Anda di halaman 1dari 11

UPAYA-UPAYA PERCEPATAN PENGEMBANGAN DAN PENGOLAHAN PANGAN TRADISIONAL DAERAH

Oleh Zuiraini Mahyiddin

PENDAHULUAN Indonesia memiliki berbagi jenis makanan khas daerah. Keanekaan jenis makanan tersebut merupakan sumber daya yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan seiring dengan arah pembangunan nasional, khususnya di bidang pangan. Demikian pula dengan Provinsi Aceh, kulinarinya sangat kaya akan jenis makanan tradisional. Makanan tradisional adalah makanan khas asli dari suatu daerah. Sebagaimana diketahui di Indonesia ragam, dan jenisnya sangat banyak. Kelestarian makanan tradisional pada saat ini memerlukan perhatian ekstra dari pakar dan pemerhati dibidang ini. Karena jika dibiarkan popularitasnya akan terdesak dan yang lebih penting makanan tradisional yang nilai higinisnya tinggi itu akan selalu terpahami sebagaimana seharusnya oleh masyarakat luas terutama generasi muda. Makanan tradisional merupakan produk bercita rasa budaya tinggi yang berupa perpaduan antara kreasi mengolah hasil sumber daya lokal dengan sumber daya berbumbu adat istiadat dan telah diwariskan selama beberapa generasi. Makanan tradisional juga merupakan warisan nenek moyang yang telah mengalami penempaan zaman hingga terjamin keamanan dan ketahanan pangannya dalam menghidupi manusia sebagai penggunanya. Perkembangan budaya, seiring dengan moderitas memberikan berbagai pengaruh terhadap perkembangan dan penerimaan makanan tradisional oleh masyarakat. Pembauran budaya antar suku dan bangsa serta membaiknya keadaan ekonomi meningkatkan variasi penyajian makanan selain makanan tradisional di meja keluarga Indonesia, terlebih di Aceh. Keadaan seperti ini mengakibatkan berkurangnya peran beberapa makanan tradisional yang mengarah pada kepunahan. Jarang dipraktekkan ritual kebudayaan untuk acara keluarga, mendorong semakin tidak dikenalnya lagi makanan tradisional yang terkait dengan budaya oleh keluarga muda yang mengejar kepraktisan, misalnya dengan makanan yang siap saji dan memiliki standar internasional. Dalam rangka melestarikan serta mengembangkan potensi makanan khas tradisional di Provinsi Aceh, badan pertahanan pangan menyelenggarakan seminar tentang 1

Pengembangan Kajian Makanan Tradisional (PKMT) guna meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian makanan tradisional sebagai asset budaya melalui sumbangan transfer informasi berupa seminar seperti ini. Supaya kajian makanan tradisional dapat membuahkan keselarasan manusia dengan potensi alam sekitarnya dan member inspirasi pada pengembangannya sesuai tuntutan zaman (Hasan, 1994).

A. UPAYA-UPAYA PERCEPATAN PANGAN TRADISIONAL DAERAH Mengingat pangan tradisional adalah aset bangsa yang bisa dijadikan sarana untuk memperbaiki citra bangsa disamping yang bisa menjadi sarana memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, maka tidak ada pilihan kecuali harus diperbaikinya eksistensi dan citranya. Ada banyak cara untuk memperbaiki citra pangan tradisional menurut Dyah Nurani (2005), antara lain dengan: 1. Mereaktualisasikan hakikat pangan tradisional sebagai kekayaan masyarakat, daerah, bangsa dan negara yang harus dilestarikan dan dikembangkan bersama segenap anak bangsa dengan penuh tanggung jawab. 2. merumuskan konsep yang jelas tentang pangan tradisional, kemanfaatan dan cara mempertahankan serta mengembangkannya. Bentuk konkret langkah ini antara lain : a. Pemerintah harus bisa memberi batasan tentang pangan tradisional dan bisa menunjukkan tanggungjawabnya terhadap eksistensi dan citra pangan tradisional. b. Pemerintah disemua tingkatan harus meninjau kembali dan memperbaiki berbagai kebijakannya yang tidak bijaksana terhadap pangan tradisional. c. Memberi bimbingan teknis dan permodalan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan yang terkait dengan pangan tradisional khususnya dalam hal pembuatan berikut pemasarannya. d. Membantu masyarakat menyediakan bahan baku untuk pembuatan pangan tradisional. e. Mendorong berbagai pihak terkait untuk membantu memperbaiki eksistensi dan citra pangan tradisional. f. Mengkompetisikan keterampilan membuat dan menyajikan pangan tradisional serta memberi penghargaan bagi pemenangnya.

