Anda di halaman 1dari 14

Menjadikan Menulis sebagai Tradisi Mahasiswa1

Oleh : Dodi Faedlulloh2 Teriakan-teriakan perjuangan dari mereka seringkali terdengar dan menggema memecahkan kesunyian saat penindasan terjadi. Atas nama rakyat yang mereka kumandangkan. Mereka pun rela turun ke jalan demi mencari perhatian kepada orang-orang yang seharusnya memperhatikan nasib rakyat (pemerintah). Retorika yang sungguh agitatif menjadi penghangat suasana aksi. Ya mereka adalah sekumpulan orang yang berpredikat mahasiswa. Mereka adalah kaum intelektual muda dan calon pemimpin untuk perubahan. Memang akan sangat banyak kata yang harus dikumpulkan dan disajikan untuk mendeskripsikan kaum ini, tapi pada kesempatan ini penulis akan mencoba sedikit menyibak salah satu budaya yang masih belum begitu diminati oleh kebanyakan mahasiswa ; budaya menulis. Seringkali kita dengar bahwasanya mahasiswa adalah orang-orang yang mempunyai nalar kritis yang luar biasa. Sejarahpun mencatat bahwa gerakan-gerakan mahasiswa mampu menjadi pelopor dalam setiap aksi membela rakyat, bahkan salah satu rezim otoritarian pernah berhasil diruntuhkan oleh gerakan mahasiswa. Di Indonesia memang mahasiswa mempunyai peran yang signifikan. Mahasiswa menjadi penyambung lidah bagi rakyat-rakyat yang termarjinalkan. Selain peran akademik, mahasiswa juga mempunyai peran moral, sosial dan juga politik yang harus senantiasa dilakukan. Dari semua itu pantaslah predikat calon pemimpin bangsa disematkan kepada mereka. Sebagai calon pemimpin patutlah harus memliki kemampuan-kemampuan yang mumpuni. Retorika-retorika yang sering kali diteriakan bisa menjadi salah satunya. Namun itu tidak cukup. Ada hal yang juga harus menjadi standar kemampuan para mahasiswa selain kepandain dan kemampuan mereka dalam berbicara yakni menulis. Memang tidak seperti aksi-aksi demonstrasi, menulis masih menjadi suatu kegiatan yang miskin peminatnya. Kegiatan menulis tidak terlalu membumi dikalangan mahasiswa. Adapun menulis menjadi suatu pilihan terpaksa bilamana ada tugas-tugas kuliah yang mesti dikerjakan. Itupun belum jaminan mahasiswa akan menulis, karena sekarang ini dengan merebaknya serangan teknologi semacam internet, tidak sedikit dari mahasiswa yang lebih memilih jalan instan, semuanya cukup dengan copy-paste . Orang yang pandai bicara ternyata tidak melulu berbanding lurus dengan kemampuannya dalam menulis. Setidaknya ini menjadi pengalaman pribadi penulis ketika bertemu dengan beberapa kawan mahasiswa yang sering banyak orang menyebut mereka sebagai aktivis. Ketika dihadapkan dengan dunia tulis menulis ternyata cukup banyak dari kawan-kawan yang penulis temui malah menjadi gagap tidak selancar saat dia berbicara (atau mungkin lebih tepatnya berteriak) saat melakukan aksi. Padahal akan menjadi suatu sinergitas yang hebat bilamana kemampuan lisan dipadukan dengan kemampuan lewat tulisan.

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan setahun lalu di www.dodifaedlulloh.com tertanggal 2 November 2010. Disampaikan kembali dalam acara workshop Innovate and Motivating on Journalistic di Kedokteran Gigi Unsoed tanggal 19 November 2011. 2 Penulis adalah Blogger. Pembina Komunitas Menulis Stority Purwokerto. Aktivitas keseharian selain menjadi pengawas di Koperasi Kampus Unsoed juga bekerja di Lembaga Konsultan dan Pendidikan Koperasi, BAE Cooperative Consulting.

