapnya silahkan baca: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 10.
[1] [2]Julukan

tersebut bermula ketika suatu hari beliau masuk ke tambatan kuda, tiba-tiba seekor kuda menyepak wajah beliau. Lalu ayah beliau pun menyeka darah yang mengalir seraya bergumam, "Seandainya engkau dijuluki si Asyaj Bani Umayyah, sungguh bahagialah engkau". Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Asakir, dari jalan Harun bin Ma'ruf, dari Dhamrah. Umar bin Khattab t pernah berkata: "Kelak salah satu keturunanku akan ada yang memenuhi bumi ini dengan keadilan; seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka". Siyar Alam an-Nubala (5/116). Lihat biografi beliau di kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir (12/676), Siyar A'lam an-Nubala', karya Adz-Dzahabi (5/114), Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 9-10, dan Tarikh Khulafa' Bani Umayah, karya Dr. Nabih Aqil hal. 253.
[3]

[4] Sirah [5]

wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 10.

Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah (12/680), Siyar A'lam an-Nubala' (5/117), Tarikh Khulafa' Bani Umayah hal. 253 dan Shofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami, karya Dr. Ali Muhammad Shalabi hal. 396. Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah (12/719), Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 327 dan al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz, karya Dr. Ali Muhamad Shalabi hal.329.
[6] [7] [8]

Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 314-315.

Penamaan al-Khulafa' ar-Rasyidun ditujukan pada pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. As-Syafi'i mengatakan: "al-Khulafa' ar-Rasyidun ada lima: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/131). Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/696), Siyar A'lam an-Nubala' (5/120), dan Shofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami hal. 400.
[9] [10] [11]

Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/678) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/116).

Gelar yang diberikan kepada sang khalifah. Kalimat ini berarti pemimpin kaum mukminin. Dalam kamus pemerintahan modern lebih familiar dengan istilah presiden, perdana menteri, dst.
[12] [13]

Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 164.

Menurut Lisanul-'arab dan al-Mujam al-Wasith, Wara' secara bahasa berarti menahan dan menjauhkan diri dari perkara haram, kemudian mengalami perubahan makna menjadi menjauhkan diri dari perkara mubah.
[14] [15]

Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 192. Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 189. wa an-Nihayah (12/699) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/134).

[16] Al-Bidayah [17] [18] [19]

Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 70. Menurut al-Mu'jam al-Wasith Tawadhu' berarti merendahkan diri.

Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 46. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 71. Akhbar Abi Hafs, karya al-Ajurri hal. 82. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa alMuslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal.72.
[20]

Non muslim (yahudi atau nasrani) yang tinggal di negara Islam (muslim) dan terikat perjanjian damai dengan pihak setempat dengan syarat membayar Jizyah (pajak jaminan
[21]

keamanan) serta tunduk pada hukum Islam. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (2/2487). (Dalam Maktabah Syamilah). Nama daratan yang membentang antara Damaskus dan Halab sepanjang 61 km dengan lebar 32 km. Dibangun oleh seorang yang bernama Himsh bin Mahr bin Jan bin Mukannaf. Lihat Mu'jam al-Buldan, Yaqut al-Hamawi (2/116). (Dalam Maktabah Syamilah).
[22]

Akhbar Abi Hafs hal. 58. Lihat: : al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 78.
[23]

