Anda di halaman 1dari 45

BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Sistem Keuangan Negara Kajian Terhadap RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan Ambiguitas Pengaturan Badan Hukum Yayasan Maintaining Financial Stability: Indonesias Experience in Preventing and Handling Financial Crisis Resensi Buku: Bank Bersubsidi yang Membebani Cakrawala Hukum: Ratifikasi European Union (EU) Convention on Cybercrime (CoC) Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - April 2010

Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R. Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: buletinhukum_dhk@bi.go.id Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Dari Meja Redaksi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 2, Edisi Mei 2010 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian. Ann Seidman, Robert B Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan bahwa dalam proses pembangunan, undangundang merupakan alat utama Pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga negara. Hal tersebut memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku yang dituju atau yang diaturnya. Menyoroti peran tersebut, dalam edisi 2 kali berturut-turut Buletin akan menghadirkan beberapa artikel berkaitan dengan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai amanat Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia. Harus dikritisi secara mendalam apakah amanat demikian dapat membuat perubahan dalam hal ini pengawasan bank lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik dalam sistem ekonomi terutama dalam pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga jasa keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam edisi ini, Buletin akan menerbitkan artikel mengenai Kajian terhadap RUU Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH. Disamping itu, Buletin juga menurunkan 3 artikel lainnya yaitu masing-masing mengenai Sistem Keuangan Negara yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Ashhiddiqie, SH, LLM; Ambiguitas Pengaturan Badan Hukum Yayasan, oleh Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH serta artikel yang dibawakan oleh Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia dalam Konferensi Actuality in Legal Banking Activity yang diselenggarakan oleh Association of Legal Adviser in the Financial and Banking System, Piatra Neamt Romania, 1-5 Juni 2010 Maintaining Financial Stability : Indonesias Experience in Preventing and Handling Financial Crisis Semetara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan Ratifikasi EU Convention on Cyber. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan April 2009, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, Mei 2010

Redaksi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ Daftar Isi.......................................................................................................................................................... Sistem Keuangan Negara................................................................................................................................. Prof. Dr. Jimly Ashhiddiqie, SH, LLM Kajian Terhadap RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan....................................................................................... Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ambiguitas Pengaturan Badan Hukum Yayasan................................................................................................. Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH Maintaining Financial Stability: Indonesias Experience in Preventing and Handling Financial Crisis....................... Agus Santoso, SH, LLM Resensi Buku: Bank Bersubsidi yang Membebani..................................................................................................................... Krisantus Adityo Wibowo Cakrawala Hukum: Ratifikasi European Union (EU) Convention on Cybercrime (CoC)........................................................................ Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2010......................... Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - April 2010................................................................................... Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) 35 - 37 31 - 33 27 - 29 25 - 26 19 - 24 11 - 18 5 - 10 i iii 1-3

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

Sistem Keuangan Negara


Oleh: Prof. Dr. Jimly Ashhiddiqie, SH, LLM1

Masalah keuangan negara dalam konstitusi (UUD 1945) diatur dalam dua bab, yaitu Bab Keuangan: BAB VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan BAB VIII yang mengatur mengenai penetapan APBN dan apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden. BAB VIIIA mengenai kedudukan, keanggotaan, dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Di dalam BAB ini tidak ditemukan pengertian keuangan negara kecuali rumusan : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara (Pasal 23 ayat(1)). Rumusan ini terlampau singkat dan tidak memberikan gambaran jelas mengenai pengertian keuangan negara. Lebih dari itu, rumusan ini kurang mencerminkan paham kedaulatan rakyat oleh karena tidak memuat aspek filosofis dari adanya APBN yakni merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat, dimana rakyat yang berhak menentukan kemana uang rakyat akan dipergunakan negara. Apakah keuangan negara termasuk keuangan daerah dan keuangan BUMN dan BUMD. Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden/Pemerintah dan DPR telah menerbitkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai undang-undang organik untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan konstitusi mengenai keuangan negara. Dalam UU inilah baru dapat ditemukan pengertian Keuangan Negara, yaitu semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1). Dalam hal ini ruang lingkup Keuangan Negara juga dirinci dalam pasal 2 UU ini, yaitu :

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga c. penerimaan negara d. pengeluaran negara e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerinthaan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Hubungan antar lembaga negara dalam pengelolaan keuangan negara, UUD 1945 telah mengatur hubungan antarlembaga negara terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Di dalamnya terdapat beberapa hubungan yang bersifat pokok atau dasar, yang selanjutnya dirinci ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Hubungan-hubungan sebagaimana telah diatur dalam konstitusi tersebut dirancang sebagai bagian dari checks and balances antar cabang kekuasaan negara agar terwujud sistem saling mengontrol dan mengimbangi antarlembaga negara di Indonesia. Hubungan antarlembaga negara dalam pengelolaan keuangan negara dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Hubungan Antar Presiden dan DPR dan DPD UUD 1945 menentukan bahwa penetapan APBN setiap tahun dengan Undang-Undang (Pasal 23 ayat (1)).

Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Dengan demikian UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa penetapan APBN harus melalui pintu DPR, yakni dengan persetujuan DPR. Rancangan APBN yang diajukan oleh Presiden akan dibahas oleh DPR dengan melibatkan berbagai komisi dengan tugas spesifik untuk mendapat koreksi dan penyempurnaan serta sesuai dengan harapan DPR yang secara normatif merupakan lembaga yang mewakili aspirasi rakyat.

dan untuk bidang tertentu oleh DPD untuk melakukan pengawasan kepada Pemerintah. Sayangnya fungsi pengawasan lembaga perwakilan belum berjalan optimal jika melihat buruknya pengelolaan keuangan negara sebagaimana tercermin dalam hasil penelitian lembagalembaga internasional yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. 2. Hubungan Antara Presiden dengan BPK

Kedudukan DPR dalam penetapan APBN sangat kuat karena tanpa persetujuannya, maka RAPBN yang diajukan Presiden tidak dapat dijalankan. Jika hal ini terjadi, UUD 1945 telah mengaturnya dengan ketentuan Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu (Pasal 23 ayat (3)). Walaupun kedudukan konstitusionalnya sangat kuat, namun sejarah Orde Baru selama lebih dari 30 tahun dan selama era reformasi sampai saat ini, DPR belum pernah menolak RAPBN yang diajukan Pemerintah. Selama ini yang dilakukan DPR adalah melakukan revisi yang seringkali tidak substansial atau mendasar. Terkait dengan proses penetapan APBN di DPR, UUD 1945 pasca perubahan telah menetapkan bahwa DPR tidak bekerja sendiri. Ia didampingi oleh DPD, lembaga perwakilan baru yang mewakili kepentingan daerah. Hanya saja posisi DPD tidaklah sekuat DPR oleh karena UUD 1945 menentukan kewenangan lembaga ini adalah memberikan pertimbangan kepada DPR seputar RAPBN tersebut dan DPR bertugas untuk memperhatikan pertimbangan tersebut. Kata pertimbangan disisi DPD dan kata memperhatikan di pihak DPR menunjukkan kedudukan yang tidak sejajar antara kedua lembaga perwakilan ini dan tidak ada tanggung jawab konstitusional bagi DPR untuk mengakomodasi aspirasi DPD. Pengaturan yang demikian menyebabkan DPD tidak bisa langsung berhadapan dengan Presiden/Pemerintah sehingga tercipta pembicaraan segitiga antara presiden, DPR dan DPD dalam kedudukan yang sejajar, tetapi pelaksanaan tugas DPD harus selalu melalui pintu DPR dalam memberikan pertimbangan soal RAPBN. DPR kemudian membahasnya dan pada tahap selanjutnya DPR melakukan pembahasan dengan Presiden/Pemerintah. Selain itu, hubungan antara Presiden dengan DPR dan DPD terletak pada aspek pengawasan dimana hasil kerja BPK atas keuangan negara menjadi bahan bagi DPR UUD 1945 menentukan bahwa hasil pemeriksaan BPK diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD. Dari rumusan ini terlihat jelas bahwa obyek pemeriksaan BPK tidak hanya mencakup keuangan negara dalam konteks APBN tetapi juga mencakup keuangan daerah dalam konteks APBN tetapi juga mencakup keuangan daerah dalam konteks APBD. Untuk kepentingan itu, BPK memberi kewenangan mendirikan perwakilan di tiap-tiap provinsi. Selanjutnya hasil kerja BPK tersebut menjadi bahan bagi lembaga perwakilan tersebut untuk melaksanakan fungsi pengawasan atas jalannya pemerintahan serta bagi badan lain maksudnya penegak hukum seperti Kejaksanaan, Kepolisian, KPK untuk menindaklanjuti. 3. Hubungan Antara DPR, DPD, DPRD dengan BPL Agar pelaksanaan tugasnya berjalan lancar dan sesuai dengan harapan rakyat, UUD 1945 telah menetapkan status BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. Pengertian BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dikaitkan dengan fungsi external audit atas keuangan negara yang berbeda dengan BPKP yang menjalankan fungsi internal audit cabang kekuasaan pemerintah. Keberadaan BPK telah diperkuat oleh MPR melalui Perubahan Ketiga yang dihasilkan dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Semula hanya satu ayat, kini menjadi satu bab tersendiri dengan isi tiga pasal dan tujuh pasal ayat (Pasal 23E, 23F dan 23 G). UUD 1945 menentukan tugas BPK, yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam konteks ini posisi Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang berlaku dalam sistem pemerintahan presidensiil. Hubungan ini menunjukkan adanya checks dan balances antar cabang kekuasaan Negara.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Pengaturan demikian oleh konstitusi memberi dasar hukum sangat kuat kepada DPR. DPD dan DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dan KPK untuk menindaklanjuti hasil kerja BPK, terutama jika hasilnya menyatakan terdapat penyalahgunaan keuangan negara. Dalam konteks ini, penting semua kalangan untuk mencermati bagaimana sikap dan agenda kerja lembaga-lembaga perwakilan dan lembaga penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan BPK.

Halaman ini sengaja dikosongkan

Kajian Terhadap RUU Tentang Otoritas Jasa Keuangan


Oleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH1

Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan bahwa dalam proses pembangunan undangundang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undangundang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku yang dituju atau yang diaturnya2.

oleh lembaga jasa keuangan. Sebab amanat pasal 34 UU BI tersebut sejak awal penyusunannya telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan pasal Pasal 34 UU BI fungsi BI dalam mengawasi bank dialihkan kepada LPJK. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral di negara yang industri keuangannya didominasi oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi. Bank sentral yang diberikan tanggung jawab untuk

Berkaitan dengan Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai amanat pasal 34 Undang- undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan tas UndangUndang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), dimana ditentukan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan (LPJK) yang independen dan dibentuk dengan Undang-undang paling lambat 30 Desember 2010. Harus dikritisi secara mendalam apakah amanat demikian itu dapat membuat pengawasan bank lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik dalam sistem ekonomi terutama dalam pengaturan dan dan pengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan

menciptakan stabilitas nilai rupiah tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan mengawasi bank. Itu sebabnya UU BI meletakan tujuan BI dalam Pasal 7 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut Pasal 8 UU BI menetapkan tiga tugas Bank Indonesia yaitu: (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta; (3) mengatur dan mengawasi bank. Oleh karena itu pelaksanaan amanat Pasal 34 berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan yang diamanatkan oleh UU BI. Pasal 34 tersebut telah mengamputasi instrumen penting yang dimiliki BI dalam mencapai tujuannya. Dalam rangka kajian terhadap rancangan Undang Undang

Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU, Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987 - sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999 - sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001 - sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001 - sekarang, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, tahun 1997 - 2000). Penguji Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002 - sekarang. Dosen pada Program Pascasarjana IAIN Medan, 2007. Dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Militer, 2005sekarang, Ketua Program Studi Magister Ilmu HUkum Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2001 - 2006, Ketua Program Studi Pascasarjana Hukum (S2&S3), tahun 2006 - sekarang. Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeyesekere, Legislative Drafting for Democratic Social Change A Manual for Drafters, (London: Kluwer Law Interenational, 2001), hal. xxi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perlu memperhatikan sebagaimana diamati hasil studi yang dilakukan Burgs mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (preditability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer)3.

Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980) : 232.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Selanjutnya Burgs mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara4. Hal ini sejalan dengan pendapat J.D. Ny Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural capabilyty, codification of goals, education, balance, defenition and clarity of status serta accomodation5. Dengan mengacu prinsip-prinsip dan unsur unsur dimuka dapat dilihat bahwa RUU Tentang Otoritas Jasa Keuangan harus mempunyai unsur unsur sebagai berikut6:

Karena pasal 30 tersebut menetapkan dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan. Sebab pemungutan fee dari industri akan menimbulkan benturan kepentingan antara OJK dan Industri jasa keuangan dan dampak yang tidak baik terhadap industry itu sendiri maupun terhadap masyarakat. Disamping itu pembiayaan OJK yang berasal dari industri keuangan akan dapat menambah biaya yang harus ditanggung industri keuangan atau bank, disamping fee penjaminan dana nasabah. Biaya tersebut pada akhirnya akan menjadi beban nasabah dan berpotensi untuk mendorong peningkatan suku bunga. Hal ini tentunya tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi mengingat saat ini tingkat suku bunga terutama perbankan sudah sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga di negaranegara lain. Ketiga, pembuatan RUU OJK mempunyai tujuan untuk

Pertama, RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah nantinya dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi industri jasa keuangan terutama dampak dari struktur pengawasan pada aspek kesehatan sistem perbankan yang meliputi keselamatan dan kesehatan bank, stabilitas sistemik dan pengembangan sistem perbankan dan keuangan. Hal ini penting bahwa penentuan oleh UU terhadap OJK akan dapat menggangu pelaksaaan tugas BI dan pencapaian tujuan BI. Hal ini mengingat pengaturan dan pengawasan bank merupakan satu kesatuan dari sistem bank sentral, selain kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Oleh karena itu pengalihan tugas pengaturan dan pengawasan bank dari Bank Indonesia dipastikan akan mengganggu pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4, Pasal 7, dan Pasal 8 UU BI. Kedua, RUU itu harus mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam struktur pengawasan. Apabila diamati ketentuan pasal 30 RUU OJK, terlihat bahwa OJK tersebut tidak mempunyai kemampuan prosedural.

dapat secara maksimal menciptakan efisiensi disektor perbankan dan jasa keuangan. Hal ini perlu kajian yang mendalam karena RUU OJK tersebut tidak mengatur secara baik tujuan pembuatanya, sebagaimana harusnya cara pembuatan suatu Undang-undang. Padahal tujuan pengawasan bank misalnya merupakan salah satu pilar utama dalam pencapaian tujuan Bank Indonesia yang harus terintegrasi dengan tugas BI menjaga kelancaran sistem pembayaran dan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Secara empiris, survey yang dilakukan Central Banking Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal ini lebih menonjol dinegara negara sedang berkembang. Khusus untuk negara yang sedang berkembang alasannya adalah masalah sumber daya (sumber daya manusia dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecendrungan pemberian independensi kepada Bank Sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan independennya Bank Sentral, apabila bank sentral juga berwenang mengawasi bank, bank sentral akan memiliki kewenangan yang

4 5

Ibid. J.D. Ny. Hart, The Role of Law in Economic Development, dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367. Bandingkan, Burgs dalam Leonard J. Therberge, op.cit. dan J.D. N. Hart, log.cit

sedemikian besar. Bank Of England misalnya pada tahun 1997 mendapatkan keindependennya, namun dua minggu kemudian kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank sentral tersebut.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Keempat, RUU itu nantinya dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance) karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Disini perlu pendalaman pemikiran kedepan bagaimana keseimbangan kewenangan antara Bank Indonesia dan OJK. Dalam pasal 21 RUU OJK memberikan kewenangan kepada OJK, salah satu misalnya pemberian ijin dan pencabutan usaha, sementara kewenangan demikian diatur juga dalam kewenangan BI melalui pasal 26 UU BI mengenai kewenangan dibidang perijinan. Apabila nantinya RUU tersebut menjadi UU, maka akan menimbulkan masalah besar dalam konteks pengawasan bank di Indonesia. Kelima, UU itu nantinya dapat berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan perbankan dan jasa keuangan. Sejalan dengan unsur kelima ini terlihat tidak jelas status dari OJK sebagaimana ketentuan pasal 4 dan ketentuan ketentuan yang terdapat dalam pasal pasal RUU OJK mengenai pembuatan peraturan. Sebab ketentuan ketentuan dalam RUU OJK tersebut beberapa hal tidak sesuai dengan amanat pasal 34 UU BI. Karena seharusnya lembaga yang dibentuk hanya melakukan tugas pengawasan. Dalam hal tertentu dapat mengeluarkan ketentuan namun hanya berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan dan berkoordinasi dengan BI.

dewan komisioner. Sebab ditentukan bahwa salah satu anggota dewa komisioner berasal dari kementerian keuangan. Hal ini tidak sesuai dengan amanat pasal 34 UU BI yang menghendaki lembaga yang dibentuk bersifat independen dalam menjalakan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah. Disini perlu diingat bahwa lembaga yang independen tidak dapat dilihat sebagai bagian cabang kekuasaan eksekutif, namun terpisah untuk menjalankan kebijakannya yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur tangan eksekutif. Filosofi independensi berkenaan dengan pembatasan kekuasaan eksekutif, agar organ negara yang sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif dapat menjamin bahwa fungsinya tidak disalahgunakan oleh eksekutif. Keenam, UU itu nantinya harus dapat mengakomodasi (accomodation) berbagai kepentingan yang saling bersaing. Bila diamati RUU OJK belum mengakomodasi pengaturan bentuk bentuk pengawasan bank, padahal ketentuan pengawasan demikian harus diatur secara detail. Pengawasan bank pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro-economic supervision), dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision). Sasaran yang ingin dicapai oleh macro economics supervision

Ketidakjelasan status dari RUU OJK itu dapat pula dilihat dari ketentuan pasal 36 ayat 3 dan ayat 4 RUU OJK tentang pelaporan yang tidak sesuai dengan penjelasan pasal 34 ayat 1 UU BI. Sebab dalam pasal 36 ayat 3 RUU OJK ditentukan bahwa Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan ayat 4 menentukan Laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan juga kepada Presiden. Padahal perintah dari penjelasan pasal 34 ayat 1 UU BI menentukan bahwa lembaga OJK tersebut hanya menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengaturan Status yang tidak jelas terlihat lagi dalam ketentuan pasal 5 ayat (5) mengenai ketentuan mengenai

adalah bagaimana mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat ikut berperan dalam berbagai program pencapaian sasaran ekonomi makro, baik yang terkait dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter maupun upaya pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan seperangkat kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi bank guna melaksanakan pencapaian sasaran ekonomi makro dimaksud. Dalam kaitan dengan pengawasannya, walaupun dalam beberapa hal pelaksanaan program tersebut tidak terlalu menguntungkan bank, dan bahkan kadangkala merupakan suatu beban, kepada bank biasanya ditetapkan suatu reward atau penalty, yaitu bagi bank yang dapat

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

memenuhi pelaksanaan program tersebut atau yang tidak dapat memenuhinya. Tujuan dari prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Ini berarti bahwa setiap bank dari sejak awal harus dijauhkan dari segala kemungkinan risiko yang akan timbul. Dengan demikian, bank perlu dipagari dengan berbagai peraturan yang membatasi atau sekurang-kurangnya mengingatkan mengenai perlunya penanganan risiko secara seksama, dan bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang mengandung risiko tinggi. Teori pengawasan bank mengajarkan bahwa sistem pengawasan bank yang ideal dari sudut kepentingan semata mata untuk mewujudkan dan menjaga sistim perbankan yang sehat, akan tercapai apabila otoritas pengawas bank dapat dengan mudah melakukan pengawasannya secara efektif serta semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Hal ini dimungkinkan apabila bank yang diawasi jumlahnya sedikit atau diupayakan menjadi sangat minimal, dan semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis diatur melalui seperangkat aturan yang ketat dan pembatasan ruang gerak usaha bank melalui berbagai aturan yang bersifat larangan. Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah RUU itu nantinya harus telah terjamin mengandung unsur stabilitas (stability) sebagaimana diuraikan di muka. Unsur stabilitas disini adalah harus dapat memotong birokrasi yang berkepanjangan. Menjadi pertanyaan apakah setelah lahirnya OJK berdasarkan RUU tersebut yang telah disahkan menjadi UU memberikan jaminan bahwa pengawasan bank lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Rencana pengalihan tugas pengawasan bank didasarkan atas pandangan bahwa antara tujuan menjaga stabilitas nilai rupiah dengan tugas pengawasan bank dapat menimbulkan benturan kepentingan. Oleh karena itu tugas pengawasan bank harus dipisahkan dari bank sentral. Tidak terdapat kesamaan pandangan dari para ahli tentang pendapat ini. Praktik di berbagai negara juga memperlihatkan

beragamnya pendekatan pengaturan termasuk model yang menyatukan fungsi pengawasan bank dengan kebijakan moneter. Pendapat yang mengkhawatirkan adanya benturan kepentingan apabila tugas pengawasan bank dilakukan oleh bank sentral memunculkan pertanyaan mendasar apakah untuk menjalankan tugas menjaga kestabilan nilai rupiah BI memerlukan fungsi dan kewenangan lain. Dalam kaitan ini Alan Greenspan menyatakan a single regulator with a narrow view of safety and soundness and with no responsibility for the macroeconomic implications of its decisions would inevitably have a long-term bias against risk-taking and innovation. Pernyataan Alan Greenspan ini dipertegas oleh Ben S Bernanke, Chairman of the Board of Governors of the US Federal Reserve System dengan mengatakan bahwa I am not aware of any evidence that monetary-policy decisions have been distorted because of the Feds supervisory role.7 Satu hal yang harus dipertimbangkan dalam setiap perubahan yang akan dilakukan adalah tidak terdapat suatu model yang berlaku universal. Suatu model mungkin dapat berjalan baik di suatu negara tetapi pasti tidak disemua negara. sebelum melakukan perubahan beberapa pertimbangan perlu diperhatikan. Pertama, harus dipertimbangan untung rugi secara cermat sebelum melakukan perubahan termasuk risiko yang terkandung dalam proses perubahan. Kedua, tersedia sejumlah struktur atau model yang dapat dipilih yaitu: traditional sectoral model, functional model, integrated structure model dan institutional model. Antara satu model dengan model lainnya tidak ada yang lebih baik. Ketiga, terdapat hubungan penting diantara struktur pengaturan, struktur keuangan dan struktur financial intermediaries. Dari ketiga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilihan model yang akan diterapkan harus sejalan dengan struktur keuangan, risiko dan fungsi yang terdapat dalam sistem keuangan dan dilakukan dengan mempertimbangkan sejarah, budaya dan sistem hukum yang berlaku. Proses perubahan dari satu model ke model lain mengandung risiko yang harus dipertimbangkan secara seksama untuk mencegah semakin buruknya stituasi yang melatarbelakangi alasan dilakukannya perubahan.

