Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan citacita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. The founding leaders Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila. Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita. Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinya krisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri.

Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 80 tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 63 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 10 tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. Saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan. Lebih-lebih selama 4 tahun terakhir ini, demikian banyak bencana yang datang bertubi-tubi, baik karena faktor alam maupun karena faktor kesalahan manusia. Bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Nias dipandang sebagai bencana kemanusiaan yang tergolong sangat luar biasa skalanya dalam sejarah umat manusia. Bencana tsunami itu disusul pula oleh berbagai gempa bumi di berbagai daerah dan meletusnya Gunung Merapi yang juga menimbulkan banyak korban di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Segala jenis bencana alam tersebut tentunya juga sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian rakyat, tidak saja di daerah bencana, tetapi juga secara luas di seluruh Indonesia. Namun, belum lagi usai pahit getirnya akibat bencana-bencana tersebut sekarang muncul lagi bencana baru berupa ancaman krisis perekonomian sebagai akibat terjadinya krisis keuangan dan Amerika Serikat. Tidak realistis untuk menganggap bahwa krisis keuangan di Amerika Serikat itu tidak akan berpengaruh ke dalam perekonomian bangsa kita di Indonesia. Tidaklah bertanggungjawab jika kita hanya berpangku tangan atau bersikap tidak perduli, meskipun kita juga tidak boleh menjadi panik sebagai akibat gejolak yang sedang terjadi di dunia. Di samping perkembangan yang bersifat eksternal tersebut di atas, kita pun perlu terus mencermati dinamika perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya di daerah-daerah dan di tingkat nasional kita sendiri. Perkembangan kegiatan berpemerintahan dan bernegara setelah sepuluh tahun terus menerus bergerak cepat, memerlukan langkah-langkah konsolidasi yang tersistematisasikan. Berbagai fungsi yang bersifat tumpang tindih perlu ditata ulang. Berbagai kegiatan yang alfa dikerjakan, perlu ditangani dengan cara yang lebih baik. Penting bagi kita semua, terutama kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. Setiap anak bangsa perlu

bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas diantaranya ;