g. Mempromosikan pangan tradisional dalam berbagai kesempatan. Termasuk dalam kegiatan pemerintahan saat ada penyajian makanan untuk peserta kegiatan. h. Memperbanyak sajian informasi tentang pangan tradisional dimedia masa cetak maupun elektronik. i. Menyediakan jaringan sistem informasi pangan tradisional sehingga berbagai hal terkait dengan pangan tradisional bisa dengan mudah diakses oleh berbagai pihak. j. Mengadakan berbagai kegiatan ilmiah untuk mendapatkan kontribusi pemikiran guna ikut memperbaiki eksistensi dan citra pangan tradisional. k. Membatasi langkah-langkah yang merusak eksistensi dan citra pangan tradisional. Termasuk membatasi intervensi pangan non tradisional terhadap pangan tradisional. 3. Menganalisis gizi dan mutu sensori. Setiap produk makanan memiliki karakteristik yang kompleks. Hal ini wajar karena tidak ada satupun produk makanan yang terdiri dari satu komponen dalam wujud yang murni. Dari semua karakteristik yang kompleks itu pada umumnya dapat diukur dengan menggunakan metode evaluasi, seperti uji sensori. Beberapa karakteristik bahan makanan dapat dengan mudah dikenali seperti warna, flavour, aroma dan tekstur namun demikian ada juga beberapa sifat yang tersembunyi. 4. Menjadikan diri kita bersama keluarga serta lingkungan kita sebagai barisan terdepan dalam mencintai dan mendukung perbaikan eksistensi serta citra pangan tradisional. 5. Masyarakat pangan tradisional, pengamat dan teoritis bidang pangan juga harus bisa lebih aktif, kreatif serta inovatif terkait dengan pangan tradisional. Dengan demikian bisa lebih gigih dalam memperbaiki eksistensi dan citra pangan tradisional dengan berbagai macam cara positif dan untuk tujuan positifnya. 6. Memperhatikan kualitas produk makanan. Kata mutu atau kualitas memang dapat berarti macam-macam berbeda untuk setiap orang dan setiap produk. Jadi mutu adalah tingkat keistimewaan, sifat (karakteristik), fungsi atau ciri-ciri yang menunjukkan kesesuaian produk untuk tujuan-tujuan yang dimaksud dan tergantung pada kaitan permasalahannya dengan produk makanan, maka akan mencakup minat dan persepsi psikologis penilai.

Di beberapa industri makanan, uji sensori sudah mulai banyak dilakukan dari yang sederhana yaitu uji rasa baik oleh pemilik perusahaan maupun ahli cicip. Alasan mereka melakukan uji ini tentunya sangat beragam tergantung pada industri yang bersangkutan. Beberapa industri makanan skala kecil menggunakan ahli cicip untuk pengendalian proses produksinya sedangkan industri skala besar sudah ada yang memiliki laboratorium uji sensori yang representatif. Sebagaimana diketahui bahwa uji sensori merupakan tahapan uji yang sangat penting dan menentukan gambaran akhir kinerja produk makanan dipasaran, yaitu menentukan apakah produk tersebut dapat memiliki penampilan, kinerja, mutu fisio-kimia yang baik namun jika sensori rasanya tidak enak maka nilai komersial produk makanan akan jatuh dan tidak laku di pasaran. Dengan mendasarkan pada cara-cara yang ditawarkan diatas, diharapkan upaya memperbaiki percepatan pangan dan citranya akan dapat terwujud baik. Muara dari semua itu adalah dapat dijadikannya pangan tradisional sebagai sarana untuk memberdayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