Mengapa Harus Menulis ? Banyak faktor yang menyebabkan banyak mahasiswa tidak suka dengan menulis. Salah satunya yaitu phobia menulis. Tidak jarang mahasiswa merasa khawatir bila nanti tulisantulisan yang dibuatnya dinilai jelek oleh pembacanya. Itu sama sekali bukanlah masalah yang besar. Semuanya butuh proses, tinggal bagaimana kemauan dari mahasiswanya itu sendiri. Jadi sebenarnya mahasiswa tidaklah perlu merasa phobia dengan dunia tulis-menulis. Selain ke-phobiaan tersebut memang kegiatan menulis masih dianggap tidak begitu penting. Menulis hanyalah kegiatan yang terjadi didalam kelas ataupun saat ada tugas-tugas kuliah, tidak lebih. Padahal sejatinya menulis tidak hanya itu-itu saja. Menulis bukan kegiatan yang hanya melatih tangan untuk bekerja, namun akan ada perpaduan antara otak, pikiran dan hati yang saling berkesinambungan. Ada banyak alasan mengapa mahasiswa harus mau menulis. Diantaranya dari tulisan-tulisan yang telah dibuat biasanya akan dapat merepresentasikan bagaiaman pola pikir dari si penulisnya. Apa wacana yang dibawa oleh si penulis terlihat dari bentuk-bentuk tulisannya sehingga menunjukan wawasan dan dinamika yang dimiliki si penulis. Dengan menulis kita sebenarnya bisa mengembangkan apa yang ada dalam benak dan hati kita yang kemudian dituangkan dalam media dengan rangkaian kata-kata. Diksi yang diambil tak perlulah berat namun tetap harus informatif. Karena menulis memang bukan ajang gayagayaan agar terlihat intelek. Menulis bisa menjadi media penyalur aspirasi atau luapan perasaan si penulis dengan begitu orang lain bisa menjadi tahu apa yang ada dalam persaan kita. Marahkah, senang, atau sedih karena sakit hati. Kegiatan menulis sejatinya adalah tradisi intelektual bagi mahasiswa. Karena dengan membiasakan diri untuk menulis akan sangat baik untuk melatih daya ingat. Menulis adalah berguna untuk mengikat wawasan dan ilmu yang kita dapatkan agar tidak lepas begitu saja. Lebih sering kita menulis akan lebih banyak ilmu dan wawasan yang kita ikat. Menulis juga ibarat sedang mengukir sejarah. Bisa jadi apa yang telah kita tuangkan dalam tulisan akan menjadi bukti sejarah. Suatu hari nanti para penerus kita menemukan tulisantulisan yang telah kita buat dan dijadikan referensi dalam menatap jejak kejadian-kejadian yang terjadi dimasa lalu dalam tulisan kita. Tulisan membuat kita akan dikenang oleh zaman dan juga bisa bisa mewariskan cita-cita dan perjuangan kita kepada generasi penerus. Sungguh luar biasa bukan ? ini sama sekali tidak hiperbolis karena sejarah juga telah membuktikan hal demikian bisa terjadi. Tengoklah semisal catatan harian seorang tokoh revolusi, Ernesto Guevara. Dari catatan-catatan yang ditulisnya kita sang pembaca dibawa ke masa dari dia saat melakukan petualangannya berkeliling Amerika Selatan sampai dengan bagaimana akhirnya dia melakukan perjuangan dalam menyebarkan semangat revolusi. Dia adalah salah satu contoh seorang pemimpin yang menjadikan kegiatan menulis sebagai budaya. Banyak tokoh-tokoh pemimpin inspiratif di dunia melakukan hal yang sama, termasuk salah satunya bapak pendiri bangsa kita, Soekarno. Para mahasiswa tentu kenal dengan Soe Hok Gie, dia sangat bisa menjadi inspirasi yang telah memberikan contoh bahwa menulis sejatinya adalah bersifat membebaskan. Seperti tulisantulisan Ernesto Guevara, catatan hariannya pun kini menjadi literatur sejarah dan menjadi saksi bagaimana kesuraman dimasa lalu. Atau seperti Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Tour yang menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai bentuk perlawanan. Tulisan-tulisan itu

bak menjadi senjata yang ampuh untuk membuka mata hati para pembacanya. Itulah hebatnya tulisan. Ada satu kejadian menarik yang pernah dialami oleh penulis. Ketika dikelas, seorang dosen bertanya tentang suatu hal yang terkait dengan mata kuliah namun tak ada satu-pun yang mampu menjawab. Pada akhirnya sang dosen tersebut menyuruh para mahasiswa-nya untuk menulis jawabannya di selembar kertas saja. Ternyata pasca suruhan tersebut, walau hanya untuk satu pertanyaan saja para mahasiswa menuliskan jawaban dikertasnya masing-masing dengan jawaban yang bisa dikatakan panjang, sekitar hampir satu halaman kertas terisi. Penulis berpikir ini terjadi karena memang tidak semua kata bisa diucapkan, maka dengan lewat menulislah bisa dijadikan alternatif saat terjadi kebisuan lisan menimpa kita. Menulis itu Mudah Menulis itu tidaklah sesulit yang sebagian orang bayangkan. Ketika ada orang yang berkata saya tidak bisa menulis itu adalah kesalahan pertama yang menjadikan dirinya semakin tidak mau untuk menulis. Selama dirinya masih bisa bertutur (ngobrol) tentu menulis pun pasti bisa, karena menulis itu sendiri tak ubahnya bertutur. Memang ada beberapa hal yang seringkali dijadikan kendala dalam menulis seperti adanya aturan ejaan yang disempurnakan (EYD) yang sering kita temukan dalam gaya penulisan ilmiah, namun sebenarnya itu bukanlah suatu masalah yang besar karena menulis itu sendiri adalah bersifat pembelajaran. Lewat kita belajar dan berproses untuk bisa menulis dengan sendirinya kita akan menemukan bahan pembelajaran bagi tulisan-tulisan yang kita buat. Dari yang mungkin asalnya acakacakan karena lama-kelamaan menjadi terbiasa akhirnya mampu memperbaiki kesalahankesalahan tersebut dan tulisan yang kita ciptakan semakin hari menjadi semakin baik. Sebagai seorang calon pemimpin sikap kritis adalah suatu keharusan. Maka sebenarnya jika ada alasan tidak bisa menulis karena sedang tidak ada ide itu sama sekali bukan alasan yang bisa diterima. Mengapa begitu ? Jelas karena sebenarnya stok pengetahuan (stock of knowledge) yang mendasari kita menulis sama sekali tidak terbatas. Stok pengetahuan bisa berasal dari mana saja, semisal buku-buku, internet, cerita teman, diskusi-diskusi, berita yang tersaji lewat televisi atau koran dan hal lainnya. Yang jelas kebekuan ide tidak perlulah terjadi karena sekali lagi stok pengetahuan yang bisa dijadikan sumber gagasan sangatlah berlimpah. Mahasiswa sebagai mahluk kritis yang dihadapkan dengan stok pengetahuan yang berlimpah bisa menjadi modal dalam membudayakan kegiatan menulis. Setelah tersaji stok pengetahuan yang tanpa batas tinggal bagaimana para mahasiswa menyikapinya. Rasa malas bukan lagi menjadi alasan. Kita harus bisa menaklukan rasa malas dan memotivasi diri sendiri untuk berani menulis. Apa jalannya ? Ada satu rekomendasi dari penulis yang bisa dijadikan cara yang baik untuk bisa rajin menulis ; Jadilah komentator ! Setiap hari akan banyak kejadian dan informasi yang diberitakan lewat televisi atau koran. Komentarilah berita tersebut dengan tulisan. Tak perlu harus kritik karena bisa saja kita memposisikan diri menjadi pihak yang pro dalam berita tersebut. Tak perlu juga harus berpanjang-panjang ria asalkan tulisan kita berbobot dan bermakna maka cukuplah. Namun tetap menjadi hal yang penting untuk menjadi sebuah tulisan yang menarik adalah tulisan yang dibuat harus didasarkan atas keberpihakan sikap si penulis terhadap suatu realitas yang ada. Jangan memilih dalam posisi netral, karena kenetralan dalam tulisan akan menjadi bermakna bias dan memudarkan isi dalam tulisan tersebut.

