Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN ATAS KESEHATAN DAN GIZI ANAK USIA DINI 1

Ir. Ahmad Syafiq, MSc, PhD 2

Pendahuluan Pembangunan kesehatan dan gizi yang berorientasi pada pembangunan manusia berkelanjutan (sustainable development for mankind) dilandasi oleh kesadaran mengenai pentingnya investasi kesehatan bagi kemajuan suatu bangsa. Tanpa kesehatan, tidak akan ada sumberdaya manusia (SDM) yang intelektual dan produktif yang merupakan prasyarat utama keberhasilan suatu bangsa. Kesehatan adalah kapital utama pembangunan yang tanpanya, kapital-kapital lain tidak akan berfungsi optimal (Grossman, 1972). Kesehatan juga adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi sebelum hak-hak asasi lainnya dapat dipenuhi. Peran kesehatan dalam mempersiapkan bahan baku SDM berkualitas tinggi serta memelihara dan meningkatkan SDM yang berkualitas seharusnya menjadi justifikasi yang kuat bagi prioritasi pembangunan kesehatan di antara sektor-sektor pembangunan lainnya. Sayangnya, hal ini nampaknya belum mengemuka dalam wacana mengenai pembangunan kesehatan di Indonesia yang tekanannya lebih pada upaya kuratif dibanding upaya preventif dan promotif. Investasi kesehatan harus dimulai sejak awal, bahkan sejak seorang ibu menyiapkan diri untuk hamil karena status gizi ibu saat hamil akan mempengaruhi kesehatan janin yang dikandungnya. Dengan demikian pendekatan gizi dan kesehatan sepanjang daur kehidupan adalah pendekatan yang tepat dan perbaikan gizi dan kesehatan harus dilakukan simultan di seluruh tahapan kehidupan, khususnya tahapan awal kehidupan meliputi calon ibu hamil, ibu hamil, fetus, bayi baru lahir (neonatal), perinatal, masa sapih, di bawah satu tahun, di bawah dua tahun, di bawah tiga tahun, dan pra-sekolah (bawah lima-enam tahun). Investasi kesehatan dini adalah modal awal jangka panjang bagi pembangunan berorientasi peningkatan kualitas SDM dan ini harus dilaksanakan secara multi- dan lintas-sektoral. Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia (KIKI) mengusulkan perlunya redefinisi terhadap istilah kesehatan. Seperti diketahui WHO mendefinisikan kesehatan sebagai: Keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial. Sedangkan UU Kesehatan No 23/1992, Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) menyebutkan makna kesehatan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif baik secara sosial dan ekonomis. Definisi-definisi tersebut lebih sesuai bagi manusia dewasa usia produktif, tetapi belum menegaskan pentingnya kesehatan usia dini. Usulan definisi kesehatan oleh KIKI adalah: Kesehatan adalah unsur potensi dasar dan alami dari setiap individu yang sangat diperlukan pada awal kehidupan dan pertumbuhan dan apabila hal itu

1 2

Makalah pada Diskusi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini, Bappenas 17 Juli 2007 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Gedung F Lt 2 FKMUI, Depok 16424, e-mail: a-syafiq@ui.edu ; asq69@yahoo.co.uk

tidak ada atau tidak terpenuhi dapat menghambat perkembangan fisik dan mental seseorang. (Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia, 2003). Pembangunan Otak Otak mulai terbentuk sejak usia janin 2 minggu dan mencapai 90% tumbuh-kembang pada usia 3 tahun seperti dapat dilihat pada grafik berikut ini. Gambar 1. Tumbuh kembang otak