B. SOSIALISASI PANGAN TRADISIONAL Globalisasi saat ini tampaknya bersepakat menyeragamkan segala bidang ke seluruh dunia. Dengan berangkaikan macam-macam ideologi tentang standarisasi kebudayaan dunia dan kekuasaannya antara lain: Teknologi, informasi, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan lain hal yang berjalan searah. Setiap bidang tersebut bersain antar Negara maju dan berkembang demi mendapatkan posisi posisi tingkat atas (Rohidi, 2005). Demikian pula halnya dalam bidang makanan, manyoritas penduduk suatu Negara tidak mempermasalahkan makanan tradisional meraka, melainkan merubah cara pikir untuk memperoleh jenis makanan dengan perangkat nilai yang memiliki standar internasional. Misalkan Pizza Hut, Mc. Donalt, KFC, Kenny Rogers, Hoka-hoka Bento, Coca-cola, Green Sand, Cappucino, atau yang baru-baru ini telah dibangun di kota Banda Aceh, paparonz dan A&W. Ditambah lagi maraknya sampel makanan-makanan bermerek terkenal yang diperdagangkan hampir setiap pinggir jalan di Kota Banda Aceh tanpa sedikitpun memasukkan unsur cita rasa makan lokal sendiri (Rohidi, 2005).

1. Keluarga Sebagai Dasar Sosialisasi Makanan Tradisional Membangun dan mengembangkan perilaku menyukai makanan tradisional, jika kita merujuk teori Green dalam Notoatmodjo (1996), dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

Faktor predisposisi perorangan (Kepribadian, kebiasaan, norma, nilai, kepercayaan, kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, sikap dari konsumen sehubungan dengan makanan tersebut).

Faktor dukungan pemerintah maupun swasta terhadap keberadaan makanan tradisional sehingga tersedia kapan saja dibutuhkan, terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman, tersedia info rujukan.

Faktor penguat yaitu ajakan teman dekat, dukungan orang tua, tokoh panutan, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan.

Mencermati faktor tersebut di atas, nampak adanya berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku menyukai makanan tradisional. Jika para pelaku dan penentu makanan dalam keluarga yaitu dalam masyarakat kita masih ditentukan oleh ibu dalam menyajikan makanan sehari-hari telah mengacu pada menu makan empat sehat lima sempurna atau menu seimbang yang telah lama kita miliki, maka anak-anak kita seharusnya telah terbiasa dengan makanan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah yang kesemua itu sangat mudah didapatkan di lingkungan masing-masing. Namun anak-anak kita cenderung lebih memilih makanan cepat saji seperti yang ditawarkan di negara barat. Mengamati pola makan anak-anak seperti yang terpapar di atas, maka yang harus juga dilakukan masyarakat kita adalah memperbaiki menu makan sehari-hari yang cenderung tidak seimbang kandungan gizinya. Dengan demikian keluarga terutama ibu harus mengenalkan kepada anak-anak mereka pola makan yang benar, sehat, memanfaatkan pada bahan makan-makan disekitar kita sehingga memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh.

2. Pengembangan Makanan Tradisional Pada Generasi Muda Gengsi, tidak gaul adalah sepotong kata yang sering meluncur dari mulut para remaja saat ini apabila tidak mengikuti perkembangan gaya hidup perkotaan yang serba modern, yang perlahan menyebar ke kota-kota kecil lainnya. Termasuk makanan tradisional diantara sekian banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya akar budaya baru di setiap wilayah. Mungkin tidak patut dikatakan budaya baru, karena hampir disetiap sudut disegala penjuru dunia memiliki budaya yang sama. Namun tetap saja budaya nenek moyang sedikit demi sedikit punah, walaupun budaya baru itu muncul sebagai budaya bersama.