Bayangkan kita bisa menjadi penulis produktif hanya dengan langkah kecil berupa menjadi komentator saja. Bila menulis sudah menjadi kegiatan sehari-hari maka salah satu modal sebagai calon pemimpin bangsa kita sudah miliki. Menarik bukan ? Mari Menulis ! Dari paparan diatas menjadi jelas bahwa sekarang tak ada alasan lagi untuk tidak menulis karena menulis sudah menjadi suatu keharusan. Mari membudayakan menulis dalam kehidupan kita, jadikan ini sebagai tradisi mahasiswa. Ada banyak media yang bisa dijadikan tempat publikasi tulisan-tulisan kita. Saat ini teknologi berkembang pesat, taruh saja tulisan kita dalam fasilitas note di akun facebook kita atau yang sudah menjadi life style banyak orang semacam blog pribadi. Dengan begitu sebenarnya kita bisa lebih independen dan leluasa dalam menulis. Mari membuat tulisan serenyah mungkin agar bisa menjadi daya tarik bagi orang lain untuk menikmati sajian dalam menu tulisan kita, tak perlu khawatir lagi tentang tulisan yang kita buat, justru dengan adanya feedback dari pembaca akan semakin mengasah keterampilan kita dalam menulis. Semakin sering menulis, maka keterampilan kita dalam mengolah stok pengetahuan itu akan semakin baik, semisal dalam pemilihan diksi sampai penyusunan kata untuk memperindah kalimat dan paragraf. Apalagi yang mendapat feedback adalah ke kontens (isi) tulisan yang kita buat. Ini akan menjadi motivasi dan prestasi tersendiri. Kita akan bertemu dengan pro-kontra yang akan menghangatkan tulisan kita. Ini akan menjadi diskusi yang bermanfaat karena dari diskusi dialogis yang terjadi antara si penulis dan pembaca akan menumbuhkan ide-ide baru yang bisa lebih inovatif. Kegiatan feedback semacam ini juga adalah ranah dalam melihat konsistensi sikap si penulis ketika diserbu oleh cercaran pertanyaan. Dipenghujung tulisan ini, sekali lagi penulis mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin kepandaian beretorika tidaklah cukup, harus ada sinergi dengan kemampuan dalam menulis. Menulis itu sama sekali tidak sulit, asal ada kemauan dan motivasi untuk menulis, itu saja. Akhir kata sebagai penutup dari penulis, ada satu ajakan untuk semua mahasiswa diseluruh penjuru negeri ini, Mari jadikan menulis sebagai tradisi mahasiswa !. []

