Anda di halaman 1dari 11

I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat ideal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, mempunyai siklus hara yang tertutup, stratifikasi tajuk yang tinggi, dan selalu hijau sepanjang tahun. Selain itu, hutan ini juga mempunyai sifat self nutrient recovery, yaitu dua pertiga nutrisi yang ada pada tanaman dilepas ke tubuh tanaman itu lagi sebelum tanaman tersebut menggugurkan daunnya (Setiadi 2005). Karakteristik hutan seperti ini menyebabkan hutan hujan tropis mempunyai fungsi proteksi, konservasi, dan produksi. Fungsi proteksi hutan yaitu melindungi sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir, menjaga kesuburan tanah. Fungsi konservasi yaitu dapat mempertahankan keanekaragaman hayati, mempertahankan keseimbangan ekosistem tanah, air, dan vegetasi, serta menjaga keseimbangan iklim khususnya iklim mikro. Disamping itu hutan mempunyai juga fungsi produksi karena hutan hujan tropis sangat kaya akan sumberdaya alam sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Setiadi 2005). Pada tahun 2005 luas hutan alam tropis di dunia adalah 1.265.000.000 ha, dimana seluas 88.495.000 ha terdapat di Indonesia. Hutan alam tropis di Indonesia mempunyai 27.500 jenis bunga, 47.264 jenis tumbuhan, 429 jenis pohon, dan 1.972 jenis burung (World Resources Institute 1999). Kebutuhan hidup manusia yang tinggi terhadap pemanfaatan hutan menyebabkan kerusakan hutan hujan tropis. Demikian pula halnya dengan deforestasi akibat proses pertambangan, pembalakan hutan, perkebunan dan lainlain. Bahan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional. Dalam kegiatan penambangan dilakukan dengan cara pembukaan hutan, pengupasan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya habitat

2 satwa dan hilangnya jenis-jenis flora atau fauna endemik. Selain itu, kegiatan penambangan secara nyata menimbulkan kerusakan lingkungan (Setiadi 2005). Hutan Indonesia yang rusak (deforestasi) pada tahun 2000 2005 diperkirakan 1.447.800 ha per tahun (FAO 2005). Deforestasi ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Diperkirakan dari 10 juta spesies di hutan hujan tropis di dunia, dalam sehari terdapat 137 spesies punah atau hilang (FAO 2005). Dampak deforestasi terhadap lingkungan akibat proses pertambangan sangat berbahaya, sehingga usaha reforestasi sampai terbentuknya hutan hujan tropis yang lestari sangat diperlukan. Reforestasi dilakukan dengan penanaman tanaman yang dapat bertahan pada degraded land, dapat memperbaiki kondisi lahan, dan mendorong pertumbuhan tanaman. Pola penanganan yang diberikan pada proses reforestasi harus ditujukan pada terjadinya percepatan pemulihan hutan dengan mempercepat terjadinya proses suksesi untuk membentuk hutan hujan tropis yang lestari (Setiadi 2005). Di Indonesia, rehabilitasi lahan di areal pertambangan sudah banyak dilakukan seperti yang sudah dilakukan oleh PT Antam. Sampai pada akhir tahun 2004, PT Antam sudah merehabilitasi lahan di tambang nikel Gebe seluas 540,2 hektar atau 83,5% dari total lahan seluas 647 hektar yang akan direhabilitasi. Rehabilitasi lahan terganggu di tambang pasir besi Cilacap seluas 622,6 hektar atau 98,7% dari target lahan yang direhabilitasi seluas 630,3 hektar. Dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006 total lahan yang telah direhabilitasi seluas 3.066 hektar atau 83.7% dari target rehabilitasi lahan seluas 3.660 hektar (Antam 2005). Keberhasilan reforestasi di kawasan pertambangan sampai saat ini belum mengarah pada terbentuknya kembali hutan alam stabil, hal ini disebabkan oleh kelemahan dari metode monitoring yang dilakukan. Beberapa metode

pemantauan keberhasilan reforestasi yang pernah dilakukan selama ini bersifat parsial, yaitu hanya memantau kegiatan-kegiatan pascapenambangan. Seperti, monitoring revegetasi di tambang nikel Tanjung Buli, Soroako, tambang batubara Bukit Asam, dan penelitian di Negeri Sembilan Malaysia. Metode monitoring menggunakan variabel: 1) luas areal revegetasi, parameter tanaman (jenis tanaman, jumlah pohon yang ditanam, jumlah pohon hidup, dan jumlah pohon