Generasi muda merupakan pemegang saham terkuat akan terbentuknya masa depan yang diharapkan. Gambaran masa depan dapat kita lihat dari perkembangan generasi muda saat ini. Tangkasa atau lambatnya remaja dalam menentukan pilihan adalah tanggung jawab bersama. Tidak mustahil jika remaja cenderung membentuk acuan untuk lebih mengedepankan ego masing-masing dengan alasan agar tidak ketinggalan zaman. Isu seperti ini harus diantisipasi segera, karena dengan kondisi dan pemikiran tersebut akan membiarkan negara satu ke negara lain menjadi jerat bagi negara-negara besar yang semakin menguntungkan pihaknya. Setidaknya, remaja saat ini menjadikan makanan tradisional untuk mewujudkan jati diri yang unit dan tampil berbeda dari yang lain. Sedangkan yang paling utama adalah etika makan dan selera makan yang dipandu orang tua merjadi nilai, pengetahuan, dan pembelajaran awal bagi anak. Inilah yang kelak menjadi bagian dari pengetahuan budayanya dan perkembangannya. Upaya pemantapan makanan tradisional di antaranya dengan cara menyelenggarakan organisasi sosial, acara kekerabatan, acara pertemuan akbar, walimahan, peresmian gedung, acara peusejuk, agenda pentas seni atau pameran dan sebagainya. Aturan-aturan yang ditetapkan sesuai dengan adat norma-norma yang berlaku, perilaku-perilaku yang muncul serta makanan yang tersaji mengharuskan konsunen mengkonsumsi secara adat. Ini merupakan proses pembudayaan yang efektif di kalangan remaja dalam melestarikan makanan tradisional daerah. Namun, cara di atas masih kurang menarik bagi remaja atau pun kalangan umum lainnya. Makanan tradisional Aceh misalnya memang dianggap kampungan dan memalukan, akan tetapi cerita akan berubah alur apabila masyarakat Aceh sendiri tahu betapa sangat dibanggakannya makanan tradisional Aceh di luar daerah bahkan di luar negeri, Keanekaragaman dan ciri khas bumbunya patut mendapat penghargaan. Tak dapat disangsikan, bahwa semestinya kita menghargai makanan tradisional daerah dan juga tantangan baru ini harus diwaspadai agar tidak menjadi kebudayaan konsumtif, sebuah perwujudan besar yang bersifat semu, manipulatif, dan hiperrealitas (Yuriani, 2005).

3. Sosialisasi Pangan Tradisional Melalui Pendidikan Kesempatan besar apabila Pemerintah atau Departemen Dinas Kebudayaan merencanakan pemublikasian ciri khas makanan tradisional daerah kepada generasi muda atau kalangan para pelajar dan mahasiswa. Melalui pendidikan, makanan tadisional dapat berkembang pesat informasinya dan konsumen apabila sudah mendunia di kalangan remaja pada zaman sekarang ini, karena pelajar atau mahasiswa cenderung aktif dalam hal yang bersifat menarik dan banyak diminati untuk praktik itu sendiri. "Sebenarnya cita rasa 6