Ben S Bernanke, Central Banking and Bank Supervision in the United States, remark by the Chairman of the Board of Governors of the US Federal Reserve System at the Allied Social Science Association Annual Meeting, Chicago, 5 January 2007.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

PENUTUP Pengamatan berbagai unsur-unsur yang dikedepankan di muka, dikaitkan dengan substansi RUU OJK belum cukup untuk nanti operasional di lapangan dalam pengawasan jasa keuangan atau bank. Dengan ini dapat dipertimbangkan sebagai jalan keluar untuk diterapkan sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa membuat lembaga otonom di Bank Indonesia yang terpisah dengan tugas Bank Indonesia untuk melakukan tugas pengawasan jasa keuangan atau bank. Pertimbangan pertimbangan itu lebih bermakna lagi mengingat bahwa kewenangan dalam mengawasi bank bermanfaat besar bagi BI dalam menjalankan tanggung jawabnya menciptakan nilai rupiah yang stabil. Informasi, keahlian dan kewenangan yang dimiliki BI sebagai pengawas bank meningkatkan kemampuan BI dalam upaya mencegah terjadinya krisis keuangan. Pengalaman The Federal Reserve membuktikan dalam hal terjadi krisis keuangan the Fed dapat lebih cepat, lebih efektif dan lebih mendasar dalam mengambil kebijakan mengatasi krisis tersebut karena memiliki informasi lebih lengkap sebagai hasil kewenangan the Fed mengawasi bank.8 Dengan terbentuknya lembaga otonom yang mengawasi jasa keuangan dan bank tersebut dapat diharapkan tujuan pengawasan bank misalnya dapat meningkatkan keyakinan masyarakat, bahwa bank dari segi financial tergolong sehat, bahwa bank dikelola secara baik dan profesional, dan bahwa di dalam bank tidak terkandung ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Singkatnya, tujuan pengawasan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik dan perbankan yang berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Ben S Bernanke, Central Banking and Bank Supervision in the United States, remark by the Chairman of the Board of Governors of the US Federal Reserve System at the Allied Social Science Association Annual Meeting, Chicago, 5 January 2007.

Daftar Pustaka

Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeyesekere, Legislative Drafting for Democratic Social Change A Manual for Drafters, London: Kluwer Law Interenational, 2001 Ben S Bernanke, Central Banking and Bank Supervision in the United States, remark by the Chairman of the Board of Governors of the US Federal Reserve System at the Allied Social Science Association Annual Meeting, Chicago, 5 January 2007. J.D. Ny. Hart, The Role of Law in Economic Development, dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia, 1995 Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, 1980 Shelagh Heffernan, Modern Banking, West Sussex: John Wiley&Sons, 2005

10

Ambiguitas Badan Hukum Yayasan dalam Perspektif Hukum Indonesia


Oleh: Dyah Hapsari Prananingrum SH, MH1

Pendahuluan Pertumbuhan yayasan di Indonesia sedemikian pesat, sejak tahun 1970 yang hanya sedikit lembaga dan lebih banyak berlokasi di Jakarta, ditahun 1980-an menjadi 3000 lembaga, ditahun 1990-an tumbuh menjadi 10.000 lembaga dan kurang lebih 70.000 ditahun 2000 dan tersebar di seluruh Indonesia. Berkembang pesatnya yayasan tidak lepas dari gerakan civil society yang menguat selepas berakhirnya pemerintahan Suharto. Fenomena gerakan civil society yang berkembang dewasa ini, dari beberapa pendapat selalu dikemukakan berbanding terbalik dengan kekuasaan negara. Bila negara sedemikian kuat pastilah penetrasi dilakukan sehingga civil society akan menjadi melemah. Berkebalikan dengan kondisi tersebut, civil society akan tumbuh subur manakala penetrasi negara melemah. Pada saat peranan negara melemah inilah maka peranan lebih besar diberikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Yayasan memiliki peran yang sangat besar dalam mewakili dan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi negara. Pesatnya perkembangan yayasan di Indonesia, membutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan harmonis yang menjadi acuan pelaksanaan aktivitas yayasan. Dengan demikian yayasan dalam menjalankan peranannya dapat optimal sesuai dengan tujuan yayasan yang secara filosofis adalah sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Beberapa Yayasan yang Menjadi Sorotan Publik Beberapa yayasan telah menjadi sorotan publik terkait dengan aktivitas yayasan yang dianggap menyimpang dari tujuan yayasan bahkan terindikasi melanggar pengaturan anti korupsi. Penelitian tiga tahun terakhir telah menunjukkan adanya indikasi penyimpangan yayasan yang didirikan

oleh militer, yayasan di bawah departemen, yayasan yang terafiliasi dengan kekuasaan dan yayasan-yayasan lainnya. Yayasan yang didirikan militer pada masa Orde Baru dalam pelaksanaannya menyimpang dari tujuan yayasan karena berfungsi sebagai perusahaan induk dari berbagai aktivitas bisnis militer dan bukan untuk mensejahterakan masyarakat2. Kondisi ini dikuatkan dengan hasil laporan Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, bahwa terdapat 23 (dua puluh tiga) yayasan dan 53 Perseroan Terbatas didalamnya dengan aset kotor yayasan sebesar Rp.1.872,92 milyar yang terkait dengan bisnis TNI. Penyimpangan yayasan juga ditemukan berdasarkan penelitian tentang Tata Kelola Yayasan-Pemerintah; Ujian bagi Reformasi Birokrasi3, penelitian terhadap 36 yayasan di bawah kementrian dan lembaga negara menunjukkan adanya konflik kepentingan dan perilaku koruptif dari pejabat Negara. Akibat dari penyimpangan yayasan-yayasan di atas, maka perlu dilakukan likuidasi terhadap yayasan yang terkait dengan militer maupun pemerintahan serta menghapuskan ketergantungan pada pembiayaan nonbujeter dengan memasukkan hal itu sepenuhnya kepada mekanisme anggaran agar penyalahgunaan keuangan negara dengan tujuan korupsi dapat dihindari. Demikian halnya dengan kasus pengalihan dana yang menyimpang di Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (lebih lanjut disingkat dengan YPPI) pada tahun 2008. Pengalihan dana ini memunculkan isu hukum antikorupsi, karena pengalihan dana yayasan dianggap merugikan keuangan negara. Pada kasus YPPI ini telah masuk dalam ranah penyelesaian secara hukum dan putusan bersalah telah dijatuhkan kepada mantan Gubernur BI Burhanuddin

Rieffel, Lex dan Jaleswari Pramodhawardani, 2007, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TBI Melalui APBN, USINDO dan Mizan, Jakarta. Rieffel dan Karaniya, 2008, Tata Kelola Yayasan-Pemerintah: Ujian bagi Reformasi Birokrasi, Freedom Institute, Jakarta, hlm. 86.

3 1 Dosen FH Universitas Satyawacana, Kandidat Doktor FH UGM

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simajuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandhu. Pada permasalahan yayasan Cikeas, yaitu yayasan-yayasan yang didirikan dalam keterkaitan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Aditjondro dalam bukunya Membongkar Gurita Cikeas4 mengemukakan bahwa yayasan-yayasan tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menggalang dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dari kalangan pengusaha, tokoh politik dan pejabat pemerintah. Yayasanyayasan Cikeas terdiri atas yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK). Yayasan yayasan tersebut masih ditambah lagi dengan yayasan lain yang terkait dengan Ani Yudhoyo yaitu Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia dan Yayasan Sulam Indonesia. Dalam bukunya, Aditjondro mempermasalahkan keterlibatan pejabat pemerintahan, pejabat BUMN dan pengusaha dalam kepengurusan yayasan tersebut, serta pembiayaan kegiatan yayasan yang sangat dimungkinkan berasal dari anggaran Negara. Keterlibatan pejabat negara dan pengusaha dalam pendirian dan aktivitas yayasan ini merupakan salah satu faktor bentuk jejaring korupsi. Dengan demikian Aditjondro5 mensyaratkan perlu dihentikannya penggunaan figur-figur pemerintah dalam struktur organisasi yayasan serta adanya audit terhadap keuangan yayasan oleh auditor publik yang independen dan hasilnya dilaporkan ke parlemen serta terbuka bagi media. Isu Hukum yang Mengemuka Paparan di atas mencoba mengetengahkan betapa dalam prakteknya, yayasan yang nota bene telah tumbuh dan berkembang di Indonesia berpuluh-puluh tahun yang lalu sampai dengan saat ini dan akan terus berkembang dimasa yang akan datang, memendam permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan. Keberadaan Yayasan digugat berkenaan dengan perilaku beberapa yayasan besar (termasuk

di dalamnya perilaku organ di dalam yayasan) yang dianggap menyimpang dari filosofi dan kaidah yayasan. Implikasi dari penyimpangan perilaku oleh beberapa yayasan tersebut memunculkan isu hukum berkait dengan kemandirian badan hukum yayasan dari intervensi pihak luar maupun organ yayasan. Dari aspek pengaturan, yayasan yang dimasa lalu dikenal sebagai stichting, konkordansi dari Belanda, yang pada masa lalu mengacu pada hukum kebiasaan yang lahir di masyarakat seturut dengan kebutuhannya, dan yurisprudensi, seperti halnya yurisprudensi Hooggerechthof tahun 1884 dan Putusan Mahkamah Agung No.:124 K/Sip/1973. Dengan lahirnya UU Yayasan semakin memberikan pengaturan bagi yayasan dalam menjalankan kegiatannya yang mencakup bidang keagamaan, kesehatan dan sosial. Permasalahan yang muncul dari sisi pengaturan ini adalah adanya konflik antara peraturan satu dengan yang lain yang pada akhirnya menimbulkan suatu isu hukum terkait dengan ambiguitas badan hukum yayasan. Konflik pengaturan tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dari problema dasar sistem hukum Indonesia yaitu adanya lebih dari satu sistem hukum yang berlaku menunjukkan adanya kemajemukan hukum atau legal prulalism, serta munculnya banyak peraturan perundangan yang seharusnya tidak dipertentangkan satu dengan yang lain. Setiap pembentukan suatu produk peraturan perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh politik hukum yang ada. Politik hukum menurut Mahfud M.D6 adalah bagaimana hukum akan dan seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya di dalam politik nasional serta bagaimana hukum tersebut difungsikan. Produk hukum yang mengatur tentang dengan yayasan dan saat ini masih berlaku seringkali merupakan peraturan perundangan yang lahir dari rezim yang berbeda. Kaidah-kaidah Yayasan Yayasan sebelum munculnya UU Yayasan diatur dalam KUH Perdata Pasal 285, yang menyatakan dalam ayat (1) bahwa yayasan adalah hasil perbuatan hukum yang berbentuk badan hukum, tanpa anggota dengan maksud untuk melaksanakan tujuannya yang tertera dalam statuta dengan

Aditjondro, 2010, Membongkar Gurita Cikeas, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 35. 6 Ibid, hlm. 79. Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, halaman 30.

12

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

menyisihkan harta kekayaan untuk mencapai tujuan tersebut; ayat (3) Pasal 285 menyatakan bahwa tujuan dari pendiri atau yang mendapat wasiat haruslah idiil dan sosial kemanusiaan. Dan bila syarat mutlak di atas tidak dipenuhi akan membuat yayasan hanya sebagai perkumpulan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata. Diberlakukannya Undang-undang Yayasan telah memberikan titik terang bagi kedudukan hukum serta memberikan batasan-batasan dalam pengelolaan yayasan secara transparan dan akuntabel. Undang-undang ini memberikan definisikan yayasan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Pengaturan tentang yayasan tersebut pada dasarnya telah memberikan suatu kepastian bahwa yayasan adalah badan hukum, terdapat kekayaan yang dipisahkan, atas kekayaan tersebut dibebankan suatu tujuan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dan yayasan tidak memiliki anggota. Unsurunsur yayasan tersebut sesuai dengan unsur-unsur yayasan yang telah dikemukakan oleh Ernet Utrecht, yaitu:7 1. Adanya suatu harta kekayaan (vermogen); 2. Harta kekayaan tersendiri, tidak ada yang memiliki; 3. Harta kekayaan tersebut dibebani tujuan tertentu; 4. Dalam melaksanakan tujuan dari harta kekayaan tersebut diadakan suatu pengurusan. Status badan hukum yayasan tersebut diperoleh setelah akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UU Yayasan sebagai berikut; 1. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri; 2. Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akata pendirian yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. 3. Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan instansi terkait.