Kedudukannya dalam ilmu. Para ahli yang menulis biografi Umar bin Abdul Aziz sepakat bahwa beliau termasuk salah satu Imam (panutan dalam ilmu pengetahuan) di zamannya, sebagaimana ditegaskan Malik dan Sufyan bin Uyainah[1]. Di samping itu beliau juga digelari al-'Allamah (yang luas ilmunya), al-Mujtahid (ahli Ijtihad[2]) dan al-Hafidz (panutan dalam ilmu hadits)[3]. Suatu hari di umurnya yang masih 'seumur jagung' beliau pernah mengunjungi Abdullah bin Umar bin Khattab. Sepulangnya dari kunjungan tersebut beliau pun berkata kepada ibunya, "Ibu! Aku ingin sekali menjadi seperti kakek Abdullah bin Umar", hal itu beliau katakan berulang-ulang.[4] Mujahid pernah bercerita: "Dulu kami pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz karena ingin mengajarinya beberapa hal, namun justru kamilah yang diajarinya"[5]. Maemun bin Mihran juga pernah berkomentar: "Di hadapan Umar bin Abdul Aziz, para ulama hanyalah bagaikan murid"[6]. Sedangkan Adz-Dzahabi mengkategorikan beliau dari aspek keadilan seperti Umar bin Khattab, dari aspek kezuhudan seperti Hasan Bashri dan dari aspek keilmuan seperti Zuhri[7]. Bahkan para ulama lain pun tidak segan-segan berhujjah dengan perkataan dan perbuatan beliau. Di antaranya: Laits bin Said ketika menulis surat untuk Malik bin Anas menyebutkan nama beliau berkali-kali untuk menguatkan pendapatnya sendiri dalam beberapa persoalan.[8] Lebih dari itu, Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad sering menyebut nama beliau dalam beberapa kitab mereka[9]. Cukuplah sebagai saksi statemen Ahmad berikut ini: "Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan Tabiin yang perkataannya dijadikan Hujjah selain Umar bin Abdul Aziz. Dan ini cukup (sebagai saksi akan keilmuan beliau)"[10]. Beliau melanjutkan: "Jika engkau mendapati seseorang yang mencintai Umar bin Abdul Aziz, lalu menyebut-nyebut kebaikan dan menyebarkannya. Ketahuilah di balik itu semua ada kebaikan (yang menunggu) Insya Allah"[11]. Di antara para ulama yang pernah menjadi guru beliau adalah Shalih bin Kaisan dan Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Beliau sangat terinspirasi oleh keluhuran budi pekerti keduanya.[12] Juga Said bin Musayyib, Salim bin Abdullah bin Umar dan masih banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya berjumlah 33 orang; 8 orang dari kalangan Shahabat dan 25 dari Tabiin.[13] 4. Umar bin Abdul Aziz sebagai pejabat. a. Gubernur Madinah.