masakan Aceh enak dan punya ciri khas, namun kurang publikasi, sehingga tidak dikenal secara nasional," ucap Dr. Meutia Hatta E. Swasono, Deputi Bidang Pengembangan dan Pelestarian Kebudayaan Kementian Kebudayaan dan Pariwisata usai mengikuti Acara Pembukaan Pameran Dan Diskusi Makanan Tradislonal di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) di Banda Aceh l0 Agustus 2006 lalu. Makanan Tradisional selain harus dipublikasikan juga harus tetap dilestarikan, diantaranya dengan jalur pendidikan seperti yang diterangkan Nuraini (2005), baik pendidikan formal maupun anak-anak nonformal. Pendidikan formal Sosialisasi makanan tradisional melalui jalur formal dapat dimulai sejak sekolah taman kanak-kanak. Sejak dini anak dikenalkan dengan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyaraat setempat. Hendaknya diberikan pelajaran secara terprogram dalam kurikulum, mata pelajaran tersebut dapat diintegrasikan dengan pelajaran kesehatan, olahraga atau dengan bacaan-bacaan yang lain. Diharapkan pula pendidikan tersebut dapat membentuk sikap dan perilaku yang positif. Makanan tradisional bergizi diharapkan dapat menciptakan manusia Indonesia yang cerdas dan produktif. Pendidikan nonformal Sosialisasi dapat dilakukan melalui penyuluhan yang dipogramkan olwh pemerintah melalui kader-kadernya, lewat beberapa kegiatan seperti PKK dan jalur searah, yang diikuti mulai dari tingkat RT sampai ke kecamatan dan didahului oleh pengenalan, sikap, dan praktek mengenai makanan tradisional (bahan mentah, bumbu, obatobatan) dilihat dari kesehatan dan gizi. Agar penyuluhan tidak membosankan maka dibuat variasi dalam penyampaiannya dan materi penyuluhan tidak berupa teori saja tetapi juga diajarkan cara memasak yang benar, cara menghidangkan, pengetahuan tentang cara memilih makanan yang baik dan sehat, mendidik perilaku makan yang baik, benar sajian sesuai dengan tuntutan kebudayaan dan kepercayaan masingmasing keluarga dan diberikan contoh-contoh masakan tradisional yang dimodifikasi sehingga lebih menarik.

4. Sosialisasi Makanan Tradisional Melalui Penganekaragaman Olahan Makanan Tradisional untuk berkembang saat ini sebenarya sangat cerah, disebabkan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat dapat meningkatkan gaung promosi perkembangannya, walau tidak menyeluruh (Fardiaz, 1998). Apalagi didukung

dengan kecenderungan masyarakat yang ingln memperoleh makanan sehat. Makanan Tradisional sebagai makanan fungsional dapat mencegah penyakit degeneratif seperti Tempe. Tempe mempunyai banyak keunggulan karena kandungan protein yang tinggi dan vitamin B12. Selain itu tempe juga memiliki khasiat lain bagi kesehatan yang berperan sebagai sumber serat makanan, anti diare, hipotolesterolemik, dan anti oksidan (Fardiaz, 1998). Sedangkan cara pengolahan pangan, resep, dan cita rasa makanan tradisional dianggap tidak berkembang menyesuaikan perubahan zaman. Pandangan negatif yang timbul di masyarakat terhadap makanan tradisional saat ini antara lain: a) Komposisi bahan dan kandungan gizi tidak standar, b) Waktu pengolahan lama, c) Cara pengolahan tidak bersih/tidak higienis, d) Penyajian dan pengemasan yang kurang menarik, e) Lokasi penyajian kurang nyaman, f) Umur simpan pendek, g) Cita rasa kurang sesuai dengan selera generasi muda. Sedangkan nilai positif yang masih melekat pada produk makanan tradisional adalah: a) Harga murah (terjangkau oleh lapisan ekonomi kecil, b) Pengerjmnnya bersifat padat karya (sehingga banyak menyerap tenaga kerja, c) Pembuatannya dapat dilakukan bersama-sama dengan kegiatan keluarga (jadi satu dengan dapur rumah tangga), d)Pelaksana (produsen) tidak dituntut berpendidikan tinggi (Ahza, 2000).