Badan hukum merupakan terjemahan dari rechtspersoon, namun demikian di kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum (Oentari Sadino), awak hukum (St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto, Purnadi Purbacaraka) dan sebagainya8. Badan hukum atau legal person dalam Blacks Law Dictionary9 didefinisan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Namun asumsi hukum yang esensial dari badan hukum tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Hamilton10...a corporation is to consider it an artificial person or artificial entity independent of the owners or investors. The artificial person may conduct a business or business in its own name much in the same way that real person could. This artificial person has most of legal rights of a real person. Adapun berdasarkan Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) badan hukum didefinisikan sebagai semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu. Sebelumnya dalam KUH Perdata Pasal 1653 diatur berkaitan dengan perkumpulan adalah selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulanperkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum telah mengenal adanya teori Kekayaan Bertujuan yang dikemukakan oleh A. Blinz dan diikuti oleh Van der Heijden yang bertitik tolak dari pemikiran bahwa manusia sajalah yang dapat menjadi subyek hukum, maka badan hukum bukanlah subyek

8 9

Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, halaman 14. Garner, Bryan A, 2000, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul Minn, halaman 726.

Ernet Utrecht, 1961, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta, hlm.278.

10 Hamilton, 1996, The Law of Corporations, Fourth Edition, West Publising Co, ST.Paul Minn, halaman 1.

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

hukum. Adapun hak-hak yang diberikan kepada subyek hukum pada hakikatnya adalah hak-hak dengan tiada subyek hukum namun merupakan kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yan dimiliki oleh tujuan itu.11 Teori hukum inilah yang mendasari keberadaan yayasan sebagai subyek hukum. Sebagai badan hukum, yayasan memiliki kewenangan untuk memiliki kekayaan atas namanya sendiri. Hak atas tanah dapat dimiliki oleh yayasan dengan bertumpu pada pengaturan Pasal 30, 36,42 dan 45 UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa yang berhak mempunyai hak-hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa atas Tanah) selain warga negara Indonesia, adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Disamping hak-hak atas tanah tersebut, yayasan dapat memiliki pula benda-benda lain baik yang bergerak maupun tidak bergerak kecuali peraturan perundang-uandangan secara tegas melarangnya.Hak atau benda yang dimiliki yayasan adalah kepunyaan yayasan itu sendiri, bukan milik pendiri ataupun organ yayasan. Yayasan yang didirikan oleh departemen, militer, kepolisian ataupun pihak lain dari manapun sumber dana yang dimasukkan untuk mendirikan yayasan, maka kekayaan tersebut sudah menjadi milik yayasan sebagai badan hukum. Konsekuensi lain, sebagai badan hukum maka yayasan memiliki tanggung jawab hukum sebagaimana subyek hukum yang lain, mandiri terlepas dari organ yayasan yaitu pembina, pengurus dan pengawas. Dalam pelaksanaan tanggung jawab hukum tersebut diwakili oleh pengurus yang berbuat untuk badan tersebut, yayasan tidak diperkenankan melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan yayasan serta anggaran dasar yayasan karena yayasan dalam melakukan aktivitasnya tunduk pada doktrin Ultra Vires. Tindakan Ultra Vires tersebut dapat dibedakan menjadi12: 1. Pelanggaran terhadap Anggaran Dasar yayasan; 2. Perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau ketertiban umum dan kesusilaan; 3. Penyalahgunaan kekuasaan oleh pengurus.

Disharmoni Hukum Ambiguitas badan hukum yayasan terjadi karena adanya disharmoni hukum dalam tataran pengaturan maupun praktek hukum yang dapat disebabkan oleh:13 1. Perbedaan antara berbagai peraturan perundangan. 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksana. 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. 4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung. 5. Kebijakan-kebijakan instansi Pemerintah pusat yang saling bertentangan. 6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu. 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Namun demikian selain faktor penyebab disharmoni seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ditambahkan 2 (dua) faktor yang lain sebagai berikut. 1. Politik hukum yang berbeda dalam pembentukan peraturan perundang-undangan satu dengan peraturan perundangan yang lain. 2. Adanya perbedaan pengaturan dengan putusan hakim sehingga terjadi perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan pelaksanaannya. Khusus disharmoni pengaturan hukum yayasan, tidak dapat dipisahkan dari problema dasar sistem hukum Indonesia yaitu adanya lebih dari satu sistem hukum yang berlaku menunjukkan adanya kemajemukan hukum atau legal prulalism, serta munculnya banyak peraturan perundangan yang seharusnya tidak dipertentangkan satu dengan yang lain. Potensi terjadinya disharmoni hukum yang mengatur yayasan, dapat dicerminkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut.

11 Chatamarrasdjid, 2002, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 12 Suharto, 2009, Membedah konflik Yayasan, Cakrawala Media, Yogyakarta, halaman 135. 13 L.M.Gandhi, 1995, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif,Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995, halaman 12.

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

1. Jumlah peraturan perundang-undangan yang banyak, berlaku dan terkait dengan pengaturan yayasan. 2. Perbedaan politik hukum yang mendasari masing-masing peraturan hukum yang berlaku dan terkait dengan pengaturan yayasan. 3. Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang yayasan. 4. Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders yayasan. 5. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundangan yang mengatur dan berkaitan dengan yayasan, yaitu berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan. Disharmoni hukum yang terjadi pada pengaturan yang terkait dengan yayasan di atas, dapat dikritisi dengan mencermati pengaturan yayasan dengan peraturan lain yang terkait dengan yayasan. Terciptanya satu kesatuan konsep hukum dari badan hukum yayasan akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya pendidikan, pelayanan sosial dan keagamaan bagi dan oleh masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang bersedia menjalankan kegiatan sosial,

pendidikan dan keagamaan dengan adanya kepastian hukum, terwujudnya kemanfaatan dan keadilan hukum. Dengan demikian dapat diharapkan penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan yang dapat merata bagi seluruh rakyat Indonesia, serta penyelenggaraan keagamaan yang berkeadilan. Peraturan yang Saling Bersaing Disharmoni pengaturan tersebut di atas, menjadi salah satu faktor utama yang memunculkan permasalahan berkaitan dengan ambiguitas badan hukum yayasan. Banyaknya pengaturan yang terkait dengan pengaturan yayasan, berimplikasi pada munculnya pengaturan yang saling bersaing antara satu pengaturan dengan pengaturan yang lain. Dari berbagai kasus yang muncul dan telah dipaparkan di atas, ambiguitas badan hukum yayasan berintikan pada masalah dari mana kekayaan yayasan berasal, kepemilikan atas kekayaan yayasan tersebut, yang berdampak pada kemandirian yayasan. Khusus untuk yayasan yang didirikan oleh departemen, militer dan kepolisian, maka pengaturan yang saling bersaing dapat digambarkan sebagai berikut.

Kekayaan Yayasan

Kekayaan Negara

UU No. 17 Tahun 2003

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.

Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999

Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan yang langsung dalam penguasaan pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan hukum.

UU Yayasan

Pasal 1 butir 1, bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak memiliki anggota. Pasal 9 ayat (1) awal pendirian yayasan, pendiri memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan.

15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Definisi keuangan negara yang demikian luas berakibat hukum pada tipisnya sekat antara keuangan publik dan privat. Ada empat pendekatan yang dipakai UU No. 17 tahun 2003 dalam melihat apakah sesuatu masuk dalam keuangan negara atau tidak yaitu obyek, subyek, proses dan tujuan.

tahun 2001 menyebutkan, bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan yang langsung dalam penguasaan pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan hukum. Di samping itu, termasuk keuangan negara adalah hak dan kewajiban yang timbul karena:

Tabel I. Pendekatan Pengertian Keuangan Negara Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003

Pendekatan Obyek

Pengertian Keuangan Negara Meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Meliputi seluruh obyek tersebut yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai Pemerintah Pusat, Pemda, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek tersebut mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek tersebut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Subyek

Proses

Tujuan

Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggeser pemahaman yuridis bahwa keuangan negara tidak lebih dari anggaran negara, sekedar apa yang disebut dalam APBN. Ruang lingkup keuangan negara dalam undang-undang ini mengalami perluasan rumusan yang meliputi sisi obyek, subyek, proses dan tujuan, seperti yang telah diuraikan dalam tabel di atas. Adapun UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, menggunakan rumusan keuangan negara yang sama dengan rumusan yang terdapat dalam UU Nomor 17 tahun 2003. Prinsip perluasan ruang lingkup keuangan negara yang diacu dalam dua peraturan perundangan tersebut, bahwa keuangan negara tidak sekedar uang, anggaran (APBN) dan yang berada dalam penguasaan langsung pemerintah, tapi suatu hak yang bisa dinilai dengan uang. Lebih lanjut penjelasan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20

a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian Negara. Pengertian keuangan negara di atas berbenturan dengan pengaturan dalam UU Yayasan khususnya Pasal 1 butir 1, bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak memiliki anggota. Lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (1) UU yayasan menyatakan bahwa pada awal pendirian yayasan, pendiri memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

sebagai kekayaan awal yayasan. Pendiri yayasan diwajibkan untuk memisahkan harta kekayaannya dan selanjutnya diserahkan kepada yayasan. Dengan demikian, hukum telah mengatur secara jelas adanya pemisahan harta kekayaan yayasan dengan pendiri guna pencapaian tujuan yayasan. Pasal; 9 sebagai kekayaan awal yayasan, maka pendiri yayasan diwajibkan memisahkan harta kekayaannya dan kemudian diserahkan kepada yayasan. Adapun Pasal 26 mengatur bahwa kekayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang dan barang. Kekayaan ini dapat diperoleh dari sumbangan atau bantuan lain yang tidak mengikat, wakaf, hibah wasiat dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Berakaitan dengan harta kekayaan yayasan, diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksananya yaitu PP No. 63 tahun 2008 khususnya Pasal 6, sebagai berikut. (1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Guna memberikan kepastian hukum terhadap harta kekayaan tersebut di atas, peraturan pelaksana dari UU Yayasan tersebut dalam Pasal 7 mengatur bahwa pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan . Badan Hukum Yayasan Sebagai Satu Keniscayaan Hukum Yayasan dan hukum yang lain merupakan satu subsistem dari sistem hukum yang ada di Indonesia. Sistem hukum merupakan entitas yang satu bagian saling kait mengkait dengan bagian lainnya, tiap kesatuan tidak dikehendaki konflik atau kontradiksi, bila terjadi konflik, diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. Sistem

hukum nasional Indonesia merupakan hasil proses harmonisasi antara sejumlah unsur dan faktor yang diolah berdasarkan dan memegang teguh paradigma asas-asas, norma dan metode yang pasti, sebagaimana disepakati sebelumnya. Karena fungsi dari sistem hukum adalah menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan dalam masyarakat atau restitutio in integrum14. Keselarasan keterhubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain agar dapat memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi adresat dari peraturan tersebut. Guna memecahan konflik pengaturan di atas dibutuhkan juga penguasaan cara berpikir hukum (legal reasoning) serta penemuan hukum. Penguasaan cara berpikir hukum seringkali diungkapkan dengan adagium, lex plus laudatur quando ratione probatur (the law is the more praised, when it is approved by reason); lex non cogit ad impossibilia (the law does not compel the impossible).15 Adapun yang dimaksud dengan penemuan hukum atau reicthvinding adalah suatu proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu yang digunakan untuk melakukan harmonisasi hukum16. Dalam penemuan hukum terdapat asas-asas hukum yang dapat digunakan dalam melakukan harmonisasi hukum. Asas-asas hukum seperti lex specialis derogat legi generali digunakan kalau terjadi konflik antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku, lex superior derogat legi inferiori serta asas-asas hukum yang lain. Menilik esensi pendirian yayasan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu yaitu tujuan idiil yang meliputi kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan maka kekayaan yayasan yang dipisahkan dari kekayaan pemiliknya, melekat pada pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Hal ini sesuai dengan teori hukum yang mendasari terbentuknya badan hukum yayasan, seperti yang telah dipaparkan di atas,

