Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN 1.

Latar belakang masalah Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan karenaada beberapa faktor yang jadi penghambat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.

Dari uraian latar belakang di atas, merupakan faktor yang dijadikan alasan bagi penulis untuk membuat karya tulis ilmiyah dan penulis memberi judul karya tulis ini dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan 1. Permasalahan Dari uraian latar belakang diatas dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa Jenis-jenis tindak pidana perkosaan serta unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana perkosaan? 2. Apa ciri-ciri dari korban perkosaan dan jenis-jenis korban perkosaan? 3. Apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan ? 4. Apa saja dampak dari korban tindak pidana perkosaan 5. Apa saja bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban perkosaan? BAB II

PEMBAHASAN 1. Pengertian Perkosaan Perkosa Memperkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan:

2) melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan. Perkosaan : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan;

2) pelanggaran dengan kekerasan.[1] Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai berikut: Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah: Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. R. Sugandhi, mendefinisikan perkosaan adalah sebagaii berikut: Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani. Menurut Steven Box perkosaan merupakan sebuah fakta dari hubungan seksual, yaitu penis penetrasi ke dalam vagina tanpa persetujuan dari perempuan 1. Jenis-Jenis Perkosaan Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Forcible rape = pasal 285 KUHP Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 1. Statutory rape : perkosaan terhadap anak perempuan di bawah umur (<14 tahun) orang gila, imbisil / lemah akal mental (unable person)

2. Exploitation Rape : Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib. 3. Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. 4. Sadistic rape : perkosaan yang disertai agresi / serangan beerapa kekejaman tindakantindakan merusak. 5. Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. 6. Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. 7. Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks 8. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. 1. Dasar Hukum 1. Pasal 285 KUHP, menurut KUHP perkosaan hanya dialamai oleh perempuan perempuan, pada laki-laki perbuatan cabul. 2. Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3. Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. 1. Unsur-unsur tindak pidana perkosaan Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsurunsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan 2. Memaksa seorang wanita 3. Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku) Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.

Ad b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia. Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya. Sementara tindak pidana perkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang berbunyi: Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun: 1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; 2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut; 3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; 4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; 5) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau 6) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 1. Ciri-ciri korban Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban, 1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku 2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. 3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya

merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. 4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. nilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku. 1. Pengertian dan Jenis Korban Perkosaan Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan. Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai Berikut : 1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. 3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakatnuntuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu[2] 1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.: 2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan 4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut: 1. Korban murni terdiri atas a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan; b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan 1. Korban ganda ( double / multiple victimization)

Adalah korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain. 1. Korban semu (pura-pura diperkosa) Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku. a) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;

b) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain. 1. Ciri Pelaku Perkosaan 1. Mempunyai hubungan buruk dengan perempuan 2. Takut terhadap perempuan 3. Sadis, frustasi terhadap perkawinannya 4. The overenthusiastic lover, perempuan sebagai pemuas hasrat 5. Pembenaran diri:

Dia tidak menolak saya Dia mengundang saya kerumahnya

1. Faktor Penyebab Perkosaan 1. Pelampiasan kemarahan unjuk kekuasaan 2. Naluri lelaki: laki-laki mempunyai dorongan seksual yang tinggi, dan jika lelaki menunjukan agresivitas seksualnya pada umumnya tidak ada sanksi sosial bagi pelakunya 3. Pelakunya mempunyai kelainan seksual-harus dihukum dan ditangani secara klinis. Penyimpangan seksual tidak termasuk dalam dasar penghapus pidana (dasar pemaaf) yang dialur dalam Pasal. 44 KUHP 4. mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional 1. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan 1. Dendam pada korban, atau seseorang 2. Pengaruh lingkungan, film / gambar-gambar porno 3. Situasi dan kondisi lingkungan maupun pelakunya yang memungkinkan terjadi perkosaan 1. Dampak Perkosaan Bagi Korban Pemerkosaan

1. Dampak fisik a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Nafsu makan menurun drastis Sakit asma Sakit kepala Sulit tidur Sakit didaerah perut / kemaluan Bengkak disekujur tubuh / tubuh yang terluka Sulit buang air besar / kecil Mungkin akan mandul Tertular PMS, HIV-AIDS Infeksi pada alat reproduksi 1. Dampak Mental / Emosional a) b) c) d) e) f) Stres berat- ketakutan, depresi, phobia Merasa : hina, bersalah, malu, menyalahkan diri sendiri, tidak berdaya Curiga pada orang lain Takut hamil Goncangan jiwa yang berat Dorongan untuk bunuh diri 1. Dampak Pada Kehidupan Pribadi dan Sosial a) b) c) d) Ditinggalkan teman dekat Hubungan dengan suami / pasangan memburuk atau pecah cerai Tidak lagi bergairah untuk bercinta Takut atau tidak bisa jatuh cinta

e) f)