C. MUTU PANGAN TRADISIONAL Sudah diakui oleh masyarakat luar bahwa potensi makanan tradisional dari Aceh tak perlu diragukan. Untuk itu masyarakat Aceh sendiri juga harus menggali potensi makanan tradisional mereka dan lebih banyak mempublikasikannya. Pemerintah sendiri mendoong peningkatan berbagai usaha produk tadisional di Indonesia. Selain berkaitan dengan budaya bangsa juga sebagai langkah untuk dan membuka lapangan kerja. Demikian dikatakan Dirjen Industi Kimia Argo dan Kehutanan (IKAH) Departemen Perindustrian, Beni Wahyudi, di Bandung 7 Mei 2006 lalu. Namun semua itu ditentukan dari upaya promosi, agar produk makanan tradisional merjadi dikenal masyarakat umum. Persoalannya kini kemampuan dari para makanan tradisional masih lemah sehinga perlu dibantu oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Promosi suatu makanan tradisional sangat berpengaruh dari penampilan luarnya atau kemasannya yang menarik seperti makanan modern. Selain itu juga dari segi higienitasnya. Itu menjauhkan dari keracunan makanan yang bisa disebabkan oleh bahan kimia berbahaya ataupun oleh kontaminasi mihoba patogen. Dan semua jenis keraunan makanan lebih dari 90 % disebabkan oleh kontaminasi mikroba yang berasal dari air tanah, udara, peralatan, bahan 8

makanan, dan badan manusia Sisanya kurang dari 10 % disebabkan oleh bahan kimia baik yang berasal dari alam ataupun bahan kontaminasi dari lingkungan seperti peptisida dan logam berat (Winarno, 1993).

D. KEAMANAN PANGAN TRADISIONAL Dulu, suatu bahan makanan dianggap memenuhi syarat apabila memenuhi 3 kriteria utama, yaitu aman untuk dikonsumsi (safety), bergizi (nutritious), dan enak, lezat atau estetis (palatable). Namun sekarang, suatu bahan makanan tidak dianggap mencukupi apabila tidak memenuhi syarat yang ke-4, yaitu memiliki sifat medis (medical property). Artinya tdak mengandung senyawa anti gizi dan senyawa lain yang membahayakan. Makanan tradisional diproses melalui fermentasi yang merupakan peninggalan budaya nenek moyang. Melalui beberapa penelitian, terbukti bahwa makanan fermentasi tidak hanya aman untuk dikonsumsi tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan.

E. PENTINGNYA PENGEMBANGAN PRODUK Kebanyakan organisasi bisnis yang berhasil mencapai tujuannya adalah organisasi yang selalu berusaha untuk memberikan produk dan jasa pelayanan sesuai dengan keinginan pelanggan. Tuntutan dan keinginan pelanggan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan ledakan informasi yang arusnya menyebar cepat sehingga berdampak pada cepatnya perubahan selera pelanggan dan makin pendeknya usia suatu produk. Pelanggan membutuhkan produk yang belum ada pembuatannya atau pelanggan membutuhkan pelayanan yang belum tertangani. Dalam upaya mewujudkan keinginan pelanggan diperlukan imajinasi dan inovasi untuk menangkap peluang yang ada. Mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang yang ada merupakan langkah awal untuk menciptakan produk dan memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Kentucky Frien Chiken dan Mc Donald merupakan contoh kegiatan yang mampu menangkap peluang yang ada dengan menawarkan dan menyajikan makanan siap saji yang pada saat itu tidak ada yang menyadari bahwa itu merupakan suatu peluang usaha. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana kita bisa menangkap peluang untuk mengangkat makanan tradisional Indonesia (Rohidi, 2005). Pengembangan produk (product.development) pada dasamya adalah upaya

perusahaan untuk senantiasa menciptakan suatu produk baru, memperbaiki produk lama agar dapat memilih tuntutan pasar dan selera pelanggan. Keinginan untuk melakukan pengembangan produk dan jasa pelayanan sangat tergantung pada strategi bisnis yang 9

diterapkan. Peningkatan mutu dan keamanan harus tetap mengacu pada kebiasaan makan (food habits) dengan upaya-upaya, yaitu: 1) pemilihan bahan mentah yang baik, 2) pemilihan bahan tambahan pangan yang baik, 3) penanganan yang higienis, dan 4)