Motivasi Menulis & Cara Penulis Berpikir


Oleh: Firdaus Putra Hidup yang tak diperiksa adalah tak pantas dihidupi, ujar Socrates. Begitulah penulis berpikir. Ia selalu memeriksa segala ihwal yang ia cerap. Memeriksa dalam arti memikirkannya. Ia tidak menerima segala ihwal dengan cara taken for granted. Melainkan menerima dengan jeda atau sepasi. Ada ruang untuk tanya. Ada ruang untuk prasangka. Ada ruang untuk asumsi, bahkan curiga. Jeda itulah yang membuat penulis jeli. Ia dapat melihat jarum ditumpukan peniti. Melihat kartu ATM ditumpukan remi. Jeli juga untuk mengurai lembar demi lembar kertas basah. Memilah mana-mana yang masuk kotak atau lingkaran. Anasir-anasir dapat ia baca. Pola bak crop circle dapat ia teropong. Penulis seperti itu tak akan pernah miskin ide. Ide adalah sebanyak detik dalam rentetan bangun hingga tidur. Segala ihwal adalah ide. Apa yang ia makan, tonton, baca, kerjakan adalah stock of knowledge. Bit-bit data itu tersimpan rapi di kotak memori. Sampai akhirnya, dengan cara yang tepat ia panggil naik ke permukaan. Jadilah sebuah tulisan dengan ratusan bahkan ribuan kata. Anak Kecil Nan Polos Ikan bobo, sudah malam, tagline susu Dancow 1+ itu sangat polos tapi menggelitik. Si kecil memperhatikan sungguh-sungguh bagaimana si ikan bobo. Dia ingin tahu sebetulbetulnya, cara ikan bobo. Apakah matanya terpejam seperti dirinya? Atau siripnya berhenti bergoyang bak tangan/ kakinya? Atau ikan bobo dengan cara lain. Kepolosan anak kecil memungkinkan dia bertanya segala ihwal yang acapkali tak terpikirkan ulang. Bagi kebanyakan orang, suatu realitas sudah seperti adanya. Sedangkan bagi si kecil, semua itu adalah hal baru yang menarik perhatiannya. Rasa penasarannya (curiosity) begitu tinggi. Semuanya ia tanyakan. Sampai-sampai membuat kelabakan papa-mamanya. Bahkan penulis perlu berpikir a la orang desa/ ndesani, yang kadang heran, gumun (kagetkagum) terhadap suatu hal. Bayangkan, huruf alfabet; A, B, C sampai Z adalah sekedar simbol huruf Latin. Pernahkah terbayang di benak, bagaimana dulu orang-orang menciptakan simbol itu? Adakah para staf ahli dari kerajaan tertentu berkumpul dan berdiskusi? Atau sekedar keisengan seorang jenius yang mencorat-coret dinding batu? Penulis perlu spontan dalam bertanya. Tak ada malu, tak ada gengsi. Ada teladan yang bagus dari Three Idiots. Prof. Virus terhenyak ketika Pungsuk Wangdu bertanya, Kenapa tidak dibuat dari pensil saja untuk mengganti pulpen yang mahal itu? Ya, sebuah pertanyaan yang relevan, bukan? Kemudian di penghujung cerita, profesor menjelaskan mengapa harus memakai pulpen di luar angkasa dan bukannya pensil. Spontanitas seperti itu membuat kotak tak pernah tertutup. Kotak selalu terbuka untuk dilihat dari berbagai sudut. Ada 1000 kemungkinan pertanyaan untuk fenomena apel jatuh dari pohon. Rumus gravitasi tak akan lahir bila Isaac Newton saat itu berpikir, Ya memang harus seperti itu! Justru ide cerdas/ unik akan lahir dari sikap kita yang jujur-polos dalam memandang realitas. Jujur dan polos untuk bertanya, Lho kok bisa begitu?

Si Mata Wanita Sampai titiknya, penulis perlu juga memandang bak wanita. Matanya membaca lanskap nan meluas. Banyak hal ia cerap. Apapun itu ia cerap. Awal mulanya ia rakus bak anak yang semego. Tentu nafsu itu harus besar sekedar untuk membaca, menonton atau diskusi. Lebihlebih ia harus disiplin membaca segala ihwal. Buku, misalnya. Atau koran, situs, tabloid, billboard iklan atau sekedar spanduk sambil lalu. Pada mulanya penulis adalah pembaca. Dalam proses membaca, penulis akan melakukan dialog. Dialog internal antara dirinya dengan teks yang ia baca. Dialog itulah yang membuat sistem berpikirnya menjadi kokoh. Sensitivitas bukan hal sekali jadi. Bukan seperti burger sekali masak. Sensitivitas itu adalah kecakapan. Dan kecakapan salah satunya muncul karena terbiasa. Ia terbiasa untuk sensitif atau jeli pada banyak hal. Si Mata Pria Setelah itu, penulis perlu memandang seperti pria. Di mata pria, sel kerucut lebih banyak. Karena itu pria bisa fokus dan memandang secara mendalam. Setelah ia pilah, kemudian ia tajamkan titik tembaknya. Dari beragam sumber/ fakta/ data, dapat ia pertajam dalam bangun logika tulisan. Di sini mulai tampak kepiawaian penulis. Setiap tulisan mempunyai logika/ struktur. Entah itu esai, artikel ilmiah pun kisah fiksi. Tidak boleh mentang-mentang fiksi, ia menulis dengan gegabah. Misalnya, novelis selalu mengawali tulisannya dengan riset. Riset yang paling sederhana adalah pustaka. Bahwa ketika ia berbicara tentang oxytocin dapat terjelaskan sebagai nama hormon tertentu. Koherensi Akar Serabut Seserabut apapun sebuah akar, ia bertaut pada satu bogol. Selalu ada titik referensi ke pusat tema. Di dimensi ini, orang yang berpikir seperti katak, akan kelelahan. Ia tidak boleh lagi melompat-lompat tak jelas arah bahkan lepas konteks. Alur yang ia bangun harus koheren. Yakni antara satu pernyataan/ kalimat dengan yang lainnya itu berhubungan. Si penulis-katak sulit untuk mengoherenkan pikiran. Bisa jadi tumpang-tindih. Atau kronisnya, apa kata orang dengan sinis, Jaka Sembung alias tidak nyambung. Ketidaksambungan adalah gambaran dari cara berpikir katak yang melompat-lompat. Tidak sistematis, tidak taat alur dan itu tak elok bagi penulis. Penulis perlu mengawali langkahnya dengan sistem berpikir yang runtut dan konsisten. Argumentasi Akar Tunggang Tengoklah, akar tunggang menghujam kuat ke tanah. Sistem berpikir yang runtut perlu juga dibarengi dengan batu bata argumen yang kuat. Agar kiranya, teks yang tersusun atas atap, dinding dan pondasi tak goyah diterjang angin bantahan/ sanggahan. Di sini penulis dituntut piawai dalam mendemonstrasikan argumennya. Suatu klaim harus diikuti dengan penjelas tertentu. Entah analogi, relasi sebab-akibat, contoh, studi kasus atau lainnya. Klaim tanpa penjelas adalah retorika. Retorika merupakan kalimat klise bak menggarami laut Atlantik. Dan celakanya, itu akan membunuh tulisan. Tulisan menjadi