3 yang disulam), dan analisis pencemaran kualitas air (Yudistira 2003), 2) variabel pertumbuhan (tinggi tanaman, diameter batang, penutupan tajuk, dan

perkembangan akar), dan variabel kondisi tempat tumbuh (serasah dan keanekaragaman hayati) (Sirait 1997), 3) variabel tingkat hidup dari anakan yang ditanam, dan sifat-sifat tanah sebelum dan sesudah revegetasi (bulk density, kelembaban, bahan organik, dan pH (Maswar et al. 2000), serta 4) variabel vegetasi (pertumbuhan tanaman, persentase penutupan lahan, komposisi spesies), fauna asli (serangga, burung, amphibi, reptil, dan mamalia), tanah (fisik, kimia, dan biologi tanah, kualitas air tanah, dan permukaan) (Widdowson 1990). Kelemahan metode monitoring yang lain adalah tidak menggunakan secara komprehensif indikator-indikator dari karakteristik fisik hutan alam stabil. Seperti metode monitoring yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988) dalam sistem monitoring baku mutu lingkungan hutan produksi. Indikator yang digunakannya adalah potensi tegakan, persen penutupan tajuk, kelengkapan tajuk, keragaman jenis, dan permudaan alam. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, penilaian kriteria keberhasilan reklamasi menggunakan indikator penataan lahan, revegetasi dan pekerjaan sipil, serta penyelesaian akhir. Sedangkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan menggunakan indikator penataan lahan,

pengendalian erosi, dan sedimentasi, serta revegetasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan reforestasi. Kriteria dan indikator ini digunakan secara terstruktur dan komprehensif, namun keberhasilan reforestasi belum mengacu pada kembalinya struktur dan fungsi hutan pada kondisi rona awal. Metode monitoring keberhasilan reforestasi yang dapat mengukur secara kuantitatif berapa waktu pencapaian keberhasilan reforestasi sampai mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi rona awal belum pernah dilakukan sampai saat ini. Demikian pula metode monitoring yang menggunakan secara komprehensif indikator-indikator dari karakteristik fisik hutan alam stabil dan struktur tajuk sebagai indikator kunci juga belum pernah dilakukan.

4 Metode pemantauan seperti ini sangat diperlukan karena mempunyai kelebihan, yaitu dapat memantau tingkat keberhasilan reforestasi pada umur tanam tertentu. Kelebihan lainnya adalah dapat memberikan kepastian adanya kurun waktu keberhasilan reforestasi sampai mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi hutan alam stabil (rona awal). Penggunaan indikator kunci seperti struktur tajuk dalam monitoring juga dapat menghemat waktu dan biaya. Areal revegetasi di kawasan pertambangan pada umumnya terletak di suatu areal yang tersebar dan berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini menyebabkan monitoring keberhasilan reforestasi susah dilakukan, sehingga diperlukan suatu pemodelan spasial yang bersifat dinamis dan penginderaan jauh Teknologi komputerisasi (software maupun hardware), Sistem Informasi Geografis (SIG), dan teknologi penginderaan jauh dewasa ini berkembang dengan cepat. Oleh karena itu, monitoring lingkungan bisa dilakukan atau dikembangkan secara semiotomatis dalam bentuk pemodelan khususnya pemodelan spasial (Jaya 2006). Metode pemodelan spasial yang dilakukan untuk pengelolaan lingkungan sampai saat ini sudah banyak dilakukan. Sebagai contoh penerapan pemodelan spasial dalam kesesuaian ruang habitat satwa (Harini 2002), pemetaan rawan kebakaran (Chuvieco et al. 1999), penilaian kelestarian hutan (Mendoza dan Prabhu 2002), distribusi tipe vegetasi (Felicisimo et al. 2000), dan kerusakan hutan mangrove (Budhiman et al. 2001). Beberapa penelitian pemodelan spasial di kawasan pertambangan juga pernah dilakukan, seperti studi pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh untuk monitoring dampak aktivitas penambangan di Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan (Yudo dan Supriyanto 2003), pemanfaatan Digital Elevation Model (DEM) dalam analisis morfometrik untuk aplikasi penentuan lahan usaha tambang di Kabupaten Bandung (Suherman 2003), uncertainty assessment of coal tonnage by spatial modeling of seam structure and coal quality. A multilayer coal deposit in East Kalimantan, Indonesia (Heriawan dan Koike 2007), tetapi sejauh ini penerapan pemodelan spasial untuk monitoring keberhasilan reforestasi belum pernah dilakukan. dapat memanfaatkan tehnologi