penyajian/penampilan yang menarik (Fibriana, 2005). Pengembangan produk tidak dapat dipisahkan dari konsep daur hidup produk. Produk yang baik dapat dikatakan selalu melalui tahapan perancangan, produk, diterjunkan kepasar kemudian melalui tahap siklus kematangan, tahap kejenuhan, lalu akhirnya merosost dan mati. Tidak semua produk dapat diperpanjang daur hidupnya. Cepat atau lampat semua produk akan sampai pola kemerosotan. Dalam menghadapi hal demikian ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara lain menghentikan pembuatan produk atau mengembangkan produk untuk meningkatkan kembali penjualannya. Konsep pengembangan pelayanan juga dapat diterapkan untuk mempertahankan suatu usaha. Pada saat ini konsumen sangat sensitif terhadap pelayanan yang kurang menyenangkan. Bagi para penjual, produk dan jasa adalah pelayanan prima dan menjadi tuntutan yang utama. Pelayanan yang jelek dan tidak memuaskan akan membuat pelanggan "kapok" dan tidak akan kemali lagi. Hal tersebut akan merugikan pelanggan produk dan jasa yang dikelola. Konsep pemasaran ini juga telah bergeser dan tidak lagi hanya berorientasi pasar akan tetapi berangsur-angsur berubah pada pelayanan. Pengembangan jasa pelayanan perlu dilakukan untuk memerikan kemudahan, kecepatan, ketepatan, dan cepat memberikan respon terhadap keluhan dan keinginan pelanggan. Pengembangan produk dan jasa pelayanan merupakan hal yang paling penting karena peluang yang dimiliki oleh produk dan jasa baru seringkali menakjubkan. Perubahan pasar, teknologi dan informasi serta faktor-faktor lainnya selalu menciptakan kecenderungan baru dalam pengembangan produk dan jasa, mempunyai pengaruh serta menjadi penentu yang sangat besar terhadap jenis dan keragaman produk dan jasa.

10

DAFTAR PUSTAKA

Ahza, A.B. 2000. Mutu Pangan, Pengukuran, dan Pengendaliannya. Kerjasama Pusat Studi Pangan Dan Gizi (CPNS)-IPB dengan Dikti Depdikbud. Fardiaz, Dedi. 1998. Peluang, Prospek, Kendala, dan Stategi Pengembangan Pangan Tradisional. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Fibriana, A.I. 2005. Pengembangan Pangan Tradisional Sebagai Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Prosiding: Membangun Citra Pangan Tradisional, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang; Semarang. Hasan, I. 1994. Prospek Penganan Tradisional Aceh Dalam Dimensi Ekonomi. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan BULOG, Jakarta. Notoatmodjo, S. 1996. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offset: Yogyakarta. Nurani, Dyah. 2005. Potret Citra Pangan Tradisional dan Permasalahannya. Prosiding: Membangun Citra Pangan Tradisional, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang; Semarang. Nuraini. 2005. Sosialisasi Pangan Tradisional Melalui Jalur Pendidikan. Prosiding: Seminar Nasional Membangun Citra Pangan Tradisional, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang; Semarang. Rohidi, R.T. 2005. Makanan Tradisional: Upaya Peningkatan dalam Perspektif Kebudayaan. Prosiding: Membangun Citra Pangan Tradisional, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang; Semarang. Winarno, F.G. 1993. Keamanan, Gizi, dan Khasiat Makanan Tradisional. Prosiding: Prosiding Seminar Pengembangan Pangan Tradisional Dalam Rangka Penganekaragaman Pangan, Kantor Menteri Negara Urusan Pangan BULOG, Jakarta. Yuriani, Zamtinah. 2005. Pengenalan Makanan Tradisional Pada Generasi Muda Melalui Multi Media. Prosiding: Membangun Citra Pangan Tradisional, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang; Semarang.

11

Anda mungkin juga menyukai