Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang
tepat guna menghindari kematian. Karena desakan waktu, maka dibutuhkan suatu
system penilaian yang mudah. Proses ini dikenal sebagai initial assessment dan
meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berlanjut
9. Penanganan deIinitive

Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan berulang-ulang agar dapat
mengenali penurunan keadaan penderita, dan memberikan terapi yang diperlukan.
&rutan kejadian diatas disajikan seolah-olah berurutan (sekuensial), namun dalam
praktek sehari-hari dapat berlangsung simultan. Penyajian secara berurutan
memberikan dokter yang menangani penderita trauma suatu sistem untuk menilai
perkembangan keadaan penderita.

Primary survey merupakan Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada

penderita yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital
penderita harus dinilai secara cepat dan eIisien. Pengelolaan penderita berupa primary
survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi
deIinitive.

Primary survey terdiri dari beberapa tindakan pemeriksaan yang terdiri dari
pemeriksaan airway, breathing, circulation, disability dan exposure yang biasa
disingkat dan dikenal dengan sebutan ABCDE.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mangenai disability limitation dan
neurologi evaluation pada primary survey.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. elengkapi tugas ilmu bedah 2.
2. embahas lebih rinci mengenai primary survey khususnya mengenai
disability limitation dan neurologic evaluation.












BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Defenisi

Primary survey merupakan suatu tindakan penilaian keadaan penderita dan prioritas
terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme cedera. Tanda-
tanda vital harus dinilai secara cepat dan eIisien. Selama primary survey, keadaan
yang mengancam jiwa harus dikenali, dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu
juga. &rutan penanganan pada primary survey adalah :
1. A- airway with c-spine protection
2. B-breathing/oxygenation/ventilation
3. C-circulation and stop bleeding
4. D-disability limitation and neurogenic evaluation
5. E-exposure

Langkah-langkah primary survey harus dilakukan secara berurutan. Hal yang pertama
harus dievaluasi adalah jalan naIas pasien,kita harus memastikan bahwa jalan naIas
bebas dari benda-benda asing. Hal selanjutnya yang harus dievaluasi adalah
pernaIasan pasien,dari evaluasi ini kita lihat respiration rate dari pasien,apakah pasien
perlu diberikan oksigen atau tidak. Hal ketiga yang harus kita evaluasi adalah
sikulasi, meliputi tekanan darah, nadi, memeriksa apakah terdapat perdarahan atau
tidak. Setelah ketiga hal tersebut dievaluasi dan dapat diatasi, hal keempat yang harus
dievaluai dalam primary survey adalah disability limitation and neurologic evaluation
atau pembatasan cacat dan evaluasi neurogenik.

enjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran , serta ukuran dan reaksi
pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVP&.
A: Alert (sadar)

V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vokal


P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri
&: &nresponsive. Tidak bada respons.

II. 2 . Prioritas Primary Survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan
resusitasinya
harus pada saat itu juga. Penyajian primary survey di atas adalah dalam bentuk
berurutan (sekuensial), sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas, tapi
dalam praktek dapat dilakukan berbarengan (simultan).
Adapun Prioritas dari primary survey:
O pada anak pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walaupun jumlah
darah,
cairan, obat, ukuran, kehilangan panas, dan pola perlukaan sering berbeda,
tapi
prioritas penilaian dan resusitasi pada anak adalah sama seperti pada orang
dewasa.

O pada ibu hamil sama seperti orang tidak hamil, akan tetapi perubahan
anatomis
dan Iisiologis dalam kehamilan dapat mengubah respon penderita hamil
terhadap
trauma. Hal penting untuk survival/keselamatan ibu dan anak adalah
pengenalan
dini adanya kehamilan yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan Iisik dan
laboratorium (hCG), dan penilaian dini terhadap janin.

O Pada orang usia lanjut, trauma merupakan penyebab kematian nomor 5.


Resusitasi pada
pasien usia tua memerlukan perhatian khusus juga, karena cadangan Iisiologis
penderita berkurang sebanding pertambahan umur. Kemampuan bertahan
orang tua
terhadap trauma akan berkurang jika terdapat penyakit jantung, paru, dan
metabolik yang kronis. Penyakit penyerta seperti D (diabetes), PPO
(paru),
PJK (jantung), koagulopati, penyakit
liver, dan gangguan vaskuler akan ditemukan lebih sering pada orang tua, dan
akan
memperberat keadaan. Pemakaian jangka panjang terhadap obat-obatan
mungkin
mengubah respons terhadap trauma.

II. 3 Neurologic Evaluation

Pada makalah kali ini kami mengambil contoh cedera kepala :

A. Pembagian Cedera Kepala

1. Simple Head Infury
Diagnosa simple head infury dapat ditegakkan berdasarkan:
O Ada riwayat trauma kapitis
O Tidak pingsan
O Gejala sakit kepala dan pusing
&mumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.

. 4mm49i4 erebri
4mm49i4 cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang
masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul
akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan
tambahan yang selalu dibuat adalah Ioto tengkorak, EEG, pemeriksaan
memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi
kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. 4n9usi4 erebri
Pada c4n9usi4 cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting
untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika
itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi
yang destruktiI. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh
karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis diIus. Akibat
blockade itu, otak tidak mendapat input aIeren dan karena itu, kesadaran
hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah 'c4up , 'c4n9rec4up, dan
'intermediatemenimbulkan gejala deIicit neurologik yang bisa berupa
reIleks babinsky yang positiI dan kelumpuhan &. Setelah kesadaran puli
kembali, si penderita biasanya menunjukkan 'organic brain syndrome.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang


beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena
pusat vegetatiI terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernaIasan
bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan
antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan
7-10 hari.