hambar karena tak membumi. Namun, sejauh sebuah retorika terkontekstualisasikan, ia menjadi sah! Contoh retorika yang sering muncul, Korupsi harus diberantas ke akar-akarnya! Sebuah klise yang semua orang tahu. Sehingga perlu dijelaskan mengapa dan bagaimananya. Di sinilah akan muncul mutiara pemikiran yang bisa jadi suatu menu baru di dunia perkorupsian Indonesia. Suatu toolkit tentang Cara Berantas Korupsi Melalui Film Kartun, misalnya. Defamiliarisasi Keripik Singkong Ratusan bahkan ribuan tulisan berjejalan di ruang baca. Mulai dari Jupe sampai Rupe. Dari Miyabi sampai Sakazaki. Penulis perlu melakukan defamiliarisasi pada tema yang diangkat. Jika biasa-biasa saja (familiar) akan ditinggal pembaca. Defamiliarisasi adalah membuat tulisan menjadi luar biasa. Entah dengan mengambil sudut pandang lain atau kemasan lain. Sudut pandang atau angle adalah darimana penulis membidik tema. Adakah motor Byson menarik dilihat dari perawakannya yang kokoh? Ataukah seksinya knalpot yang pendek itu? Atau justru Byson itu keliaran lembu jantan Afrika? Berbagai sudut pandang perlu dieksplor sampai ketemu angle yang membuat orang, Hmmm ada-ada saja. Dan tengoklah para facebooker yang kreatif-kreatif itu, cit-cat mereka seringkali out of the box! Selain angle defamiliarisasi dapat dilakukan melalui re-packaging atau pengemasan ulang. Isi boleh jadi sama-sama singkong, tapi Qtela adalah keripik kelas hotel bintang lima. Pengemasan ulang dengan cara menulis dalam format/ gaya berbeda. Awalnya artikel dirubah menjadi esai/ feature. Monolog menjadi narasi bertutur yang interaktif. Atau cara-cara lainnya selama halal & legal adalah pantas dicoba. Kuncinya, tidak ada yang mutlak dalam kreativitas! Familiarisasi Merapi-Kompas Sebuah tulisan boleh jadi berbobot isinya. Namun jika tak terbaca lantaran bahasanya tak disukai, bukankah menjadi mubazir? Penulis juga perlu memperhitungkan tema dan sasaran pembaca untuk kemudian mengemasnya seperti apa. Bandingkanlah gaya bahasa koran Merapi dengan Kompas. Familiarisasi atau membuat biasa artinya membuat hal itu biasa pada kelompok pembaca tertentu. Familiarisasi paling mudah dilakukan dengan jalan menggunakan pilihan kata/ diksi yang pas. Susunan kalimat atau pemuatan contoh yang dekat dengan pembaca. Soal diksi, banyak membaca adalah salah satu cara menyerap peredaran kata-kata di planet Bumi. Eksplorasilah segala kemungkinan permainan kata atau frasa. Pada prinsipnya adalah isi yang disampaikan dapat tercerna dengan baik. Dan kedua, pembaca dapat mencernanya dengan enak. Misalnya, Goenawan Mohamad lebih sering menggunakan frasa orang ramai daripada khalayak atau publik. Ada kesan puitis di kata itu yang secara makna sejajar dengan frasa khalayak atau publik. Tidak ada kejahatan apapun dalam usaha memainkan kata/ frasa!

Kecelakaan Selezat Brownies Penulis pemula hanya perlu mengeksplorasi segala kemampuan tanpa berpikir tentang hasil. Lama kelamaan cita rasa akan terbangun. Dan bila salahpun, akan selezat kue brownies. Dan semuanya hanya mungkin terjadi dengan mengesampingkan berbagai beban, termasuk aturan ejaan dan sebagainya. Selamat mencoba! []

Tentang Menulis Berita


Oleh: Ary Adji HS Beberapa hal mengenai berita: 1. Everything has own story Jurnalis haruslah sebuah pribadi yang terbuka karena segala sesuatu bisa menjadi berita. Segala hal memiliki nilai karena kait-mengkait. Semuanya tergantung bagaimana memandangnya (perspektif). Yang terpenting adalah apa yang ingin Anda sampaikan pada pembaca dan bagaimana cara menulisnya. Gambarkan pakaian dan raut muka nenek miskin yang didakwa pengadilan karena mencuri tiga kilo kakao. Dengan cara itu Anda sudah bisa menjelaskan situasi hukum di Indonesia. 2. Public Domain Secara umum berita mendasarkan diri pada sesuatu yang memiliki nilai kepentingan dengan publik alias orang banyak alias khalayak. Maka, segala sesuatu yang berkaitan dengan nasib manusia (apalagi dalam jumlah yang besar atawa menyangkut niasib umat) adalah kisah yang menarik. Cerita tentang kehidupan seorang penunggu palang kereta mungkin tak terdengar hebat. Tapi apa jadinya jika seorang penunggu palang pintu yang gajinya hanya Rp 200 ribu per bulan itu tertidur lima menit saja ketika kereta lewat? Hal-hal yang terlihat sepele seringkali adalah puncak gunung es dari sebuah masalah raksasa. 3. Hipotesa Seorang jurnalis harus memiliki hipotesa dan pencarian data adalah proses membuktikan hipotesanya. Hipotesa harus didasarkan pada penguasaan materi sebuah kasus atau topik cerita. Sodorkan hipotesa, beberkan data dan biarkan pembaca mengambil kesimpulannya. Utamanya jika Anda seorang investigator, jadilah detective, lakukan penyamaran, pencurian data adalah sah. Rangkai data itu untuk membuktikan seseorang melakukan korupsi seperti yang Anda duga. Lalu beberkan pada pembaca. 4. Fact is Sacred Fakta itu suci, jangan menambah atau menguranginya. Kebohongan publik adalah dosa sosial yang tak terampuni dan itu adalah pengkhianatan terhadap profesi dan jurnalisme. Maka, catatlah dengan detail sebuah peristiwa dan jangan pernah bermain-main dengan fakta yang ada. Perbaharui catatan Anda sesuai waktu yang berjalan, seiring perubahan yang bisa saja terjadi. 5. No Judgement Tugas wartawan adalah mengungkap realitas mengenai hal-hal yang tak terjangkau oleh setiap orang, memberi arahan mengenai titik kebenaran mengenai realitas itu. Kebenaran dalam jurnalisme adalah kebenaran berlapis alias kebenaran hari ini. Jangan menghakimi, jangan mem-vonis, karena itu adalah urusan pembaca. Sodorkan fakta, ungkap data sesuai realitasnya dan biarkan pembaca mengambil kesimpulannya.