14 Sudikno, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, halaman 24. 15 Shidarta, 2005, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, USAID, Jakarta, halaman 74. 16 Sudikno, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, halaman 37.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

dimana ada harta kekayaan atau vermogen yang terpisah dari pendirinya dan kekayaan tersebut diberikan tujuan. Kekayaan yang diperoleh yayasan baik saat pendirian yayasan maupun ketika yayasan telah didirikan, tidak dapat dinikmati oleh pendiri maupun organ yayasan. Bila asas pemisahan harta kekayaan yayasan tersebut tidak dilakukan maka esensi dari pendirian yayasan dengan segala filosofi yang terdapat didalamnya sukar untuk dicapai. Karena yayasan pada dasarnya adalah lembaga yang nirlaba yang dalam menjalankan aktivitas pencapaian maksud dan tujuan yayasan mengandalkan pada harta kekayaan tersebut. Adanya pemisahan harta tersebut dikuatkan dengan kaidah yang mensyaratkan harta kekayaan yayasan sebagai sisa hasil pembubaran yayasan harus diserahkan kepada yayasan lain yang memiliki maksud dan tujuan yang sama, dan bila yayasan yang sama maksud dan tujuan tersebut tidak ada maka harta kekayaan tersebut diserahkan kepada kas negara. Konsekwensi dari pengaturan tersebut maka tidak diperbolehkan harta kekayaan sisa pembubaran yayasan tersebut dikembalikan kepada pendiri. Pemahaman inilah yang menjadi dasar pengaturan mengenai pemisahan harta kekayaan yayasan dengan pendirinya dan sekaligus memberikan status badan hukum bagi yayasan yang diharapkan lebih memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi adresat serta pada akhirnya menciptakan kepastian hukum. Konsekwensi dari penetapan status badan hukum pada yayasan berdasarkan UU Yayasan, bila terjadi penyalahgunaan kekayaan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan, maka pengurus bertanggung jawab sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai organ yayasan yang melakukan penyelenggara yayasan. Karena eksistensi yayasan sebagai badan hukum dan subyek hukum sangat bergantung pada organ yayasan, maka pengurus sebagai salah satu organ yayasan dalam menjalankan kewenangannya tunduk pada doktri fiduciary relationship. Namun demikian, haruslah dipahami bahwa doktrin tidak akan implementatif menjadi hukum, jika tidak diterapkan oleh para penegak hukum khususnya HAKIM. Doktrin adalah salah satu sumber hukum, untuk menyelesaikan disharmosi peraturan perundang-undangan. Jika doktrin ini tidak pernah dirujuk menjadi hukum dengan diterapkan dalam putusan Hakim, maka hanya akan menjadi teori hukum yang tidak pernah ada maknanya.

Bagaimana dengan doktrin keuangan negara serta pengaturan tentang keuangan bila diperhadapkan dengan pengaturan yayasan? Asas hukum lex specialis derogat legi generali dapat menyelesaikan konfik pengaturan ini. Dalam kontek permasalahan tersebut, UU Yayasan yang berkedudukan specialis bila dibandingkan dengan UU Keuangan Negara yang berkedudukan sebagai generalis, maka UU Yayasanlah yang harus diterapkan dan bahkan UU Keuangan Negara sepanjang bertentangan pengaturannya, dapat dikesampingkan. Konstruksi hukum yayasan yang dibangun dalam UU Yayasan, bahwa sejak yayasan didirikan berada dalam ranah hukum privat, sebagai entitas hukum privat. Kedudukan hukum dari kekayaan negara yang dipisahkan tersebut, dapat kita samakan dengan hibah ataupun sumbangan sehingga kekayaan tersebut sudah semestinya terpisah dari si pemberi hibah atau sumbangan tersebut. Adapun hak atas kekayaan yang dihibahkan atau di sumbangkan tersebut beralih kepada si penerima hibah atau sumbangan. Konstruksi hukum inilah yang dipilih dalam pengaturan hukum yayasan, bahkan secara spesifik dalam PP no. 63 tahun 2008 Pasal 41 menggarisbawahi kedudukan hukum harta kekayaan yayasan yang diperoleh secara hibah dari kekayaan negara.17 Yayasan sebagai badan hukum dengan karakteristik yang melekat didalamnya: adanya pemisahan harta kekayaan yayasan dengan pendirinya; harta kekayaan digunakan untuk maksud dan tujuan yayasan; dan tidak memiliki anggota dan pemilik, haruslah dihormati. Dengan demikian tidak akan muncul konflik pengaturan dalam tataran hukum. Dan pada akhirnya hukum yang menjunjung tinggi kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud. Semoga.

17 Pasal 41 PP No. 63 tahun 2008. Yayasan yang kekayaannya berasal dari bantuan negara yang diberikan sebagai hibah, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diterima sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku menjadi kekayaan Yayasan.

18

Maintaining Financial Stability: Indonesias Experience in Preventing and Handling Financial Crisis
1

by Agus Santoso, SH, LLM2

Introduction This paper focus on Indonesias experience in maintaining financial stability during the time of financial turbulence. It consist of background of the issues concerned, the lesson learned from the 1990s crisis, and the Indonesias policy responses to prevent and handling financial crisis in 2008.

at maintaining the publics trust and confidence in the banking sector, had the adverse effect and further worsened the situation. This condition triggered panic among public and led to bank run and therefore had a severe impact on the liquidity of once sound banks that turned to borrowing in inter-bank financial market.3 Cost of crisis resolution took huge sum of funds,

1. Financial Crisis in the period of 1990s Banking sector plays an important role in Indonesias financial system. Around 80% percent of the total of financial assets is managed by banks. In this regard, maintaining banking soundness and stability therefore is pivotal element in maintaining financial stability in Indonesia. In the short periods, Indonesian has encountered with two financial turmoil. The first crisis arouse 12 years ago (in the late of 1990s) when Indonesia and other Asian Countries were hit by financial crisis as contagious effect of currency problem in Thailand. The second one just happened when Indonesia could not keep away from the impact of global financial turbulence trigerred by the failure of subprime mortgage market in the US. The first crisis severely affected Indonesias banking system. The problem of banking sector worsened by revocation of licenses of 16 unsound commercial banks in November 1997. This deteriorating situation occurred as the policy on the revocation of the banks license was taken without sufficiently taking into account ways and means to prevent a possible bank rush or bank runs. The license revocations, which were initially aimed
4 1 Presented in the International Conferences on Actuality in the Legal Banking Activity held by the Association of Legal Adviser in the Financial And Banking System, Piatra Neamt Romania 1- 5 June 2010. Deputy Director, Directorate for Legal Affairs, Bank Indonesia. 3

approximately more than 50% of Indonesia Gross Domestic Products. It was largely for bank recapitalization costs and Bank Indonesias liquidity support which accounted for 65% and 22% respectively of the total fiscal cost figure.4 2. Lessons Learned from 1990s Crisis and Policy Responses to Strengthening the Banking System Learning from the 1990s crisis, Indonesia took several policies to improve the resilience of Indonesian banking system. The Important policies taken as an effort to strengthening banking sector among other are: 1) The Introduction of Limited Deposit Insurance scheme that replaced blanket guarantee scheme in 2004. The limited deposit scheme is stipulated in the Act number 24 of 2004 concerning Deposit Insurance
Former Central Bank Governor of Indonesia, Soedradjad Djiwandono, had opinion for that chaotic situation. According to Djiwandono, this kind of situation was further deteriorated by the fragile condition within the banking sector itself due to weak management of the banks, excessively segmented credit allocation, moral hazards, ambiguity and inaccuracies associated with information on the financial conditions within the banks, and the ineffectiveness of Bank Indonesias supervision. J. Soedradjad Djiwandono, et al., Bank Indonesia History Period V: 19971999-Bank Indonesia in the Period of Economic, Monetary and Banking Crisis, (Jakarta: Bank Indonesia, 2006), p. 44. The fiscal costs of resolving the Indonesian banking crisis is amounted to Rp654 trillion or 51% of annual GDP. It is the second highest in the world during the last quarter of the century after Argentinas of 55.1% of GDP during its 1980-1982 crisis. See Batunanggar S, Indonesias Banking Crisis Resolution: Lessons and The Way Forward, Bank Indonesia Paper, 2002.

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Corporation. Indonesia Deposit Insurance Corporation was therefore established under this law. 2) The amendment of Bank Indonesia (Central Bank) act in 2004 to strengthened the central bank capacity in implementing its function as the lender of last resort. This amendment incorporates article which enable the Central Bank to provide emergency liquidity support for illiquid bank that is deemed as having systemic effect;

5) Building the Indonesian Financial System Architecture as a strategic foundation that sets forth the vision and blue print for the development of robust, stable, and sound financial system in Indonesia over medium and long terms. 6) Implementation of Financial Sector Assessment Program (FSAP) of IMF to make an assessment of financial system, including banking sector. 3. Authority Involved in the Indonesia Financial System

3) Establishment of Financial Stability Wing within the Central Bank to conduct macro surveillance by continuously monitoring the financial market situation; 4) Improving the supervisory method by applying the twin approaches of compliance-based supervision and risk-based supervision. As it is mentioned before, in supervising bank, Bank In addition to those policies, Indonesia has also taken several steps to improve financial sector condition such as: 1) Improving the individual bank condition by increasing the bank capital, enhancing good corporate governance in bank, and improving the quality of bank risk management. 2) The enactment of Memorandum of Understanding to set up better coordination among the Central Bank, the Ministry of Finance and the Indonesias Deposit Insurance Company; 3) The improvement of bank supervisor capacity and application of the international standard in banking sector regulation. These efforts involving program for enhancement of bank supervisor capacity as well as adoption of best practice standard such as risk management and Basle II accord in banking regulation; 4) The enactment of Indonesia Banking Architecture in 2004 which is a comprehensive and basic framework, sets forth the direction, outline and working structures for national banking industry over 5 to 10 years;
5 In Indonesia, financial industry is supervised by 2 different institution: banking is under supervision of central bank, while capital market and non bank financial institution is supervised by Ministry of Finance. Currently Government of Indonesia is preparing draft law to integrate financial supervisory agency into single instruction (FSA).

a. Banking Supervisor Under current regime, Indonesia adopts fragmented supervisory agency for financial sector. Ministry of Finance is the authority for capital market and non bank financial industry, while Bank Indonesia as the central bank is authorized as a banking supervisor.5

Indonesia adopts twin approaches of supervision, i.e. compliance-based supervision and risk-based supervision. The compliance-based supervision essentially stresses the monitoring of bank compliance for enforcement of regulation related to its operation and management in the past with the objective of confirming that bank has been well operated and correctly managed based on prudential principles. Meanwhile Risk-Based Supervision, that includes supervision based on forward-looking oriented risk, is focusing on inherent risk on bank doing activities as well as risk control system. This system will enable the authority of bank supervision to proactively take any preventive actions in facing problems that might potentially arise. b. Indonesia Deposits Insurance Corporation (IDIC) Since the establishment of IDIC in 2004, the Government Blanket Guarantee Scheme that had been applied since 1998 gradually elapsed and