Tumbuh kembang otak dimulai sejak usia janin dua minggu dan dalam hal pertumbuhan, otak tergolong ke dalam jaringan statik sehingga tidak dimungkinkan pertambahan sel (hiperplasia) ketika diferensiasi dari sel germinatif terjadi (Boggin, 1999). Implikasi lain dari pertumbuhan jaringan statik adalah tidak dimungkinkannya pembaharuan (renewal) dan jika terjadi kerusakan bersifat tidak dapat balik (irreversible). Saat lahir, pertumbuhan spinal cord dan brain stem hampir selesai sedangkan cerebellum masih tumbuh sampai tahun pertama kehidupan. Neuron (sel saraf yang menerima dan mengirim informasi) mulai terbentuk pada usia janin 2 bulan dan jumlah neuron meningkat pesat pada usia kehamilan 25 minggu sampai bulan-bulan pertama setelah lahir. Pada saat bayi lahir, hampir semua neuron otak dewasa sudah terbentuk meskipun belum berkembang penuh. Selanjutnya neuron bermigrasi dan membentuk axon dan dendrite yang berfungsi mengirim sinyal (axon) dan menerima sinyal (dendrite) dari neuron lain melalui sinapsis (hubungan komunikasi sistem saraf) dengan bantuan neurotransmitter. Perbanyakan dendrite dan koneksi sinapsis terjadi terutama pada trimester 3 kehamilan sampai usia bayi 2 tahun saat jumlah sinapsis mencapai puncaknya (Papalia, Olds, and Feldman, 2001). Selain neuron, otak juga terdiri atas sel glial yang melindungi jaringan neuron dengan myelin (sejenis lemak). Proses yang disebut myelinasi ini memungkinkan terjadinya komunikasi antar sel neuron secara lebih efisien dengan cara meningkatkan kecepatan

transfer sinyal dan dengan demikian dapat mencapai kematangan fungsional otak. Myelinasi dimulai saat pertengahan usia kehamilan di beberapa bagian otak dan terus berlanjut sampai dewasa pada beberapa bagian otak yang lain. Myelinasi pada jalur otak yang berhubungan dengan sentuhan (sensor awal yang dikembangkan tubuh) misalnya, sudah selesai saat bayi lahir sedangkan myelinasi pada jalur visual masih terus berlangsung sampai 5 bulan pertama kehidupan. Sedangkan myelinasi pada bagian korteks otak yang mengendalikan aspek atensi dan memori masih berlanjut sampai usia dewasa muda (Papalia, Olds, and Feldman, 2001). Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurang gizi pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut, studi mencatat bahwa BBLR menurunkan IQ sampai 5 poin, stunting menurunkan IQ 5-10 poin, dan GAKI menurunkan IQ sampai 10-15 poin (Grantham-McGregor, Fernald, and Sethuraman, 1999), dan anemia menurunkan IQ sampai 8 poin (Horton and Ross, 2003). Pemberian ASI eksklusif diketahui memiliki berbagai keuntungan gizi dan kesehatan diantaranya adalah pembangunan sistem kekebalan tubuh, suplai energi, protein dan zat gizi lain dalam komposisi yang berimbang, serta keuntungan psiko-emosional berupa kedekatan (attachment) bayi dengan ibunya. Dalam hal intelektualitas dan kognitif, bayi yang mendapatkan ASI memiliki IQ lebih tinggi 3.2 point dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Anderson, 1999). Pemberian ASI eksklusif diketahui berhubungan dengan pemberian ASI segera (immediate breastfeeding) secara positif (Fikawati dan Syafiq, 2003). Prevalensi ASI eksklusif sampai 6 bulan di berbagai wilayah di Indonesia masih rendah yaitu di bawah 10% (Syafiq dan Fikawati, 2007).

Analisis situasi kesehatan dan gizi anak usia dini di Indonesia Bagian ini secara ringkas menyoroti beberapa indikator terkait dengan kesehatan dan gizi anak usia dini di Indonesia. Indikator-indikator tersebut meliputi indikator mortalitas, tumbuh kembang termasuk antropometri dan indikator gizi lainnya. Gambar 2. Angka Kematian Neonatal, Angka Kematian Bayi, dan Angka Kematian Balita
100
NMR

80

79
IMR

60

59

63 51
U5MR

46 35

40
29 26

20

20

88-92

93-97

98-02

(Sumber: SDKI 2002-2003)

Tabel 1. Proporsi BBLR (<2500 gram) 1986-1991 Nasional 7.3 Perkotaan Pedesaan Kisaran antar propinsi Sumber: SDKI dalam Atmarita 2005 1989-1994 7.1 6.8 7.3 2.3-16.7 1992-1997 7.7 6.6 8.4 3.6-15.6

Tabel 2. Prevalensi underweight anak usia pra-sekolah 1989-2003 1989 37.5 6.3 1992 35.5 7.2 1995 31.6 11.6 1998 29.5 10.5 1999 26.4 8.1 2000 24.6 7.5 2001 26.1 6.3 2002 27.3 8.0 2003 27.5 8.3

<-2SD
(underweight)

<-3SD
(severe underweight)

Sumber: Susenas dalam Atmarita 2005 Tabel 3. Prevalensi stunting anak usia pra sekolah 1990-2001 IBT 1990 47.0 41.9 Suvita 1992 42.5 40.2 SKIA 1995 46.5 45.2 36.5 49.2 45.9 NSS 2001 46.6 45.5