6. About Time Wartawan harus tahu kapan sebuah hal harus diungkapkan. Perkembangan situasi di jalanan kota Tripoli saat ini tentu harus secepat mungkin disiarkan, agar kejahatan kemanusiaan di sana terhenti dan warga Libya mendapatkan keadilan. Beda dengan kisah keindahan gunung Rinjani, Anda bisa menceritakannya minggu depan atau dua bulan lagi. 7. Butterfly Effect Kepakan sayap seekor kupu di sebuah kampung di daerah Purbalingga bisa melahirkan angin puyuh di sebuah daerah di Afrika. Puntung rokok yang Anda buang di pinggiran sebuah jalan di kota Purwokerto bisa mengakibatkan banjir bandang di pinggiran sungai Cintandui di Cilacap. Bagaimana bisa? Karena puntung rokok itu terbawa hujan, aliran air dan akhirnya masuk sungai Serayu. Oleh aliran sungai Serayu puntung rokok Anda bergabung dengan jutaan keping sampah yang lain terbawa hingga pantai Cilacap, lalu ombak membawa puntung rokok Anda bergabung dengan tumpukan sampah yang menyumpali sebuah sungai di daerah barat Cilacap. Hal itu mengakibatkan muara sungai tertutup sampah. Akibatnya, ketika air laut pasang, air sungai tak mampu masuk ke laut, sebaliknya malah balik lagi ke arah hulu. Banjir tak terhindarkan, ribuan orang di beberapa desa mengungsi. Hukum sebabakibat adalah kisah yang selalu menarik. Setiap orang menangis melihat bagaimana Tsunami meremukkan Aceh. 200 ribu orang tewas mengenaskan oleh hempasan air yang berubah menjadi benteng beton menghujam kawasan Serambi Mekkah. Tapi tahukah Anda, ini baru peringatan kecil saja. Bisa jadi, gempa itu memicu reaksi tektonik dan membangunkan kawah raksasa di Sumatera yang bernama Danau Toba, menjadi aktif kembali. Asal Anda tahu, danau Toba sesungguhnya adalah kawah raksasa. 75 ribu tahun lalu kawah ini meletus dan membuat semua mahkluk hidup di bumi mati dan hampir tak tersisa. Jika ini terjadi, Anda bahkan tidak sempat menitikkan airmata. 8. Nice Menulis berita haruslah menarik, semenarik Anda bisa. Tetapi prinsip utama, jangan memanipulasi fakta. Menarik tak berarti merubah data. Atraksi kalimat, penguasaan kosa kata, penciptaan alur yang unik, pengambilan ilustrasi yang tak terduga adalah bagian dari cara. Tapi yang saya tahu, hanya ada satu cara yang paling ampuh untuk membuat Anda pintar menulis dengan cara yang menarik; BERLATIH dan banyak membaca. Selamat mencoba!

