Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS KECURANGAN KAMPANYE

Pemilihan kepala daerah tak bedanya seperti ajang perjudian, dimana didalamnya terdapat banyak sekali kecurangan yang dilakukan. Belum lagi jadwal kampanye dimulai kecurangankecurangan itu sudah mewarnai jalan-jalan di wilayah banten. Kita dapat dengan mudah melihat kecurangan itu, dengan hanya mengok kanan dan kiri bahu jalan, dimana banyak sekali spanduk dan alat peragaan kampanye yang memuat wajah-wajah para calon gubernur dan wakil gubernur sudah terpajang. Padahal, hari resmi untuk berkampanye belum dimulai. Satu pelanggaran di temukan: Mencuri Start. Tak berhenti disitu, masih ada pelanggaran yang berkaitan dengan spanduk-spanduk ini. Pada masa kampanye ini perang spanduk telah terjadi di seluruh pelosok Banten. Bahkan spanduk ini tempampang di jalan-jalan protokol yang mana sudah jelas, sesuai dengan KPU nomor 12 tahun 2010 disebutkan disebutkan bahwa pasangan calon yang sedang mengikuti Pilkada tidak diperkenankan memasang alat peraga di jalan protokol dan tidak menyalahi ketentuan estetika, kebersihan, ketertiban dan kenyamanan serta keindahan daerah. Alar peraga itu juga terpampang di tepian alun-alun barat kota Serang yang berhadapan langsung dengan Kantor Bupati Serang. Di tepi alun-alun itu berdiri baliho besar bertuliskan Banten Bersatu Teruskan Pembangunan di sisi atas, dan di bawahnya terpampang gambar pasangan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno. Sementara itu, di samping baliho besar tadi berdiri papan bertuliskan jadwal imsakiyah yang di bagian atasnya tertera gambar pasangan Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki.

Baliho yang terdapat di alun-alun Kota Serang.

Menurut sumber-sumber tentang pelanggaran kampanye yang saya dapatkan terdapat kurang lebih nya 3.000 peloanggaran yang terdapat di seluruh daerah. Yang sebagian besarnya dilakukan oleh lima partai politik besar yairu, Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Nasional.

Bukan hanya pelanggaran seperti alat peraga saja yang dilakukan, Beberapa pelanggaran administratif yang kerap dilakukan partai selama masa kampanye, antara lain parpol tidak menyerahkan daftar juru kampanye, parpol tidak melaporkan tempat kampanye seperti pulanya kampanye terselubung yang kerap terjadi, parpol mengganti rute kampanye, serta perubahan model kampanye. Ada juga sejumlah pelanggaran yang terjadi, karena didalam kampanye terdapat anak-anak. Sedangkan sudah jelas anak tidak boleh diikutsertakan dalan kegiatan perkampanyean. Pelanggaran ini sesuai dengan yang di sebutkan di Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Pasal 84 ayat 2 tentang pemilu. Didalam kegiatan kampanye, Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih dilarang diikutsertakan. Pelanggaran lainnya, karena didalam kampanye salah satu cagub dan cawagub ikut serta beberapa pejabat negeri. "Dalam catatan kami sesuai dengan laporan dari masyarakat ada enam enam pejabat negara yang ikut serta dalam kampanye dari salah satu pasangan Cagub dan Cawagub Banten," kata Gandung Ismanto di Serang. Ia menyebutkan, enam orang pejabat negara yang dilaporkan ikut serta dalam kampanye adalah Walikota Cilegon Tb Aat Syafa`at, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Menpora Adyaksa Dault, Anggota DPR Edi Jamhari, dua orang Camat dari Kecamatan Krojo dan Balaraja, Tangerang. Pelanggaran pidana pun turut ambil sumbangsih dalam masa kampanye yaitu, money politic atau politik uang. Politik uang memang telah lumrah terjadi di Indonesia, seperti paparan salah satu calon cagub dan cawagub. Sungguh ironis mendengar kenyataan tersebut. Menurut pemaparan temen saya pun, sebut saja dia mister A. Dia mengikuti kampanye karena lumayan, dia bisa memperoleh uang senilai Rp50.000. Lumayan gua cuman ikut kampanye dapet uang 50 rebu. Kata mister A. Dan ada juga desas-desus yang menyebutkan bahwa pemilih diberi sejumlah uang, sebut saja 20 ribu, untuk memilih salah satu cagub-cawagub. Miris memang jika kita pandang bagaimana para calon-calon pemimpin kita rela melakukan segala kecurangan-kecurangan hanya untuk mendapat kekuasaan, dan (barang kali) keuntungan pribadi.

Jalan Berliku dalam Pilkada Banten


Paket bahan pokok berupa 2 kilogram beras, 1 liter minyak goreng, dan lima bungkus mi instan menjadi penentu pilihan Aisah pada Pilkada Provinsi Banten tahun 2006. Namun, untuk pilkada tahun 2011, perempuan setengah baya penjaja ketan bintul setiap Ramadhan itu belum menentukan pilihan. Pragmatisme itu ibarat gayung bersambut dengan keinginan elite politik dalam mendapatkan jabatan secara instan. Padahal, pemilihan umum kepala daerah langsung sejatinya adalah proses demokratisasi, momentum ketika rakyat sungguh-sungguh berdaulat dan memiliki hak menentukan pemimpinnya selama lima tahun ke depan. Namun, Pilkada Banten 2011 malah kembali menampakkan celah-celah kecurangan. Bentuk paling sederhana adalah mencuri start kampanye dengan memasang beragam perangkat iklan di pelosok Banten. Praktik itu dengan intensitas berbeda dilakukan kubu semua calon. Tak ayal, wajah pasangan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno, Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki, dan Wahidin HalimIrna Narulita pun nyaris muncul di setiap jalan dan persimpangan. Perang baliho tersebut sempat ditertibkan, tetapi tidak mudah. Pasalnya, para bakal calon yang menduduki jabatan publik, seperti petahana Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim, cukup kuat menorehkan jabatan politiknya. Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pun tidak berani mengutak-atik. Ketua Panwas Pilkada Banten Surya Bagja mengakui, Panwas tidak kuasa menangani pelanggaran itu karena para bakal calon memasang baliho jauh sebelum ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur oleh KPU Banten. Pengajar ilmu administrasi publik FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Gandung Ismanto, dalam bukunya, Habis Gelap, Terbitkah Terang?, menyebutkan curi start sebagai modus kecurangan dalam Pilkada 2006 selain politik uang dan tidak netralnya birokrasi. Secara de jure, tulisnya, curi start tidak bisa dihukum. Namun, hukum tidak dapat dilihat sekadar sebagai aturan (rule) dalam pengertian formil sehingga ketaatan hukum harus dimaknai sebagai ketaatan terhadap keseluruhan norma etis dan aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu kandidat, Jazuli Juwaini, mengatakan, kecurangan kerap dialaminya. Dalam dua jam, misalnya, balihonya di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan lenyap dicopot. Beberapa lurah, RW, atau RT juga tiba-tiba membatalkan acara sosialisasinya dengan masyarakat. Namun, kata Jazuli, tekanan seperti itu tetap bisa diatasi. Kalaupun jajaran birokrat tidak netral, dia berharap Panwas Pilkada bersikap sama dalam memproses semua pelanggaran.

PENGANTAR ILMU POLITIK ANALISIS KECURANGAN DALAM PILKADA BANTEN

Oleh

EKO DJUMANTORO 6661111483 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNTIRTA

2011

Anda mungkin juga menyukai