. Lacera9i4 erebri
Dikatakan lacera9i4 cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi Iragmen Iraktur terutama pada
Iraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan
oleh deIormitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.



5. Frac9ure Basis ranii
Frac9ur basis cranii bisa mengenai Iossa anterior, Iossa media dan
Iossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau Iossa mana
yang terkena.
Fraktur pada Iossa anterior menimbulkan gejala:
O Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
O Epistaksis

O Rhinorrhoe
Fraktur pada Iossa media menimbulkan gejala:
O Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
O Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-Ioto basis kranii.
Komplikasi :
O Gangguan pendengaran
O Parese .VII periIer
O eningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya
harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah inIeksi.
Tindakan operatiI bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
O Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
4 Skor GCS 13-15
4 Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
4 Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
4 Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
O Cedera Kepala Sedang (CKS)
4 Skor GCS 9-12
4 Ada pingsan lebih dari 10 menit
4 Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
4 Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraI dan anggota
gerak.
O Cedera Kepala Berat (CKB)

4 Skor GCS 8
4 Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
4 Terjadinya penurunan kesadaran secara progesiI
4 Adanya Iraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.

B. Pemeriksaan Penunjang

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
&ntuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
&ntuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen Ioto kepala
&ntuk melihat ada tidaknya Iraktur pada tulang tengkorak

C. Diagnosa

Berdasarkan : Ada tidaknya riwayat trauma kapitis
Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala
laterlisasi
Pemeriksaan penunjang.

D. Komplikasi

Jangka pendek :

1. Hematom Epidural

4 Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
4 Etiologi : pecahnya A. eningea media atau cabang-cabangnya
4 Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa
jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresiI seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah
meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi
lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap reIleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
4 Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
4 Interval lucid
4 Peningkatan TIK
4 Gejala lateralisasi hemiparese
4 Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
4 Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.
Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda
kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reIleks tendon
meninggi dan reIleks patologik positiI.
4 CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
4 LCS : jernih
4 Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.

2. Hematom subdural
4 Letak : di bawah duramater

4 Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan


laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

4 Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
4 CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim
otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung
tulang tengkorak)
Isodens terlihat dari midline yang bergeser
4 Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada
lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa
hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
maniIestasi neurologik sesuai dengan Iungsi bagian otak yang terkena.

4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin
hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih
berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala
kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
O TIK meningkat

O Cephalgia memberat
O Kesadaran menurun

Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese .VII dan gangguan .
VIII, disartria, disIagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido
menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa,
gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan
intelegensia, menarik diri, dan depresi.

E. TERAPI

CKR :
O Perawatan selama 3-5 hari
O obilisasi bertahap
O Terapi simptomatik
O Observasi tanda vital
CKS :
O Perawatan selama 7-10 hari
O Anti cerebral edem
O Anti perdarahan
O Simptomatik
O eurotropik
O Operasi jika ada komplikasi
CKB :
O Seperti pada CKS

O Antibiotik dosis tinggi


O Konsultasi bedah saraI

. PROGNOSA
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma
kapitis.

G. Glasgow Coma Scale (GCS)

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem skoringyang sederhana dan dapat
meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukansebagai
pengganti AVP&. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada
secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis.


Clasgow Coma Scale Ailai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

5
4
3
2
1
Respon motorik ()
engikuti perintah

6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan


Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi Ileksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
5
4
3
2
1
ilai GCS ( EV), nilai terbaik 15 dan nilai terburuk 3

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan
perIusi otak, ataupun disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran
menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perIusi.

Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun
demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia ataupun hipovolemia
sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab
penurunan kesadaran, dan bukan alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

Dan yang menjadi masalah saat ini adalah walapun sudah dilakukan segala usaha
pada penderita dengan trauma kapitis, penurunan keadaan pada penderita dapat
terjadi, dan kadang terjadi dengan cepat. Lucid intervaL pada perdarahan epidural
adalah contoh penderita yang sebelumnya masih dapat berbicara tapi sesaat kemudian
meninggal. Diperlukan evaluasi ulang yang sering untuk dapat mengenal adanya
perubahan neurologis. ungkin perlu kembali ke primary survey untuk memperbaiki
airway, oksigenasi dan ventilasi, serta perIusi. Bila diperlukan konsul sito ke ahli
bedah saraI dapat dilakukan pada primary survey.





BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Jadi primary survey merupakan suatu tindakan penilaian keadaan penderita dan
prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme
cedera.enjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran , serta ukuran
dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode
AVP&.
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan dapat
meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai pengganti
AVP&. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada secondary
survey pada saat pemeriksaan neurologis. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
penurunanoksigenasi dan/atau penurunan perIusi otak, ataupun disebabkan trauma
langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap
keadaan oksigenasi, ventilasi dan perIusi.
III.2 Saran
Adapun pembuatan makalah ini tidak terlepas dari banyaknya kekurangan,untuk itu
penulis memohon sebesar-besarnya saran kepada pembaca untuk menyempurnakan
pembuatan makalah ini.




DATAR PUSTAKA

http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detailtbi.htm
http://www.kidshealth.org/parent/IirstaidsaIe/emergencies/ headinjury.htm
http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm
http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm
http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm
http://www.brainandspine.org.uk/inIormation/

Anda mungkin juga menyukai