Anda di halaman 1dari 2

Dr Ratnasari Azahari, MPA *)

Revitalisasi Program KB Nasional Harus Dilakukan


Revitalisasi Program KB harus dilakukan, karena dalam lima tahun terakhir pertumbuhan akseptor KB baru hanya berkisar antara 0,3 persen sampai 0,5 persen, kata Kepala BKKBN, dr Sugiri Syarief, MPA pada peringatan Harganas XIV 2007. Oleh karena itu beliau menargetkan dapat mengembalikan pertumbuhan akseptor KB aktif minimal satu persen mulai tahun 2007. Pernyataan ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, yang terlibat dalam mensukseskan program KB Nasional. Memang tidak mudah, tapi dengan keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita ingin berhasil, insya Allah harapan kepala BKKBN bisa terwujud, tentu saja disertai modal kerja keras, ulet, pantang menyerah dan doa pastinya.

Pos Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) yang banyak berjasa dalam menyukseskan KB.
[FOTO: HNUR]

ALAU dulu program KB Nasional pernah menjadi program raksasa yang prioritas di negara kita Indonesia tercinta ini, itu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di mana kepala BKKBN pada masa itu adalah Bapak Dr Haryono Suyono, maka hal ini telah berubah banyak, beberapa waktu terakhir ini program KB nyaris tak terdengar. Oleh karena itu hal ini perlu menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat, karena setelah berjalan hampir 38 tahun, sudah saatnya kita mengembalikan bukan saja citra BKKBN yang telah membawa nama baik Indonesia, akan tetapi juga tentunya dampak positip akan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan keberhasilan program KB di mana seluruh keluarga di Indonesia semakin bahagia dan sejahtera dan
64

berkualitas, sehingga mampu bersaing dengan negara lain di era globalisasi. Salah satu program yang perlu di revitalisasi adalah penggarapan daerah miskin, tentu saja ini merupakan prioritas, mengingat jumlah penduduk miskin di Indonesia cukup besar, dari 53,3 juta keluarga Indonesia, 30,5 persen atau setara dengan 16,2 juta keluarga adalah miskin dengan kategori pra-sejahtera dan sejahtera satu. Padahal penduduk miskin inilah yang pada umumnya memiliki jumlah anak banyak, apalagi jika masih saja tetap menganut prinsip banyak anak banyak rezeki, dan juga harus memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, karena menganggap kedua jenis ini sama nilainya. Sehingga berapapun jumlah anak yang dilahirkan kalau masih perempuan semua,

Gemari Edisi

99/Tahun

X/April

2009

tetap berusaha untuk memiliki anak laki-laki, begitu pula sebaliknya. Contoh misalnya propinsi NTT, ada kebiasaan penduduk yang masih menganggap bahwa nilai anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama, artinya jika memiliki anak perempuan dengan jumlah yang banyak pasti akan menguntungkan, karena mahar yang akan diterima saat si anak akan menikah akan besar, sebaliknya anak laki-laki juga diharapkan banyak, karena akan menjadi penopang kehidupan di masa mendatang, sebagai pembantu keluarga dalam mencari rezeki, bekerja di lahan sawah, atau sebagai nelayan bahkan untuk kerja serabutan lainnya. Pokoknya memiliki anak banyak, tanpa memperhitungkan bahwa kemampuan terbatas, tentunya akan semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Hal ini yang harus segera disadarkan kepada pemerintah daerah, untuk menjadikan program KB sebagai program prioritas dan andalan. Program KB adalah merupakan program investasi SDM Indonesia di masa mendatang, hal ini yang benar-benar harus dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pimpinan formal dan informal, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya. Situasi seperti inilah hendaknya menjadikan pemerintah daerah tanggap mencermatinya, bukan hanya berkutat pada masalah peningkatan retribusi daerah, bukan hanya memikirkan pilkada, serta masalahmasalah ekonomi dan lain sebagainya, yang sebenarnya hal ini akan tidak ada artinya jika program KB tidak berhasil. Masalah keberhasilan program KB harus tetap menjadi prioritas seluruh pemerintah daerah, dan hal ini harus bisa tersampaikan melalui advokasi dan KIE yang tepat sasaran dan tepat guna, dan tepat cara, sehingga semua pemerintah daerah mau menjadikan program KB sebagai program prioritas di daerahnya masing-masing. Jika hal ini benar-benar dapat dilaksanakan maka diharapkan kemiskinan dapat diminimalisir, atau bahkan dapat dihilangkan pada saatnya nanti, pendidikan dapat ditingkatkan, kesehatan masyarakat akan lebih baik, sehingga SDM Indonesia akan lebih unggul dan berkualitas, sementara keluarga akan lebih bahagia dan sejahtera. Barangkali bisa dijadikan contoh bagaimana Walikota Bontang (Kalimantan Timur) yang secara tak langsung ikut menggerakkan program KB hingga ke lini keluarga (Jurnal Keluarga, Juni 2008). Di kota Bontang, walikotanya memberikan gratis kesehatan untuk anak pertama dan kedua. Sementara untuk anak ketiga, keempat dan seterusnya

diberlakukan biaya kesehatan yang cukup besar, karena kelebihan dana itulah yang akan mensubsidi biaya kesehatan anak pertama dan ke dua. Jadi ada semacam disinsentif untuk anak ke tiga, ke empat dan seterusnya. Demikian pula halnya pemberian bea siswa pendidikan. Untuk anak pertama dan ke dua dibebaskan, sedangkan anak ketiga dan seterusnya dikenakan biaya. Dengan demikian walikota Bontang melalui kebijaksanaannya tersebut mendorong dilaksanakannya program KB, sekaligus menciptakan manusia Dr Ratnasari Azahari, MPA Indonesia yang berkualitas, karena diberikan pendidikan dengan bantuan bea siswa hanya bagi anak pertama dan ke dua saja. Hal ini membuat keluarga-keluarga akan berfikir dua tiga kali jika ingin menambah anak lagi. Jika hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah maka tujuan akhir menciptakan keluarga kecil bahagia dan sejahtera akan lebih mudah terealisir. Program-program seperti inilah yang mungkin harus lebih banyak diadvokasi dan KIE-kan kepada pemerintah daerah, seraya mengingatkan kembali kepada para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali berjuang bersama program KB. Para tokoh ini nantinya diharapkan akan memberikan contoh yang menjadi tauladan, karena tidak bisa diingkari bahwa masyarakat Indonesia masih menganut pola panutan, jadi menjalankan apa yang di contohkan oleh tokoh baik tokoh formal dan informal. Sebenarnya sebelum terjadinya reformasi, program KB sudah mampu merubah sikap dan perilaku masyarakat banyak, apalagi dari tingkat menengah, sudah menjadi biasa kalau keluarga memiliki dua anak atau jumlah anak sedikit, tapi sekarang hal ini sudah kembali lagi, bangga memiliki banyak anak. Oleh sebab itu kita harus mengembalikan lagi kesadaran masyarakat untuk ber KB demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Kita harapkan dengan revitalisasi program KB, keluarga sebagai unit terkecil bangsa akan dapat lebih bahagia dan sejahtera dan SDM Indonesia akan mampu berkompetisi dengan masyarakat dunia lainnya. Semoga dan semoga. *) Penulis adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Sejahtera Dan Peningkatan Kualitas Perempuan BKKBN Pusat/HNUR Gemari Edisi 99/Tahun X/April 2009
65

Anda mungkin juga menyukai