Sulit membina hubungan dengan pria lain Menghindari setiap pria

g) Sulit untuk percaya orang lain dan sungguh-sungguh mencintai : pernah dan merasa dikhianati 1. Penderitaan dan Kerugian yang Dialami Korban Perkosaan 1. Penderitaan fisik dan psikis Penderitaan fisik : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 6, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a adalah perrbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat Penderitaan Psikis : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana dimaksut pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat seseorang. 1. Kerugian : materil dan immaterial Materil : biaya-biaya pengobatan, penghasilan yang hilang akibat peristiwa kejahatan yang dialami dsb. 1. Memiliki aspek baik hukum pidana dan hukum perdata 1. Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara. Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berkut: 1. Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana; 2. Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana; 3. Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat; 4. Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat; 5. Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan; 6. Menempatkan kekerasan berbasis jender sebagai bentuk kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia; 7. Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan berbasis jender; 8. Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan (perkosaan).

Adapun bentuk-bentuk korban kejahatan , adalah sebagai berikut:[3] 1. 2. 3. 4. 5. Pemberian restitusi dan kompensasi Konseling Pelayanan / bantuan medis Bantuan hukum Pemberian informasi

1. Ganti Kerugian Bagi Korban Perkosaan Dasar hukumnya : 1. Pasal 1365 KUHAP 2. Pasal 98 KUHAP 3. UU Nomor 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 telah mengatur pidana denda bagi pelaku Ganti kerugian bagi korban perkosaan berupa[4]: 1. Restitusi, ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku 2. Kompensasi, ganti kerugian yang diberikan Negara karena pelaku tak mapu. Dimungkinkan sebagai upaya pemberian pelayanan pada para korban kejahatan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan 3. Bantuan : pengobatan, pemulihan mental ( psikiater, psikolog, sukarelawan), korban harus diberitahukan tentang kondisi kesehatan. Aparat penegak hukum harus senantiasa siap siaga membantu juga memberikan perhatian yang istimewa terhadap tiap korban BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dari pembahasan karya ilmiyah yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar 2. Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsurunsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, 2) Memaksa seorang wanita, 3) Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku) 3. Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban, yaitu : 1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. 2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang

4. 5.

6. 7.

8.

9.

lain untuk melakukan kejahatan. 3) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. 4) Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut: 1) korban murni, 2) korban ganda, 3) korban semu Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan : 1) Dendam pada korban, atau seseorang, 2) Pengaruh lingkungan, film / gambar-gambar porno, 3) Situasi dan kondisi lingkungan maupun pelakunya yang memungkinkan terjadi perkosaan Dampak Perkosaan Bagi Korban Pemerkosaan : 1) Dampak fisik, 2) Dampak Mental / Emosional , 3) Dampak Pada Kehidupan Pribadi dan Sosial Penderitaan dan Kerugian yang Dialami Korban Perkosaan Kerugian : 1) Penderitaan fisik dan psikis , 2) materil dan immaterial 3) Memiliki aspek baik hukum pidana dan hukum perdata Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara. Ganti kerugian bagi korban perkosaan berupa : 1) Restitusi, 2) kompensasi, 3) bantuan

1. Saran Dalam karya tulis ilmiyah ini penulis memeberikan saran sebagai berikut : 1. Dalam menangani korban perkosaan Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan. 2. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal). 3. Kita sebagai mahasiswa hukum tidak hanya mengejar gelar sarjana saja, tapi kita harus ikut andil menangani penanggulangan tindak pidana kejahatan perkosaan, sehingga berkurangnya tindak kejahatan perkosaan tersebut. Dan wanita Indonesia harus membudayakan untuk menutup aurat sehingga tidak terjadi kejahatan perkosaan, karena kejahatan perkosaan terjadi karena perempuan yang memancing laki-laki untuk melakukan perkosaan dengan memakai pakaian yang mengoda dan feminism. BAB IV DAFTAR PUSTAKA Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984), hal.741 [2] Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hal. 49 [3] Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom,urgensi perlindungan korban kejahatan. Hal 165 [4] Deklarsi PBB tentang Keadilan terhadap korban kekerasan dan korban penyalahgunaan kekuasaan, 29 november 1985, Milan, italia

Anda mungkin juga menyukai