Anda di halaman 1dari 7

SADDUDZ DZARIAH

BAB I PENDAHULUAN Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran maupun as-Sunnah. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial dan persoalan baru yang muncul yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Quran. Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah merupakan upaya pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah. Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang sadd adz-dzariah yang meliputi: Bab I Pendahuluan

Bab II Isi A. Pengertian Sadd adz-dzariat B. Macam-macam Sadd adz-dzariat C. Kehujjahan Sadd adz-dzariat Bab III Penutup Bab II ISI A. Pengertian Sadd adz-dzariah Secara bahasa kata Sadd (( berarti menutup dan adz-dzariah (

)berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan[1]. Secara istilah, adz


dzariah adalah:


Jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang.[2] Maka dapat dikatakan bahwa saddudz dzariah adalah metode penetapan hukum dengan cara menutup jalan yang menjadi perantara kepada perbuatan yang yang dilarang atau perbuatan yang bisa menimbulkan kerusakan (mafsadat). Bisa juga diartikan melarang suatu perbuatan untuk menghindari perbuatan lain yang dilarang.[3] B. Macam-Macam Sadd adz-dzariah

Adz-Dzariah dibagi menjadi dua[4] yaitu: 1. Dari segi kualitas kemafsadatannya. Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzariah dibagi menjadi empat[5]: a. Dzariah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap. b. Dzariah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzariah ini tidak perlu dilarang. c. Dzariah/perbuatan mafsadat, misalnya yang diduga keras akan membawa perusahaan

menjual

anggur

kepada

pembuat minuman keras. Dzariah ini harus dilarang. d. Dzariah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang dzarah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya. 2. Dzariah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzariah jenis ini dibagi menjadi 2, yaitu: a. Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum

minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata. b. Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut. Ibnu Qayyim juga membagi dzariah jenis ini menjadi dua yaitu a. yang kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya b. yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya 3. Dzariah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat,[6] yaitu: a. Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara b. Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara. c. Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara d. Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang.

Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan. C. Kehujahan Sadd adz-dzariah. Terdapat perbedaan pendapat di kalangulama tentang metode sadd adzdzariah ini. 1. Ulama yang menerima sepenuhnya Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adzdzariah ini sebagai salah satu dalil syara. Alasan mereka antara lain: a. Firman Allah dalam surat An Anam, 6: 108:

)
108)

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS: An Anam:108) b. Hadits Rasulullah saw[7].


Ingatlah, tanaman Allah adalah masiat-masiat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim) 2. Ulama yang menerima secara terbatas Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Syiah dapat menerima sadd adz-dzariah sebagai dalil jika kemafsadatan yang akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau paling tidak diduga keras akan terjadi jika

sebuah dzariah dikerjakan[8]. 3. Ulama yang menolak Ulama dhohiriyah tidak menerima sadd adz-dzarah sebagai salah satu dalil dalalm menetapkan hukum syara. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima logika dalam masalah hukum. BAB III PENUTUP Pada umumnya semua ulama menerima metode sadd adz-dzariah, kecuali ulama dhohiriyah. Hanya saja penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi dzariah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang[9]. Terlepas dari kategori mana dzariah yang harus dilarang, metode saddudz dzariah berhubungan langsung dengan memelihara kemaslahatan dan menghindari mafsadat. Memelihara maslahat termasuk tujuan yang disyariatkan hukum dalam Islam[10].
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sulaiman, Dr. H. Sumber Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995. Ash-Shiddieqy, Hasby, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975. Djamil, Fathurrahman, Dr. H. MA, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997. Haroen, Nasrun, Drs. H.M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996. Salam, Zarkasji Abdul, Drs. dan SW, Oman Fathurrohman, Drs. Pengantar Ilmu

Ushul Fiqh I, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1994. Hanafi, A., M. A., Usul Fiqh, Jakarta, Wijaya, cetakan ke-12 1993.
[1] Dr. H Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995, hal 164. [2] Hasby Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hal 321.

[3] Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997 hal 143 [4] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996 hal. 162
[5] Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, op. cit hal 166 [6] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, op. cit hal 166

[7] A.

Hanafi, M. A., Usul Fiqh, Jakarta, Wijaya, cetakan ke-12 1993. hal 147-148

[8] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A., op. cit hal 168-169


[9] Drs. Zarkasji Abdul Slam dan Drs Oman Fathurrohman SW, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh I, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1994 hal 124-125 [10] Hasby Ash-Shiddieqy, op. cit hal. 144-145

Anda mungkin juga menyukai