Menulis Laik di Media Massa, Tips dan Trik


Oleh : Sigit Harsanto Prolog Kita telah belajar menulis segera setelah ingatan dapat bekerja dengan sistematik. Pada usia yang masih begitu belia. Tetapi siapapun yang bercita-cita ingin menulis bukan untuk konsumsi pribadi, pertama-tema memang perlu bertanya, sungguhkah aku telah benar-benar bisa MENULIS? Tidak buta aksara tentu salah satu modal kita bisa menulis. Tetapi hanya sedikit dari banyak orang tidak buta aksara yang bisa menulis. Tentu dalam hal ini, kita harus sepakati lebih dulu, menulis dalam pengertian menorehkan gagasan secara jelas, terang dan bisa diterima oleh orang lain. Mengapa menulis hanya menjadi keterampilan orang yang relatif jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah nonbuta aksara? Jumlah sedikit itu semakin menjadi lebih sedikit, bila menopik tulisan yang bisa diterima di media massa. Fenomena ini pada pokoknya terkait pada dua urusan utama (1) Ranah Psikologis (2) Ranah Teknis. Ranah Psikologis Menulis adalah salah satu tindakan memberi. Memberi diri Anda untuk diketahui orang lain. Memberi pikiran intelektual Anda, memberi sentuhan emosi Anda dan pada akhirnya memberi pengaruh pada lingkungan pembaca Anda. Tulisan juga akan berbalik memberi Anda ruang ekspresi sekaligus eksistensi. Memberi Anda ruang kontemplatif untuk menguji hal-hal yang Anda ketahui, sekaligus menantang untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru yang belum pernah terpikirkan oleh Anda sebelumnya, alias memberi Anda kesenangan untuk berpetualang. Saat Anda menulis, Anda sedang memberi dan sekaligus menerima feedback, mulai dari hal yang bersifat rohani hingga material. Itulah mengapa, menulis pertama-tama akan selalu berhubungan dengan ruang psikologis seseorang. Selalu berhubungan dengan hal-hal mendasar seperti untuk alasan apa dan mengapa saya menulis (motivasi) hingga sanggupkah saya menerima segala risiko, positif maupun negatif, dari tersebarnya bagian diri saya dihadapan publik. Tentu saja, ada banyak motivasi menulis. Ada yang untuk alasan idealisme dan cita-cita besar lainnya. Ada sekedar untuk mengeluarkan uneg-uneg, ada yang memang bertekad membagi pengetahuan, dan yang lain sekedar untuk mengejar kredit poin tertentu. Keberhasilan seseorang menulis, selalu berkaitan dengan seperti apa motivasinya menulis, tak terkecuali menulis di media massa. Pada ranah psikologis, sebelum Anda mengirimkan karya ke media massa, ada baiknya Anda mengukur ulang motivasi. Saya cenderung percaya, tidak ada pemilahan seberapa luhur atau tidak motivasi seseorang untuk menulis di media massa. Misalnya, ada seseorang yang mengawali karirnya di bidang penulisan memang untuk tujuan meraup semakin banyak uang demi menutup kebutuhan. Alasan demikian tidaklah boleh dianggap lebih rendah dari

motivasi seseorang yang ingin menulis di media untuk alasan berbagi pengetahuan sekaligus menawarkan solusi ke tengah masyarakat. Pentingnya motivasi, bukanlah berkaitan dengan ukuran nilai tertentu. Pentingnya motivasi menulis, lebih berkait pada sejauhmana ia mampu menjadi bahan bakar menggerakan mesin semangat dan mendenyutkan jantung cinta pada dunia rangkai aksara. Tanpa semangat dan cinta, Anda hanya akan panas di awal, dan patah arang bahkan sebelum memasuki samudera kepenulisan. Sebelum Anda menganggap menulis sebagai bagian yang penting dari hidup Anda, ia juga tidak akan pernah meletakkan nama Anda sebagai bagian penting dari renik pernik keseharian dunia tulis menulis. Hal serupa terjadi di semua aspek kehidupan kita. Ingin bisa menulis itu baik. Tetapi keinginan saja tidak pernah cukup. Mengikuti kursus menulis itu baik. Tetapi itu juga jauh dari kurang. Keinginan dan bahkan jika sudah diikuti dengan tindakan mencari referensi (ikut kursus dll), hanya akan berbuah karya sepanjang Anda benar-benar menganggap ini hal penting. Begitu pentingnya sehingga Anda bisa menyisihkan hal-hal lain yang dianggap kurang penting, menyisihkan waktu, menginvestasikan sedikit uang dan bahkan mau mengorbankan sebagian dari ruang kemanjaan Anda demi pengalaman menulis. Semakin penting menulis bagi Anda, semakin serius Anda mencurahkan kapasitas. Anda juga tidak akan menyerah menghadapi penolakan demi penolakan yang sudah menjadi bagian dari KEWAJARAN dalam bidang menulis di media massa. Tidak akan berpangku tangan ketika menyadari bahan dari tulisan Anda sangat mentah, kurang lengkap dan belum bernyawa. Singkatnya, mari berdialog dengan diri dalam kita lebih dahulu, dan harus selalu begitu, selama proses belajar hingga proses menjadi penulis di media massa. Pada beberapa titik, semakin ada keadaan yang memaksa (dari dalam dan dari luar), seseorang akan memiliki peluang lebih besar untuk akhirnya menjadi penulis. Sayangnya urusan diri dalam kerap dianggap sebagai hal kecil, remeh dan tidak masuk dalam urusan cita-cita go publik melalui tulisan. Faktanya, tidak ada satupun karya besar yang tidak berurusan dengan hal-hal kecil terlebih dahulu. Ranah Teknis Menulis di media massa, setelah berkaitan dengan urusan dalam diri, berkaitan pula dengan lapisan diluar diri yaitu pada pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan teknis kepenulisan di media massa. Anda butuh ketiga modal tersebut untuk bisa merayu pengelola media agar nama dan pemikiran Anda bisa hadir dihadapan publik pembaca. a. Jenis Kelamin Media Memiliki pengetahuan saja, tidak cukup tanpa pemahaman. Lebih lagi jika Anda tidak memiliki pengetahuan mengenai media massa. Sehingga pertama-tema, Anda harus MENGETAHUI media massa pada umumnya. Setiap media massa memiliki jenis kelamin tertentu. Hal yang wajar jika Anda sebagai seorang gay, serta merta diusir dan malah dikutuk jika masuk dan mengungkapkan pikiran Anda ditengah sekumpulan jemaah umat beriman dari agama Samawi.

