Anda di halaman 1dari 25

Pengorganisasian ulang SFC (State Forestry Corporation) di bawah kepemimpinan Soeharto (Orde Baru) dan adanya pertumbuhan ekonomi

merupakan tanda awal dari Kehutanan di Jawa. Pada dasarnya struktur, hukum, ideologi pengelolaan hutan sekarang sama dengan pengelolaan hutan pada zaman Belanda. Bab V ini menjelaskan tentang karakteristik kolonial yang masih persisten, komposisi dan peran SFC, peran kehutanan dalam ekonomi politik Indonesia, dan mishubungan antara kehutanan ilmiah dan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat setempat

OLD AND NEW IN NEW ORDER FORESTRY


Stuktur SFC masih sama dengan pada masa kolonial. Dimana organisasi SFC terdiri dari: 1. Spesialis teknis kehutanan 2. Polisi hutan, dan 3. Administrator

Tujuan utama yang mereka lihat hasil hutan jati dan lainnya dengan prinsip-prinsip kapitalis

SFC telah diamanatkan oleh negara untuk: Menentukan penggunaan lahan hutan dan melakukan kontrol Memasarkan produk hutan Mengalokasikan buruh hutan Mengawasi kesejahteraan penduduk desa hutan Menghasilkan pendapatan untuk mendukung dirinya sendiri, dan Memberikan 55% dari keuntungannya untuk Anggaran Pembangunan Nasional Beda dengan P.N Jawa Timur dan Jawa Tengah

Kemudian terjadi perubahan Management SFC menjadi lebih efisien dan dapat memfasilitasi kontrol hutan, dimana: 1. 1961, didirikan PN Perhutani Jawa Timur dan Jawa Tengah 2. 1972, didirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), PN Perhutani Jawa Timur dan Jawa Tengah dilebur ke dalam Perhutani. 3. 1978, Pemerintah menambah unit produksi Perum Perhutani dengan wilayah kerja yang meliputi seluruh areal hutan di Jawa Barat

Keefesienan tersebut dapat dilihat dari: 1. Areal hutan dibagi per wilayah sehingga membuat areal kontrol menjadi lebih kecil 2. Areal hutan dibagi menjadi areal hutan jati dan non jati 3. Manajemen fiscal mengalami perubahan. Pendapatan dikelola oleh Forest District (KPH) Kegiatan ekspor dikelola oleh kantor pusat (Jakarta) Areal hutan jati memberikan subsidi untuk areal hutan non jati.

Management Constraints At The Field Level

Struktur SFC dapat dilihat pada gambar berikut Tugas Mantri: 1. Mengontrol areal hutan (1800 2500 ha) 2. Areal hutan yang dikontrol merupakan unit manajemen hutan terkecil RPH 3. Membawahi 4 orang mandor

Lanjutan Tugas Mandor (Spesifik): 1. Menanam 2. Menebang 3. Mengawasi pembibitan pohon, dan 4. Melakukan tugas ganda yaitu menjadi polisi hutan 5. Menjadi supervisi reforestasi oleh para buruh dalam tumpang sari

Lanjutan
Struktur dasar dan fungsi dari SFC tidak berubah Struktur dari zaman kolonial, meskipun telah dalam bentuk suatu perusahaan, modern, kapitalis. Kepribadian SFC di lapang tetap seperti perspektif penduduk desa hutan, tetap bahwa SFC adalah lembaga asing yang berusaha mengendalikan ekstraksi sumber daya lokal, yang setia pada ideologi sejarah.

NEW ORDER IDEOLOGY and FOREST CONTROL Pada masa Orde Baru, rimbawan mulai memiliki afiliasi kepada partai politik. Saat itu rimbawan memberikan dukungan mereka kepada partai GOLKAR yang merupakan partai besar. Di banyak KPH, anggota partai GOLKAR banyak mendapat promosi untuk naik jabatan. Pada ini, kebijakan kehutanan yang ada lebih berpusat pada skala besar dan hanya mengikut sertakan segelintir pelaku itupun dilandasi oleh kepentingan politik.

Lanjutan Pada masa ini ada 3 kontrol yang masih sama dengan zaman Belanda, yaitu: 1. Kontrol lahan 2. Kontrol Jenis hasil hutan 3. Kontrol tenaga kerja Kontrol Lahan Definisi lahan hutan yang merupakan definisi dari zaman Belanda (1927 dan 1932) masih tetap digunakan sampai sekarang UU No. 5 tahun 1967

Lanjutan Pada awal abad ini dikatakan bahwa tanah jawa harus ditutupi lahan hutan sebesar 30%. Selain mengontrol lahan hutan, SFC juga mengontrol semua aktivitas yang dilakukan di lahan hutan. Antara lain: 1. Mengumpulkan batu-batuan 2. Mengumpulkan batu kapur 3. Mengumpulkan kayu bakar 4. Melakukan segala jenis penelitian dalam batasbatas hutan memerlukan izin resmi SFC

Untuk mengontrol lahan hutan, SFC menggunakan: Polisi hutan Beroperasi dalam level Mandor Polisi khusus kehutanan Beroperasi dalam level Mantri Patroli jarak jauh Beroperasi seperti tim SWAT di dalam hutan Antara hutan jati dan non jati terdapat perbedaan kebijakan penempatan aparat polisi. Polisi di hutan jati memiliki areal patroli lebih kecil dibandingkan polisi di hutan non jati Lebih intens

Kontrol Jenis Hasil Hutan Pengklasifikasian hasil hutan Besar Kecilnya skala penanaman dan kontrol yang dilakukan. Hasil hutan diklasifikasikan menjadi: 1. Jati 2. Pinus 3. Rasamala 4. Agatis, dan 5. Kopi, karet, serta pohon buah-buahan.