1. Apakah pengertian Sumpah Pemuda? 2. Siapakah yang berhak menjadi Pemuda dengan Pnacasila? 3. Apakah wujud hubungan Pemuda dengan Pancasila ? 4. Bagaimana pandangan Pancasila terhadapa pembangunan Pemuda?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami Arti dari ideologi Pancasila. 2. Mengetahui seseorang yang berhak menjadi Pemuda Indonesia yang memahami Pancasila. 3. Mengetahui korelasi hubungan Pemuda dengan Pancasila. 4. Menjelaskan pandangan idiologis atas Pancasila dengan Pembangunan Pemuda Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Pancasila Pancasila bukan hanya berfungsi menjadi kompas bagaimana warga negara berprilaku. Namun juga bagaimana menyelenggarakan pemerintahan agar segenap rakyat Indonesia sejahtera. Usai reformasi Pancasila menjadi pembicaraan yang langka. Ia terlupakan. Ketika moralitas bangsa mengalami penurunan, lalu, anak-anak muda kian menjadi western dan radikalisme Islam dalam wujud teroris beraksi di Indonesia, barulah semua orang tersadar Indonesia sedang di tubir jurang kehancuran. Semua sibuk mencari penyembuh, Pancasila kembali digali keberadaannya, untuk menumbuhkan keasadaran kolektif bangsa mengenai falsafah dan pedoman hidup bangsa. Pancasila merupakan payung yang sengaja diciptakan oleh para pendiri bangsa ini sebagai pelindung pembangunan bangsa. Tidak ada yang salah dengan Pancasila, yang salah adalah penerapannya. Problema bangsa ini hanya akan selesai dengan jalan kultural, pembatinan dengan menghargai sikap-sikap menghargai perbedaan, ujar Pengajar di Universitas Indonesia Mudji Sutrisno atau Romo Mudji. Ketika bangsa ini mulai tak tolelir terhadap perbedaan, menurut Romo Mudji, kunci paling penting untuk menanamkan toleransi adalah menghargai orang lain. Konsep ini sudah ada dalam Pancasila yang dibuat oleh para pembangun bangsa. Dalam konsep ini semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara harus dihargai dan dihormati termasuk ketika terdapat perbedaan yang memang sudah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Bagian tersulit dalam pendidikan toleransi menurut Romo Mudji adalah membuat toleransi mendarah daging dan menjadi kesadaran setiap anak. Pendidikan toleransi bukan hanya hapalan di luar kepala. Pendidikan toleransi akan berhasil dengan cara mengajak anak untuk melakukan tolerasni. Semua itu dimulai dari keluarga, disini kuncinya, kata Romo Mudji. Di sekolah dasar hingga atas, generasi muda memperoleh pemahaman mendalam mengenai latar belakang historis, dan konseptual tentang Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 bagi setiap warga negara, merupakan suatu bentuk kewajiban sebelum dapat melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini adalah kesepakatan para pendiri bangsa dan masyarakat Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara (Filsafat Negara), maka setiap warga negara wajib loyal (setia) kepada dasar negaranya. Dalam perjalanan waktu, ketika terbentuk sebuah negara bernama Indonesia, perjalanan hidup bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh efektivitas penyelenggaraan negara. Untuk itu Pancasila difungsikan sebagai dasar dalam mengatur penyelenggaraan negara, di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Bahkan saat globalisasi masuk ke dalam tiap inchi kehidupan bangsa, Pancasila dijadikan sebagai penyaring dampak negatif yang kemungkinan muncul. Maka bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, kesetiaan, nasionalisme (cinta tanah air) dan patriotisme (kerelaan berkorban) kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan (loyalitas) mereka terhadap filsafat negara (Pancasila) yang secara formal diwujudkan dalam bentuk Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan Perundangan lainnya). Kesetiaan warga negara tersebut akan nampak dalam sikap dan tindakan, yakni menghayati, mengamalkan dan mangamankan. Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan keunggulan Pancasila sepanjang masa. Elaborasi Nilai-nilai Lokal Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga negara Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibangun oleh para pendiri negara itu, dengan berupaya terus untuk menggali, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan pada 18 Agustus 1945, dan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya. Seluruh masyarakat tanpa terkecuali terikat dengan Pancasila, sebagai hasil kesepakatan berdasarkan justifikasi yuridik (perundangan), filsafat-teoritik, sosiologik-historik (kemasyarakatan dan kesejarahan). Dari sisi perundangan rumusan Pancasila terdapat dalam undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR Republik Indonesia. Simak dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan itu terdapat pula dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949) dan Undangundang Dasar Sementera RI (1950). Juga ada dalam Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dari sisi filsafat-teoritik, Pancasila mengadopsi nilai-nilai ketuahanan yang diajarkan oleh seluruh agama di muka bumi bahwa keberadaan Tuhan adalah kebenaran hakiki, maka para pendiri negara memulai rumusan Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. (Alinea kedua) , yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, ..(Alinea keempat) dan Pasal 29 ayat 1 UUD 45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sisi kemasyarakatan dan kesejarahan, menurut Bung Karno, presiden pertama RI dan pendiri bangsa, bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia dan dikristalisasikan dari nilainilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia, yang prakteknya disesuaikan dengan budaya masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, gamblang bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Dalam masyarakat Jawa dikenal konsep kemanusiaan dalam bentuk tepo seliro (tenggang rasa), sepi ing pamrih rame ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih), gotong royong (berat ringan ditanggung bersama). Dalam Masyarakat Minangkabau musyawarah dan mufakat berada dalam tataran konsep kemanusiaan dan kekuasaan tertinggi (sovereinitas), yang tercermin dalam peribahasa bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat (sovereinitas) dan penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran (konsep kemanusiaan) dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (konsep religiusitas). Soal ketuhanan masyarakat Minahasa memiliki petuah pangilikenta waja si Empung si Rumer reindeng rojor (Sekalian kita maklum bahwa yang memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa). Konsep ketuhanan dikenal dalam masyarakat Madura dalam nasehat bijak abantal sadat, sapoiman, payung Allah (Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) Di Lampung, untuk menyelesaikan berbagai persoalan dikenak nasehat bijak tebak cotang di serambi, mupakat dilemsesat (Simpang siur di luar, mufakat di dalam balai). Inilah yang direkam dalam sila keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila mengenai Persatuan Indonesia, diambil dari petuah bijak di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara, nabuah pinayung (Tetap bersatu dan rukun). Hal ini juga dikenal di Maluku, dengan slogan kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese

upasasi netane kwelenetane ainetane (Mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk menentang kezaliman). Tak semua praktek-praktek bijak yang menjadi warisan turun-temurun direkam dalam tulisan ini. Namun, berbagai suku bangsa yang ada di 33 provinsi itu memiliki nilai-nilai yang diadopsi ke dalam Pancasila oleh Bung Karno. Rupa-rupanya para pendiri bangsa ini telah memberi bekal, agar bangsa Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Asal tak melupakan Pancasila dan menanamnya dalam lubuk paling dalam kesadaran kolektif bangsa, lalu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari

2.2 Kemampuan Pemuda Indonesia Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu, faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.

Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, public discourse, tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap NATO, Never Action, Talking Only seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.

Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. The devil is in the detail, bukan semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di

kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang rinci. Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan.

2.3 Hubungan Sumpah Pemuda Dengan Pancasila

Sekarang ini kita berada dalam suasana memperingati semangat sumpah pemuda yang dikumandangkan pada tahun 1928, delapan puluh tahun yang silam. Sebagai anak bangsa kita telah bersumpah setia untuk bersatu nusa, bersatu bangsa, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Ada kekeliruan dalam kita memahami makna persatuan itu, yaitu seakan-akan bersatu dalam uniformitas, termasuk dalam soal bahasa. Salah paham itu tercermin antara lain dalam lagu yang biasa kita nyanyikan, yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa kita. Akibatnya, sumpah pemuda kita maknai hanya mengenal satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia, dengan mengabaikan dan menafikan bahasa-bahasa daerah yang demikian banyak jumlahnya. Padahal, teks asli sumpah pemuda itu menyatakan bahwa kita menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Artinya, bahasa Indonesia itu adalah bahasa persatuan, bukan satu-satunya bahasa yang diakui oleh bangsa dan negara. Kita koreksi kesalahpahaman itu dengan menegaskan kembali bahwa kita harus bersatu sebagai bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan bhineka-tunggal-ika. Keanekaragaman bahasa, kemajemukan anutan agama, etnis dan

bahkan perbedaan rasial, merupakan kekayaan budaya bangsa kita yang tidak ternilai. Akan tetapi di tengah keanekaan itu, kita telah bertekad untuk bersatu seperti tercermin dalam sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Kita bersatu dalam keragaman, unity in diversity, bhinneka tunggal ika. Dalam semangat persatuan itu, kita beraneka ragam. Kita beraneka, tetapi tetap kokoh bersatu. Setelah masa reformasi dan terjadinya perubahan UUD 1945, semangat persatuan dalam keragaman itu kembali dipertegas dalam rumusan pasal-pasal konstitusi kita. Prinsip otonomi daerah yang sangat luas kita terapkan. Bahkan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa seperti Papua, Aceh, dan Yogaykarta, atau pemerintahan daerah yang bersifat khusus seperti DKI Jakarta, diberi ruang untuk tidak seragam atau diberi kesempatan untuk mempunyai ciri-ciri yang khusus atau istimewa, yang berbeda dari daerah-daerah lain pada umumnya. Demikian pula, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh nusantara diperkenankan untuk hidup sesuai dengan keasliannya masing-masing. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang. Di samping itu, diadakan pula penegasan mengenai status bahasa daerah dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan semangat untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak berarti bahwa bahasa daerah diabaikan. Karena itu, dalam Pasal 32 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan, Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan perkataan lain, semangat keanekaan atau kemajemukan kembali diberi tekanan dalam rangka pembinaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam wujudnya yang paling konkrit, prinsip kebersatuan dan persatuan itu juga kita materialisasikan dalam konsepsi tentang negara konstitusional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 yang di dalamnya terkandung roh Pancasila itu merupakan piagam pemersatu kita sebagai satu bangsa yang hidup dalam kesatuan wadah NKRI. Di dalam UUD 1945 itu, segala hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dipersamakan satu dengan yang lain antar sesama warga negara. Sebagai warga masyarakat, kita beraneka, tetapi sebagai warga negara segala hak dan kewajiban kita sama satu dengan yang lain. Karena itu, kaum muda Indonesia saya harapkan dapat membangun kesadaran hidup berkonstitusi. Konstitusi adalah pemersatu kita dalam peri kehidupan bersama dalam wadah

NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini. Konstitusi negara itulah yang menjadi sumber referensi tertinggi dalam kita membangun sistim aturan dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Para pemimpin dan pejabat adalah tokoh-tokoh atau orang-orang yang datang dan pergi. Kita taati keputusannya sepanjang ia mengikuti dan menaati sistim aturan yang telah kita sepakati bersama berdasarkan UUD 1945. Oleh sebab itu, marilah kita membangun dan melembagakan sistim aturan dalam kehidupan kolektif kita dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Pemuda dan mahasiswa adalah harapan bagi masa depan bangsa. Tugas anda semua adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk mengambil peran dalam proses pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Estafet kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan supra struktur negara maupun di lingkup infra struktur masyarakat, terbuka luas untuk kaum muda Indonesia masa kini. Namun, dengan tertatannya sistim aturan yang kita bangun, proses regenerasi itu tentu akan berlangsung mulus dan lancar dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Oleh karena itu, orientasi pembenahan sistim politik, sistim ekonomi, dan sistiim sosial budaya yang tercermin dalam sistim hukum yang berlaku saat ini sangatlah penting untuk dilakukan agar kita dapat menyediakan ruang pengabdian yang sebaik-baiknya bagi generasi bangsa kita di masa depan guna mewujudkan cita-cita bangsa yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta guna mencapai empat tujuan nasional kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

BAB III KESIMPULAN


Pemuda Indonesia adalah manusia Indonesia yang potensial, yang sanggup bekerja keras demi cita-cita bangsa ini, pemuda yang tidak melupakan jasa para pahlawan mereka, dan pemuda yang memiliki jiwa besar dalam menghadapi kemelut yang ter-jadi dalam negara ini. Khususnya dengan Malaysia (yang baru-baru ini semakin panas), dengan kecerdasan intelektual dan didukung oleh kecerdasan emosional serta menjungjung tinggi asas-asas Pancasila, seharusnya pemuda mengapasitaskan diri sebagaimediator untuk mendinginkan suasana masyarakat dari kedua negara, ada sekitar 15.000 mahasiswa dan siswa Indonesia yang sedang belajar di sana dan sekitar 6.000 pelajar Malaysia yang belajar juga di Indonesia, seharusnya bisa menjadi modal bagi proses perdamaian kedua negara. Di Indonesia, pergerakan pemuda telah mencapai porsi cukup yang baik dengan adanya wadah pemuda yang disatukan dalam ideologi yaitu Pancasila, yang sesuai dengan ideologi bangsa sehingga arah pergerakan pemuda dapat berjalan seiring dengan arah tujuan bangsa Indonesia. Dilihat dari esensi Pancasila, tidak menutup kemungkinan ideologi Pancasila juga dapat diaplikasikan ke dalam pergerakan pemuda di kawasan Asia Tenggara, karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Pancasila merupakan suatu ideologi logis yang memiliki alasan yang jelas untuk dapat digunakan sebagai suatu pandangan hidup suatu bangsa. Oleh karena itu, pemuda Indonesia diberikan suatu tantangan yang cukup berat yaitu mempertahankan eksistensi Pancasila sekaligus membawa Pancasila menjadi suatu ideologi yang dapat diterima sebagai suatu pandangan hidup dan diaplikasikan tidak hanya di Indonesia tetapi juga diaplikasikan oleh pergerakan pemuda di luar wilayah Indonesia.

Daftar Pustaka

Lustick, Ian S. (2002). Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20. Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001. Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe. Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI. --- (1999). Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.

Anda mungkin juga menyukai