Laki-laki Perempuan Perkotaan Pedesaan Total 44.5 Sumber: Atmarita 2005

41.4

45.6

Tabel 4. Prevalensi wasting anak usia pra-sekolah 1990-2001 IBT 1990 10.8 8.7 Suvita 1992 9.5 7.6 SKIA 1995 13.9 12.7 13.5 13.3 13.4 SKRT 1995 13.3 10.0 EvJPS 1999 SKRT 2001 16.9 14.5 15.2 16.2 15.8

Laki-laki Perempuan Perkotaan Pedesaan Total 9.7 Sumber: Atmarita 2005

8.6

11.6

14.0 13.7 13.7

Tabel-tabel di atas menunjukkan bahwa status gizi anak usia pra sekolah di Indonesia masih mengkhawatirkan. Tingginya prevalensi stunting menunjukkan kurang gizi yang berkepanjangan dan berlarut. Penurunan status gizi terjadi terutama setelah bayi melewati umur 6 bulan. Sampai 6 bulan pertama kehidupan, pertumbuhan fisik bayi relatif sama (Boggin, 1999) namun setelah lewat 6 bulan, pertumbuhan fisik bayi sangat dipengaruhi situasi lingkungan terutama asupan zat gizi dan infeksi. Data terakhir dari wilayah Jakarta Timur (Syafiq dan Fikawati, 2007) dengan jelas menunjukkan hal tersebut seperti dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Status Gizi dan Frekuensi pemberian makanan lunak/padat menurut kelompok umur
Kelompok umur anak <6 bln >= 6 bln Jml % Jml % Status Gizi Gizi Buruk = <-3SD Gizi Kurang: -3SD sampai -2SD Gizi Baik : -2 SD sampai +2 SD 0 5 0,0 3,7 94,8 1,5 62,2 5,2 22,2 10,4 0,0 0,0 0,0 100,0 7 43 134 3 4 14 53 115 7 1 1 195 3,6 22,1 68,7 1,5 2,1 7,2 27,2 59,0 3,6 0,5 0,5 100,0 Total Jml 7 48 262 5 88 21 83 129 7 1 1 330 % 2,1 14,5 79,4 1,5 26,7 6,4 25,2 39,1 2,1 0,3 0,3 100,0

128 Gizi Lebih : >+ 2SD 2 Frekuensi pemberian makanan lunak/padat 0 1 2 3 4 6 8 Total 84 7 30 14 0 0 0 135

Sumber: Syafiq dan Fikawati, 2007 Sementara itu prevalensi anemia pada balita laki-laki tahun 1995 adalah 35.7% dan pada perempuan 45.2%, dan pada tahun 2001 (laki-laki dan perempuan) adalah sebesar 48.1% (Atmarita, 2005). Kebijakan Terkait Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009 (RAN-PPGB) dengan pokok kegiatan: revitalisasi Posyandu, revitalisasi Puskesmas, intervensi gizi dan kesehatan, promosi kadarzi, pemberdayaan keluarga, advokasi dan pendampingan, serta revitalisasi SKPG (Depkes RI, 2005). Secara konsep, RAN-PPGB dilandasi oleh prinsip-prinsip dan yang justified dan valid juga penetapan sasaran, tujuan, dan strategi yang berdasar. Kendati demikian ada beberapa hal yang perlu mendapat catatan sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama, fokus RAN-PPGB pada gizi buruk masih mencerminkan pola pendekatan kuratif dan belum bersifat preventif serta promotif. Di samping gizi buruk, gizi kurang juga perlu mendapatkan perhatian yang sama besar karena gizi kurang berpotensi untuk menjadi gizi buruk. Jika fokus perhatian hanya pada gizi buruk, maka besar kemungkinan gizi kurang akan menjadi gizi buruk dan dengan demikian prevalensi gizi buruk tidak berubah meskipun jumlah gizi buruk yang berhasil diatasi cukup besar. Kedua, dalam pelaksanaannya, masih banyak program yang sumber pendanaannya adalah dari Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini perlu diwaspadai karena bervariasinya kepedulian dan prioritas Pemda terhadap masalah gizi dan kesehatan. Pengalaman riil di lapangan dengan Keluraga Berencana menunjukkan bahwa kepedulian Pemda terhadap isu kependudukan dan kesehatan masyarakat masih rendah. Pemerintah Pusat perlu mengawal program kesehatan ibu dan anak agar pembangunan otak, pembangunan kesehatan dini, pemnbangunan SDM unggul bisa terjamin. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, program Women, Infant,