Untuk mengukuhkan kontrol jenis ini, maka dimunculkan kebijakan tumpang sari Dalam tumpang ada tanaman yang boleh dan tidak untuk ditanam dalam Adapun tanaman yang tidak boleh ditanam, a.l: 1. Pohon membutuhkan waktu yang lama 2. Pepaya akan teraungi 3. Pisang akan ternaungi 4. Singkong menghabiskan nutrisi tanah menghancurkan struktur tanah

dan

Lanjutan Adapun tanaman yang boleh ditanam, a.l: 1. Padi lahan kering 2. Jagung 3. Kacang, serta 4. Sayur-sayuran yang didukung oleh kondisi iklim Tanaman ini boleh ditanam karena tidak akan menjadi saingan bagi pohon serta mudah dibersihkan apabila kegiatan tumpang sari selesai.

Lanjutan Pembatasan Pemasaran Apabila ada jenis jati di lahan milik pribadi, maka apabila tujuannya untuk dijual maka harus memberikan bayaran kepada SFC serta harus didukung oleh dokumen perjalan yang sah. Kontrol Tenaga Kerja Jumlah penduduk Tenaga kerja Illegal logging Perubahan kebijakan

Kemudian digunakan tenaga kerja formal dan informal untuk SFC. Tenaga kerja formal ditempatkan pada : 1. Pemerhati kebijakan dan regulasi 2. Penanaman 3. Penebangan 4. Penyadapan 5. Pemeliharaan, dan 6. Pengangkut log Tenaga kerja informal : Pencari kayu bakar, batu, batu kapur, arang, daun, dll

NEW PROBLEMS IN NEW ORDER FORESTRY Adapun permasalahan yang ada di masa orde baru yaitu: 1. SFC dan sektor kehutanan lebih kuat di tingkat nasional daripada pendahulu mereka yang Belanda hak otonomi yang dimiliki 2. Hutan yang rusak akibat pergolakan politik antara tahun 1942 dan 1966 perbaikan dan pengendalian kerusakan telah menjadi komponen yang lebih penting dari strategi kehutanan sejak tahun 1967

THE POLITICAL ECONOMI OF TEAK IN JAVA Kehutanan merupakan sektor terpenting ke-2 setelah minyak bumi. Secara konsisten berkontribusi sebesar 1213% untuk pertukaran valuta asing (1980-an), dimana 36,5% berasal dari hutan Jati di Jawa Jati Jawa merupakan Jati terbaik ke-3 di dunia setelah Thailand dan Burma. Lahan SFC 92% adalah lahan hutan jati ( 3 juta ha) Tahun 1984, Kegiatan ekspor Jati memberikan keuntungan 1,9% untuk pendapatan negara.

Politik ekonomi kehutanan banyak mengalami perubahan sejak masa Belanda SFC beralih fungsi menjadi perusahaan kapitalis. Semua kegiatan ekspor jati harus melalui beberapa proses di bawah kontrol SFC.
Jumlah ekspor jati meningkat 520.000 m3 (1969) 798.000 m3 (1986). Fokus pembangunan pada sektor nonoil menyebabkan SFC secara agresif mengejar target 4% nyata pertumbuhan/tahun improve untuk meningkatkan kualitas jati untuk di ekspor.

Lanjutan Jumlah kayu jati berkualitas terbatas, sedangkan permintaan akan jati tetap banyak. Hal ini menyebabkan: 1. Bahan material bangunan dari kayu menjadi semakin mahal karena jati yang bisa dipanen semakin berkurang jumlahnya dan areal jati yang bisa dipanen berada di wilayah yang sebelumnya belum di datangi sehingga memerlukan biaya yang lebih tinggi 2. Kondisi hutan menjadi rusak. Lihat Grafik

Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masalah yang harus diatasi: 1. Tekanan pada sektor kehutanan untuk overcut 2. De facto untuk mengkonversi hutan ke lahan pertanian 3. Kejahatan Kehutanan

Resistensi Rimbawan Terhadap Perubahan Struktural: Upaya Untuk Mengembangkan Desa Hutan

Hal-hal yang bisa dilakukan organisasi kehutanan untuk mulai memperbaiki kondisi kehutanan Indonesia, yaitu: Pendekatan Ad Hoc Agroforestry pada hutan lahan Alokasi lahan tumpang sari Realokasi dalam anggaran dana daerah Serta mengaktifkan kegiatan kehutanan sosial PMDH

Anda mungkin juga menyukai