5 Kegiatan monitoring dengan model spasial diharapkan dapat dilakukan dengan mudah, cepat, akurat, dan dapat mengukur seberapa besar keberhasilan reforestasi sampai mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi hutan alam stabil (rona awal). Metode spasial dapat juga untuk mengatasi kompleksitas ruang atau spasial, waktu, dan behavior. Oleh karena itu, penelitian pengembangan metode pemodelan spasial dengan bantuan indikator kunci seperti struktur tajuk sangat diperlukan. PT Internasional Nickel Indonesia (PT INCO) dan Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya pada tahun 1968. Kegiatan eksplorasi berskala penuh dimulai segera setelah penandatanganan kontrak karya. Daerah eksplorasi seluas 6.600.000 ha yang mencakup beberapa wilayah dari tiga propinsi di Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Areal kontrak karya pertambangan nikel PT INCO yang terletak di Sorowako Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan, mempunyai tutupan lahan asli berupa hutan hujan tropis primer dan berdasarkan TGHK tahun 1982 termasuk dalam kawasan hutan lindung (HL). Proses penambangan ini sudah dimulai sejak tahun 1978 dan dikerjakan oleh PT INCO. Sistem penambangan yang dilakukan adalah dengan metode Open pit mining, yaitu merupakan metode tambang terbuka dengan sistem berjenjang (bench) atau tambang terbuka dengan membuat jenjang-jenjang pada setiap blok penambangan. Jenjang-jenjang tersebut memiliki teras untuk ruang gerak alat-alat dan pelaksana penambangan bekerja. Sistem penambangan seperti ini menyebabkan pembukaan dan pengupasan tanah hutan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya hutan primer yang ada. Reklamasi lahan baru dilakukan pada tahun 1980 dari proses penambangan yang dilakukan sejak tahun 1978. Total lahan yang telah direklamasi hingga akhir tahun 2005 mencapai luas 2.844 ha. Reklamasi lahan dilakukan dalam rangka usaha untuk mengendalikan erosi dan melakukan penanaman dengan tanaman jenis lokal. Penanaman dilakukan pada beberapa periode penanaman, yaitu pertama pada periode tahun 1984 1990 sampai dengan tahun 2008. , tahun 19911999, dan tahun 2000

6 Kegiatan reklamasi lahan melalui revegetasi akan berhasil apabila proses reforestasi dilakukan dengan benar. Monitoring keberhasilan reforestasi apabila dilakukan secara teristris akan membutuhkan waktu yang lama. Untuk itu pemodelan spasial khususnya penggunaan citra satelit akan sangat membantu dalam melakukan monitoring keberhasilan reforestasi. 1.2. Kerangka Pemikiran Hutan hujan tropis primer merupakan suatu ekosistem yang sangat ideal dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, mempunyai siklus hara yang tertutup, stratifikasi tajuk yang tinggi, selalu hijau sepanjang tahun. Pada penelitian ini, pemodelan spasial untuk monitoring keberhasilan reforestasi menggunakan indikator-indikator karakteristik hutan alam stabil. Siklus kerangka berpikir pada pemodelan spasial ini disajikan pada Gambar 1. Bumi merupakan sebuah rangkaian spasial-temporal. Setiap tempat di bumi tersebut mempunyai proses-proses yang berbeda. Proses-proses ini merupakan hasil kekuatan-kekuatan interaktif yang disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal serta menghasilkan pola-pola spasial dan akan berubah sejalan dengan perubahan waktu (Molenaar 1998). Kerusakan hutan alam yang disebabkan oleh proses pertambangan merupakan salah satu contoh kejadian yang terjadi di permukaan bumi, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Deforestasi akibat proses pertambangan, pembalakan hutan, perkebunan, dan lain-lain tidak dapat dihindarkan. Deforestasi khususnya pada kawasan pertambangan menyebabkan lahan terdegradasi (degraded land) sangat tinggi, bahkan menyebabkan lahan menjadi derelict, yaitu kondisi lahan yang mempunyai landform tidak stabil, tingkat erosi, dan sedimentasi yang tinggi, sangat terbatas kandungan air dan hara serta tidak ada lagi atau sedikit sekali top soil dan sub soil.

8 Rehabilitasi lahan bekas tambang dilakukan dengan menghutankan kembali (reforestasi) areal bekas pertambangan tersebut. Pengetahuan tentang ekologi hutan khususnya pengetahuan tentang suksesi hutan sangat penting dikuasai untuk memberikan gagasan bentuk dan pola penanganan reforestasi hutan. Pengetahuan tentang spesies yang mempunyai sifat sebagai fasilitator bagi tumbuhnya spesies lain juga diperlukan agar reforestasi dapat berhasil. Jenis pohon yang ditanam sebaiknya tidak monokultur, tetapi jenis-jenis campuran dari spesies-spesies asli yang ada di hutan primer di sekitarnya. Menurut Setiadi (2005), proses reforestasi yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan biodiversitas, meningkatkan tutupan, stratifikasi tajuk,