and Child (WIC) masih didanai oleh pemerintah federal dan tidak diserahkan pada negara bagian (states). Hal ini perlu mendapat perhatian agar program terkait kesehatan dan gizi anak usia dini dapat terlaksana secara merata. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDID-TK) (Depkes RI, 2006) perlu dioptimalkan penggunaannya dengan memastikan bahwa program SDID-TK dijalankan di semua pelayanan kesehatan dasar. Persoalan utamanya adalah sampai sejauh mana masyarakat memanfaatkan institusi pelayanan kesehatan dasar tersebut, apalagi jika dimensi-dimensi aksesibilitas (availability atau ketersediaan, affordability atau keterjangkauan ekonomis, dan acceptability atau penerimaan sosiokultural) tidak terpenuhi. Strategi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini Usulan yang dapat diajukan untuk strategi peningkatan kesehatan dan gizi anak usia dini adalah pertama, perlu ditekankan kepada semua pihak mengenai pentingnya investasi kesehatan dini sebagai prasyarat bagi pembangunan SDM bangsa berkualitas. Tanpa adanya kesadaran dan pengetahuan mengenai investasi kesehatan dini maka posisi tawar kesehatan dan gizi akan selalu lemah dibandingkan sektor lain, misalnya saja sektor pendidikan. Padahal investasi pendidikan tidak akan optimal bahkan sia-sia tanpa investasi kesehatan dini. Kedua, pengawalan oleh Pemerintah Pusat. Seperti telah disebutkan di bagian terdahulu, untuk menjamin keberlangsungan program secara merata Pemerintah Pusat perlu mengawal baik secara manajerial maupun finansial program peningkatan kesehatan dan gizi anak usia dini. Menyerahkan pendanaan pada Pemda akan meletakkan program dalam situasi ketidakpastian dan sudah tentu tidak terlaksana secara optimal. Ketiga, pendekatan berbasis komunitas. Masyarakat perlu ikut memiliki dan terlibat dalam program peningkatan kesehatan dan gizi anak usia dini. Hal ini sangat penting agar muncul keinginan memperbaiki diri sendiri dan dengan demikian gema program dapat lebih bergaung. Masyarakat juga harus diajak untuk ikut memahami masalah yang dihadapi serta terlibat dalam perencanaan program termasuk monitoring dan evaluasinya. Pendekatan ini juga lebih memberikan jaminan terhadap keberlanjutan (sustainability) dari program. Kemitraan perlu dijalin dengan semua pihak, baik institusi pemerintah, sektor swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Perlu diperhatikan agar kemitraan yang terjalin dipelihara khususnya dalam kaitannya dengan keberlanjutan (sustainability) dari program Acap terjadi program terhenti karena pendanaan dari mitra (donor agency) sudah diterminasi tanpa ada tindak lanjut dan serah terima oleh institusi pemerintah.

Daftar Pustaka Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia. Paper presented at Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle-Related Diseases. Gadjah Mada University, 19-20 March 2005. Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth 2nd edition. Cambridge University Press. Cambridge. Depkes RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Depkes RI. Jakarta. Depkes RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Depkes RI, Jakarta. Fikawati, Sandra dan Ahmad Syafiq. 2003. Hubungan antara menyusui segera (immediate breastfeeding) dan pemberian ASI eksklusif sampai dengan 4 bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti. Mei-Agustus: 22 (2) Grantham-McGregor, Sally, Lia Fernald, and Kavitha Sethuraman. 1999. Effects of Helath and Nutritionon Cognitive and Behavioural Development in Children in The First Three Years of Life. Food and Nutrition Bulletin 20 (1):53-99. Grossman, Michael. 1972. The Demand for Health: Theoretical and empirical Investigation. Columbia University Press. New York. Horton, Susan and J Ross. 2003. The Economics of Iron Deficiency. Food Policy 28 (1): 51-75. Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia. 2003. Kesehatan dan Pembangunan Bangsa. Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia. Jakarta. Papalia, Diane E, Sally W Olds, and Ruth D Feldman. 2001. Human Development 8th edition. McGraw-Hill. Boston. Syafiq, Ahmad dan Sandra Fikawati. 2007. Laporan Final Survei Data Dasar Gizi dan ASI di Jakarta Timur. Mercy Corps. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai