Anda di halaman 1dari 2

Pemikiran Ontologi: Being and Nothingness Jean Paul Sartre

Oleh: Kais Abdullah Faqih 1006692026

Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 . Ia merupakan seorang filsuf dan penulis Perancis yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence prcde l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamn tre libre). Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan yang ia tulis pada masa PD II. Dalam Being and Nothingness Sartre menegaskan bahwa manusia memiliki pilihan bebas atau kebebasan yang begitu besar. Sartre juga mengatakan apabila manusia menolak pilihan bebas dan kebebasan yang dimilikinya, atau dengan kata lain tidak mengakui bunuh diri sebagai salah satu kebebasannya, maka Sartre memandangnya memiliki mauvaise foi/bad faith (keyakinan yang buruk). Kemudian Sartre menyatakan bahwa realitas (sebagaimana adanya) tidaklah berarti apa-apa, manusialah yang sepenuhnya menentukan dan memaknai hal tersebut, manusia sendirilah yang menciptakan situasi dan kondisi dunianya. Oleh karena itu bagi Sartre, tidak ada situasi dan kondisi yang tidak manusiawi, bahkan perang sekalipun adalah hal yang manusiawi karena manusia sendirilah yang menciptakannya. Dalam Being and Nothingness, Sartre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua, etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dengan etre-pour-soi (being-foritself, ada-bagi-dirinya). Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, seandainya diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri. Sedangkan dalam etre-pour-soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia

yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan. Etre-pour-soi tidaklah sempurna, karena memiliki celah (lack) atau kekosongan. Etre-pour-soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi, karena menurut Sartre etre-en-soi dan etre-poursoi sekaligus hanya dimiliki oleh Tuhan, sehingga mustahil bagi manusia untuk mencapainya. Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa untuk tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun, tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba. Oleh karena itu Sartre mengatakan bahwa manusia adalah hasrat kesia-siaan, Man is useless passion.

Anda mungkin juga menyukai