Sederhananya, media massa memiliki jenis kelamin sebagai (1) Generalis (2) Spesialis. Media berjenis kelamin generalis memuat informasi yang relatif bisa diterima oleh kalangan dengan berbagai latar belakang umur, pendidikan dan atribut sosial lainnnya. Koran harian seperti Kompas, Republika, Suara Merdeka atau situs berita seperti Antara, Viva News, Detik merupakan sebagian contohnya. Setelah mampu mengidentifikasi media tersebut umum, Anda direkomendasikan untuk mengetahui gen-ideologi media bersangkutan. Geneologi, sebuah identitas yang dihasilkan dari tarik ulur kepentingan internal media dengan dinamika sosial yang melingkupinya dari waktu ke waktu, akan menjadi semacam filter penyaring setiap naskah sebelum dinyatakan layak atau tidak layak tayang. Gen ideologi itu tercermin dalam politik redaksi, termasuk yang paling kasat mata pada tajuk rencana alias sikap media terhadap berbagai topik aktual. Anda akan cenderung memiliki peluang yang lebih besar masuk ke Republika berbekal pengetahuan dan tulisan bertema Islam modern, ketimbang ke Harian Suara Merdeka. Anda sekali-kali tidak akan pernah bisa diterima Kompas apabila mengirimkan karya Media dikatakan bersifat spesialis apabila memilih untuk melayani pembaca dengan segmentasi tertentu, misalnya remaja belia, remaja cowok, remaja cewek, kaum perkotaan dewasa muda (kosmo), penghobi otomotif, penghobi klenik, kelompok liberalis, sastra kanan, sastra kiri, islam inklusif dsb dst dll. Anda akan menjadi calon penulis paling konyol jika mengirimkan teenlit ke media seperti Cosmo dan Otoplus. b. Karakteristik Rubrik Setiap media massa yang mengundang warga dan pembaca untuk ikut terlibat menulis, umumnya menyediakan rubrik khusus. Rubrik merupakan istilah untuk menamai sebuah ruang (space) terntentu di media massa yang memiliki karakteristik intrinsik dan teknis tertentu. Rubrik akan memiliki panduan intrinsik seperti menerima tema-tema terntentu dan syarat-syarat teknis misalnya menyertakan bukti identitas diri, tulisan berjumlah antara 15002000 karakter dan seterusnya. Satu konsep kunci menulis di media massa, adalah menguasai pengetahuan dan memahami setiap syarat yang ditentukan oleh pengelola media massa. Anda tidak bisa seenaknya, misalnya mengirimkan karya 10 ribu karakter untuk rubrik yang hanya butuh 2ribu karakter. Pengelola media akan kesulitan memilah bagian pokok pikiran Anda, dan lebih memilih menyeleksi naskah lainnya. c. Gaya Bahasa Setiap media massa, senantiasa memiliki langgam bahasa tertentu. Gaya ini juga akan menjadi pemandu untuk menemukan tulisan dari luar awak media massa. Gaya bahasa tercermin bahkan dalam hal yang paling kasat mata pada pilihan diksi (kata). Tentu, media yang bersifat generalis, memiliki gaya bahasa yang relatif seragam dengan kaidah penulisan berkiblat pada EYD. Pada media khusus, soal gaya bahasa menjadi lebih luwes bergantung pada dan dipengaruhi oleh target pembacanya. Gaya bahasa media dengan orientasi eksekutif muda metropolitan,

sudah biasa menebar bahasa-bahasa prokem Inggris. Majalah remaja umumnya menduplikasi bahasa gaul anak muda, termasuk membaiat sebutan lu gue sebagai bahasa gaul komunitas tersebut. Tentu saja, setiap penulis akan memiliki sidik jari berupa bahasa yang khas. Bahasa tersebut bisa diakomodasi, sepanjang masih dalam kerangka gaya bahasa sebuah rubrik yang dituju. d. Relevansi Isi Media massa tidak hidup dalam ruang vakum. Media selalu berada dalam hubungan dialog timbal balik dengan realitas lingkungan masyarakat pada seluruh bidang. Ia tidak hanya menyerap apa yang ada di masyarakat untuk mewarnai dirinya, melainkan juga menawarkan warna yang bisa diadopsi oleh khalayak luas. Pada posisi ini, seorang penulis harus mampu memahami dan menangkap dinamika hubungan antara media isu masyarakat dari waktu ke waktu. Konsep kunci dari pemahaman ini adalah relevansi isi. Semakin karya Anda memiliki relevansi dengan wacana media maupun realitas aktual, semakin besar peluang untuk diakomodasi oleh media massa. Relevansi isi bisa dilihat dari kriteria up to date-nya sebuah isu yang penulis angkat. Setelah pas dengan tema aktual, seorang penulis harus mampu menawarkan keunikan serta kekhasan gagasan, kekayaan referensi dan ketajaman analisa, disamping tentu keterampilan teknis penulisan.

e. Kualitas Personal Media mempertimbangkan kualitas personal seseorang, termasuk diantaranya kompetensi mengupas sebuah isu. Kualitas ini juga berkaitan dengan urusan privat individu. Kompetensi tidak hanya berkaitan dengan latar belakang disiplin ilmu, melainkan juga latar belakang kiprah sosial, latar belakang referensi pengetahuan otodidak (membaca, menemukan sendiri) dan lainnya. Kualitas ini juga terkait dengan ketelatenan, kejelian dan ketelitian seseorang dalam menulis. Karya dengan salah eja yang banyak, lebih baik dibuang tanpa rasa sayang. Oleh karena itu, selalu baca ulang tulisan Anda. Tidak hanya untuk menguji salah ketik dan huruf, sekaligus juga mengecek alur berpikir sudah mengalir atau masih patah-patah dan berlubang data serta referensi disana-sini. Kualitas ini akan terlihat pada kedisplinan dan ketabahan untuk terus setia menulis, meski ditolak, tentu dengan standar kualitas yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Anda mungkin juga menyukai