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

completely replaced by limited deposit insurance in 2007.6 IDICs main task is to provide a limited guarantee for deposits and to participate in maintaining banking system stability. The aim of guaranteeing the deposits is to maintain the publics trust in the banking system and to protect depositors. Any bank operates in Indonesia shall be a member of IDICs guarantee scheme. Based on the Deposits Insurance Corporation Act, the Indonesian Deposits Insurance Corporation (IDIC) also performs task in maintaining financial (banking) stability. This role is conducted by rescuing the failed bank through the injection of fund to increase the banks capital. There are two ways for IDIC in rescuing the failed bank7. The first one is based on lower cost test. This is applied for any failed bank that is considered not having systemic effect. The failed bank will be rescued if the cost of rescuing is lower than the cost of liquidating it. The second one is applied for any failed bank that the Financial System Stability Committee considers such failed bank as a systemic bank. In this case, the cost of rescue will not be a main consideration of the decision since the main purpose is to prevent the systemic effect of the failed bank to the banking system. c. Ministry Of Finance The Ministry of Finance is a capital market and non bank financial industry supervisor. Even though the role of capital market and non bank financial industry in Indonesias financial system is less crucial than banking sector, but the Ministry of Finance has important role in maintaining financial stability by guaranteeing an emergency liquidity support

provided by Bank Indonesia to illiquid-systemic bank. Minister of Finance also presides the Committee of Financial System Stability which sets the policy for crisis prevention or crisis management. According to the then Emergency Law on Financial System Safety Net, cost of crisis resolution will be burdened Government Budget managed by Ministry of Finance. 4. Banking Supervision and Mechanism for Solving Troubled Bank Under current regulatory regime, the activities of banking supervision may be divided into standard (normal) supervision, intensive supervision and special surveillance which may be conducted through on-site and/or offsite supervision. Normal supervision applied for any sound bank or for the bank that does not have any significant problem. Intensive supervision is applied for a bank whose supervisor finds that the condition of the bank meets certain criteria such as bank rating is poor or unsound, it has fundamental problems with profitability or net non performing loan is exceeding 5% or certain transactions conducted by the bank are deemed to be the infringement of prudential regulation. The Bank that is placed under intensive supervision shall submit action plan to settle its problem. In this case, the bank supervisor has the right to order Prompt Corrective Action (PCA) to the bank to solve the difficulties. Special surveillance is conducted on a bank whose condition is deteriorating and endangering its business. According to the current regulatory regime, bank shall be put under special surveillance if its capital adequacy ratio less than 8% and/or the ratio of domestic currency statutory reserves is less than the prescribed ratio for bank statutory reserves, and the bank is assessed as having fundamental liquidity problems. Under this special

IDIC gradually undertakes a limited guarantee program (for total deposits within the period of 22 September 2005 to 21 March 2006), at the maximum amount of IDR5.000.000.000,- (22 March 2006 to 21 September 2006), IDR1.000.000.000,- (22 September 2006 to 21 March 2007), and IDR100.000.000,- (since 22 March 2007) paid to an individual depositor in one bank as stipulated by Article 100 in conjunction with Article 11 of the IDIC Law. Failed bank is term applied for a bank that experiences financial difficulties and endangering the continuation of its business and is declared cannot be rescued by the LPP in accordance with its authorities.

surveillance, the supervisor may order the bank to take some supervisory actions such as: a. The shareholder (s) shall increase the paid up banks capital; b. The shareholder (s) shall replace member of the board of commissioners and or the board of directors;

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

c. The Bank shall write-off its bad debts and set off the losses against its capital; d. The Bank undertakes a merger or consolidation with other bank; e. The Bank is sold to a party willing to take over all its liabilities; f. The Bank transfers the management of its operation, either in whole or in part, to other party; g. The Bank sales a part or a whole of the banks assets and/or liabilities to other bank or other party. If all supervisory measures taken to solving the bank problems are insufficient to overcome the difficulties faced by the bank and/or condition of the bank endangers the banking system, the Bank Supervisor may revoke the bank license and ordered it to be liquidated. Before revoking banks license, the Bank Supervisor is required to analyze the bank condition to find out whether the troubled bank has systemic effect. If the troubled bank condition is not deemed to have systemic effect, bank supervisor declares such a bank as a failed bank and submit to the IDIC for further resolution. Based on lower cost analysis, IDIC has the option to rescue or to liquidate the failed bank. Bank supervisor will revoke banks license and order such a bank to be liquidated if IDIC decides not to rescue the failed bank. The liquidation of a bank is conducted under IDIC supervision. 5. The Lender of Last Resort

shall be settled in the same day and covered with very liquid collateral. b. Short Term Liquidity Support Facility Any bank experiencing a short term liquidity problem (liquidity mismatch) may obtain short term liquidity support from Bank Indonesia. The duration of this facility is up to 90 days. This facility is deemed as a secured loan because it is fully backed by high quality of collateral with minimum value equivalent to the amount of facility received. Among the collaterals which are considered as high quality is government bond/bill or central bank bill. c. Emergency Liquidity Assistance This facility is provided by the central bank and guaranteed by the Government. The bank may obtain emergency assistance if its liquidity problem is considered to trigger systemic failure. Indeed, this facility is provided to prevent systemic failure in banking system that can lead to the banking crisis. Under the current setting, the source of Emergency Liquidity Facility fund is coming from central bank, but the government provides the guarantee to the central bank in case the bank fails to repay the facility received. 6. Financial Safety Net: Indonesias Response to the Recent Global Financial Crisis After enjoying the stability in the banking and financial

The important aspect in maintaining financial stability is the role of central bank as the lender of last resort to provide liquidity assistance to illiquid bank. There are three types of liquidity assistance that can be provided by Bank Indonesia:
8

system over some years, in the middle of 2008 Indonesia was alarmed by the facts that to some extent, the global financial crisis already affected Indonesian financial market9. The Central Bank and the Government took
Under the Central Bank Act, Bank Indonesia shall have a task to ensuring and maintaining the effectiveness operation of Payment System in Indonesia. The type of payment system operation in Indonesia is 1) The Real Time Gross Settlement (RTGS) that is a system for electronic funds transfer among members in domestic currency with settlement processed individually per transaction basis; and 2) national clearing system that is the clearing system that cover debit and credit clearing in which the settlement is conducted on a nationwide basis. In the period of November 2008, macro-economic condition was deteriorating that reflected by massive capital outflow which trigger the depreciation of Rupiah (from IDR 9,000 per 1 USD (September 08) to IDR 12,000 per 1 USD (November 08), the sharp decline stock exchange index (50% decline), the increase of government bond rate, and sharp increase of Indonesia credit default swap (CDS) from 350 bps to 1200 bps only in 1 month (normally Indonesian CDS is less than 200bps, the rise of liquidity gap in banking sector .

a. Intraday liquidity Facility (ILF) The intraday liquidity facility is a funding facility extended by Bank Indonesia to a bank in their capacity as a member of Payment System managed by Bank Indonesia8. If a bank has difficulty to settle its financial obligation related to payment transaction through clearing system or through electronic funds transfer in RTGS system, the bank may ask the central bank to provide funds to clear its obligation. This fund
9

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

quick response by introducing three Emergency Laws (Government Regulation in lieu of Law)10 in the October 2008, namely: 1. Emergency Law number 2 of 2008 on The Amendment of Central Bank Act. 2. Emergency Law number 3 of 2008 on the Amendment of Deposits Insurance Corporation Act that increase deposits guarantee limit. 3. Emergency Law number 4 of 2008 on Financial System Safety Net. Those emergency laws are legal basis for Indonesian Authorities to take step in order to prevent the impact of global financial crisis to Indonesia. Several actions taken by Indonesia in responding the situation were: a. Increasing the limit of deposit insurance amount (from IDR 100 million to IDR 2 billion). This new limit is aimed at preventing the funds run to other countries (capital outflows) since it covers more than 95 percent of total deposits in the national banking system.

as a forum to take policy to prevent and handle crisis.11 The Committee is chaired by the Minister of Finance while Governor of Central Bank becomes a member of the Committee. In implementing its function, the committee has tasks: a. to evaluate the degree and the dimension of liquidity or solvability problem of a bank which considered having systemic effects; b. to decide whether the liquidity or the solvability problem facied by a bank has systemic effect or not; c. to decide the necessary action to be taken by the authority related to the problem faced by bank in order to prevent or handle crisis. d. Activate the Crisis Management Protocol in the central bank to monitor the financial market situation and to look up the condition of individual bank as well as to provide an up-todate information to the relevant authorities. 7. Test Case for Indonesian Financial Safety Net :

b. Enacting the Bank Indonesia Regulation on Short Term Liquidity Support Facility and Emergency Liquidity Assistance to provide signals to the market that the central bank ensures the availability of liquidity support for any bank facing liquidity problem. Since the purpose of providing such liquidity facilities is to avoid Indonesian banking system from the impact of global financial crisis, some requirements of having those facilities were relaxed. Bank may use its assets such as loan for the collateral of such facility. The CAR requirement for bank to obtain that facility is also lessened from 8% (in normal condition) to more than 0%. c. Set up the Financial System Stability Committee to create better coordination among authorities and

Rescuing Failed-Systemic Bank It is well understood that during the crisis, the proper and quick responses are crucial step to avoid the contagious effect of the crisis. This principle is upheld by Indonesia when one of the medium-scale commercial bank defaulted on several large loan payments and tended to have serious liquidity problem. The said bank actually had structural problem in solvency and liquidity and technically speaking, in normal situation, this bank should have been declared as a failed bank. However, considering that closing of a bank in the peak of financial turbulence would trigger negative effects to public trust and thus might pose a threat to the banking system, Bank Indonesia therefore provided short term liquidity support to temporary restoring the banks liquidity

10 According to the Indonesian Constitution, in the emergency or crisis situation, Government may enact Emergency Law (official name is Government Regulation in lieu of Law). Such government regulations have to be approved by the Parliament in its next session. If not approved, the emergency law in question has to be revoked

11 Prior to the establishment of the Committee under the Emergency Law, Bank Indonesia, Ministry of Finance and IDIC has set up a Memorandum of Understanding (MoU) to coordinate policies to maintain the stability of financial system. The MoU also establishes the Financial System Stability Forum as a forum for coordination and setting the policy to take necessary step to response the development in the financial market.

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

System Stability Committee to rescue the bank by ordering IDIC to inject funds to strengthening banks capital. The actions taken by the authorities can be described as follows: 1. The Bank Supervisor placed the bank under the special surveillance since it had liquidity and solvency difficulties. Several prompt corrective actions were applied for the bank. 2. The bank submitted an application to Bank Indonesia to obtain liquidity support to settle its payment obligations. Bank Indonesia decided to provide liquidity support to prevent contagious effect since the troubled bank has several large payment obligations to the other bank. The on-going financial crisis also became consideration for such decision. 3. When the liquidity support was not sufficient to rescue the bank due to its deteriorating condition and insolvency, Bank Indonesia (as a Bank Supervisor) declared the said bank as a failed bank. Bank Supervisor also analyzed the impact to banking system of the said bank (systemic effects). In analyzing the systemic effect, Bank Indonesia evaluated the impact of the troubled bank to the 1) financial institution, 2) financial market, 3) payment system, 4) real sector, and 5) public trust. By realizing that the failed bank had a systemic effect to banking system, Bank Indonesia (as a banking supervisor) called for Financial System Stability Committee meeting to decide further action to be applied to the said bank. 4. The Financial System Stability Committee declared the failed bank had systemic effect and hence it had to be rescued to prevent the contagious effect to the banking system. 5. The restructuring process of the failed bank conducted by IDIC by injecting funds to the said bank. The funds injected by IDIC would raise banks capital to meet requirement of 8% CAR as well as enable the bank fulfilling its payment obligation to third parties.