Suatu hari, di salah satu bilangan bulan Rabiul Awal, di tahun yang menginjakkan kakinya di angka ke 87 H, khalifah Walid bin Abdul Malik mengeluarkan keputusan resmi; pengangkatan gubernur baru. Sang gubernur terpilih akan diberi kewenangan untuk mengepalai Madinah dan Thaif (Hijaz). Dan pilihan itu jatuh di pundak Umar bin Abdul Aziz. Begitu mengetahui dirinya terpilih, Umar bin Abdul Aziz tidak langsung menerima mandat tersebut, melainkan mengajukan tiga persyaratan, jika ditolak ia memilih mengundurkan diri dan jika dikabulkan ia segera bertolak berangkat menuju Madinah. Ketiga syarat itu ialah: Pertama: Ia diberi kebebasan untuk menegakkan kebenaran dan memutuskan perkara dengan asas keadilan di wilayah kekuasaan barunya, serta diberi kelonggaran untuk tidak memaksa seorang pun agar membayar pajak ke Baitul Mal, bagi mereka yang memang mempunyai kewajiban untuk membayar. Tentunya hal ini berimbas pada sedikitnya pajak yang akan disetorkan ke pusat pemerintahan. Kedua: Diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji di tahun pertama kerjanya, kebetulan Umar bin Abdul Aziz saat itu belum menunaikan rukun Islam kelima. Ketiga: Diberi keluasan untuk berderma kepada penduduk Madinah tanpa terkecuali. Begitu syarat ini diterima, serta merta Umar bin Abdul Aziz pun bertolak ke Madinah. Sedangkan di Madinah sendiri luapan kegembiraan penduduknya -yang mengetahui bahwa gubernur baru mereka adalah Umar bin Abdul Aziz- sedang menunggu menyambutnya.[14] Sesampainya di Madinah, hal yang pertama kali dilakukannya adalah membentuk Majlis Syura yang beranggotakan sepuluh ulama Madinah; Urwah bin Zubair, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah, Sulaiman bin Yasar, Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir bin Rabiah dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berbicara di hadapan mereka, Aku memanggil kalian semua untuk sebuah kepentingan yang kalian akan diberi balasan karenanya dan mengajak kalian untuk berjibaku serta bahu membahu menegakkan kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan satu perkara pun melainkan berdasarkan pendapat kalian atau salah satu dari kalian. Jika kalian mendapati seseorang berbuat aniaya atau menjumpai salah satu pegawaiku berbuat zalim, beritahukanlkah padaku.[15] Di bawah pemerintahannya, Madinah berubah menjadi makmur dan sentosa. Salah satu prestasi kerjanya adalah perluasan Masjid Nabawi dengan panjang dan lebar: 200 X 200 hasta[16], kemudian menghiasinya -meskipun sebenarnya Umar bin Abdul Aziz sendiri tidak menyukai hal tersebut- berdasarkan perintah langsung dari khalifah Walid bin Abdul Malik[17]. Dan ketika tahun pun menginjakkan kakinya di angka 92 H, Umar bin Abdul Aziz mengundurkan diri dari hiruk pikuk gubernuran disebabkan penyesalannya yang begitu mendalam telah memberi hukuman yang berujung kematian pada Khubaib bin Abdullah bin Zubair. Dan hal itu selalu terngiang-ngiang di benaknya hingga ajal menjemputnya.[18] Sedangkan Ibnu Jarir dan yang lainnya menyebutkan, sebenarnya Umar bin Abdul Aziz dibebastugaskan dari jabatan gubernurnya, karena perang urat syaraf yang terjadi antara beliau dan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, si penguasa lalim. Dan khalifah Walid bin Abdul Malik sendiri lebih condong untuk menempuh jalan politik pemerintahan ala si Hajjaj.[19] Dikisahkan ketika Umar bin Abdul Aziz keluar meninggalkan Madinah, beliau menangis tersedu. Sesaat kemudian menoleh ke belakang, ke arah Madinah, seraya berkata kepada pembantunya, Hai Muzahim! Aku khawatir terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan aku termasuk orang yang difilter Madinah[20], sambil mengisyaratkan pada sebuah hadits, Ketahuilah! Madinah itu seperti pandai besi yang sedang membersihkan karat. Dan Hari