meningkatkan kesuburan tanah, mempercepat terjadinya kolonisasi, dan masuknya kehidupan satwa, serta meningkatkan kondisi lingkungan hutan. Peubah-peubah tersebut penting dipelajari dengan teliti dan detail terutama untuk melakukan monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan reforestasi pada waktu tertentu dengan perlakuan tertentu. Monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan reforestasi pada hutan hujan tropis primer dan areal bekas pertambangan memperhatikan 6 faktor, yaitu: 1) biodiversitas, 2) tingkat penutupan dan stratifikasi tajuk, 3) ketersediaan nutrisi, 4) terjadinya rekolonisasi, dan 5) masuknya kehidupan satwa, serta 6) kondisi lingkungan hutan (relief, iklim, erosi, dan genangan air) (Setiadi 2005). Selanjutnya, analisis tingkat keberhasilan reforestasi ditujukan untuk mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi hutan alam stabil (rona awal). Dewasa ini fenomena alam dan proses-proses yang menghasilkan pola-pola spasial yang selalu berubah dengan waktu, hanya dianalisis terbatas pada data atributnya. Dengan perkembangan SIG dan dibarengi dengan kemajuan teknologi komputer, maka fenomena dan proses-proses tersebut dapat dipelajari dan dianalisis dengan mudah, serta dapat dikembangkan menjadi model-model spasial. Pemakaian pemodelan spasial dalam pengelolaan lingkungan sangat meningkat. Dibandingkan dengan model matematik nonspasial, pemodelan spasial untuk analisis lingkungan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1) dapat digunakan untuk mensimulasikan, memprediksi, dan mendeskripsikan kejadian-

9 kejadian lingkungan berdasarkan ruang dan waktu, 2) dibandingkan dengan penelitian teristris, metode pemodelan memerlukan waktu yang lebih cepat dan biaya yang lebih murah (Jaya 2006). Data hasil pengukuran kritera dan indikator di hutan alam primer dan di areal bekas pertambangan digunakan dalam penyusunan model spasial untuk menemukan indikator kunci dan model yang terbaik. Model dengan indikatorindikator ini dapat dipakai untuk mengukur ketercapaian tingkat keberhasilan reforestasi sampai mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi hutan alam stabil (rona awal). 1.3. Kebaruan Penelitian Secara umum, metode yang dikembangkan guna melakukan evaluasi dan monitoring terhadap reforestasi adalah metode dengan pendekatan nonspasial. Pendekatan yang menggunakan aspek-aspek bentang lahan dan lokasi keruangan jarang dipertimbangkan. Penelitian ini merupakan pengembangan metode pemodelan spasial yang dilakukan secara komprehensif untuk mendapatkan indikator kunci dalam mengukur tingkat keberhasilan reforestasi sampai mencapai struktur dan fungsi hutan pada kondisi hutan alam stabil (rona awal). Selain itu, penelitian ini juga mempertimbangkan dimensi waktu sehingga model spasial yang dibangun dapat digunakan untuk memantau keberhasilan reforestasi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman yang sering dinyatakan dengan umur tanaman atau kelas umur tanaman tertentu. Dengan pendekatan ini, penilaian keberhasilan reforestasi dapat dilakukan sedini mungkin dan secara periodik. Keterbaharuan dari metode ini adalah pada dimensi keruangan dan dimensi waktu, sehingga kompleksitas spasial atau ruang dapat dilakukan secara mudah.

10 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran, tujuan utama penelitian adalah: 1. Menyusun model spasial pemantauan tingkat keberhasilan reforestasi. 2. Menentukan indikator kunci tingkat keberhasilan reforestasi. 1.5. Manfaat Penelitian Kriteria dan indikator serta model spasial tingkat keberhasilan reforestasi hasil penelitian dapat digunakan untuk: 1. Penyempurnakan kebijakan dan optimalisasi rehabilitasi lahan khususnya rehabilitasi lahan di kawasan pertambangan. 2. Monitoring tingkat keberhasilan reforestasi di kawasanan pertambangan lain yang sejenis. 3. Memberikan kemudahan bagi perusahaan dan pemerintah untuk melakukan monitoring.

11 Hutan hujan tropis stabil, karakteristik : 1. Biodiversitas sangat tinggi 2. Siklus hara tertutup 3. Stratifikasi tajuk tinggi 4. Selalu hijau sepanjang tahun 5. Self nutrient recovery 6. Bersifat konstan

Struktur dan fungsi

Pertambangan Degraded land

Reforestasi Kriteria dan Indikator Penelitian : 1. Biodiversitas 2. Tutupan dan stratifikasi tajuk 3. Nutrient retention 4. Rekolonisasi 5. Wildlife 6. Kualitas lahan

Proses pemulihan (recovery)

T1

T2

Tn

Monitoring dan evaluasi

Skoring dan pemodelan spasial Identifikasi indikator kunci

Gambar 1 Diagram alir kerangka berfikir.

Anda mungkin juga menyukai