In this regard, IDIC became the major shareholder of the rescued bank. Such quick responses, albeit very risky and afterward challenged by the Parliament12, accompanied by other policies as raising deposits insurance limit, gave positive impact to the financial system Indonesia. Gradually the banking and financial system are back to stable situation. Such policy also prevents Indonesia from undergoing deeper crisis so that Indonesia could maintain its positive growth rates while some other countries slipped into negative growth. 8. Conclusion Learned from two abovementioned cases, well-built micro and macro prudential supervision are essential elements in maintaining financial stability. Strong good corporate governance, risk management and qualified bank supervisors have also positive contribution to the development of sound national banking system. Moreover, good coordination among the authorities and, without any intention to simplifying the situation, quick and proper responses could be a pivotal factor in preventing contagious effect of a crisis.

12 This policy (popularly known as case of Century Bank bailout) became major political in the parliament since the troubled bank is a middlescale bank and it had infamous reputation on its management and owner. The Parliament investigated to see whether such policy is improper and designed for the benefit of certain party.

24

Resensi Buku

Judul Buku Pengarang Penerbit Jumlah Halaman Oleh

: : : : :

Bank Bersubsidi yang Membebani Awalil Rizky dan Nasyith Majidi E Publishing, Jakarta, 2008 286 Krisantus Adityo Wibowo1

Di dalam suatu perbuatan perekonomian modern, adanya bank di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu hal yang tidak asing lagi. Masyarakat sangat biasa menggunakan fasilitas bank untuk aktivitas perekonominya, seperti menyimpan uang, menarik simpanan, dan transfer uang. Bahkan dengan semakin banyaknya servis yang ditawarkan oleh bank, masyarakat bisa membayar tagihan telepon, tagihan listrik, dan membayar belanja di Supermarket lewat servis yang disediakan bank. Masyarakat sudah begitu akrab dengan bank. Namun, pengetahuan masyarakat tentang bank pada umumnya sebatas berkaitan dengan kepentingan tertentu saja, masyarakat pada umumnya kurang mengerti bank secara lebih dalam.

buku ini bisa dijadikan bahan bacaan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Perbankan. Menurut pendapat saya Buku Bank Bersubsidi ini bisa dibilang sebagai buku yang cukup berat dan perlu perhatian ekstra untuk memahaminya. Buku ini bukanlah buku yang bisa dibaca saja, namun membutuhkan sedikit keseriusan. sehingga, kelihatannya penulis menyadari akan padat dan beratnya buku ini, sehingga Bab Tinjauan Umum dalam buku ini seperti merupakan resume dari keseluruhan isi buku, kemudian dalam setiap sub Bab dibuat secara baik yang berisi inti gagasan pada setiap sub Bab nya. Penulis buku ini, dalam mengupas perbankan Indonesia

Buku Bank Bersubsidi yang ditulis oleh penulis, ingin memberikan pesan kepada pembaca bahwa, masyarakat juga harus memahami dan mengetahui bank secara lebih mendalam. Alasan dasar adalah bahwa bank merupakan badan usaha keuangan yang berhubungan dengan hidup orang banyak. Kebijakan yang dikeluarkan oleh bank, apakah itu bank sentral (Bank Indonesia), atau bank umum, akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari judul buku tersebut, sudah dapat dipahami sebagian isi buku, ada masalah dengan perbankan, ada yang tidak beres dengan perbankan. Dalam buku tersebut Penulis menunjukkan secara terbuka masalah-masalah yang ada di dalam diperbankan, menggunakan dengan data-data yang lengkap dari sumber yang resmi, yaitu Bank Indonesia. Dalam buku tersebut Penulis juga memberi tahu kepada pembaca tentang seluk beluk perbankan, sehingga

diawali dari kejadian krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter tahun 1997 merupakan peristiwa dramatis dalam perjalanan perekonomian Indonesia. Sampai pertengahan tahun 1997, indikator perekonomian Indonesia kelihatan baik, tidak ada tanda-tanda masalah yang menghawatirkan, namun dalam hitungan bulan, keadaan berubah, perekonomian Indonesia menjadi demikian memburuk, terjadi krisis moneter, krisis perbankan, dan juga krisis ekonomi (hal 1-3). Menurut saya Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter dan krisis perbankan juga bisa dikatakan sangat luar biasa, yang membuat perubahan mendasar terhadap struktur perbankan Indonesia dan berpengaruh terhadap perekonomian bangsa. Hampir semua bank umum nasional mengalami kesulitan

Mahasiswa FH Atmajaya, Mahasiswa PKL di Direktorat Hukum

likuiditas dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian besar

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

bank terpaksa harus melanggar ketentuan dari Giro Wajib Minimum (GWM) dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Dana pinjaman antar bank, sebagai sarana bank mengatasi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek, menawarkan bunga yang sangat tinggi (mencapai 50%). Sumber dana semacam itu pun makin sulit untuk diperoleh. Kesulitan likuiditas masih terus berlanjut dengan adanya berbagai tekanan susulan. Menurut saya, pertimbangan lainnya adalah, dari pemerintah dan BI, adanya permasalahan di sektor riil dan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Di sektor riil, stop kliring itu akan membuat terputusnya sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan berhenti. Sedangkan dalam konteks perdagangan luar negeri, pemerintah mengkhawatirkan terjadi ketidakpercayaan antar bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri, karena memang sudah terlihat kepercayaan mulai berkurang. Menurut penulis Kebijakan BLBI dan perubahan struktur di dalam Perbankan merupakan kebijakan luar biasa yang diambil oleh Bank Indonesia dan pemerintah dengan saran dari IMF untuk menyelamatkan dan menyehatkan perbankan. Dana yang dikucurkan untuk BLBI sebesar Rp150 trilyun, yang digunakan untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. BLBI ternyata tidak cukup, pemerintah mengambil kebijakan rekapitalisasi perbankan. Sampai dengan bulan juli 2002, untuk membiayai program resrtukturisasi perbankan (program untuk menyebut keseluruhan langkah penyehatan perbankan dan peningkatan ketahanan industri perbankan), Hal yang lebih membuat cemas adalah berpindahnya kepemilikan bank-bank yang sudah disehatkan oleh pemerintah dengan dana BLBI dan dana Rekapitalisasi ke pihak asing. Sebagai contoh, untuk menyehatkan BCA, pemerintah mengeluarkan dana RP 53 triliun. Dengan dana sebesar itu akhirnya pemerintah memiliki 92 % saham BCA. tetapi, kemudian 51 % saham BCA diobral dengan harga Rp 5 triliun. Kejadian serupa juga terjadi di bank-bank lain. Menurut pendapat penulis, Tentang keberadaan Bank Indonesia setelah krisis moneter dan krisis perbankan. BI dinilai terlalu berani sehingga mengakibatkan kurang hatihati dalam mengambil kebijakan BLBI, yang pada akhirnya memberatkan anggaran negara. Kedua, masalah kebebasan

BI. Dengan kebebasan tersebut, kekuasaan BI menjadi sedemikian besar. BI merupakan otoritas moneter satusatunya, pengatur perbankan, dan sekaligus pengawas perbankan. Ketiga single objective BI untuk memelihara stabilitas rupiah, padahal UU BI sebelumnya mengamanatkan BI untuk turut serta meningkatkan taraf hidup rakyat. Posisi BI yang semakin independen bukannya tanpa kritik. Sebagian berpandangan, mempertanyakan apakah dengan kebebasannya, BI sama sekali berdiri di luar pemerintah. Bahkan, ada yang menganggap BI telah menjadi negara dalam negara. Anggapan ini ada antara lain karena BI bisa membuat peraturan yang mengikat semua warga negara Indonesia, serta memiliki pengaturan keuangan tersendiri. Menurut saya hal lain yang cukup menarik untuk dilihat dalam buku ini adalah rencana penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Basel II. API merupakan kebijakan langsung tentang industri perbankan ke depan. API mengatur tentang kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan, dan lembaga penunjang lainnya. Sementara itu Basel II, lebih pada peningkatan modal Bank. Alasan diterapkannya API dan Basel II adalah tercapainya sistem perbankan yang sehat, kuat dan tepat guna menciptakan kesetabilan sistem keuangan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sementara itu tentang kinerja perbankan pasca krisis ekonomi, penulis menilai sudah ada perbaikan kinerja, namun mereka menilainya belum cukup. Seharusnya kinerja perbankan bisa lebih baik lagi. Contoh belum baiknya kinerja perbankan adalah masih lemahnya fungsi intermediasi perbankan. Angka LDR masih berkisar 65 %. Sementara sisanya oleh bank disimpan dalam SBI, yang berarti membebani BI, yang berarti secara tidak langsung juga membebani rakyat. Menurut saya, hal yang membuat buku ini istimewa adalah nuansa semangat yang luar biasa dari penulis untuk menguak ketidakadilan yang terjadi dalam kasus perbankan Indonesia, serta upaya menguak keinginan pihak asing untuk menguasai perbankan Indonesia dan juga memperdalam serta melengkapi pemahaman mengenai aspek hukum perbankan. Penulis buku ini membuka mata kita bahwa rakyat sampai hari ini harus mensubsidi para bankir, termasuk bankir asing.

26

Cakrawala Hukum: Ratifikasi European Union (EU) Convention on Cybercrime (CoC)

Saat ini Pemerintah sedang menyusun RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU Tipiti) untuk melengkapi ketentuan tindak pidana yang telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dalam rangka ratifikasi terhadap European Union Convention on Cybercrime 2001 (CoC) yang telah dibuat pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria, oleh negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe). Salah satu tujuan ratifikasi adalah untuk meningkatkan kerjasama penanganan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi (cybercrime). UU ITE belum sepenuhnya mengatur masalah cybercrime seperti yang terdapat dalam EU Convention On Cybercrime, 2001, sehingga Undang-Undang khusus dibidang cybercrime masih diperlukan untuk segera diundangkan dengan pertimbangan 2 (dua) hal, yaitu: Pertama, sebagai ketentuan ratifikasi European Union Convention On Cybercrime, 2001 (yang saat ini diusulkan untuk diundangkan ratifikasinya). Kedua, untuk mengisi kekosongan hukum tentang cybercrime yang tidak diatur dalam UU ITE.

di kota Budapest, Hongaria, oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe). Konvensi ini berlaku secara efektif dengan kondisi 5 (lima) negara sudah melakukan ratifikasi, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Ratifikasi dilakukan sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Mengingat RUU Tipiti disusun sebagai ratifikasi CoC, maka RUU Tipiti mengadopsi ketentuan dalam CoC, kecuali untuk hal-hal yang sudah diatur dalam UU ITE. CoC mengatur hal yang lebih spesifik mengenai: 1. Sistem komputer, sebagai setiap perangkat atau

Hukum positif Indonesia yang mengatur masalah tindakantindakan kriminal saat ini secara umum masih diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengingat karakteristik cybercrime sangat berbeda dengan tindak pidana biasa, maka pendekatan hukum di bidang ini tidak dapat lagi didekati secara konvensional tetapi harus melalui pendekatan non konvensional dengan mengedepankan prinsip-prinsip lex informatica. Karakteristik cybercrime yang bersifat borderless dan menggunakan teknologi tinggi sebagai media, mengharuskan kebijakan kriminalisasi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk memperhatikan perkembangan upaya penanggulangan cybercrime baik regional maupun internasional dalam rangka harmonisasi dan uniformitas pengaturan cybercrime, yaitu EU Convention on Cybercrime, 2001 yang telah dibuat pada tanggal 23 November 2001

serangkaian perangkat yang saling berhubungan atau terkait, yang beberapa atau salah satunya, sesuai dengan suatu program, menjalankan pemrosesan data secara otomatis. Definisi sistem komputer dalam CoC ini lebih sempit bila dibandingkan definisi Sitem Elektronik sebagaimana UU ITE serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Mengingat salah satu tujuan dari penyusunan RUU Tipiti adalah ratifikasi dari CoC, maka definisi dari CoC lah yang dipergunakan dalam RUU Tipiti. 2. Data komputer, sebagai setiap representasi fakta, informasi, atau konsep dalam bentuk yang sesuai untuk