Kiamat tidak akan terjadi sampai Madinah ini memfilter penduduknya yang jelek, sebagaimana pandai besi membersihkan karat (yang menempel di besi)[21]. b. Khalifah. Syahdan, ketika khalifah Sulaiman bin Abdul Malik sakit parah, ia dihinggapi kebingungan yang luar biasa. Siapakah yang pantas dicalonkan menjadi penggantinya kelak? Itulah pertanyaan yang senantiasa berputar-putar di kepalanya. Ia mulai mengingat nama anaknya satu persatu. Apakah si Ayyub, anaknya yang masih kecil dan belum baligh? Atukah Daud, yang sedang memimpin pasukan perang nun jauh di Konstantinopel sana? Sedangkan ia sendiri tidak tahu nasib si Daud, masih hidup atau sudah mati? Atau si Yazid, yang sedang bepergian entah ke mana aral melintangnya? Bingung.! Ia terus memeras otaknya. Dan akhirnya kebingungan itu terhenti pada sebuah nama yang bukan berasal dari darah dagingnya, namun begitu dekat di hatinya. Nama yang tidak asing lagi di telinganya, nama yang ia kagumi dan takjubi sejak pertama kali mengenalnya, nama yang keutamaannya diakui siapa pun yang mengenalinya. Ya! Ia adalah Umar bin Abdul Aziz. Tiba-tiba rasa khawatir menyusup ke dalam relung hatinya yang paling dalam. Apakah Bani Abdul Malik kelak akan menerimanya sebagai khalifah? Sedangkan Umar sendiri bukanlah keturunan Abdul Malik. Fitnah pasti akan pecah sepeninggalku nanti, gumamnya. Beberapa saat kemudian ia mendapat sebuah ide cemerlang agar terhindar dari fitnah yang mengancam. Ia akan mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai calon penggantinya sekaligus Yazid sebagai pengganti setelah Umar. Dan ide itu pun dibubuhkan dalam selembar surat wasiat.[22] Akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun didaulat sebagai khalifah baru menggantikan sang mendiang yang telah berpulang ke Rahmatullah. Itulah hari yang bersejarah, hari yang takkan pernah dilupakan si Umar, hari yang menandai perjuangan barunya akan segera dimulai. Hari itu, Jumat sepuluh terakhir bulan Safar tahun 99 H[23]. Inna lillahi wa inna ilahi rajiun, terucap dari bibir Umar bin Abdul Aziz, begitu mengetahui dirinyalah pangganti sang almarhum. Dengan berat hati amanat besar itu pun dipikulnya. Lalu ia segera naik ke atas mimbar, mendendangkan kata pembuka di awal perjalanan beratnya sebagai khalifah. Di antara kalimat yang terucap, Amma badu. Ketahuilah! Tidak ada lagi nabi yang diutus setelah Nabi kalian (Muhammad r). Tidak ada lagi kitab yang diturunkan setelah kitab kalian (Al Quran). Ketahuilah! Apa yang dihalalkan Allah selamanya akan tetap halal hingga hari Kiamat. Aku bukanlah seorang hakim yang memutuskan perkara kalian, melainkan hanyalah seorang pelaksana apa yang telah diputuskan. Ketahuilah! Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, melainkan seorang lakilaki seperti kalian, hanya saja Allah menjadikanku orang yang paling berat beban dan tanggung jawabnya di antara kalian. Dan khutbah itu ia tutup dengan kalimat yang sangat terkenal, padat tapi sarat makna, Hai manusia! Barang siapa mentaati Allah ia wajib ditaati dan barang siapa bermaksiat kepada Allah, ia tidak berhak ditaati. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan manakala aku bermaksiat kepada Allah, aku tidak berhak ditaati. Jika orang-orang disekitar kalian -baik yang berada di pelosok desa maupun kota- mentaatiku sebagaimana kalian, maka akulah pemimpin kalian. Namun sebaliknya, jika mereka tidak mentaatiku, aku bukanlah pemimpin kalian. Setelah itu beliau turun dari mimbar.[24] Di bawah kepemimpinannya, negara Islam berubah menjadi negara yang aman, damai dan sejahtera. Semua gubernur dan kepala daerah yang bertindak sewenang-wenang ia pecat, lalu diganti dengan yang lebih baik, yang lebih peka terhadap masyarakat. Segala hak yang berada di tangan yang tidak sah -sekecil apa pun- ia kembalikan kepada pemiliknya semula, tidak terkecuali; keturunan bangsawan ataukah hanya sekedar abangan, muslim atau pun

Dzimmi. Semuanya sama! Bahkan kegigihan Umar bin Abdul Aziz menumpas kezaliman juga dirasakan Bani Abdul Malik. Dan hal itu ia mulai dari diri sendiri dan keluarganya. Ia periksa satu persatu harta benda yang ada di rumahnya, mana yang berasal dari pemberian khalifah sebelumnya ia kembalikan ke Baitul Mal[25], sehingga tidak ada celah bagi orang yang menentangnya untuk mencari-cari alasan. Di dalam memimpin negara, Umar bin Abdul Aziz sangat menjunjung tinggi asas keadilan, tidak ada yang lebih penting dari itu. Disamping itu beliau juga berusaha menunaikan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya dan menunaikan hak rakyat sebagai mana mestinya. Beliau berusaha agar tidak seorang pun -yang hidup di bawah pemerintahannya- merasa haknya terzalimi, bahkan binatang pun tak luput dari perhatian beliau.[26] Sebegitu besar sifat amanah yang dimilikinya sampai-sampai ketika ada seseorang yang bertanya, Wahai Amirul Mukminin! Kenapa engkau tampak bersedih?. Beliau menjawab, Siapa pun yang berada di posisiku sekarang ini pasti akan bersedih. Tidak seorang pun dari rakyatku kecuali aku ingin menunaikan haknya sebagaimana mestinya, meskipun ia tidak memintanya, lanjutnya[27]. Lalu mengutarakan alasan kenapa ia bersedih, Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, tapi justru akulah yang paling berat beban dan tanggung jawabnya[28]. Sungguh! Keadilan, amanah dan tanggung jawabnya menjadikan rakyatnya hidup dalam kedamaian, aman, makmur dan sentosa. Hal itu terbukti dengan sedikitnya para penerima zakat di era pemerintahannya. Pernah seseorang mengeluarkan zakat dengan jumlah yang sangat besar, namun ketika ia mencari orang-orang yang berhak menerimanya, ia kembali dengan zakat masih utuh seperti semula[29]. Sungguh! Kepemimpinan yang dicontohkannya menjadi saksi sejarah akan agungnya ajaran Islam ini. Ilmu pemerintahan yang diterapkannya menjadi bukti paling konkrit dan tak terbantahkan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang bisa memecahkan problematika umat manusia -di mana pun berada- dalam mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikianlah sekilas pandang tentang kisah sang teladan, Umar bin Abdul Aziz. Mudahmudahan di era yang akan datang bermunculan umar-umar baru yang siap mengharumkan nama Islam untuk kesekian kalinya. Amien. Wa shallaallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wasallama ajmain. Kota nabi r, 19 Mei 2009 Ridho Abdillah Daftar Pustaka: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Al Quran dan terjemahnya, Madinah: Mujamma al-Malik Fahd, 1418 H. Sahih Bukhari, karya Muhammad bin Ismail, Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet. Pertama, 1429 H/2008 M. Sahih Muslim, karya Muslim bin Hajjaj, Beirut: Dar al-Qurtubah, cet. Kedua, 1430 H/2009 M. Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir, tahqiq: Dr. Abdul Muhsin at-Turki, Jezah: Dar Hijr, cet. Pertama, 1418 H/1998 M. Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz, karya Dr. Ali Muhamad Shalabi, Beirut: Dar Ibnu Katsir, cet. Khusus, 1428 H/2007 M. Shofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami, karya Dr. Ali Muhammad Shalabi, Kairo: Muassasah Iqra', cet. Pertama, 1428 H/2007 M.

7.

Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, cet. Pertama, 1404 H/1984 M. 8. Siyar Alam an-Nubala, karya Adz-Dzahabi, tahqiq: Syu'aib Arnauth, Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet. Kedua, 1402 H/1982 M. 9. Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. Pertama, 1425 H/2004 M. 10. Tarikh Khulafa' Bani Umayah, karya Dr. Nabih Aqil, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ketiga, 1393 H/1975 M.

Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz (1/67). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa alMuslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 21.
[1]

Ijtihad adalah upaya untuk menyimpulkan suatu hukum tanpa terikat oleh statemen ulama manapun berdasarkan syarat-syaratnya.
[2] [3] [4]

Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/114).

Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz fi al-Aqidah (1/56). Lihat: al-Khalifah arRasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 16.
[5] [6] [7]

Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar (7/419). Ibid. Lihat juga: Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/682) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/120).

Lihat: Tadzkiratul Huffadz hal. 118, dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih alKabir Umar bin Abdul Aziz hal. 21. Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz (1/70). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa alMuslih al-Kabir hal. 22.
[8]

Selengkapnya silahkan baca: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 22.
[9] [10] [11] [12]

Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/677). Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 74.

Lihat: Tahdzib at-Tahdzib (7/22), dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih alKabir Umar bin Abdul Aziz hal. 20. Musnad Umar bin Abdul Aziz hal. 33. Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih alKabir Umar bin Abdul Aziz hal. 20.
[13] [14] [15]

Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 41-42.

Ath-Thabaqat (5/257). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 24.

[16] Menurut Mu'jam Lughah Al-Fuqah' panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan Al-Mu'jam Al-Wasth 64
cm.

Mausuah Fiqh Umar bin Abdul Aziz, karya Muhammad Rawwas Qalaji. Lihat: alKhalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 25.
[17] [18] [19]

Selengkapnya silahkan baca: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal.43-44.

Tarikh al-Thabari (7/383). Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 27. Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/683) dan Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 28 (dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 28).
[20] [21] [22]

HR. Muslim no. 1381. Lihat juga: Sahih Bukhari hadits no. 1883 dan 1884.

Lihat: Tarikh al-Thabari (7/445) dan ath-Thabaqat, karya Ibn Saad (5/335-338). Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 34-36.
[23] [24]

Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/657).

Lihat kisahnya dengan versi yang berbeda-beda di ath-Thabaqat (5/340), Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 35 dan 36. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 37.
[25] [26] [27] [28] [29]

Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 42-44. Lihat: Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 59. Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/132). Ibid. Ibid (5/131).

[Kisah Tentang Pakaian Umar yang Hanya Satu] --------------------------------------------Maslamah bin Abdul Malik mengisahkan: Suatu hari saya masuk ke kamar Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit untuk menjenguknya. Saat itu, saya melihatnya memakai baju yang lusuh, maka akupun berkata kepada Fatimah (istrinya), "Hai Fatimah binti Abdul Malik... hai Fatimah, cucilah pakaian Amirul Mukminin ini." Fatimah menyahut, "Insya Allah kami akan melakukannya." Kemudian saya kembali, namum keadaan pakaian tersebut masih tetap seperti semula. Maka akupun kembali berkata kepada Fatimah, "Hai Fatimah, bukankah aku sudah menyuruhmu untuk

mencuci pakaian Amirul Mukminin? Sebab orang-orang akan menjenguknya." Fatimah menjawab, "Demi Allah, dia tidak mempunyai baju lagi selain itu."

[Kisah Umar Bersama Salah Seorang Keluarganya Dalam Masalah Buah Apel dan Penyuapan] ------------------------------------------Amir bin Muhajir mengisahkan bahwa suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin sekali makan apel. Lalu salah seorang lelaki dari anggota keluarganya menghadiahkan apel kepadanya. Umar berkata, "Betapa harum dan enaknya apel ini." Setelah itu, dia berkata, "Wahai pelayan, kembalikan apel itu kepada orang yang telah memberikannya dan sampaikan salam kepada tuanmu, katakan kepadanya: "Hadiahmu telah sampai kepadaku sebagaimana yang engkau inginkan.'" Saya (Amir bin Muhajir) pun berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang memberikan ini adalah anak lelaki pamanmu yang adalah salah seorang lelaki dari keluargamu. Bukankah engkau juga sudah mendengar kalau Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam juga memakan hadiah yang diberikan kepadanya?" Umar berkata, "Celaka kamu. Hadiah pada masa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam adalah memang benar benar hadiah, sedangkan hadiah pada hari ini bagi kami adalah penyuapan."

[Kisah Orang Terkaya di Masa Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz] -------------------------------------------------------------Seorang anak lelaki Zaid bin Al Khathab mengisahkan: Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah selama dua setengah tahun. Dia meninggal dunia disaat rakyat semua dalam keadaan sejahtera, sampai sampai saat seorang lelaki datang kepada kami untuk menyerahkan harta yang banyak dengan pesan, "Bagikan harta ini kepada orang yang kamu anggap miskin", maka kami tidak menemukannya. Dia terus menerus mencari orang miskin, namun tetap saja tidak menemukan sehingga dia kembali lagi sambil membawa hartanya. Saat dia berniat memberikan hartanya kepada orang yang biasa membagikannya (amil zakat) kepada para fakir miskin, ternyata dia sudah tidak menemukannya sehingga diapun kembali sambil membawa harta yang ingin dia bagikan. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membuat manusia merasa berkecukupan (menjadi kaya) melalui kekuasaan Umar bin Abdul Aziz.

Anda mungkin juga menyukai