27

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

diproses dalam suatu sistem komputer, termasuk program yang sesuai untuk membuat suatu sistem komputer melaksanakan suatu fungsi. 3. Penyelenggara Jasa Teknologi Informasi (service provider),: a. Setiap badan pemerintah atau swasta yang memberikan kepada para pengguna jasanya kemampuan untuk melakukan komunikasi melalui sistem komputer, dan b. Setiap badan lain yang memproses atau menyimpan data komputer atas nama jasa komunikasi semacam itu atau pengguna jasa tersebut. 4. Perbuatan yang dilarang, antara lain berupa Ilegal Akses, Ilegal Intersepsi, Data Interference, Sistem Interference, Penyalahgunaan, Pemalsuan, Penipuan, Pornografi anak, Penyalahgunaan terkait HAKI, Persekongkolan dan Percobaan (attempt and aiding or abetting). Beberapa perbuatan dilarang tersebut telah diatur dalam UU ITE dan perbuatan persekongkolan dan percobaan telah diatur pula dalam KUHAP, sedangkan perbuatan penipuan secara eksplisit belum diatur dalam UU ITE. Khusus untuk pengaturan pornografi anak, diatur dengan reservasi, mengingat bahwa pengaturan pornografi di Indonesia bukan hanya pornografi anak sebagaimana CoC, melainkan juga mencakup pengaturan pornografi pada umumnya sebagaimana diatur dalam UU tentang Pornografi. 5. Kejahatan korporasi. Dalam Pasal 52 ayat (4) UU ITE telah diatur mengenai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, berupa pemberatan hukuman, yaitu pidana pokok ditambah dua pertiga. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s/d 37 UU ITE yang dilakukan oleh Korporasi dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk: a. Mewakili korporasi b. Mengambil keputusan dalam korporasi c. Melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi d. Melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.

6. Kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dalam rangka penegakkan hukum, seperti penyelidikan dan penyidikan tindak pidana teknologi informasi wajib menjaga dan melindungi hak asasi manusia serta menghormati agama, adat istiadat, moralitas dan ketertiban umum. 7. Kerjasama Internasional, Ekstradisi, Bantuan Timbal Balik dan Jaringan Bagi perbankan, RUU Tipiti tersebut memberikan kepastian hukum karena mengatur tindak pidana teknologi informasi di perbankan. Selain itu secara spesifik RUU Tipiti mengatur mengenai penyedia jasa teknologi informasi yang digunakan oleh perbankan. Saat ini, ketentuan mengenai penyelenggara jasa teknologi informasi diatur dengan PBI No. 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum. Meskipun PBI mengatur bahwa Bank bertanggung jawab atas manajemen risiko terhadap pengembangan teknologi informasi yang dilakukan oleh pihak penyedia jasa serta memastikan bahwa penyedia jasa tersebut tunduk pada pengaturan manajemen risiko Bank Indonesia, namun demikian PBI tidak mengatur secara detail mengenai penyedia jasa sebagaimana diatur dalam RUU Tipiti, seperti: 1. Kewajiban untuk memiliki sarana mengumpulkan dan merekam data komputer dan aplikasi data trafik dari waktu ke waktu yang dikelolanya. (Hal ini terkait dengan data transaksi perbankan melalui kartu kredit, kartu debit, dll. 2. Kewajiban untuk menyimpan data komputer yang mudah hilang dan/atau mudah diubah termasuk data trafik yang berkaitan dengan sistem komputer yang dikelolanya. Disamping itu RUU Tipiti juga memberikan kepastian hukum dalam rangka penegakkan hukum, seperti misalnya kewenangan aparat penegak hukum untuk mengcopy ataupun menyimpan salinan data komputer (make and retain a copy of those computer data), terkait dugaan tindak pidana, melakukan akses terhadap data-data yang diperlukan, serta mewajibkan penyedia jasa teknologi informasi untuk memenuhi permintaan penegak hukum melakukan pencarian dan penyitaan

28

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

data komputer yang tersimpan bagi kepentingan penegakan hukum. Untuk penanganan kejahatan transnasional sebagaimana sifat dari cybercrime, RUU Tipiti juga mengatur mengenai kerjasama bantuan timbal balik dengan negara-negara peserta konvensi sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 34 CoC, dalam rangka penyelidikan, penyidikan, pengumpulan bukti dan/atau proses hukum lain menyangkut tindak pidana teknologi informasi yang terkait dengan sistem komputer dan data komputer.

29

Halaman ini sengaja dikosongkan

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) Januari - April 2010

Peraturan 12/1/PBI/2010 12/2/PBI/2010

Tanggal 28-1-2010 5-2-2010

Satker DInt DSM

Perihal Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank Perubahan Kedua Atas PBI No.10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum

LN & TLN LN 20 TLN 5102 LN 40 TLN 5113

12/3/PBI/2010

1-3-2010

DPM

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank

LN 46 TLN 5118

12/4/PBI/2010

1-3-2010

DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Logam Rupiah Pecahan 1000 (seribu) Tahun Emisi 2010

LN 47

12/5/PBI/2010

12-3-2010

DASP

Perubahan atas PBI No.7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

LN 47 TLN 5119

12/6/PBI/2010

7-4-2010

DPD

Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia

LN 61 TLN 5127

12/7/PBI/2010

19-4-2010

DPNP

Perubahan atas PBI No.11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum

LN 63, TLN 5129

31

Halaman ini sengaja dikosongkan

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Januari - April 2010

Peraturan 12/1/DASP 12/2/DPM

Tanggal 21-1-2010 22-1-2010

Satker DASP DPM

Perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Perubahan atas SE BI No.11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel Perubahan atas SE No.10/38/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Perubahan atas SE BI No.11/17/DPM tanggal 7 Juli 2009 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah Perubahan Kedua atas SE No.10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan dan Pengawasan Sub-Registry Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah Perubahan atas SE BI No.11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Jadwal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank Perubahan Kedua atas SE BI No.3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

12/3/DASP

1-2-2010

DASP

12/4/DASP

1-2-2010

DASP

12/5/DASP

1-2-2010

DASP

12/6/DPbS

8-3-2010

DPbS

12/7/DSM

10-3-2010

DSM

12/8/DASP 12/9/DASP 12/10/DPM

24-3-2010 24-3-2010 30-3-2010

DASP DASP DPM

12/11/DPNP

31-3-2010

DPNP

12/12/DPD

8-4-2010

DPD

12/13/DPbS

30-4-2010

DPbS

33

Halaman ini sengaja dikosongkan

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Januari - April 2010

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28 Januari 2010 merupakan perubahan (amendemen) dari PBI No.10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank Ringkasan : 1. Pengertian a. Pinjaman Luar Negeri (PLN) Perusahaan Bukan Bank adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. b. Perusahaan Bukan Bank yang termasuk dalam cakupan PBI adalah: Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Badan Usaha Milik Daerah (BUMD; dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)

c. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu sampai dengan 1 tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. Sedangkan PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu lebih dari 1 tahun. 2. Prinsip kehati-hatian Dalam melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang, Perusahaan diharuskan untuk menerapkan fungsi Manajemen Risiko yang meliputi: i) Risiko Pasar; ii) Risiko Likuiditas; dan iii) Risiko Operasional. 3. Kewajiban Pelaporan a. Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan kepada BI, meliputi: (i) Laporan Rencana PLN Perusahaan untuk 1 tahun, (ii) Hasil analisis manajemen risiko perusahaan, (iii) Penilaian peringkat (hanya berlaku bagi perusahaan yang memiliki nilai peringkat, (iv), Rasio Keuangan (v) Laporan Keuangan. b. Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan mengenai Rasio Keuangan dan Laporan Keuangan. 4. Penyampaian laporan: a. Laporan rencana PLN Jangka Panjang paling lambat tanggal 10 Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. b. Laporan Rasio Keuangan dan Laporan Keuangan setiap 6 (enam) bulan (per semester), yaitu paling lambat tanggal 10 Juni dan tanggal 10 Desember atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. 5. Sanksi a. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan, sedangkan bagi yang tidak menyampaikan laporan dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan, dan/atau pemberitahuan kepada otoritas yang berwenang. b. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2012.

35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28 Januari 2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank ini, maka PBI No.10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Tanggal Berlaku : 5 Februari 2010 : Tanggal 5 Februari 2010

Ringkasan : 1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitakan dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) yang lebih efektif, akurat, dan lengkap yang memerlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya. Selain itu, PBI ini diterbitkan dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan Bank Pelapor dalam memenuhi ketentuan pelaporan antara lain melalui penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan. 2. Secara rinci, pengaturan dalam PBI mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Penyesuaian batas waktu penyampaian LBU 2008: Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan menjadi sebagai berikut: Jenis Laporan/ Koreksi Laporan Laporan per Kantor Periode Pelaporan dan Bulan Data Januari - Juni 2010 Tanggal 20 bulan berikutnya Tanggal 25 bulan berikutnya Tanggal 10 bulan kedua berikutnya Tanggal 10 bulan kedua berikutnya Juli - Desember 2010 Tanggal 15 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya Tanggal 5 bulan kedua berikutnya Tanggal 5 bulan kedua berikutnya Januari 2011 dst Tanggal 5 bulan berikutnya Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 23 bulan berikutnya Tanggal 23 bulan berikutnya

No. 1.

2.

Laporan gabungan

3.

Laporan Perusahaan Anak

4.

Laporan Konsolidasi

Batas waktu keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan menjadi sebagai berikut: Jenis Laporan/ Koreksi Laporan Laporan per Kantor Periode Pelaporan dan Bulan Data Januari - Juni 2010 Tanggal 21 bulan berikutnya Tanggal 26 s.d 28 bulan berikutnya Tanggal 11 s.d 15 bulan kedua Tanggal 11 s.d 15 bulan kedua Juli - Desember 2010 Tanggal 16 bulan berikutnya Tanggal 21 s.d 23 bulan berikutnya Tanggal 6 s.d 10 bulan kedua berikutnya Tanggal 6 s.d 10 bulan kedua berikutnya Januari 2011 dst Tanggal 6 s.d 7 bulan berikutnya Tanggal 11 s.d 12 bulan berikutnya Tanggal 24 s.d 25 bulan berikutnya Tanggal 24 s.d 25 bulan berikutnya

No. 1.

2.

Laporan Gabungan

3.

Laporan Perusahaan Anak

4.

Laporan Konsolidasi

36

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 2, Mei 2010

Batas waktu tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagai berikut: Periode Pelaporan dan Bulan Data Januari - Juni 2010 di atas tanggal 21 bulan berikutnya di atas tanggal 28 bulan berikutnya di atas tanggal 15 bulan kedua di atas tanggal 15 bulan kedua Juli - Desember 2010 di atas tanggal 16 bulan berikutnya di atas tanggal 23 bulan berikutnya di atas tanggal 10 bulan kedua berikutnya di atas tanggal 10 bulan kedua berikutnya Januari 2011 dst Di atas tanggal 7 bulan berikutnya Di atas tanggal 12 bulan berikutnya Di atas tanggal 25 bulan berikutnya Di atas tanggal 25 bulan berikutnya

No. 1.

Jenis Laporan/ Koreksi Laporan Laporan per Kantor

2.

Laporan Gabungan

3.

Laporan Perusahaan Anak

4.

Laporan Konsolidasi

b. Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dan ayat (6) mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009. c. Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta pasal 17 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Juli 2010 yang disampaikan pada bulan Agustus 2010. d. Ketentuan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 badi bank pelapor yang memenuhi ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dan/atau pasal 17 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009.

37

Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai