Anda di halaman 1dari 154

1

Judul Tesis: Penerapan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2010. Oleh: Muflihatun Khairuna Pasaribu

DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH 1.3. PEMBATASAN MASALAH 1.4. RUMUSAN MASALAH 1.5. TUJUAN PENELITIAN 1.6. MANFAAT PENELITIAN KAJIAN PUSTAKA 2.1. KERANGKA TEORITIS 2.1.1. Kerangka Teoritis 2.1.1.1. Kemampuan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika 2.1.1.2. Pemodelan Soal Cerita Matematika 2.1.1.3. Pembelajaran Matematika 2.1.1.4. Pendekatan Metakognitif 2.1.1.5. Konsep Pecahan 2.1.1.6. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan Metakognitif 2.1.2. Penelitian Yang Relevan 2.2. KERANGKA KONSEPTUAL 2.3. HIPOTESIS METODE PENELITIAN 3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.1.1. Tempat Penelitian 3.1.2. Waktu Penelitian 3.2. SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN 3.2.1. Subjek Penelitian 3.2.2. Objek Penelitian 3.3. DISAIN PENELITIAN 3.3.1. Siklus I 3.3.2. Siklus II 3.4. DEFINISI OPERASIONAL 3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 3.6. TEKNIK ANALISIS DATA 3.7. INDIKATOR KERJA i ii iii v vii ix x 1 1 8 9 10 10 11 12 12 12 12 13 19 24 38 40 47 49 54 55 55 55 55 55 55 56 56 58 62 68 68 92 94

BAB II

BAB III

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Proses Adaptasi Pendekatan Metakognitif PQ4R 4.1.2. Pelaksanaan Pendekatan Metakognitif PQ4R 4.1.2.1. Siklus I 4.1.2.2. Siklus II 4.1.3. Kemampuan Metakognitif Siswa 4.1.4. Kemampuan Siswa SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika 4.2. TEMUAN PENELITIAN 4.3. DISKUSI HASIL PENELITIAN KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN 5.2. SARAN

95 95 96 99 99 120 138 139 140 143 149 149 150 152 155

BAB V

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya, soal-soal yang ada pada buku paket/pegangan siswa

diberikan dimulai dari yang mudah (aspek ingatan), kemudian diikuti oleh soalsoal yang mengungkapkan kemampuan pemahaman. Setelah itu, diberikan soalsoal penerapan yang mengaitkan konsep-konsep yang dibahas dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita atau lebih populer disebut dengan soal cerita. Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah. Dalam kurikulum 2004 mata pelajaran matematika untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa: Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.

Salah satu cara untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten adalah menyelesaikan soal cerita yang menyangkut masalah kehidupan sehari-hari melalui model matematika. Melalui soal cerita, maka siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya, mengembangkan sikap gigih, dan percaya diri untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004. Selain itu, Nurhadi (2004: 205) mengemukakan: Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah; 3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah; 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Melalui soal cerita, kelima kecakapan atau kemahiran matematika di atas dapat dikembangkan. Karena soal cerita bermanfaat untuk mencapai fungsi, tujuan, dan kecakapan atau kemahiran matematika, maka pemberian soal cerita kepada siswa dalam proses pembelajaran matematika dianggap perlu. Untuk itulah, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Namun, pada kenyataannya berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika. Salah satu contoh masalah dalam pembelajaran matematika tersebut

yaitu apabila sebuah pertanyaan diajukan kepada siswa: Apa bagian yang sulit dalam pelajaran matematika? Mungkin sebagian besar siswa akan mengangguk setuju jika disebutkan salah satu bagian yang sulit adalah menyelesaikan masalah soal cerita matematika. Rendahnya kemampuan memodelkan soal cerita terjadi pada siswa SD. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkahlangkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di SD Negeri 060818 Medan, bahwa kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita disebabkan kesulitan siswa dalam membuat pemodelan atau representasi matematika. Sebagai contoh, di saat siswa diminta

menyelesaikan soal cerita mengenai operasi hitung menggunakan perbandingan. Jika diberikan soal sebagai berikut: Perbandingan manik-manik merah dan

manik-manik biru pada kalung adalah 1 : 3. Jika banyak manik-manik merah 5, berapa banyak manik-manik biru? Tanpa berpikir panjang, kebanyakan siswa menyelesaikan soal tersebut dengan langsung mengurangkan banyak manik-

manik merah dengan nilai perbandingan manik-manik biru, sehingga mereka menuliskan: Manik-manik biru = manik-manik merah nilai perbandingan manik-manik biru = 53=2 Ini merupakan penyelesaian yang salah, karena mereka belum memahami soal tersebut. Jadi, masih dibutuhkan pemahaman yang lebih untuk menyelesaikan soal cerita. Agar dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, maka seharusnya siswa menerapkan lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yang dimulai dengan membaca soal, pilih informasi penting, menentukan strategi yang tepat misalnya menggunakan perbandingan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa jawaban. Masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain karena siswa tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari ke arah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah

matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah dan proses berpikir matematis siswa yang belum kritis dan analitis.

Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu soal cerita. Dimulai dengan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Merupakan suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah. Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian. Hal ini juga didukung tulisan Andriani diperoleh bahwa hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49%. Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika.

Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang berbentuk soal cerita matematika, diperlukan suatu pendekatan. Matematika (2001:95-96) mengungkapkan: Kesuksesan sesorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana dia melakukannya. Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Anak perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?, Hal apa yang membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?. Menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika mencakup beberapa metode yang cukup logis antara lain: menanamkan ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi, dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru. Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). Keempat metode Tim MKPBM Jurusan Pendidikan

10

pembelajaran

ini

biasanya

digunakan

untuk

meningkatkan

kemampuan

metakognisi siswa. Karena menyadari akan pentingnya kemampuan siswa SD untuk menyelesaikan soal cerita, maka peneliti merasa terpanggil untuk menerapkan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Dalam menyelesaikan soal cerita, siswa dituntut untuk memahami hal-hal yang ada pada teks soal tersebut agar dapat menjawabnya dengan benar. Untuk itu, peneliti memilih salah satu metode pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman membaca teks dan untuk

mengembangkan metakognisi siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). PQ4R digunakan karena melalui PQ4R kinerja memori dapat ditingkatkan dalam memahami substansi teks. Karena pada hakekatnya PQ4R merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Metode ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. P singkatan dari Preview (membaca selintas dengan cepat), Question (bertanya), Read (membaca), Reflect (refleksi), Recite (tanya jawab sendiri), Review (mengulang secara menyeluruh). Langkah-langkah penerapan PQ4R mengikuti urutan nama-nama tersebut, yaitu: (1) Preview adalah tugas membaca dengan cepat dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) Question adalah mendalami topik dan judul utama dengan mangajukan pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam bacaan tersebut, kemudian mencoba menjawabnya sendiri, (3) Read adalah

11

tugas membaca bahan bacaan secara cermat, dengan mengecek jawaban yang diajukan pada langkah kedua, (4) Reflect adalah melakukan refleksi sambil membaca dengan cara menciptakan gambaran visual dari bacaan dan mengubungkan informasi baru di dalam bacaan tentang apa yang telah diketahui, (5) Recite adalah melakukan resitasi dengan menjawab dengan suara keras pertanyaan yang ajukan tanpa membuka buku, dan (6) Review adalah langkah untuk mengulang kembali seluruh bacaan, baca ulang bila perlu, dan sekali lagi jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Peneliti memilih pokok bahasan pecahan. Peneliti memilih pokok bahasan ini karena siswa selalu menemui hal-hal yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu siswa mengembangkan pemahaman mereka mengenai pecahan, mereka bisa dan sebaiknya secara terus menerus mengembangkan penguasaan pecahan dan cara-cara untuk memikirkan kombinasi tentang fakta-fakta dasar. Soal cerita mengenai pecahan juga merupakan metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan komputasi. Karena dilatarbelakangi hal-hal di atas, maka peneliti peneliti akan melakukan penelitian dengan judul PENERAPAN PENDEKATAN SISWA

METAKOGNITIF

UNTUK

MENINGKATKAN

KEMAMPUAN

KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN.

1.2.

IDENTIFIKASI MASALAH Berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat

Sekolah Dasar. Karena pentingnya penguasaan matematika yang kuat sejak dini,

12

maka perlu diupayakan penanggulangan masalah-masalah tersebut sejak dini pula. Masalah yang ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar antara lain dalam pembelajaran soal cerita. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah karena kurangnya pemahaman siswa tentang masalah matematika tersebut. 2. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika masih rendah. 3. 4. Hasil belajar matematika siswa kelas V SD masih rendah. Siswa kelas V SD belum mampu mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan metakognisinya dalam belajar matematika. 5. 6. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini masih belum memadai. Kurangnya pengembangan dan penerapan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika. 7. Pengembangan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. 8. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.

1.3.

PEMBATASAN MASALAH Pentingnya upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, agar

dapat terselesaikan dengan baik, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi

13

masalah yang akan diteliti. Dari berbagai masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.

Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan aktivitas menerjemahkan kalimat cerita menjadi persamaan, pertidaksamaan, atau fungsi maupun membuat model berupa diagram. Adapun pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan. 2. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Pada aspek

penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan

dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.

1.4.

RUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk

mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan? 2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R?

1.5.

TUJUAN PENELITIAN

14

Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti antara lain: 1. Untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dalam mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan. 2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.

1.6.

MANFAAT PENELITIAN Hasil dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini akan memberikan

manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi di bawah ini: 1. Bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas ini, guru dapat sedikit demi sedikit mengetahui pendekatan pembelajaran yang bervariasi khususnya pendekatan metakognitif PQ4R untuk memperbaiki dan

meningkatkan sistem pembelajaran di kelas, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. 2. Bagi siswa: hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisinya dan kemampuannya dalam memodelkan soal cerita matematika. 3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. 4. Bagi mahasiswa calon guru: hasil penelitian ini akan memberikan masukan dan sumbangan informasi mengenai pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan di lapangan.

15

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

KERANGKA TEORITIS Kerangka teoritis dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian

sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Selain itu, kerangka teoritis juga

bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam kerangka teoritis akan

dipaparkan mengenai dasar teori dan penelitian yang relevan.

2.1.1. Kerangka Teoritis Dalam kerangka teoritis akan dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, antara lain: 2.1.1.1. Kemampuan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Siswa yang telah mengikuti pembelajaran akan memiliki kemampuan (kompetensi) pada materi pembelajaran tersebut. Siswa yang telah memiliki kemampuan (kompetensi) mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai, dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Begitu juga halnya dengan pembelajaran matematika. Setelah mengikuti pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan tertentu pula. Kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika hendaknya diperoleh dan dibentuk oleh siswa sendiri, agar lebih bermakna. Jika telah kita pahami fungsi matematika yaitu sebagai bahasa, sebagai cara berpikir

16

nalar, dan sebagai alat memecahkan masalah, maka pembelajaran matematika hendaknya diarahkan kepada pembentukan kemampuan untuk memfungsikan matematika, baik dalam mempelajari ilmu lain maupun dalam melakukan pekerjaan. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000), tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak lagi hanya menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) menetapkan ada 5 keterampilan proses yang harus dikuasai siswa melalui pembelajaran matematika, yaitu: (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) koneksi (connection); (4) komunikasi (communication); serta (5) representasi (representation). Kelima keterampilan proses matematika ini harus dapat Oleh karena itu, perlu

dikembangkan melalui pembelajaran matematika.

dipertimbangkan untuk merancang pembelajaran matematika yang secara komprehensip dapat meningkatkan penguasaan fakta dan prosedur, pemahaman konsep serta penguasaan keterampilan proses matematika sekaligus.
2.1.1.2.

Pemodelan Soal Cerita Matematika

Soal yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang studi matematika dapat berbentuk soal cerita dan soal non cerita. Biasanya, pada buku untuk kelas lima sampai kelas delapan, soal-soal yang dikemukakan merupakan bagian dari kumpulan soal yang memiliki satu konteks atau tema. Soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita dan pada umumnya soa1 ini diangkat dari kegiatan sehari-hari yang di dalamnya

17

terkandung berbagai konsep matematika. Fosnot dan Dolk (dalam Walle, 2008: 153) mengemukakan bahwa: pada soal cerita, anak-anak cenderung untuk fokus pada mendapatkan jawaban, mungkin sesuai dengan apa yang diinginkan oleh gurunya. Soal cerita dirancang untuk mengantisipasi dan mengembangkan pemodelan matematika anak-anak di dunia nyata. Penggunaan soal cerita sangat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan metakognisinya. Untuk itu, perlu dikenalkan kepada siswa langkah-langkah dalam menyelesaikan soal cerita matematika. Huston (2008) mengemukakan bahwa: Math is difficult for many people. The rules are many and often difficult to remember. Story problems are especially difficult because one has to interpret the words to come up with the math work. Following the five steps listed in this article will make any problem easy to solve. Step 1: Read the Problem This step requires the solve to do just what it says and read the problem. No solving is done or information is searched for. This is the step to get an overview. Step 2: Select Important Information This step requires rereading the problem. While rereading all the important information in the problem is underlined. This information should include the numbers and all math words. The solver should also try and figure out which math procedure is called for by the words. For example, the words combine and total mean add while difference means subtract. The word is following a number tells which number is the answer or what the solution will be based on. Step 3: Decide Which Strategy to Use for Solving In this step a chose of how to solve the problem will have to be made. The choice could be as simple as writing a math equation. More complex problems may require the formulation of an algebra problem or the use of a problem solving strategies. Strategies such as guess and check, draw a picture and work backwards can be used on many types of problems. Sometimes more than one strategy will work on problem in which case the solver can select their favorite strategy or use the easiest one. Step 4: Solve the Problem The solver has identified the pertinent information and chosen a strategy. Now is time to solve the problem. Sometimes in this step the solver will realize the chosen strategy isn't working, in which case they need to return to step 3 and select another strategy. Step 5: Check the Answer

18

The final step is to check your answer. Put the answer back into the problem and see if it makes sense or could possibly be an answer. If the answer makes sense, congratulations the problem is solved. If the answer makes no sense, return to step 2 and try again. Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyelesaikan soal cerita sulit, tetapi dengan mengikuti lima langkah mudah, maka soal cerita menjadi mudah untuk diselesaikan. Adapun langkah tersebut yaitu: 1. Baca soal Langkah ini untuk mengetahui apa yang dikatakan dan baca soal. Langkah ini digunakan untuk memperoleh sebuah latar belakang. 2. Pilih informasi penting Langkah ini menginginkan membaca kembali soal. Ketika membaca kembali semua informasi penting dalam soal digaris bawahi. Informasi ini meliputi angka dan kata-kata matematika. Pemecah soal juga mencoba dan mengggambarkan prosedur matematika yang disampaikan oleh kata-kata. 3. Tentukan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah Pada langkah ini, pilih sebuah penyelesaian sederhana berupa persamaan matematika atau strategi penyelesaian masalah lainnya. 4. Selesaikan masalah Sekarang, waktunya menyelesaikan masalah. Jika strategi yang dipilih tidak dapat berjalan, maka kembali ke langkah 3 dan pilih strategi lainnya. 5. Periksa jawaban Periksa jawaban yang diperoleh. Apakah jawaban yang diperoleh mungkin menjadi jawaban dari soal. Jika ya, maka soal telah terselesaikan. Jika tidak, maka kembali ke langkah 2 dan coba lagi.

19

Ada pendapat lain tentang menyelesaikan masalah, yaitu lima fase menyelesaikan masalah matematika, yaitu: (1) Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah; (2) Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah; (3) Fase III: Melaksanakan keputusan untuk

menyelesaikan masalah; (4) Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah; dan (5) Fase V: Melakukan penyelesaian masalah. Pelaksanaan kelima fase evaluasi terhadap

tersebut

menggunakan

kemampuan metakognitif, sebagaimana yang telah dikemukan terlebih dahulu. George Polya memberi petujuk tentang langkah-langkah menyelesaikan masalah sebagai berikut: Langkah 1: Langkah 2: Pahami masalahnya, di sini harus dikenali apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apa kondisi (persyaratan) nya. Rencanakan penyelesaiannya, di sini harus dipikirkan alat dan strategi apa yang cocok diterapkan untuk pemecahan masalah itu. Yang dimaksud dengan alat adalah pengetahuan berupa konsepkonsep atau rumus-rumus. Yang dimaksud dengan strategi adalah kombinasi teknik-teknik menyelesaikan masalah, misalnya:

menyederhanakan masalah, menggambar atau membuat model, mengamati kasus-kasus, memikirkan dari belakang, yaitu dari yang Langkah 3: ditanyakan. Laksanakan rencana itu, di sini dilakukanlah proses pengolahan data dengan operasi dan prosedur yang direncanakan sampai Langkah 4: ditemukan hasil. Menguji kebenaran hasil, di sini ditelaah kembali kesahihan pengolahan data tadi, dicari keterbatasannya, atau dibuktikan bahwa hasil itu sudah dapat dinyatakan dalam bentuk umum (generalisasi).

20

Untuk menganalisis soal-soal cerita, paling tidak ada dua strategi yang bisa diajarkan dan sangat berguna yaitu pikirkan jawabannya sebelum menyelesaikan soalnya, atau selesaikan soal yang lebih sederhana. Orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan soal dengan baik gagal mengalokasikan waktu yang cukup untuk memikirkan mengenai inti soalnya. Mereka mengerjakannya dengan terburu-buru, meyakini bahwa mengunyah bilangan akan menyelesaikan masalah. Tentu saja tidak begitu. Sebaiknya, murid-murid mengalokasikan waktu untuk membicarakan mengenai kira-kira apa jawabannya. Ada tiga hal yang terjadi. Pertama, murid-murid diminta untuk fokus pada soalnya dan pada makna dari jawabannya, bukan pada bilangannya. Bilanganbilangan tidaklah begitu penting jika kita melihat dari sudut pandang struktur soal. Kedua, dengan fokus pada struktur soalnya, murid-murid bisa mengidentifikasi bilangan mana yang penting atau data yang harus mereka cari di grafik atau tabel dan juga bilangan apa yang tidak penting. Tiga, pemikiran tersebut akan mengarahkan pada estimasi jawabannya. Kadang-kadang, untuk soal yang terjadi sehari-hari, estimasi bisa didasarkan pada logika saja. Pada kejadian apapun, memikirkan mengenai makna dari jawabannya dan seberapa besar kira-kira jawabannya merupakan langkah awal yang cukup berguna. Strategi penyelesaian soal dengan cara menyelesaikan soal yang lebih sederhana terlebih dahulu dapat digunakan untuk memberikan alat bantu bagi murid-murid yang bisa digunakan untuk menganalisis soal dan tidak hanya menebak belaka mengenai perhitungan yang akan dilakukan. Terbukti jauh lebih berguna jika kita memberikan sedikit soal saja kepada murid-murid di mana

21

mereka harus menggunakan model gambar untuk memberikan justifikasi pada jawaban yang mereka buat daripada memberikan mereka banyak sekali soal namun mereka hanya menjawab dengan menebak dan tidak tahu apakah tebakan mereka benar atau tidak. Penyelesaian soal cerita memerlukan pemodelan. Secara sederhana,

pemodelan (modelling) dapat diartikan sebagai menemukan pola dan generalisasi atau representasi untuk menunjukkan struktur bentuk dari obyek dan situasi. Hamson (2003) membedakan antara pemodelan matematika (mathematical modelling) dan model matematika (mathematical models). Dia mendefinisikan pemodelan matematika (mathematical modelling) sebagai aktivitas

menerjemahkan sebuah masalah nyata ke dalam sebuah bentuk matematika. Bentuk atau model matematika diselesaikan dan kemudian diinterpretasikan kembali untuk membantu menjelaskan masalah nyata. Model dapat berupa objek nyata, rumus, pernyataan aljabar, atau representasi aljabar. Pemodelan meliputi penerjemahan masalah yang sebenarnya ke dalam pernyataan matematika atau menemukan pola dan generalisasi. Pemodelan matematika harus dikenalkan pada semua kelompok umur, dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Blum & Kaiser (dalam

Parlaungan, 2008) istilah kompetensi pemodelan dengan membuat daftar rincian ke dalam sub kompetensi yang berhubungan dengan pemahaman proses pembentukan model. Kompetensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami masalah real dan untuk menciptakan suatu model

berdasarkan realita.
2. Untuk menciptakan suatu model matematika dari model real.

22

3. Untuk menyelesaikan problem-problem matematika dalam model matematika

ini. 4. 5. Untuk menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam situasi real. Untuk memvalidasi solusi. Kelima kompetensi tersebut di atas didasari oleh indikator-indikator pemodelan matematika yang meliputi penggunaan diagram, grafik, ekspresi matematis (persamaan), kata-kata atau kalimat baik lisan atau tertulis, dan bendabenda manipulative (alat peraga). 2.1.1.3. Pembelajaran Matematika Belajar matematika berarti belajar ilmu pasti. Belajar ilmu pasti berarti belajar bernalar. Jadi, belajar matematika berarti berhubungan dengan penalaran. Adapun pemikiran yang mendasari pembelajaran matematika menurut Nurhadi (2004: 203) yaitu : Kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan bekerja sama yang efektif sangat diperlukan dalam kehidupan modern yang kompetitif ini. Kemampuan itu dapat dikembangkan melalui belajar matematika. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada siswa merupakan sumbangan mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai melalui kurikulum ini. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam pembelajaran matematika, yaitu fungsi matematika, tujuan pembelajaran matematika, prinsip mempelajari matematika, dan peran guru dalam pembelajaran matematika.

Fungsi Matematika Seseorang akan tertarik untuk melakukan sesuatu apabila suatu kegiatan tersebut memiliki fungsi bagi dirinya. Dengan kata lain, seseorang tidak akan melakukan kegiatan apabila kegiatan tersebut tidak mempunyai nilai apa-apa bagi

23

dirinya. Hal ini terjadi karena manusia selalu menginginkan keuntungan atau manfaat. Begitu juga halnya dengan matematika. Seseorang mau mempelajari matematika, karena matematika berfungsi dalam kehidupannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kadir (2003: 2): Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, aljabar, peluang dan statistika, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. Tujuan Pembelajaran Matematika Manusia hidup mempunyai tujuan masing-masing. Karena dengan adanya tujuan yang ingin dicapai, maka manusia akan berusaha dengan maksimal untuk mencapai tujuan hidupnya. Begitu pula dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika juga mempunyai tujuan. Dengan adanya tujuan pembelajaran matematika, maka akan dicari cara atau strategi untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika tersebut. Adapun tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004 adalah sebagai berikut: 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkosistensi. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencobacoba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

24

Prinsip Mempelajari Matematika Dalam melakukan suatu kegiatan, maka kita perlu mematuhi prinsip yang ada dalam kegiatan tersebut. Begitu pula halnya dengan mempelajari matematika. Dalam mempelajari matematika ada beberapa prinsip yang harus dipahami sebagaimana yang dikemukakan oleh Uno (2006 : 125): Untuk mempelajari matematika hendaknya berprinsip pada: (1) materi matematika disusun menurut urutan tertentu atau tiap topik matematika berdasarkan subtopik tertentu, (2) seorang siswa dapat memahami suatu topik matematika jika ia telah memahami subtopik pendukung atau prasyaratnya, (3) perbedaan kemampuan antar siswa dalam mempelajari atau memahami suatu topik matematika dan dalam menyelesaikan masalahnya ditentukan oleh perbedaan penguasaan subtopik prasyaratnya, (4) penguasaan topik baru oleh seorang siswa tergantung pada penguasaan topik sebelumnya. Peran Guru Dalam Pembelajaran Matematika Guru memiliki peranan dalam proses pembelajaran. Yulaelawati (2004 : 114115) menyebutkan: Peran guru dalam pembelajaran matematika sebagai berikut : 1. Membelajarkan matematika dengan tujuan memberikan pemahaman dan perspektif pemecahan masalah, artinya peserta didik mampu mengembangkan logika dan bukan hanya menghitung jawaban atas soal matematika belaka. Pembelajaran matematika hendaknya difokuskan pada proses, struktur, dan pemecahan masalah, bukan hanya sekedar menjawab soal. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberi peserta didik soal yang bervariasi, yang menuntut prosedur pemecahan yang juga bervariasi. 2. Membangun interaksi antara peserta didik dengan guru dalam belajar, guru mengajak peserta didik memahami konsep-konsep matematika, khususnya yang abstrak dengan cara menarik agar pelajaran matematika menjadi menyenangkan bagi peserta didik. 3. Membantu peserta didik mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pemikirannya ketika memecahkan masalah (soal), misalnya dengan cara meminta peserta didik menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya di dalam kelompok kecil secara bergiliran. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan peserta didik.

25

4. Menggunakan kesalahan yang dibuat peserta didik sebagai bahan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi peserta didik. Saat ini matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting di sekolah. Untuk itu, diperlukan pengajaran yang efektif dalam matematika. Pengajaran yang efektif antara lain ditandai dengan keberhasilan anak dalam belajar. Dengan demikian untuk berhasilnya pengajaran matematika,

pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana anak belajar merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Dalam upaya untuk melakukan hal tersebut, diperlukan beberapa prinsip dasar. Prinsip dasar tersebut akan dipaparkan berikut ini. Siswa terlibat secara aktif Prinsip ini berlandaskan pada pandangan bahwa keterlibatan anak secara aktif dalam suatu aktivitas belajar memungkinkan mereka memperoleh pengalaman yang mendalam tentang bahan yang dipelajari, dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan pemahaman anak tentang bahan tersebut. Keterlibatan siswa secara aktif bentuknya bisa secara fisik, dan yang lebih penting lagi secara mental. Bentuk-bentuk aktivitasnya antara lain bisa berupa interaksi siswa-siswa atau siswa-guru, memanipulasi benda konkrit seperti alat peraga, dan menggunakan bahan-bahan ajar tertentu seperti buku dan alat-alat teknologi. Memperhatikan pengetahuan awal siswa Karena sifat matematika yang merupakan suatu struktur yang terorganisir dengan baik, maka pengetahuan prasyarat siswa merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika. Dengan

memperhatikan pengetahuan awal siswa, guru diharapkan mampu menyusun

26

strategi pembelajaran lebih tepat yang meliputi penyiapan bahan ajar, penyusunan langkah-langkah pembelajaran, serta penyiapan alat evaluasi yang sesuai. Mengembangkan kemampuan komunikasi siswa Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan dan tertulis, mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas. Mengembangkan kemampuan metakognisi siswa Metakognisi adalah suatu istilah yang berkaitan dengan apa yang diketahui seseorang tentang individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Selain itu, metakognisi juga merupakan bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini maka siswa dimungkinkan mengembangkan kemampuannya secara optimal dalam belajar matematika, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan seperti: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?, Hal apa yang bisa membantu saya menyelesaikan masalah ini?. Mengembangkan lingkungan belajar yang sesuai Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat membantu siswa dalam mencapai perkembangan potensialnya.

27

Dari kelima prinsip di atas, maka peneliti memilih salah satu prinsip untuk digunakan dalam pembelajaran matematika yaitu mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Pembahasan lebih lanjut mengenai kemampuan metakognisi siswa akan dibahas berikut ini.

2.1.1.4.

Pendekatan Metakognitif

Salah satu prinsip dasar agar pembelajaran matematika dapat berhasil adalah mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Apabila dikaji berdasarkan asal katanya, metakognisi berasal dari bahasa Inggris metacognition. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cheong, dkk (2002: 1): What is Metacognition? Metacognition is thoughtfulness. It is commonly defined as thinking about ones own thinking and thinking about how one processes information effectively. Dari definisi di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan berpikir tentang berpikir dan berpikir tentang bagaimana seseorang memproses informasi secara efektif. Metakognisi merujuk pada kesadaran

28

memonitor (kesadaran akan bagaimana dan mengapa mengerjakan sesuatu) dan aturan (memilih mengerjakan sesuatu atau memutuskan untuk membuat perubahan) tentang proses pemikiran sendiri. Metakognisi adalah fungsi eksekutif yang mengurus dan mengawal bagaimana seseorang menggunakan pikirannya. Metakognisi ini merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Metakognisi tidak sama dengan kognisi atau proses pemikiran. Metakognisi adalah suatu kemampuan individu berdiri di luar kepalanya dan berusaha merenungkan cara dia berpikir atau merenungkan proses kognitif yang dilakukan. John Flavell membagi metakognisi ke dalam tiga variabel penting, yaitu: a. Variabel individu Variabel inidividu mengandung makna bahwa manusia itu adalah organisme kognitif atau pemikir. Artinya, segala tindak-tanduk kita adalah akibat dari cara kita berpikir. Variabel individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Variabel intra-individu yaitu apa saja yang terjadi di dalam diri seseorang. Misalnya: seorang siswa mengetahui dirinya lebih pandai dalam mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah. Variabel antra-individu yaitu kemampuan individu membandingkan dan membedakan kemampuan kognitif dirinya dengan orang lain. Misalnya: seorang siswa mengetahui bahwa gurunya jauh lebih pandai dalam Bahasa Inggris dibandingkan dengan dia sendiri, atau seorang siswa mengetahui bahwa dirinya lebih pandai pada mata pelajaran IPA dibandingkan dengan teman yang duduk dekat dengan dia di kelasnya.

29

Variabel universal yaitu pengetahuan yang diperoleh dari unsur-unsur yang ada di dalam sistem budaya sendiri. Misalnya: mengetahui bahwa sebagai manusia kita lupa. Sebenarnya, mula-mula kita paham terhadap apa yang kita lupakan itu, tetapi lama kelamaan kita sadar bahwa kita tidak paham. b. Variabel tugas Variabel tugas adalah kesanggupan individu untuk mengetahui kesan-kesan, pentingnya, dan hambatan sesuatu tugas kognitif. Misalnya informasi yang disampaikan oleh guru adalah sesuatu yang sulit dan siswa tahu bahwa guru tersebut tidak akan mengulangi, maka para siswa tentu akan memberikan perhatian yang lebih serius dan mendengarkan serta memproses informasi itu dengan lebih teliti. c. Variabel strategi Variabel strategi adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang timbul. Ini biasanya dilakukan dengan cara yang disebut pemantauan kognitif (cognitive monitoring). Schoenfeld (1992) mengemukakan secara lebih spesifik bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan tentang proses berpikir, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri

30

atau regulasi-diri menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah. ONeil & Brown (1997) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sedang Anderson & Kathwohl (2001) menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Karena itu dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka seseorang dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya. Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen pada penyelesaian masalah matematika dalam pembelajaran, yaitu: (a) pengetahuan metakognitif, (b) keterampilan metakognitif, dan (c) kepercayaan metakognitif. Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, procedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif siswa berkaitan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu. Oleh karena itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting

31

dalam menyelesaikan masalah, khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal

tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal. Tujuan metakognitif adalah memonitor dan mengatur tindakan untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan kecakapan melihat dan mengatur strategi dan kemajuan mereka saat menyelesaikan soal. Para siswa dapat juga dibantu dalam mengembangkan kebiasaan memonitor diri mereka sendiri setelah kegiatan penyelesaian soal berakhir. Diskusi singkat setelah soal selesai dapat difokuskan pada apa yang dikerjakan dalam penyelesaian soal. Hal ini membutuhkan kemampuan metakognitif siswa. Pemecah soal dengan baik akan melihat cara berfikir mereka secara teratur dan otomatis. Mereka tahu kapan akan macet atau tidak dapat memahami. Mereka membuat keputusan secara sadar untuk memperoleh strategi, memikirkan kembali soalnya, mencari pengetahuan yang terkait yang mungkin membantu atau sekedar memulai lagi. Di samping itu, siswa yang belajar melihat dan mengatur perilaku penyelesaian soal mereka sendiri menunjukkan perbaikan dalam penyelesaian soal.

32

Kesulitan yang dialami anak yang tidak mempunyai perkembangan kemampuan metakognitif yaitu: a. Mengenal ketika suatu masalah menjadi lebih sulit, dan pendekatan baru diperlukan. b. Menyimpulkan bahwa ada suatu asumsi itu benar berdasarkan informasi yang ada. c. Meramalkan hasil dengan menggunakan strategi belajar khusus dalam situasi yang diberikan. d. Mencoba untuk memonitor cara belajar dan merubah pendekatan jika diperlukan. Perkembangan metakognisi dapat diupayakan melalui cara di mana anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang yang dia observasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk menolong anak mengembangkan kesadaran metakognisinya antara lain melalui kegiatan-kegiatan berikut ini:
a.

Ajukan pertanyaan yang berfokus pada apa dan mengapa seperti Apa yang kamu lakukan saat mengerjakan soal ini?, Kesalahan apa yang sering kamu lakukan dalam mengerjakan soal seperti ini?, Mengapa?, Apa yang kamu lakukan jika kamu menghadapi jalan buntu dalam menyelesaikan suatu masalah?, Apakah cara ini dapat membantu kamu?, Mengapa kamu harus memeriksa kembali pekerjaan yang sudah selesai?, Pemecahan masalah apa yang menurut kamu paling mudah/sukar?, Mengapa?.

b.

Kembangkan berbagai aspek pemecahan masalah yang dapat meningkatkan prestasi anak seperti: suatu masalah dapat diselesaikan dalam beberapa

33

alternatif penyelesaian, masalah tertentu memerlukan waktu lama untuk diselesaikan, dan tidak selamanya masalah itu memuat informasi yang lengkap. c. Dalam proses pemecahan suatu masalah, anak harus secara nyata melakukannya secara mandiri atau berkelompok sehingga mereka merasakan langsung liku-liku proses untuk menuju pada suatu penyelesaian. Asrori (2008: 22) mengemukakan bahwa: Setidaknya ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan metakognitif, yaitu: a. Pelabelan (labeling) Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) nyatakan tujuan yang akan dicapai; (2) berikan nama atau label kemampuan kognitif yang akan dilakukan; (3) berikan sinonim/perkataan sama-maksud terhadap sesuatu yang akan dimasukkan ke dalam proses kognitif; (4) nyatakan cara kemampuan kognitif itu digunakan; dan (5) jelaskan mengapa kemampuan itu harus dipelajari. b. Proseduring Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) nyatakan prosedur kemampuan kognitif berkenaan dengan memberi urutan langkahlangkah, apa yang dilakukan pada setiap langkah, dan mengapa langkah itu dilakukan; (2) tunjukkan bagaimana kemampuan itu dapat diperoleh; (3) nyatakan aturan-aturan pokok dan hal-hal yang penting untuk diketahui mengenai kemampuan itu; dan (4) uraikan hambatan yang mungkin timbul dan cara mengatasinya. c. Demonstrasi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) tunjukkan bagaimana sesuatu kemampuan itu digunakan dengan merujuk kepada contoh tertentu berdasarkan prosedur yang ada; (2) deskripsikan apa yang terjadi dalam pikiran selama terlibat dengan kemampuan yang bersangkutan (think aloud); dan (3) terangkan bagaimana mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi. d. Aplikasi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) siswa diberi tugas untuk mengaplikasikan kemampuan kognitif yang bersangkutan; dan (2) siswa memperhatikan dan menganalisis bagaimana proses kemampuan kognitif itu digunakan antara mereka. e. Refleksi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah guru dan siswa merenungkan dan menganalisis tentang kemampuan kognitif yang digunakan.

34

Metakognisi dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika. Menyelesaikan masalah matematika terdiri dari lima fase. Adapun kaitan antara fase menyelesaikan masalah matematika dan aspek metakognisi yang dilibatkan untuk setiap fase adalah sebagai berikut. Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif dan keterampilan perencanaan. Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan perencanaan dan keterampilan prediksi. Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. Fase V: Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan monitoring dan keterampilan evaluasi. Adapun karakteristik pendekatan metakognitif meliputi: 1. Advance organizer

35

Advance organizer adalah suatu pernyataan yang diberikan pada awal pembelajaran yang dirancang untuk membantu pebelajar menyimpan dan mengingat kembali materi yang telah dipelajari. Advance organizer merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang telah ada di dalam struktur kognitif pebelajar. Advance organizer sebagai materi perkenalan yang diberikan terlebih dahulu sebelum tugas belajar dan pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi serta ruang lingkup yang lebih luas daripada tugas belajar itu sendiri. Advance organizer merupakan jembatan kognitif untuk memudahkan pengaitan informasi baru dengan konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif pebelajara. Tujuan pemberian advance organizer adalah untuk menjelaskan,

mengintegrasikan, dan saling menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi baru. Beberapa ciri advance organizer, yaitu: a. Berupa abstraksi b. Sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki pebelajar c. Suatu pengantar dari materi baru, unit, atau pelajaran d. Berupa suatu garis besar abstrak dari informasi baru, dan berupa suatu pernyataan kembali dari pengetahuan awal e. Memberikan pebelajar suatu struktur informasi baru f. Mendorong pebelajar untuk mentransfer atau mengaplikasikan apa yang diketahuinya.

36

g. Berisikan muatan yang memiliki substansi intelektual yang cukup, tidak sekedar pengetahuan umum biasa Mengembangkan advance organizer dapat digunakan sebagai alat bantu terhadap pembelajaran yang efektif. Suatu advance organizer mungkin berbentuk ikhtisar atau sebuah pengantar terhadap isi pelajaran, suatu pernyataan tentang prinsip-prinsip yang terkandung dalam informasi yang akan disajikan, suatu pernyataan tentang tujuan belajar, dan sebagainya. Apapun bentuk advance

organizer tersebut, tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kesiapan jiwa pebelajar atau mind set untuk menerima pelajaran. Advance organizer dapat membantu pebelajar dalam tiga hal yaitu: (1) untuk menunjukkan perhatian pebelajar pada apa yang penting dalam suatu materi, (2) untuk mengetahui hubungan antara ide-ide yang akan dibicarakan, dan (3) untuk mengingatkan pebelajar pada informasi yang relevan dengan yang telah diketahui. Prosedur untuk menyusun advance organizer adalah sebagai berikut: a. Kenali pelajaran baru atau unit untuk menemukan pengetahuan prasyarat b. Diajarkan kembali bila perlu c. Kenali apakah para pebelajar telah mengetahui bahan/materi prasyarat ini d. Buatlah daftar atau rangkuman tentang prinsip-prinsip atau ide-ide umum yang utama pada pelajaran atau pokok bahasan yang baru (dapat dilakukan pertama kali)
e. Tulislah satu paragraf (advance organizer) yang menekankan prinsip-prinsip

umum yang utama, persamaan topik-topik baru dengan yang lama


f. Subtopik utama dari unit atau pelajaran harus meliputi urutan yang sama

seperti yang disajikan dalam advance organizer

37

2. Perhatian

Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, di mana dalam proses ini diperlukan adanya perhatian. Dalam kenyataannya sebagian besar

pelajaran diterima oleh murid dengan perhatian yang disengaja, karena itu guru atau pendidik seharusnya selalu berusaha menarik perhatian anak-anak didiknya. Perhatian dapat diartikan sebagai: a. Pemusatan tenaga psikis tertuju kepada suatu obyek b. Banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan 3. Mediasi metakognitif Mediasi dimaksudkan untuk memberikan bantuan-bantuan kepada siswa, dapat dalam bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar. Dalam melaksanakan suatu pendekatan pembelajaran diperlukan metode pembelajaran. Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review).

38

Keempat metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa. Metode pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif yang akan dikembangkan adalah metode yang diperoleh dengan memodifikasi metode yang telah dikembangkan oleh Meyer dan Suzana (2003) yaitu metode pembelajaran yang menyajikan pelajaran dalam tiga tahap dengan rincian sebagai berikut: 1. Tahap pertama diskusi awal, guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penamaan konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Guru membimbing siswa

menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru.
2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal

latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif. Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk

memusatkan pada kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri. Pada tahap kedua ini dapat dikombinasikan dengan metode PQ4R.
3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman. Refleksi dilakukan oleh guru

dan siswa. Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia

39

pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi dalam masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman yang dilakukan oleh siswa

sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Anderson (dalam Syah, 2001: 128) mengemukakan bahwa teknik PQ4R pada hakekatnya merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Selanjutnya, metode PQ4R itu sesuai dengan kepanjangannya terdiri atas enam langkah. Langkah 1, preview. Bab yang akan dipelajari hendaknya disurvai terlebih dahulu untuk menentukan topik umum yang terdapat di dalamnya. Kemudian subbab-subbab yang ada dalam bab tersebut hendaknya diidentifikasi sebagai unit-unit yang akan dibaca. Setelah itu, gunakanlah empat langkah berikutnya (langkah 2, 3, 4, dan 5) untuk memahami setiap subbab. Langkah 2, question. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan subbab hendaknya disusun misalnya dengan cara mengubah judul subbab yang bersangkutan ke dalam bentuk kalimat-kalimat bertanya. Langkah 3, read. Isi subbab hendaknya dibaca secara cermat sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun tadi. Langkah read merupakan implikasi langkah sebelumnya untuk mempertegas dan memperkuat interpretasi terhadap isi bacaan. Ragam membaca itu bermacammacam. Salah satu di antaranya ialah membaca dengan cermat dengan maksud memahami sepenuhnya informasi yang terkandung dalam bacaaan. Cermat di samping mengamati isi dari tulisan yang dibaca, juga tak kalah penting adalah

40

cermat mengamati gaya atau style dan detil-detil kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf. Membaca cermat meliputi baca kata demi kata, baca analitis, dan baca kritis. Karakteristik membaca cermat yaitu: Mendapatkan pemahaman materi teks secara detail Mempertahankan konsentrasi Mengingat dengan jelas apa yang dibaca Mengikuti langkah-langkah atau arahan secara cermat Memahami ide atau istilah sulit Langkah 4, reflect. Selama membaca, isi subbab hendaknya dikenang secara mendalam (dipikirkan) seraya berusaha memahami isi dan menangkap contoh-contohnya serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Langkah 5, recite. Setelah subbab selesai dibaca, informasi yang terdapat di dalamnnya hendaknya diingat-ingat. Lalu, semua pertanyaan mengenai subbab tersebut dijawab. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi. Langkah 6, review. Setelah menyelesaikan satu bab, tanamkanlah materi bab tersebut ke dalam memori sambil mengingat-ingat intisari-intisarinya. Kemudian, jawablah sekali lagi seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan subbab-subbab dari bab tersebut. Adapun kebaikan metode PQ4R antara lain:
a.

Dengan melakukan preview dan question, sebelum read, pengetahuan awal siswa sudah aktif untuk mengawali proses pembuatan hubungan antara

41

informasi baru dengan apa yang telah diketahui siswa dan organisasi bacaan sudah diketahui mereka. Hal ini memudahkan perpindahan informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang ketika langkah read berlangsung.
b. Dengan read atau membaca secara aktif dan review, siswa terbantu untuk

memahami makna tersurat dalam bacaan.


c.

Dengan adanya aktivitas mengelaborasi dalam strategi ini, yaitu aktivitas menanggapi dan memecahkan masalah dan informasi yang diberikan guru dengan pengetahuan yang telah diketahui melalui bahan bacaan pada langkah read, siswa terbantu dalam memahami makna tersirat dalam bacaan. Adapun kelemahan metode PQ4R antara lain:

a.

Siswa mengalami kesulitan dalam menemukan ide-ide utama dan membuat pertanyaan dari setiap ide utama tersebut.

b.

Metode PQ4R sulit diikuti oleh siswa yang kemampuannya rendah dalam menafsirkan, menilai, dan menghargai isi bacaan.

2.1.1.5.

Konsep Pecahan Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membagi-bagikan makanan

kepada orang lain. Misalkan kita membagi 10 buah jeruk kepada 5 orang dan setiap orang itu mendapat bagian yang sama. Berapa buah jeruk diterima oleh setiap orang itu? Masalah ini sangat mudah diselesaikan oleh siswa yang sudah menguasai operasi pembagian bilangan asli, yaitu 10 : 2 = 5. Bagaimana jika masalahnya kita ubah menjadi sebagai berikut: Misalkan kita membagi 2 buah mangga untuk 5 orang dengan setiap orang memperoleh bagian yang sama.

42

Berapa buah mangga yang diterima oleh setiap orang itu? Mungkin siswa akan menjawab tidak bisa. Jika hal seperti ini terjadi berarti siswa tersebut belum belajar atau belum memahami pengertian pecahan. Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang pengertian pecahan, guru harus menyediakan beberapa benda kongrit dan beberapa gambar yang diharapkan dapat membantu membangun pemahaman siswa terhadap pengertian pecahan. Misalkan kegiatannya adalah sebagai berikut: Guru menunjukkan satu buah mangga kepada siswa kemudian memotong buah mangga itu menjadi dua bagian sama besar. Guru bertanya kepada siswa, ada berapa potongan buah mangga seluruhnya sekarang? Siswa akan menjawab dua potong. Guru menunjukkan satu potongan buah mangga itu kepada siswa dan bertanya, ada berapa potongan buah mangga di tangan bapak / ibu guru? Siswa menjawab 1 potong. Selanjutnya guru mengatakan kepada siswa bahwa bagian mangga yang ditunjukkan oleh bapak / ibu guru adalah 1 dari keseluruhan atau 1 dari 2, dan ditulis dengan . Untuk menguatkan pemahaman siswa tentang pengertian

pecahan, guru perlu memberikan beberapa kegiatan seperti di atas untuk pecahan selain yang dilakukan langsung oleh siswa secara berkelompok. Memilih benda-benda yang ada di sekitar siswa untuk digunakan sebagai alat peraga dalam menanamkan konsep pecahan harus hati-hati. Jika pemilihan benda itu tidak tepat, besar kemungkinan konsep pecahan yang ingin ditanamkan tidak akan ditangkap siswa secara baik. Usahakan benda-benda kongrit yang digunakan untuk menanamkan konsep pecahan mempunyai bentuk teratur dan mudah potong menjadi beberapa bagian sama besar. Perlu diingat bahwa suatu

43

alat peraga itu baik jika alat peraga tersebut dapat digunakan membantu menanamkan suatu konsep matematika, alat peraga itu harus dapat meningkatkan minat siswa terhadap matematika, dan alat peraga itu harus aman bagi siswa. Kegiatan pembelajaran seperti contoh di muka merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan benda-benda kongrit. Setelah kegiatan

pembelajaran yang melibatkan benda-benda kongrit, kegiatan pembelajaran selanjutnya melibatkan benda-benda semi kongrit, seperti menggunakan gambar. Untuk kegiatan pembelajaran yang menggunakan gambar, kita dapat

memanfaatkan pengalaman siswa tentang luas daerah, kita juga dapat memanfaatkan pengalaman siswa tentang panjang ruas garis. Kegiatan lain yang dapat kita laksanakan untuk membangun pemahaman siswa terhadap pecahan adalah memanfatkan pengalaman siswa tentang himpunan dan unsur-unsurnya. Pecahan dapat diilustrasikan sebagai perbandingan himpunan bagian yang sama dari suatu himpunan terhadap keseluruhan himpunan semula. Maksudnya dari pernyataan itu adalah apabila suatu himpunan dibagi atas himpunan bagian yang sama, maka perbandingan setiap himpunan bagian yang sama itu terhadap keseluruhan himpunan semula akan mengilustrasikan suatu pecahan. 2.1.1.6. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan Metakognitif Jika kita ingin mengetahui teori belajar yang mendukung suatu pendekatan, maka kita dapat melihat karakteristik pendekatan tersebut terlebih dahulu. Berdasarkan karakteristik pendekatan metakognitif yaitu: advance

organizer, perhatian (directed attention dan selective attention), dan mediasi metakognitif (self management, functional planning, self monitoring, dan self

44

evaluation) yang telah dibahas sebelumnya, maka dari karakteristik-karakteristik itu kita bisa mengetahui teori belajar yang mendukung pendekatan metakognitif. Berikut ini akan dipaparkan teori belajar yang mendukung pendekatan metakognitif. Pada hakikatnya advance organizer merupakan sarana yang diperlukan untuk mempersiapkan pebelajar dalam belajar agar dapat melakukan pemrosesan informasi yang baik, sehingga terjadi pengaitan informasi baru dengan ide-ide relevan yang telah ada dalam struktur kognitif pebelajar. Hal ini sesuai dengan teori belajar bermakna yang dikembangkan oleh Ausubel. Dalam teori belajar verbal bermakna, dasar pemikiran utama adalah bahwa konsep/informasi baru harus berhubungan dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif. Oleh karena itu, Ausubel (1978) berpendapat bahwa faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna dan penyimpanan informasi adalah struktur kognitif itu sendiri. Bila struktur kognitif ini jelas, mantap dan tersusun dengan baik akan timbul pemahaman yang tepat dan jelas yang dapat mempertahankan kekuatan atau keberadaannya. Sebaliknya, bila struktur kognitif tidak tersusun dengan baik, hal ini akan menghambat belajar bermakna dan penyimpanan informasi baru. Suatu hal yang sifatnya karakteristik untuk teori ini adalah apa yang dinamakan advance organizer. Advance organizer yang dikembangkan oleh Ausubel (teori belajar bermakna) merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizer sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep

45

dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizer akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya. Perhatian utama advance organizer menurut Ausubel adalah untuk membantu guru menyampaikan sejumlah besar informasi secara bermakna dan efisien. Di samping itu, advance organizer dirancang untuk memperkuat struktur kognitif pebelajar agar dapat meningkatkan kemampuan pebelajar mengorganisasi bahan pelajaran baru dengan baik, jelas dan stabil. Dengan demikian advance organizer dapat meningkatkan retensi dan pemahaman bahan baru yang dipelajari. Ausubel, Novak, dan Hanesian (1978) menyatakan bahwa hasil belajar dan retensi pengetahuan merupakan fungsi dari struktur kognitif yang sudah dimiliki oleh pebelajar. Mereka juga menyatakan bahwa pengetahuan tersusun pada ingatan dalam struktur hirarkis, mulai dari yang umum kepada yang lebih rinci. Diperolehnya terlebih dahulu pengetahuan yang lebih umum dan abstrak akan dapat membantu dalam pemahaman pengetahuan baru. Pemberian advance organizer pada awal pembelajaran diperlukan untuk membantu kesiapan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru. Pebelajar yang sudah termotivasi mestinya menerima rangsangan (stimulus) yang akan membawanya pada peristiwa penting belajar dan selanjutnya rangsangan itu disimpannya dalam ingatan. Dengan kata lain, dia harus

mengikuti bagian-bagian dari stimulus yang cocok dengan tujuan belajarnya. Proses perhatian biasanya dipandang sebagai suatu keadaan internal yang bersifat sementara yang disebut mental set. Begitu terbentuk, set itu bertindak sebagai

46

salah satu proses control eksekutif. Set (perangkat) perhatian mungkin digerakkan oleh rangsangan dari luar dan dalam waktu yang relatif singkat menyiagakan orang untuk menerima bentuk rangsangan-rangsangan tertentu. perhatian dalam pembelajaran sesuai dengan teori belajar Gagne. Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori proses informasi. Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada (1) Pentingnya

keterampilan apa yang telah dimilikinya, dan (2) keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara

kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar. Adapun

delapan fase tersebut yaitu fase motivasi, fase pemahaman, fase perolehan, fase pengingatan, fase pengungkapan kembali, fase generalisasi, fase penampilan, dan

47

fase umpan balik.

Salah satu fase yang berhubungan dengan karakteristik

pendekatan metakognitif adalah fase pemahaman. Teori belajar pengolahan informasi mendeskripsikan bahwa tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Gagne

(1985) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu, yang disebut dengan peristiwa pembelajaran (the event of instruction). Peristiwa-peristiwa pembelajaran ini mendeskripsikan kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapun yang dipelajari. Peristiwa pembelajaran ini dibagi

menjadi sembilan tahapan yang diasumsikan sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam belajar. Salah satu peristiwa pembelajaran yang dikembangkan oleh Gagne adalah menarik perhatian. Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian yaitu perhatian langsung (directed attention) dan perhatian selektif (selective attention). Dalam

karakteristik pendekatan metakognitif kedua bentuk perhatian ini dibutuhkan. Sehingga teori belajar Gagne ini turut mendukung penerapan pendekatan metakognitif. tersebut.

Berikut ini akan dipaparkan masing-masing bentuk perhatian

Perhatian langsung (directed attention) berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Dalam mengajar, perubahan stimulus secara tiba-tiba dapat mencapai maksud ini. Sebagai contoh, kalimat perhatikan dua gambar berikut ini, apakah ada perbedaannya? dapat membangkitkan suatu set perhatian.

48

Perhatian selektif (selective attention) berfungsi untuk membuat siswa memilih informasi yang mana yang akan diteruskan ke memori jangka pendek. Dalam mengajar, seleksi stimulus-stimulus relevan yang akan

dipelajari dapat ditolong guru dengan cara mengeraskan ucapan suatu kata selama mengajar, atau menggarisbawahi suatu kata atau beberapa kata dalam suatu kalimat, atau dengan menunjukkan sesuatu yang harus diperhatikan para siswa, misalnya dalam mengajarkan penulisan rumus-rumus matematika. Set perhatian yang dipakai oleh pebelajar menentukan aspek mana dari rangsangan luar itu yang ditanggapi. Persepsi seseorang bersifat memilih dan ini ditentukan oleh set perhatian yang dipakai, sebaliknya set itu dipengaruhi oleh petunjuk-petunjuk yang mencerminkan tujuan belajar tertentu. Tentu saja bagi pebelajar tingkat tinggi pengarahan dan pengontrolan perhatian itu lebih banyak dilakukan sendiri. Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran perhatian guru harus dipusatkan kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat menyelesaikan masalah dengan bantuan. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian contohcontoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar.

49

Menurut Vygotsky, kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada. Semua perbuatan atau

proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Dalam kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental (intramental). Ada dua jenis mediasi:

Mediasi metakognitif yaitu penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self regulation atau regulasi diri, meliputi self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini

berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana regulasi diri. Langkah pertama dari pengaturan diri

50

(self regulation) adalah mempelajari bahwa segala sesuatu memiliki makna. Langkah kedua adalah latihan. Kemudian langkah terakhir adalah

penggunaan isyarat dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain.

Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-

konsep ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan berbagai persoalan, dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge) berupa metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna, dengan cara memadukan antara konsepkonsep dan prosedur melalui demonstrasi dan praktek.

2.1.2. Penelitian Yang Relevan Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian ini antara lain:
a.

Yenny Suzanna (2004) menyatakan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih baik daripada kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya konvensional. Kemampuan

pemahaman dan penalaran matematik siswa sebelum pembelajaran tergolong

51

kurang pada kedua kelompok penelitian, namun setelah pembelajaran matematika selesai, siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan metakognitif memiliki kemampuan pemahaman dan penalaran yang lebih baik daripada mereka yang mendapat pembelajaran konvensional, meskipun kemampuan kedua kelompok masih dalam kualifikasi cukup.

Pemahaman memiliki kaitan yang signifikan dengan kemampuan penalaran matematik siswa pada kedua kelompok penelitian. Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif pada umumnya positif.
b. Hepsi Nindiasari (2004) menyatakan bahwa (a) kemampuan pemahaman dan

koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran metakognitif lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran biasa; (b) kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa formal dan transisi lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa konkret; (c) secara umum siswa memiliki sifat positif terhadap pembelajaran metakognitif dan soal-soal koneksi matematik; (d) pada umumnya guru berpendapat pembelajaran metakognitif baik untuk dilaksanakan; (e) faktor-faktor penghambat dalam pembelajaran metakognitif antara lain pengetahuan prasyarat siswa, adanya siswa yang masih belum termotivasi untuk mengikuti dan aktif dalam pembelajaran. Sedangkan yang menjadi faktor pendukung adalah lebih banyaknya siswa yang memiliki motivasi untuk mengikuti pembelajaran serta tidak adanya perilaku yang menyimpang selama kegiatan

52

belajar mengajar; (f) dalam pembelajaran metakognitif siswa aktif mengikuti proses jalannya pembelajaran.
c.

Eti Herawati (2004) menyatakan bahwa dalam pembelajaran menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika dan penyelesainya hendaknya guru meminta siswa membaca kata demi kata, ungkapan demi ungkapan dari soal cerita yang dihadapi kemudian menerjemahkan kata-kata dan ungkapan itu dengan menggunakan bahasa sendiri, siswa diminta memanipulasi bendabenda konkret, siswa membaca soal cerita yang dihadapi kemudian membuat gambar representasi semi konkrit dari bilangan/kuantitas yang ada pada soal cerita, dan memberikan tugas latihan dalam kelompok kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ketuntasan belajar meningkat; (2) kesalahan akibat penerjemahan sintaksis menurun; (3) kesalahan pembalikan menurun; (4) kesalahan pada butir soal yang mengekspresikan suatu perbandingan menurun; (5) kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita menurun. Dari ketiga penelitian relevan di atas, dapat disimpulkan bahwa

pendekatan metakognitif dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan secara umum siswa memiliki sifat positif terhadap pembelajaran metakognitif. Selain itu, kemampuan siswa dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika dan penyelesaiannya dapat dikembangkan melalui pemodelan matematika.

2.2. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual merupakan sarana peneliti untuk menganalisis secara terstruktur dan beragumentasi tentang kecenderungan dugaan ke mana penelitian

53

akan berlangsung. Peneliti akan mengungkapkan kerangka konseptual yang dikaji dari dua sisi yaitu penerapan pendekatan metakognitif dan peningkatan kemampuan memodelkan soal cerita matematika. 2.2.1. Penerapan Pendekatan Metakognitif PQ4R Dapat Digunakan Untuk Mengungkapkan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan Penerapan pendekatan metakognitif PQ4R berkaitan dengan cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika. Ketiga cara tersebut yaitu keyakinan dan intuisi, pengetahuan tentang proses berpikir, dan kesadaran diri. Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang

disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran diri menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah. Apabila dikaitkan dengan pendapat Huston (2008) tentang lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yaitu baca soal, pilih informasi penting, tentukan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, selesaikan masalah, dan periksa jawaban maka pemecah soal dengan baik akan melihat cara berpikir mereka secara teratur dan otomatis. Mereka tahu kapan akan macet atau tidak dapat memahami. Mereka membuat keputusan secara sadar untuk

54

memperoleh strategi, memikirkan kembali soalnya, mencari pengetahuan yang terkait yang mungkin membantu atau sekedar memulai lagi. Di samping itu, siswa yang belajar melihat dan mengatur perilaku penyelesaian soal mereka sendiri menunjukkan perbaikan dalam penyelesaian soal. Selain itu, untuk memodelkan soal cerita dilibatkan pula aspek-aspek metakognitif yang digunakan dalam pembelajaran matematika. Pada tahap

mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika melibatkan pengetahuan deklaratif. Pada tahap memilih pemodelan matematika untuk

memecahkan masalah melibatkan keterampilan perencanaan dan prediksi. Pada tahap menerapkan dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk

memecahkan masalah melibatkan pengetahuan prosedural, kondisional, dan monitoring. Pada tahap menggunakan pemodelan untuk menginterpretasikan

fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika melibatkan pengetahuan deklaratif, prosedural, kondisional, dan monitoring. Jika dikaitkan dengan karakteristik pendekatan metakognitif yaitu advance organizer, perhatian, dan mediasi metakognitif, maka ketiga karakteristik ini juga diperlukan dalam mengungkapkan kemampuan memodelkan soal cerita matematika. Melalui advance organizer siswa akan menunjukkan perhatian pada apa yang penting dalam suatu soal cerita, menghubungkan antara ide-ide yang akan dibicarakan dan mengingatkan pada informasi yang relevan yang telah diketahui yang diperlukan untuk memodelkan soal cerita matematika tersebut. Perhatian yang dimaksud dalam pembelajaran yaitu pada saat proses penerimaan informasi agar siswa memilih informasi mana yang akan diteruskan ke memori. Sedangkan mediasi metakognitif diperlukan dalam memodelkan soal cerita

55

matematika karena dengan mediasi metakognitif ini siswa dapat melakukan regulasi diri dengan menyadari bahwa segala sesuatu memiliki makna, memerlukan latihan, dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Melalui penerapan pendekatan metakognitif ini, diharapkan siswa dapat mengatasi kesulitan dalam memodelkan soal cerita matematika dengan cara mengenal ketika suatu masalah menjadi lebih sulit dan pendekatan baru diperlukan, menyimpulkan bahwa ada suatu asumsi itu benar berdasarkan informasi yang ada, meramalkan hasil dengan menggunakan strategi belajar khusus dalam situasi yang diberikan, mencoba untuk memonitor cara belajar dan merubah pendekatan jika diperlukan.

2.2.2. Peningkatan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan Melalui Penerapan Pendekatan Metakognitif PQ4R Soal-soal matematika yang digunakan sebagai gambaran kehidupan sehari-hari atau aplikasinya dalam bidang lain ini tertuang dalam bentuk-bentuk soal cerita. Soal yang disusun dalam bentuk kalimat verbal tersebut

memungkinkan siswa menggunakan daya imajinasi dan kreativitasnya serta ide dan nalarnya untuk mengemukakan berbagai alternatif pemecahan soal-soal tersebut. Biasanya, soal cerita diselesaikan melalui pemodelan matematika. Jika siswa dibina dengan membiasakannya menyelesaikan soal-soal seperti ini, di mana siswa merasakan manfaat matematika dalam kehidupannya sehari-hari. Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan keterampilan untuk memahami soal; merencanakan model penyelesaian; menyelesaikan model menggunakan aturan, proses, konsep matematika; dan

56

menentukan jawaban berdasarkan model dan kondisi soal. Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan aktivitas kognitifnya. Salah satu

pendekatan tersebut adalah pendekatan metakognitif. Salah satu prinsip dasar agar pembelajaran matematika dapat berhasil adalah mengembangkan

kemampuan metakognisi siswa.

Metakognisi adalah fungsi eksekutif yang

mengurus dan mengawal bagaimana seseorang menggunakan pikirannya. Metakognisi ini merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Tujuan metakognitif adalah memonitor dan mengatur tindakan untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan kecakapan melihat dan mengatur strategi dan kemajuan mereka saat menyelesaikan soal. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika ini dapat dilihat berdasarkan hasil pre test dan post test. Untuk ketuntasan

individu, setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Untuk ketuntasan klasikal, sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Dari hasil pre test dan post test ini dapat dilihat perkembangan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan. Dari perkembangan ini, kita dapat melihat apakah terdapat peningkatan

57

kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.

2.3. HIPOTESIS Berdasarkan kerangka teoritis, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka konseptual di atas, dirumuskan hipotesis tindakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.
2. Terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal

cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.

58

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 2.1.1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 060818 Jl. M. Nawi Harahap Medan. Karena berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru

matematika di SD Negeri 060818 Medan kemampuan memodelkan soal cerita matematika pada siswa SD masih rendah. Selain itu, di sekolah ini juga belum pernah dilakukan penelitian yang sejenis. 2.1.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011 pada 25 Oktober 2010 sampai dengan 23 November 2010.

2.2. SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN 2.2.1. Subjek Penelitian Dalam penentuan subjek penelitian ini digunakan penentuan sampel secara rambang (random sampling). Di dalam penentuan sampel untuk populasi

terbatas, peluang rambang dapat diberikan kepada anggota-anggota populasi secara individual. Sehingga subjek dalam penelitian ini dapat ditentukan secara rambang yaitu siswa kelas VA SD Negeri 060818 Jl. M. Nawi Harahap Medan

59

tahun pelajaran 2010/2011 sebanyak 47 orang yang terdiri dari 19 orang laki-laki dan 28 orang perempuan.

2.2.2. Objek Penelitian Adapun objek dalam penelitian ini meliputi: a. Objek yang mencerminkan proses yaitu tindakan pendekatan metakognitif PQ4R beserta perangkat-perangkatnya antara lain RPP, bahan ajar, LAS, lembar observasi, dan inventori strategi-strategi metakognitif. b. Objek yang mencerminkan produk yaitu kemampuan siswa kelas VA SD Negeri 060818 Jl. M. Nawi Harahap Medan tahun pelajaran 2010/2011 dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan dan kemampuan metakognisi siswa.

2.3. DISAIN PENELITIAN Adapun disain penelitian yang dimaksud adalah berupa tindakan baik dari kegiatan guru maupun kegiatan siswa selama proses pembelajaran. Penelitian ini dimulai dari pengembangan pendekatan metakogntif. Tahap pengembangan

pendekatan metaakognitif ditinjau dari pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), alat bantu (berupa bahan ajar dan LAS), soal-soal matematika berbentuk soal cerita, dan uji coba instrumen. Pengembangan ini didasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru, dan ahli pendidikan. Sedangkan pada tahap penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

60

metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.

Proses

pembelajaran digunakan tindakan berulang (siklus) yang terdiri dari dua siklus, yaitu siklus I terdiri dari 7 pertemuan dan siklus II terdiri dari 3 pertemuan. Dimana materi dalam penelitian ini adalah pecahan. Pelaksanaan siklus bisa dikatakan berhenti apabila proses pembelajaran dan hasil evaluasi sudah sesuai dengan skenario pembelajaran, sedangkan pelaksanaan tindakan bisa berlanjut (siklus II) apabila proses pembelajaran belum sesuai dengan skenario pembelajaran dan hasil evaluasi belum sesuai dengan ketuntasan yang diharapkan. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Dalam model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD dan MI berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, nilai ketuntasan belajar minimal yang menjadi target pencapaian kompetensi di SD/MI untuk mata pelajaran Matematika adalah 60%. Bila target pencapaian kompetensi belum tercapai, maka dilaksanakan siklus tambahan. Sedangkan

untuk ketuntasan individu, setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Untuk ketuntasan klasikal, sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Jika ketuntasan klasikal belum dicapai, maka diadakan

tindakan perbaikan dalam proses pembelajaran.

61

Dalam penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melaksanakan tes awal (pre test) berupa tes diagnostik untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan tindakan di samping observasi. Observasi awal dilakukan untuk dapat mengetahui ketetapan tindakan yang akan diberikan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Dari hasil evaluasi dan observasi awal, maka dalam refleksi ditetapkan tindakan yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, yaitu melalui pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R. Dengan berpatokan pada refleksi awal tersebut, maka dilaksanakanlah penelitian tindakan kelas ini dengan prosedur sebagai berikut. 2.3.1. Siklus I Pada siklus I dilaksanakan dalam tujuh pertemuan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Perencanaan Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini meliputi:
a. Membuat skenario pelaksanaan tindakan berupa Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) untuk tujuh pertemuan.


b. Membuat lembar observasi: untuk melihat bagaimana suasana belajar

mengajar di kelas ketika pendekatan metakognitif PQ4R dilaksanakan, kegiatan guru, dan kegiatan siswa.
c. Membuat alat bantu mengajar yang diperlukan dalam rangka membantu

siswa memahami konsep-konsep matematika dengan baik berupa bahan ajar dan Lembar Aktivitas Siswa.

62

d. Mendesain alat evaluasi untuk melihat apakah materi matematika telah

dikuasai oleh siswa berupa tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal. 2. Pelaksanaan Tindakan Tindakan yang telah dirancang dilaksanakan oleh satu orang guru matematika kelas V SD Negeri 060818 Medan. Pembelajaran yang dilakukan guru dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah dibuat. Adapun tahap-tahap pemberian tindakan pendekatan metakognitif PQ4R yaitu: 1. Tahap pertama diskusi awal, guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penamaan konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Guru membimbing siswa

menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru.
2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal

latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif. Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk

memusatkan pada kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri. Pada tahap kedua ini dapat dikombinasikan dengan metode PQ4R.

63

a. Preview. Bab yang akan dipelajari hendaknya disurvai terlebih dahulu

untuk menentukan topik umum yang terdapat di dalamnya. Kemudian subbab-subbab yang ada dalam bab tersebut hendaknya diidentifikasi sebagai unit-unit yang akan dibaca. Setelah itu, gunakanlah empat langkah berikutnya (langkah 2, 3, 4, dan 5) untuk memahami setiap subbab.
b. Question. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan subbab hendaknya

disusun misalnya dengan cara mengubah judul subbab yang bersangkutan ke dalam bentuk kalimat-kalimat bertanya.
c. Read. Isi subbab hendaknya dibaca secara cermat sambil mencoba mencari

jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun tadi.


d. Reflect. Selama membaca, isi subbab hendaknya dikenang secara

mendalam (dipikirkan) seraya berusaha memahami isi dan menangkap contoh-contohnya serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
e. Recite. Setelah subbab selesai dibaca, informasi yang terdapat di

dalamnnya hendaknya diingat-ingat. Lalu, semua pertanyaan mengenai subbab tersebut dijawab. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi.
f. Review. Setelah menyelesaikan satu bab, tanamkanlah materi bab tersebut

ke dalam memori sambil mengingat-ingat intisari-intisarinya. Kemudian, jawablah sekali lagi seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan subbabsubbab dari bab tersebut.

64

3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman. Refleksi dilakukan oleh guru

dan siswa. Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia

pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi dalam masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman yang dilakukan oleh siswa

sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. 3. Observasi Observasi dilaksanakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Observer terdiri atas dua orang yaitu salah seorang guru dan satu orang mahasiswa. Proses observasi dilakukan selama melaksanakan tindakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

metakognitif PQ4R. Pengamatan juga dilakukan terhadap prilaku dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan dampak yang ditimbulkan dari prilaku guru terhadap siswa selama proses pembelajaran. Pada tahap observasi juga dapat ditemukan kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan tindakan. Kekurangan yang ditemui dapat segera diatasi. 4. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir siklus pelaksanaan tindakan. Evaluasi tersebut ditujukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya peningkatan hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan yang diajarkan. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika yang disusun peneliti. Bila target pencapaian kompetensi dalam model Kurikulum

65

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD dan MI berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, nilai ketuntasan belajar minimal yang menjadi target pencapaian kompetensi di SD/MI untuk mata pelajaran Matematika adalah 60%, sedangkan untuk ketuntasan individu, setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60, dan untuk ketuntasan klasikal, sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Apabila sudah tercapai maka tindakan dianggap telah berhasil dilaksanakan. 5. Refleksi Refleksi pada siklus I merupakan langkah untuk menganalisis hasil kerja siswa. Hasil yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi dianalisis.

Kelemahan-kelemahan atau kelebihan-kelebihan yang terjadi pada siklus I akan diperbaiki pada siklus berikutnya.

2.3.2. Siklus II Apabila ditemukan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I, maka dilaksanakan siklus II di mana diadakan perubahan tindakan dengan cara menambah tindakan baru misalnya dengan merubah pembelajaran secara individu menjadi pembelajaran secara kelompok,

66

serta memberikan bantuan kepada siswa dengan langkah-langkah yang harus diselesaikan siswa untuk masing-masing soal pada LAS secara acak. Sehingga siswa diminta untuk menyusun langkah-langkah tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang benar. Pada siklus II dilaksanakan dalam tiga pertemuan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Perencanaan Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini meliputi:
a. Membuat skenario pelaksanaan tindakan berupa Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) untuk tiga pertemuan.


b. Membuat lembar observasi: untuk melihat bagaimana suasana belajar

mengajar di kelas ketika pendekatan metakognitif PQ4R dilaksanakan, kegiatan guru, dan kegiatan siswa.
c. Membuat alat bantu mengajar yang diperlukan dalam rangka membantu

siswa memahami konsep-konsep matematika dengan baik berupa bahan ajar dan Lembar Aktivitas Siswa.
d. Mendesain alat evaluasi untuk melihat apakah materi matematika telah

dikuasai oleh siswa berupa tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal. 2. Pelaksanaan Tindakan Tindakan yang telah dirancang dilaksanakan oleh satu orang guru matematika kelas V SD Negeri 060818 Medan. Pembelajaran yang dilakukan guru dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah dibuat.

67

Adapun tahap-tahap pemberian tindakan pendekatan metakognitif PQ4R yaitu:


1. Tahap pertama diskusi awal, guru membagi siswa ke dalam delapan

kelompok, menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penamaan konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Guru membimbing siswa menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru. Guru juga memberikan bantuan kepada siswa dengan langkah-langkah yang harus diselesaikan siswa untuk masing-masing soal pada LAS secara acak. Sehingga siswa diminta untuk menyusun langkah-langkah tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang benar.
2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal

latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif. Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk

memusatkan pada kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri. Pada tahap kedua ini dapat dikombinasikan dengan metode PQ4R.
a. Preview. Bab yang akan dipelajari hendaknya disurvai terlebih dahulu

untuk menentukan topik umum yang terdapat di dalamnya. Kemudian subbab-subbab yang ada dalam bab tersebut hendaknya diidentifikasi sebagai unit-unit yang akan dibaca. Setelah itu, gunakanlah empat langkah berikutnya (langkah 2, 3, 4, dan 5) untuk memahami setiap subbab.

68

b. Question. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan subbab hendaknya

disusun misalnya dengan cara mengubah judul subbab yang bersangkutan ke dalam bentuk kalimat-kalimat bertanya.
c. Read. Isi subbab hendaknya dibaca secara cermat sambil mencoba mencari

jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun tadi.


d. Reflect. Selama membaca, isi subbab hendaknya dikenang secara

mendalam (dipikirkan) seraya berusaha memahami isi dan menangkap contoh-contohnya serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
e. Recite. Setelah subbab selesai dibaca, informasi yang terdapat di

dalamnnya hendaknya diingat-ingat. Lalu, semua pertanyaan mengenai subbab tersebut dijawab. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi.
f. Review. Setelah menyelesaikan satu bab, tanamkanlah materi bab tersebut

ke dalam memori sambil mengingat-ingat intisari-intisarinya. Kemudian, jawablah sekali lagi seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan subbabsubbab dari bab tersebut.
3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman. Refleksi dilakukan oleh guru

dan siswa. Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia

pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi dalam masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman yang dilakukan oleh siswa

69

sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

4.

Observasi Observasi dilaksanakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah

dipersiapkan sebelumnya. Observer terdiri atas dua orang yaitu salah seorang guru dan satu orang mahasiswa. Proses observasi dilakukan selama melaksanakan tindakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

metakognitif PQ4R. Pengamatan juga dilakukan terhadap prilaku dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan dampak yang ditimbulkan dari prilaku guru terhadap siswa selama proses pembelajaran. 5. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir siklus pelaksanaan tindakan. Evaluasi tersebut ditujukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya peningkatan hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan yang diajarkan. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika yang disusun peneliti. Bila target pencapaian kompetensi dalam model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD dan MI berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, nilai ketuntasan belajar minimal yang menjadi target pencapaian kompetensi di SD/MI untuk mata pelajaran Matematika adalah 60%, sedangkan untuk ketuntasan individu, setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama

70

dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60, dan untuk ketuntasan klasikal, sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Apabila sudah tercapai maka tindakan dianggap telah berhasil dilaksanakan. 6. Refleksi Refleksi pada siklus II merupakan langkah untuk menganalisis hasil kerja siswa. Hasil yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi dianalisis.

Kelemahan-kelemahan atau kelebihan-kelebihan yang terjadi pada siklus II. Refleksi ini dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan apakah hipotesis tindakan tercapai atau tidak. Refleksi pada siklus II diharapkan agar kemampuan

memodelkan soal cerita matematika siswa kelas VA SD Negeri 060818 Medan akan meningkat. Suatu kelas dikatakan tuntas secara klasikal apabila di kelas tersebut telah terdapat 80% siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal yaitu 60. Adapun skema alur tindakan yang direncanakan dalam penelitian ini disajikan pada gambar berikut.
Adaptasi Pendekatan Metakognitif

Pelaksanaan Pendekatan Metakognitif

71

3.4.

DEFINISI OPERASIONAL Agar penelitian ini lebih terarah, maka ada baiknya jika diberikan

beberapa definisi operasional yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Ada pun definisi operasional tersebut yaitu:
1. Pendekatan Metakognitif PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite,

and Review) merupakan kemampuan seorang siswa untuk menetapkan tujuannya sendiri menggunakan metode dan teknik-teknik yang tepat tentang substansi dan tujuan untuk mengkaji ulang dan menilai proses sendiri. Pendekatan ini dapat diaplikasikan melalui langkah-langkah dalam PQ4R dan hasilnya dapat dianalisis melalui observasi dan inventori strategi-strategi metakognitif.
2. Kemampuan Siswa dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika merupakan

keterampilan untuk memahami soal; merencanakan model penyelesaian; menyelesaikan model menggunakan aturan, proses, konsep matematika; dan menentukan jawaban berdasarkan model dan kondisi soal.

3.5.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai

berikut:

72

1.

Data adaptasi pendekatan metakognitif PQ4R diambil dari hasil observasi dan pendapat dari berbagai sumber (siswa, guru, ahli pendidikan) tentang pendekatan metakognitif PQ4R.

2. Data situasi pelaksanaan pendekatan metakognitif PQ4R diambil dengan

menggunakan lembar observasi. 3. Data tentang kemampuan metakognitif siswa diperoleh dari inventori strategistrategi metakognitif.
4. Data tentang kemampuan siswa SD dalam memodelkan soal cerita diperoleh

dengan cara memberikan tes evaluasi atau ulangan pada siswa berupa tes memodelkan soal cerita matematika pada akhir setiap siklus. Dalam penelitian, data-data penelitian diambil dengan menggunakan instrumen penelitian. Sebelum digunakan dalam penelitian, masing-masing

instrumen divalidasi oleh 5 orang validator yang terdiri dari: a. b. 2 orang dosen UNIMED yaitu Dr. Hasratuddin, M.Pd dan Edy Syahputra. 2 orang guru bidang studi matematika yaitu ST. Pidoris Pardede, S.Th dan Syawal Abdi Nasution, S.Pd, M.A. c. 1 orang alumni Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UNIMED yaitu Glory Indira Diana Purba, S.Si, M.Pd. Setelah selesai proses validasi oleh tim ahli maka instrumen penelitian diujicobakan pada Rabu, 13 Oktober 2010. dianalisis dengan menggunakan Anates Uraian. instrumen penelitian yang digunakan, yaitu: 1. Skenario Pembelajaran Kemudian data hasil ujicoba Berikut ini akan dipaparkan

73

Skenario pembelajaran digunakan untuk mengetahui proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Skenario pembelajaran dirancang sesuai dengan

tahapan pendekatan metakognitif PQ4R berupa RPP sebanyak tujuh pertemuan untuk siklus I dan tiga pertemuan untuk siklus II (RPP dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 155). Selain RPP, maka digunakan juga alat bantu mengajar berupa bahan ajar (dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 216) dan Lembar Aktivitas Siswa (dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 247). Sebelum digunakan dalam penelitian, RPP, bahan ajar, dan Lembar Aktivitas Siswa ini divalidasi terlebih dahulu oleh para ahli. Adapun kriteria penilaian untuk RPP, bahan ajar, dan LAS adalah sebagai berikut: 1 : berarti tidak baik 2 : berarti kurang baik 3 : berarti cukup baik 4 : berarti baik 5 : berarti sangat baik Sedangkan kriteria validasi yaitu: Suatu RPP/bahan ajar/LAS dapat digunakan sebagai perangkat pembelajaran dalam penelitian jika rata-rata suatu RPP/bahan ajar/LAS lebih besar atau sama dengan tiga, dengan kata lain minimal berkategori cukup baik. Adapun hasil validasi secara rinci dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 350. Secara ringkas hasil validasi tersebut yaitu: Tabel 3.1. Hasil Validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) No Objek yang Dinilai 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) - 1 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 2 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 3 Rata-Rata 4,05 4,24 4,12 Validasi Baik Baik Baik

74

4 5 6 7 8 9 10

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 5 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 9 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) - 10 Rata-Rata Total

4,17 4,17 4,17 4,09 4,25 4,08 4,32 4,166

Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Tabel 3.2. Hasil Validasi Bahan Ajar Rata-Rata 4,21 Rata-Rata Total 4,21 Tabel 3.3. Hasil Validasi Lembar Aktivitas Siswa (LAS) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Objek yang Dinilai Lembar Aktivitas Siswa (LAS) - 1 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 2 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 3 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 4 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 5 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 6 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 7 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 8 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 9 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) 10 Rata-Rata Total Rata-Rata 4,09 4,27 4,14 4,22 4,07 4,18 4,15 4,15 4,04 4,28 4,159 No 1 Bahan Ajar Objek yang Dinilai Validasi Baik Baik Validasi Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Berdasarkan hasil validasi tim ahli di atas, dapat disimpulkan: Tabel 3.4. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran No Objek yang Dinilai 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 2 Bahan Ajar 3 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) Rata-Rata 4,166 4,21 4,159 Validasi Baik Baik Baik

Dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan yaitu suatu RPP/bahan ajar/LAS dapat digunakan sebagai perangkat pembelajaran dalam penelitian jika rata-rata suatu RPP/bahan ajar/LAS lebih besar atau sama dengan tiga, dengan

75

kata lain minimal berkategori cukup baik, maka dari hasil validasi perangkat pembelajaran oleh para ahli diperoleh semua perangkat pembelajaran dapat digunakan sebagai perangkat pembelajaran dalam penelitian. Beberapa validator juga menyarankan perlu revisi kecil pada sebagian aspek-aspek yang ditulis dalam lembar validasi. Setelah dilakukan validasi, maka perangkat pembelajaran ini diujicobakan terlebih dahulu. Adapun kriteria penilaian untuk pengelolaan pembelajaran,

kegiatan guru, dan kegiatan siswa yaitu: 1 : berarti tidak baik 2 : berarti kurang baik 3 : berarti cukup baik 4 : berarti baik 5 : berarti sangat baik Adapun hasil uji coba secara rinci dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 377. Secara ringkas hasil uji coba sebagai berikut: Tabel 3.5. Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran No Objek yang Dinilai 1 Pengelolaan Pembelajaran 2 Kegiatan Guru 3 Kegiatan Siswa 2. Lembar Observasi Penelitian Lembar observasi penelitian ini dirancang oleh peneliti untuk mengetahui data mengenai kegiatan siswa dan kegiatan guru dalam proses belajar mengajar. Lembar observasi penelitian dapat berupa catatan lapangan, catatan anekdot, deskripsi perilaku ekologis, catatan harian, analisis dokumen, jadwal dan checklist Rata-Rata 4,17 4,375 3,96 Validasi Baik Baik Cukup Baik

76

interaksi.

Lembar Observasi terdiri atas lembar observasi pengelolaan

pembelajaran, lembar observasi kegiatan guru, dan lembar observasi kegiatan siswa (lembar observasi dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 320). Lembar observasi ini divalidasi para ahli terlebih dahulu. Adapun kriteria penilaian untuk lembar observasi yaitu: 1 : berarti tidak baik 2 : berarti kurang baik 3 : berarti cukup baik 4 : berarti baik 5 : berarti sangat baik Sedangkan kriteria validasi yaitu: Suatu lembar observasi dapat digunakan sebagai perangkat pembelajaran dalam penelitian jika rata-rata suatu lembar observasi lebih besar atau sama dengan tiga, dengan kata lain minimal berkategori cukup baik. Hasil validasi lembar observasi dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 350. Berikut ini adalah hasil validasi lembar observasi secara ringkas. Tabel 3.6. Hasil Validasi Lembar Observasi No Objek yang Dinilai 1 Lembar Observasi Pengelolaan Pembelajaran 2 Lembar Observasi Kegiatan Guru 3 Lembar Observasi Kegiatan Siswa Rata-Rata 3,26 4,14 4,34 Validasi Cukup Baik Baik Baik

Dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan yaitu suatu lembar observasi dapat digunakan sebagai perangkat pembelajaran dalam penelitian jika rata-rata suatu lembar observasi lebih besar atau sama dengan tiga, dengan kata lain minimal berkategori cukup baik, maka dari hasil validasi lembar observasi oleh para ahli diperoleh semua lembar observasi dapat digunakan dalam

77

penelitian. Beberapa validator juga menyarankan perlu revisi kecil pada sebagian aspek-aspek yang ditulis dalam lembar validasi. Kemudian lembar observasi ini diujicobakan. Pada saat uji coba terdapat dua orang pengamat (observer) yang menggunakan lembar observasi yang telah dirancang. Adapun kriteria penilaian untuk pengelolaan pembelajaran, kegiatan guru, dan kegiatan siswa yaitu: 1 : berarti tidak baik 2 : berarti kurang baik 3 : berarti cukup baik 4 : berarti baik 5 : berarti sangat baik Selanjutnya interpretasi dari penilaian untuk masing-masing hasil observasi yaitu: a. Pengelolaan Pembelajaran Pengelolaan pembelajaran dikatakan baik jika rata-rata setiap tahap pengelolaan pembelajaran lebih besar atau sama dengan tiga. b. Kegiatan Guru Untuk kegiatan guru, dihitung dengan rumus Persentase Rata-Rata Skor (RS) yaitu: Dimana: Skor Maksimum Ideal = 5 x 16 = 80 90% RS 100% 80% RS < 90% 70% RS < 80 60% RS < 70 : Sangat Baik : Baik : Cukup : Kurang

78

0% RS < 60% c. Kegiatan Siswa

: Sangat Kurang

Untuk kegiatan siswa, dihitung dengan rumus Persentase Rata-Rata Skor (RS) yaitu: Dimana: Skor Maksimum Ideal = 5 x 12 = 60 90% RS 100% 80% RS < 90% 70% RS < 80 60% RS < 70 0% RS < 60% : Sangat Baik : Baik : Cukup : Kurang : Sangat Kurang

Adapun hasil observasi sebagai berikut: Tabel 3.7. Hasil Uji Coba Observasi Pengelolaan Pembelajaran No 1 2 3 4 Kategori Pendahuluan (tahap pertama) Kegiatan inti (tahap kedua) Penutup (tahap ketiga) Pengelolaan waktu Nilai Kategori 4,00 4,13 4,50 4,50 Keterangan Baik Baik Baik Baik

Dengan merujuk pada kriteria pengelolaan pembelajaran dikatakan baik jika rata-rata setiap tahap pengelolaan pembelajaran lebih besar atau sama dengan tiga. Oleh karena nilai kategori untuk setiap tahap pembelajaran lebih besar dari tiga, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pembelajaran memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan

pendekatan metakognitif PQ4R dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan pecahan.

79

Tabel 3.8. Hasil Uji Coba Observasi Kegiatan Guru No Kategori 1 Memotivasi / mengkomunikasikan tujuan pembelajaran. 2 Menginformasikan deskripsi singkat metode dan materi pembelajaran. 3 Menghubungkan materi pelajaran dengan sebelumnya. 4 Memberikan masalah soal cerita (LAS) 5 Mengarahkan siswa untuk menemukan jawaban 6 Mengamati cara siswa menyelesaikan masalah dengan cara bergantian 7 Mengoptimalkan interaksi siswa dalam bekerja 8 Meminta siswa untuk menampilkan jawabannya di kelas 9 Mendorong siswa untuk membandingkan jawabannya dengan jawaban temannya 10 Menghargai berbagai pendapat siswa 11 Mengendalikan suasana diskusi dari berbagai pendapat 12 Mendorong siswa untuk bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya 13 Mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu prosedur/konsep 14 Menegaskan kembali jawaban dan membuat kesimpulan 15 Memberikan latihan mandiri (portofolio) 16 Pengelolaan Waktu Jumlah Persentase Rata-Rata Skor Nilai 4,00 4,50 3,50 4,50 5,00 5,00 4,00 4,50 4,00 4,50 5,00 4,00 4,00 5,00 4,00 4,50 70,00 87,50% Keterangan Baik Baik Cukup Baik Baik Sangat Baik Sangat Baik Baik Baik Baik Baik Sangat Baik Baik Baik Sangat Baik Baik Baik Baik

Dengan merujuk pada kriteria kegiatan guru dikatakan baik jika 80% RS < 90%. Oleh karena persentase rata-rata skor uji coba observasi kegiatan guru diperoleh 87,50%, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan guru memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa guru mampu

mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas guru berkategori baik. Tabel 3.9. Hasil Uji Coba Observasi Kegiatan Siswa

80

No Kategori 1 Langkah 1, preview. Siswa mensurvei soal-soal yang ada pada LAS dan menentukan topik umum dalam soal-soal pada LAS. 2 Langkah 2, question. Siswa menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal-soal pada LAS. 3 Langkah 3, read. Siswa membaca soal secara cermat dan menentukan model matematika yang sesuai. 4 Langkah 4, reflect. Siswa mengamati formula yang digunakan untuk masing-masing soal. 5 Langkah 5, recite. Setelah siswa memahami formula yang telah ditentukan sebelumnya, siswa menyelesaikan soal-soal pada LAS dengan menggunakan formula yang telah ditentukan. 6 Langkah 6, review. Setelah menyelesaikan soalsoal pada LAS, siswa menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan untuk masing-masing soal pada LAS. 7 Interaksi siswa dalam bekerja 8 Siswa menampilkan jawabannya di kelas 9 Siswa membandingkan jawabannya dengan jawaban temannya 10 Siswa menghargai berbagai pendapat siswa lainnya 11 Siswa bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya 12 Siswa menarik kesimpulan suatu prosedur/konsep Jumlah Persentase Rata-Rata Skor

Nilai 3,50 4,00 3,00 4,00 4,50

Keterangan Cukup Baik Baik Cukup Baik Baik Baik

3,50

Cukup Baik

4,00 4,50 4,00 4,50 4,00 4,00 47,50 79,17 %

Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup

Dengan merujuk pada kriteria kegiatan siswa dikatakan cukup jika 70% RS < 80. Oleh karena persentase rata-rata skor uji coba observasi kegiatan siswa diperoleh 79,17%, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan siswa memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa mampu

mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa berkategori cukup.

3. Tes kemampuan siswa SD dalam memodelkan soal cerita

81

Instrumen ini disusun untuk mengetahui kemampuan siswa SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Jenis soal tes yang digunakan dalam bentuk soal cerita. Dalam penelitian ini akan menggunakan soal cerita matematika yang menyangkut pokok bahasan pecahan. Tes kemampuan memodelkan soal cerita ini terdiri atas 5 soal untuk siklus I (dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 310) dan 5 soal untuk siklus II (dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 315). Adapun kisi-kisi tes untuk masing-masing siklus yaitu: Tabel 3.10. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Siswa Dalam Memodelkan Soal Cerita (Siklus I)
No Standar Kompetensi Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah 1. Kompetensi Dasar Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal, serta sebaliknya. Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan. Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan. 1. 2. Materi Indikator Soal Bentuk Tes No. Soal

2.

3.

Persentase Mengubah Pecahan ke Bentuk Persen dan Desimal, serta Sebaliknya Operasi Hitung Pada Pecahan

Mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikas ikan ide-ide matematika. Memilih pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Menerapkan dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Menggunakan pemodelan untuk menginterpretasi kan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika.

Uraian

1a, 2a, 3a, 4a, 5a

1b, 2b, 3b, 4b, 5b

3.

1c, 2c, 3c, 4c, 5c

1d, 2d, 3d, 4d, 5d

Tabel 3.11. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Siswa Dalam Memodelkan Soal Cerita (Siklus II)

82

No

Standar Kompetensi Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah

Kompetensi Dasar 1. Melakukan operasi hirung campuran pada pecahan. 2. Menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala.

Materi

Indikator Soal

Bentuk Tes

No. Soal

1. Operasi Hitung Campuran Pada Pecahan 2. Perbandingan 3. Skala

Mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikas ikan ide-ide matematika. Memilih pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Menerapkan dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Menggunakan pemodelan untuk menginterpretasi kan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika.

Uraian

1a, 2a, 3a, 4a, 5a

1b, 2b, 3b, 4b, 5b

1c, 2c, 3c, 4c, 5c

1d, 2d, 3d, 4d, 5d

Rubrik penilaian sebagai berikut: a. Memahami Soal 0 : Tidak menulis apa yang diketahui dan ditanyakan. 1 : Menulis yang diketahui dan ditanyakan tetapi tidak lengkap. 2 : Menulis yang diketahui dan yang ditanyakan dengan lengkap. b. Merencanakan model penyelesaian 0 : Tidak menyusun model matematika. 1 : Menyusun model matematika tetapi tidak lengkap. 2 : Menyusun model matematika yang lengkap dan benar. c. Menyelesaikan model menggunakan aturan, prosedur, konsep matematika 0 : Tidak mampu memulai mengerjakan model matematika atau 1 : mengerjakan tanpa makna. Mengerjakan model matematika dengan pendekatan yang benar, mengindikasikan adanya pengertian terhadap soal tetapi tidak mampu 2 : melanjutkannya dengan benar. Rincian pengerjaan siswa mengindikasikan siswa telah menyelesaikan model secara rasional, tetapi kesalahan kecil atau salah interpretasi

83

menghasilkan kesalahan jawaban. Metode yang lengkap dan benar menghasilkan penyelesaian yang

benar. d. Menentukan jawaban berdasarkan model dan kondisi soal 0 : Tidak mampu menentukan jawaban soal. 1 : Mampu menentukan jawaban soal tetapi jawaban tidak benar. 2 : Mampu menentukan jawaban soal dan jawaban benar tetapi alasan 3 : tidak ada, atau ada tetapi tidak rasional atau tidak lengkap. Mampu menentukan jawaban soal, jawaban benar dan ada alasan

rasional dan lengkap Kemudian, skor yang diperoleh siswa diolah menjadi nilai standar dengan mengacu pada kriterium (menggunakan PAP) dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh siswa dengan skor maksimum ideal yang mungkin dicapai siswa, kalau saja seluruh soal tes dapat dijawab dengan benar.

Sebelum soal digunakan sebagai instrumen, terlebih dahulu diuji kualitas tes tersebut pada kelas yang lain yang meliputi uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. a. Validitas Validitas item dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir item ( yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas ), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir item tersebut. Validasi dilakukan oleh tim ahli dengan hasil sebagai berikut (dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 350): Tabel 3.12. Hasil Validasi Tes Memodelkan Soal Cerita Matematika No Objek yang Dinilai 1 Tes Siklus I Rata-Rata 4,28 Validasi Baik

84

Tes Siklus II 4,24 Baik Selanjutnya dilakukan uji coba instrumen untuk mengetahui validitas

masing-masing soal. Untuk menguji validitas digunakan Rumus Korelasi Product Momen Dengan Angka Kasar yaitu :

rx y=
Keterangan :
rx y

( N X )Y ( X ) ( Y ) { N( X 2 ) ( X )2} {N (Y 2 ) ( Y )2 }

= koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

X = nilai siswa pada item tertentu Y = skor total siswa pada tes Arikunto ( 2005 : 75 ) mengemukakan : Koefisien korelasi selalu terdapat antara 1,00 sampai + 1,00. Namun karena dalam menghitung sering dilakukan pembulatan angka-angka, sangat mungkin diperoleh koefisien lebih dari 1,00. Koefisien negatif menunjukkan hubungan kebalikan sedangkan koefisien positif menunjukkan adanya kesejajaran untuk mengadakan interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi adalah sebagai berikut : - Antara 0,800 sampai dengan 1,00 : sangat tinggi - Antara 0,600 sampai dengan 0,800 : tinggi - Antara 0,400 sampai dengan 0,600 : cukup - Antara 0,200 sampai dengan 0,400 : rendah - Antara 0,000 sampai dengan 0,200 : sangat rendah Selanjutnya diuji dengan menggunakan uji t dengan rumus:

Keterangan: = t hitung = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y N = jumlah sampel

85

Dengan kriteria pengujian adalah taraf signifikan 5%, dk = 38 2 = 36 diperoleh coba tes dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 381.

, maka butir soal valid. Pada . Hasil validasi uji

Tabel 3.13. Hasil Validasi Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus I) Butir Soal Keterangan 1 0,790 7,731 Valid 2 0,837 9,178 Valid 3 0,611 4,631 Valid 4 0,851 9,723 Valid 5 0,856 9,935 Valid Tabel 3.14. Hasil Validasi Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus II) Butir Soal Keterangan 1 0,841 9,327 Valid 2 0,896 12,107 Valid 3 0,777 7,406 Valid 4 0,913 13,427 Valid 5 0,882 11,230 Valid Jika merujuk pada kriteria pengujian jika , maka butir soal

valid, maka keseluruhan item soal (siklus I dan siklus II) dapat digunakan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi pecahan ditinjau dari validitas tes.

b.

Reliabilitas Reliabilitas berhubungan dengan masalah kepercayaan. Suatu tes dapat

dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Maka pengertian reliabilitas tes, berhubungan

dengan masalah ketetapan hasil tes. Sudijono ( 2005 : 207 ) mengemukakan : Dalam rangka menentukan apakah tes hasil belajar bentuk uraian yang disusun oleh seorang staf pengajar telah memiliki daya keajegan

86

mengukur atau reliabilitas yang tinggi ataukah belum, pada umumnya orang menggunakan sebuah rumus yang dikenal dengan nama Rumus Alpha. Adapun rumus Alpha tersebut :
Si2 n r =( )(1 ) 11 n 1 St2

Keterangan :
r1 1

= koefisien reliabilitas tes = banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tes = bilangan konstan = jumlah varian skor dari tiap-tiap butir item = varian total

n 1
i2 S St2

Adapun rumus untuk mencari varian yaitu :


X 2 (X ) 2 N N

S2 =

Di mana :
S2

= varian

X 2 = jumlah kuadrat dari nilai setiap item


( ) 2 = jumlah nilai setiap item dikuadratkan X

= jumlah peserta tes

87

Selanjutnya dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien reliabilitas tes ( r1 ) pada umumnya digunakan patokan sebagai berikut : 1 1. Apabila r1 sama dengan atau lebih besar daripada 0,70 berarti tes hasil 1 belajar yang sedang diuji reliabilitasnya dinyatakan telah memiliki reliabilitas yang tinggi. 2. Apabila r1 lebih kecil daripada 0,70 berarti bahwa tes hasil belajar yang 1 sedang diuji reliabilitasnya dinyatakan belum memiliki reliabilitas yang tinggi. Selanjutnya diuji dengan menggunakan uji t dengan rumus:

Keterangan: = t hitung = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y N = jumlah sampel Dengan kriteria pengujian adalah taraf signifikan 5%, dk = 38 2 = 36 diperoleh uji coba tes dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 381. Tabel 3.15. Hasil Reliabilitas Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita Tes Siklus I Siklus II Keterangan Reliabilitas Tinggi Reliabilitas Tinggi , maka tes reliabel. Pada . Hasil reliabilitas

0,93 0,97

15,181 23,941

Berdasarkan hasil uji coba maka dapat disimpulkan bahwa tes memodelkan soal cerita matematika (siklus I dan siklus II) memiliki reliabilitas yang tinggi sehingga soal-soal tes memodelkan soal cerita tersebut dapat

88

digunakan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi pecahan ditinjau dari reliabilitas tes.

c.

Tingkat Kesukaran Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu

sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di luar jangkauannya. Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran (difficulty index). Untuk menentukan tingkat kesukaran soal, digunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan: DI HG LG N = Difficulty Index (Indeks Kesukaran) = High Group (jumlah skor siswa kelompok atas) = Low Group (jumlah skor siswa kelompok bawah) = jumlah peserta kelompok atas dan kelompok bawah Klasifikasi tingkat kesukaran yang digunakan adalah: DI 27% 27% < DI 73% DI > 73% = soal sukar = soal sedang = soal sukar

Dari hasil uji coba butir soal, diperoleh hasil sebagai berikut (hasil tingkat kesukaran uji coba tes dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 381):

89

Tabel 3.16. Hasil Tingkat Kesukaran Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus I) Butir Soal 1 2 3 4 5 Tingkat Kesukaran 43,00% 54,50% 60,50% 54,50% 46,50% Tafsiran Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

Tabel 3.17. Hasil Tingkat Kesukaran Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus II) Butir Soal 1 2 3 4 5 d. Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda Tingkat Kesukaran 52,50% 60,50% 60,00% 63,00% 54,00% Tafsiran Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

disebut indeks diskriminasi. Daya pembeda pada dasarnya dihitung atas dasar pembagian testee ke dalam dua kelompok yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Adapun cara menentukan dua kelompok itu adalah dengan menggunakan persentase sebesar 27% dari testee yang termasuk dalam kelompok atas dan 27% lainnya diambilkan dari testee yang termasuk kelompok bawah. Hal ini

disebabkan karena berdasarkan bukti-bukti empirik pengambilan subyek sebanyak 27% testee kelompok atas dan 27% testee kelompok bawah itu telah menunjukkan kesensitivannya atau dengan kata lain cukup dapat diandalkan.

90

Langkah-langkah untuk mengetahui daya pembeda yaitu: 1. Tentukan varians masing-masing kelompok atas dan kelompok bawah dengan rumus:

2.

Tentukan uji kesamaan varians

Untuk

= 5% diperoleh maka

3.

Jika varians kelompok atas dan kelompok bawah sama, tentukan rumus:

dengan

4.

Jika varians kelompok atas dan kelompok bawah tidak sama, tentukan dengan rumus:

5.

Kriteria pengujian: Jika pembeda yang baik. maka butir tes signifikan, sehingga merupakan daya

91

Karena

= 2,10 maka diperoleh hasil sebagai berikut (hasil daya

pembeda uji coba tes dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 381):

Tabel 3.18. Hasil Daya Pembeda Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus I) Butir Soal 1 2 3 4 5 Daya Beda ( ) 5,10 9,71 5,46 9,71 6,81 Tafsiran Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan

Tabel 3.19. Hasil Daya Pembeda Uji Coba Tes Memodelkan Soal Cerita (Siklus II) Butir Soal 1 2 3 4 5 4. Daya Beda ( ) 5,28 9,59 7,35 8,49 6,91 Tafsiran Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan

Inventori Strategi-Strategi Metakognitif Inventori strategi-strategi metakognitif digunakan untuk mengetahui

kemampuan metakognitif siswa.

Inventori strategi-strategi metakognitif

diadaptasi dan disesuaikan untuk pembelajaran matematika (dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 325). Inventori strategi-strategi metakognitif sebanyak 60 butir dengan bentuk pertanyaan tertutup. Inventori strategi-strategi metakognitif terdiri atas pernyataan positif dan negatif. Penggunaan pernyataan positif dan negatif ini dimaksudkan agar siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan pada inventori strategi-strategi metakognitif dengan baik sesuai dengan yang

92

dipikirkannya, bukan hanya sekedar memberikan ceklis saja.

Pilihan dalam

inventori strategi-strategi metakognitif terdiri dari lima pilihan yaitu: Sangat Benar (SB) Benar (B) Ragu-Ragu (R) Tidak Benar (TB) Sangat Tidak Benar (STB) Menurut skala Likert, masing-masing jawaban mempunyai rating yaitu: Tabel 3.20. Rating Skala Likert Kategori Sangat Benar (SB) Benar (B) Ragu-ragu (R) Tidak Benar (TB) Sangat Tidak Benar (STB) Favorable/positif 4 3 2 1 0 Unfavorable/negatif 0 1 2 3 4

Analisis data tentang sikap menggunakan skala Likert yaitu suatu cara untuk memberi interpretasi terhadap skor individu dengan membandingkan skor tersebut dengan harga rata-rata/mean skor kelompok di mana responden itu termasuk.

Dimana: Skor Maksimum Ideal = 4 x 60 = 240 90% RS 100% : Sangat Baik

93

80% RS < 90% 70% RS < 80 60% RS < 70 0% RS < 60%

: Baik : Cukup : Kurang : Sangat Kurang

3.6.

TEKNIK ANALISIS DATA Data yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis sebagai berikut:

1.

Proses adaptasi pendekatan metakognitif PQ4R Data yang diperoleh dari proses adaptasi, dianalisis untuk mengetahui bagaimana kesiapan peserta didik dan guru dalam menerapkan pendekatan metakognitif PQ4R. Selain itu, juga diperlukan analisis untuk mengetahui hal-hal yang berkembang dan berbagai kekurangan dalam proses adaptasi agar pada tahap pelaksanaan tindakan menjadi lebih baik dan tepat.

2.

Pelaksanaan pendekatan metakognitif PQ4R Data tentang pelaksanaan pendekatan metakognitif PQ4R yang diperoleh dari lembar observasi dianalisis untuk mengetahui apakah pembelajaran yang dilaksanakan sudah sesuai dengan skenario yang dibuat. Jika masih ada kekurangan pada pelaksanaan pembelajaran, maka dilakukan tindakan perbaikan.

3.

Kemampuan metakognitif siswa Data tentang kemampuan metakognitif siswa yang diperoleh dari inventori strategi-strategi metakognitif dianalisis untuk memperoleh kesimpulan.

94

Kriteria keberhasilan tindakan, apabila kemampuan metakognitif siswa minimal berkualifikasi cukup baik.
4. Kemampuan siswa SD dalam memodelkan soal cerita matematika

Kemampuan siswa SD dalam memodelkan soal cerita matematika dianalisis dengan mencari ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal. Untuk mengetahui kemampuan siswa SD dalam pemodelan soal cerita matematika tersebut digunakan kriteria sebagai berikut : a. Target pencapaian kompetensi dalam model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD dan MI berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, nilai ketuntasan belajar minimal yang menjadi target pencapaian kompetensi di SD/MI untuk mata pelajaran Matematika adalah 60%. b. Ketuntasan Individu Setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. c. Ketuntasan Klasikal Sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Jika

95

ketuntasan klasikal belum dicapai, maka diadakan tindakan perbaikan dalam proses pembelajaran.

3.7. INDIKATOR KERJA Yang menjadi indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah kemampuan siswa SD dalam pemodelan soal cerita matematika dan kemampuan metakognitif siswa dengan ketuntasan sebagai berikut :
1. Keberhasilan penelitian ini dilihat dari kemampuan siswa SD dalam

memodelkan soal cerita yaitu apabila hasil evaluasi suatu siklus paling sedikit 80% siswa telah mendapatkan nilai paling rendah 60, dan nilai ketuntasan belajar minimal yang menjadi target pencapaian kompetensi di SD/MI untuk mata pelajaran Matematika adalah 60%, maka siklus selanjutnya tidak dilaksanakan karena indikator keberhasilan telah tercapai. 2. Kemampuan metakognitif siswa SD dikatakan meningkat jika kemampuan metakognitif siswa minimal berkategori cukup baik.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

96

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan

metakognitif PQ4R ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan, serta mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R. Sebelum penelitian dilakukan, maka dilakukan terlebih dahulu sosialisasi pendekatan metakognitif PQ4R dengan tim pengamat (observer) pada Senin, 25 Oktober 2010. Tim pengamat (observer) terdiri atas dua orang yaitu satu orang guru di SD Negeri 060818 Medan dan satu orang mahasiswa Program Pascasarjana UNIMED Program Studi Pendidikan Matematika. Hal ini

dimaksudkan agar para pengamat (observer) memahami langkah-langkah atau tahapan-tahapan dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sehingga pengamat (observer) tidak melakukan kesalahan dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika dilakukan tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika pada setiap akhir siklus.

4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Proses Adaptasi Pendekatan Metakognitif PQ4R

97

Proses adaptasi dilaksanakan pada Selasa, 26 Oktober 2010 (2 jam pelajaran) pada pukul 08.40 10.05 dan Kamis, 28 Oktober 2010 (2 jam pelajaran) pada pukul 07.30 08.40. Pada tahap adaptasi, siswa diperkenalkan dengan pembelajaran menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R. Hal ini

dilakukan agar siswa terbiasa dengan pembelajaran yang baru sehingga hasil pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Pada tahap adaptasi ini siswa

dibimbing untuk melakukan kegiatan belajarnya dengan mengikuti langkahlangkah atau tahap-tahap yang telah dirancang sesuai dengan pendekatan metakognitif PQ4R. Pada awalnya siswa masih mengalami kesulitan belajar karena belum terbiasa dengan pendekatan baru. Namun, setelah diberikan bimbingan, siswa merasa tertarik dengan pendekatan baru yang mereka terima. Mereka mulai dapat memilah informasi yang ada pada bahan ajar dan Lembar Aktivitas Siswa, bukan hanya sekedar berfokus pada angka-angka atau konsep tertentu saja. Kemampuan memahami soal cerita matematika mulai berkembang seiring dengan penanaman konsep yang mereka temukan sendiri. Pada tahap adaptasi ini, siswa diberikan pengetahuan prasyarat yaitu tentang dasar-dasar pecahan yang telah dipelajari sebelumnya di kelas IV sebagai pengantar untuk materi pecahan selanjutnya. Dasar-dasar pecahan dipilih sebagai materi prasyarat karena materi pecahan yang akan dipelajari merupakan pengembangan dari dasar-dasar pecahan di kelas IV. Dengan mengingatkan

siswa kembali dasar-dasar pecahan yang telah mereka pelajari, maka dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan matematikanya. Berdasarkan hasil adaptasi diperoleh data sebagai berikut:

98

Tabel 4.1. Respon Siswa Terhadap Pendekatan Metakognitif PQ4R No Aspek Yang Dinilai 1 Senang terhadap pendekatan metakognitif PQ4R 2 Pendekatan metakognitif PQ4R masih baru 3 Berminat mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R Rata-Rata Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut: Persentase 87, 23% 95,74% 91,49% 91,49%

Gambar 4.1. Respon Siswa Terhadap Pendekatan Metakognitif PQ4R

Persentase rata-rata jawaban respon siswa untuk masing-masing komponen adalah 87,23% menyatakan senang terhadap pendekatan metakognitif PQ4R; 95,74% menyatakan baru; dan 91,49% menyatakan berminat mengikuti pembelajaran. Rata-rata persentase dari keseluruhan aspek respon siswa terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah sebesar 91,49%. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini, respon siswa dikatakan positif terhadap pembelajaran jika rata-rata persentase 80%. Oleh karena persentase rata-rata keseluruhan aspek respon siswa terhadap pendekatan metakognitif PQ4R sebesar 91,49%, hal ini berarti pendekatan metakognitif PQ4R baik digunakan dalam pembelajaran matematika. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses adaptasi

99

pendekatan metakognitif PQ4R pada siswa dapat diterima oleh siswa dengan baik sehingga kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya dapat memudahkan siswa dalam proses belajarnya. Tabel 4.2. Respon Guru Terhadap Pendekatan Metakognitif PQ4R No Aspek Yang Dinilai 1 Senang terhadap pendekatan metakognitif PQ4R 2 Pendekatan metakognitif PQ4R masih baru 3 Berminat menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R Rata-Rata Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut: Persentase 100% 66,67% 100% 88,89%

Gambar 4.2. Respon Guru Terhadap Pendekatan Metakognitif PQ4R

Persentase rata-rata jawaban respon guru untuk masing-masing komponen adalah 100% menyatakan senang terhadap pendekatan metakognitif PQ4R; 66,67% menyatakan baru; dan 100% menyatakan berminat menerapkan pembelajaran. Rata-rata persentase dari keseluruhan aspek respon guru terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah sebesar 88,89%. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini, respon guru dikatakan positif terhadap pembelajaran jika rata-rata persentase 80%. Oleh karena persentase rata-rata keseluruhan aspek respon guru terhadap pendekatan metakognitif PQ4R sebesar

100

88,89%, hal ini berarti pendekatan metakognitif PQ4R baik digunakan dalam pembelajaran matematika. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses adaptasi

pendekatan metakognitif PQ4R pada guru dapat diterima oleh guru dengan baik sehingga kesiapan guru dalam menerapkan pembelajaran berikutnya dapat memudahkan guru dalam pembelajaran.

4.1.2. Pelaksanaan Pendekatan Metakognitif PQ4R Hasil penelitian ini akan dibahas berdasarkan masing-masing siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, evaluasi, dan refleksi. sebagai guru. 4.1.3.1 Siklus I Kegiatan pembelajaran pada siklus I siswa bekerja secara individu dengan alokasi waktu tujuh kali pertemuan. Adapun rincian kegiatan pada siklus I ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran, peneliti bertindak

Perencanaan Pada tahap perencanaan, guru mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pada saat pelaksanaan pembelajaran antara lain:
a.

Membuat skenario pelaksanaan tindakan berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk tujuh pertemuan.

b. Membuat lembar observasi: untuk melihat bagaimana suasana belajar

mengajar di kelas ketika pendekatan metakognitif PQ4R dilaksanakan, kegiatan guru, dan kegiatan siswa.

101

c.

Membuat alat bantu mengajar yang diperlukan dalam rangka membantu siswa memahami konsep-konsep matematika dengan baik berupa bahan ajar dan Lembar Aktivitas Siswa.

d. Mendesain alat evaluasi untuk melihat apakah materi matematika telah

dikuasai oleh siswa berupa tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal.

Pelaksanaan Tindakan Pada siklus I, sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R pada pokok bahasan pecahan, terlebih dahulu dilakukan pre test (tes awal) memodelkan soal cerita matematika. Pre test ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. Bentuk pre test ini adalah uraian sebanyak lima soal.

Indikator kemampuan memodelkan soal cerita matematika yang diukur adalah kemampuan: mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide

matematika; memilih, menerapkan, dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah; dan menggunakan pemodelan untuk

menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika. Pre test memodelkan soal cerita matematika dilakukan pada Jumat, 29 Oktober 2010 (2 jam pelajaran) pukul 08.05 09.15. Berdasarkan hasil pre test memodelkan soal cerita matematika (dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 407) yang telah dianalisis maka diperoleh nilai rata-rata = 30,85; nilai tertinggi = 66; dan nilai terendah = 4. Gambaran tentang distribusi kemampuan awal

memodelkan soal cerita matematika dinyatakan pada tabel berikut ini.

102

Tabel 4.3.

Deskripsi Data Kemampuan Awal Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus I) No 1 2 3 4 5 Nilai Tes 0 20 21 40 41 60 61 80 81 - 100 Jumlah Banyak Siswa 19 16 7 5 47

Menurut KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah yaitu 60, maka diperoleh hasil pre test kemampuan memodelkan soal cerita matematika bahwa siswa yang memenuhi ketuntasan individu yaitu mencapai KKM ada 9 orang, sedangkan 38 orang tidak tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan klasikal hanya mencapai 19,15%. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memodelkan soal cerita matematika. dilaksanakan siklus I. Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilaksanakan tujuh kali pertemuan yaitu: Tabel 4.4. Jadwal Pelaksanaan Tindakan Pada Siklus I No
1 2

Selanjutnya

Pertemuan
Pertemuan Ke-1 Pertemuan Ke-2

Hari / Tanggal
Senin/01 November 2010 Selasa/02 November 2010

Waktu
11.30 12.05 12.05 12.40 08.40 09.15 09.30 10.05

Materi
Persentase Mengubah Ke Bentuk Pecahan Persen

dan Desimal, Serta 3 4 5 Pertemuan Ke-3 Pertemuan Ke-4 Pertemuan Ke-5 Kamis/04 November 2010 Jumat/05 November 2010 Senin/08 November 2010 07.30 08.05 08.05 08.40 08.05 08.40 08.40 09.15 11.30 12.05 12.05 12.40 Sebaliknya Membandingkan Pecahan Menjumlahkan Pecahan Mengurang Pecahan

103

6 7

Pertemuan Ke-6 Pertemuan Ke-7

Selasa/09 November 2010 Kamis/11 November 2010

08.40 09.15 09.30 10.05 07.30 08.05 08.05 08.40

Mengalikan Pecahan Membagi Pecahan

Pemberian tindakan pada siklus I difokuskan terhadap pemberian stimulus kepada siswa untuk menyelesaikan soal-soal pada Lembar Aktivitas Siswa secara individu. Tindakan pada siklus I terdiri dari tiga tahap yaitu: a. Tahap pertama: diskusi awal Pada tahap pertama ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Guru menjelaskan tujuan mengenai materi yang akan dipelajari. Guru membimbing siswa menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru tentang materi yang akan dipelajari.

Penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru tentang materi yang akan dipelajari.

b. Tahap kedua: siswa bekerja secara mandiri. Pada tahap kedua ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Guru membimbing siswa untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual. Berkeliling memberikan metakognitif. memandu siswa dalam menyelesaikan soal yang dengan bersifat

stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan

Sedangkan kegiatan siswa pada tahap kedua ini meliputi: Siswa mempelajari materi dengan menggunakan metode PQ4R yaitu:

104

Langkah 1, preview.

Siswa mensurvei soal-soal yang ada pada LAS dan

menentukan topik umum dalam soal-soal pada LAS.


-

Langkah 2, question.

Siswa menuliskan apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan dalam soal-soal pada LAS.


-

Langkah 3, read. Siswa membaca soal secara cermat dan menentukan model matematika yang sesuai.

Langkah 4, reflect. Siswa mengamati formula yang digunakan untuk masingmasing soal.

Langkah 5, recite.

Setelah siswa memahami formula yang telah ditentukan

sebelumnya, siswa menyelesaikan soal-soal pada LAS dengan menggunakan formula yang telah ditentukan. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi.
-

Langkah 6, review.

Setelah menyelesaikan soal-soal pada LAS, siswa

menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan untuk masing-masing soal pada LAS. Siswa memusatkan pada kesalahan agar siswa dapat mengoreksi sendiri melalui petunjuk guru. c. Tahap ketiga: refleksi dan rangkuman Pada tahap ketiga ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful).

105

Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi materi dalam masalah yang lebih luas.

Membuat rangkuman yang yang merupakan rekapitulasi dari apa yang

telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Rangkuman disusun sesuai dengan materi.

Observasi Selama kegiatan pelaksanaan siklus I yang terdiri dari tujuh kali pertemuan, para observer (pengamat) melakukan pengamatan terhadap

pengelolaan pembelajaran, kegiatan guru dan kegiatan siswa. Observasi Pengelolaan Pembelajaran Observasi secara langsung dilakukan pada proses pembelajaran. Hasil observasi pengelolaan pembelajaraan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 18 halaman 415. Apabila hasil observasi dikategorikan

berdasarkan tahap pelaksanaan tindakan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.5. No 1 2 3 4 Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus I Menurut Kategorinya Nilai Kategori 4,210 4,110 4,145 4,640 Keterangan Baik Baik Baik Baik

Kategori Pendahuluan Kegiatan Inti Penutup Pengelolaan Waktu

106

Berdasarkan informasi pada tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai ratarata untuk masing-masing kategori pengamatan dengan nilai maksimum adalah lima, diperoleh kategori pengelolaan pembelajaran jika diurutkan dari yang tertinggi ke terendah yaitu pengelolaan waktu (4,640); pendahuluan (4,210); penutup (4,145); dan kegiatan inti (4,110). Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.3.

Deskripsi Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus I Menurut Kategorinya

Dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan yaitu pengelolaan pembelajaran dikatakan baik jika rata-rata setiap tahap pengelolaan pembelajaran lebih besar atau sama dengan tiga. Oleh karena nilai kategori untuk setiap tahap pembelajaran lebih besar dari tiga, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pembelajaran memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan pecahan.

107

Observasi Kegiatan Guru Hasil observasi kegiatan guru secara lengkap dapat dilihat pada lampiran

19 halaman 419. Berdasarkan hasil observasi dan merujuk pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat diketahui bahwa kegiatan guru pada pertemuan 1 dan 2 berkategori cukup; pertemuan 3,4,5, dan 6 berkategori baik; sedangkan pertemuan 7 berkategori sangat baik. Jika dipersentasekan secara umum untuk tujuh kali pertemuan diperoleh hasil 84,11%. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan yaitu jika 80% RS < 90% maka kegiatan guru dikategorikan baik, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan guru pada siklus I berkategori baik. Artinya guru mampu mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran.

Observasi Kegiatan Siswa Hasil observasi kegiatan siswa secara lengkap dapat dilihat pada lampiran

20 halaman 422. Berdasarkan hasil observasi dan merujuk pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat diketahui bahwa kegiatan siswa pada pertemuan 1 dan 2 berkategori kurang; pertemuan 3 dan 4 berkategori cukup; sedangkan pertemuan 5,6, dan 7 berkategori baik. Jika dipersentasekan secara umum untuk tujuh kali pertemuan diperoleh hasil 78,57%. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan yaitu jika 70% RS < 80% maka kegiatan siswa dikategorikan cukup, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan siswa pada siklus I berkategori cukup. aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran masih perlu ditingkatkan. Artinya

Evaluasi Evaluasi dilaksanakan di akhir siklus I yaitu pada Jumat, 12 November 2010 (2 jam pelajaran) pukul 08.05 09.15. Evaluasi dilakukan dengan

108

memberikan tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal. Tes ini diikuti oleh 47 orang siswa kelas VA. Tes ini dilakukan secara individual. Siswa bekerja sendiri secara mandiri. Proses yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal tes adalah dengan mengaplikasikan pendekatan metakognitif PQ4R yaitu dengan tahapan preview, question, read, reflect, recite, dan review. tersebut yaitu:
a. Preview : siswa mengidentifikasi soal dan menentukan topik yang sesuai

Adapun rincian tahapan

dengan soal.
b. Question : siswa menuliskan apa yang diketahui dan yang ditanyakan dalam

soal.
c. Read :

siswa membaca soal dengan cermat dan memilih model matematika

yang sesuai dengan soal.


d. Reflect

siswa mengamati model/formula yang telah dipilih, kemudian

mengubah model/formula sesuai dengan informasi yang ada pada soal.


e. Recite :

siswa menyelesaikan soal dengan menggunakan model yang telah

ditentukan.
f. Review : siswa menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan.

Tahap selanjutnya adalah guru memeriksa hasil kerja siswa untuk mengetahui keberhasilan/kegagalan siswa dalam materi yang telah dipelajari. Bagi siswa yang telah berhasil memodelkan soal cerita matematika dengan baik diberikan pujian sebagai motivasi. Sedangkan bagi siswa yang belum berhasil memodelkan soal cerita matematika diberikan bimbingan agar siswa tersebut mampu bekerja secara mandiri. Dari hasil pemberian tes dapat dilihat bermacam-

109

macam jawaban siswa dalam menyelesaikan soal. Berikut ini adalah beberapa contoh pola jawaban siswa untuk tes memodelkan soal cerita matematika siklus I. Nomor soal : 1

Perbedaan proses pengerjaan antara pola jawaban 1 dan pola jawaban 2 yaitu: pada pola jawaban 1, siswa menyelesaikan dengan cara mengalikan pembilang dengan pembilang secara langsung, lalu hasilnya dibagikan dengan penyebutnya. Sedangkan pada pola

jawaban 2, siswa menyederhanakan suku pertama terlebih dahulu, lalu hasilnya dikalikan dengan suku kedua. Kedua pola jawaban ini memberikan penyelesaian yang sama.

110

Nomor soal : 2

Perbedaan proses pengerjaan antara pola jawaban 1 dan pola jawaban 2 yaitu: pada pola jawaban 1, siswa menyelesaikan dengan cara menyederhanakan suku pertama terlebih dahulu, lalu hasilnya dikalikan dengan suku kedua. Sedangkan pada pola jawaban 2, siswa menyelesaikan dengan cara mengalikan pembilang dengan pembilang secara langsung, lalu hasilnya dibagikan dengan penyebutnya. Kedua pola jawaban ini memberikan penyelesaian yang sama.

111

Nomor soal: 3

Perbedaan proses pengerjaan antara pola jawaban 1 dan pola jawaban 2 yaitu: pada pola jawaban 1, siswa menyelesaikan dengan cara menghitung berat beras yang terdapat pada masing-masing gudang kemudian dijumlahkan. Sedangkan pada pola jawaban 2, siswa

menyelesaikan dengan cara mengalikan secara langsung kemudian dijumlahkan. yang sama. Kedua pola jawaban ini memberikan penyelesaian

112

Nomor soal: 4

Perbedaan proses pengerjaan antara pola jawaban 1 dan pola jawaban 2 yaitu: pada pola jawaban 1, siswa menyelesaikan dengan cara mencari hasil perkalian terlebih dahulu, kemudian hasil perkalian tersebut dioperasikan dengan pengurangan. Sedangkan pada pola jawaban 2, siswa langsung menyelesaikan soal sekaligus dengan penggunaan operasi dalam tanda kurung. Kedua pola jawaban ini memberikan penyelesaian yang sama.

113

Nomor soal: 5

Perbedaan proses pengerjaan pada ketiga pola jawaban yaitu, pada pola jawaban 1 siswa mengerjakan dengan 2 cara yaitu merubah ke bentuk pecahan biasa terlebih dahulu dan cara bersusun ke bawah. Pada pola jawaban 2, siswa mengerjakan dengan cara bersusun ke bawah. Sedangkan pada pola jawaban 3, siswa mengerjakan dengan cara merubah ke bentuk pecahan biasa terlebih dahulu.

114

Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus I (dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 407) yang telah dianalisis maka diperoleh nilai rata-rata = 51,36; nilai tertinggi = 84; dan nilai terendah = 10. Gambaran tentang distribusi tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus I dinyatakan pada tabel berikut ini. Tabel 4.6. No 1 2 3 4 5 Deskripsi Data Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus I) Nilai Tes 0 20 21 40 41 60 61 80 81 - 100 Jumlah Banyak Siswa 10 4 14 15 4 47

Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus I, diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4.7. Deskripsi Data Ketuntasan Klasikal Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus I) No 1 Tes Tes Memodelkan Soal Cerita Matematika Siklus I Tuntas 24 Tidak Tuntas 23 Persentase Ketuntasan 51,06%

Data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

115

Gambar 4.4. Deskripsi Data Ketuntasan Klasikal Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus I)

Menurut KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah yaitu 60, maka diperoleh hasil tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika pada siklus I bahwa siswa yang memenuhi ketuntasan individu yaitu mencapai KKM ada 24 orang, sedangkan 23 orang tidak tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan klasikal hanya mencapai 51,06%. Sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama atau di atas kriteria ketuntasan minimal yaitu 60. Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus I, ketuntasan klasikal hanya mencapai 51,06%. Artinya, ketuntasan klasikal belum dicapai, maka diadakan tindakan perbaikan dalam proses pembelajaran pada siklus selanjutnya yaitu siklus II.

116

Jika tes kemampuan awal (pre test siklus I) dibandingkan dengan tes memodelkan soal cerita matematika siklus I (post tes siklus I) diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4.8. Deskripsi Peningkatan Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus I)
No Tes Nilai Tertinggi Nilai Terendah RataRata Tuntas Tidak Tuntas Persentase Ketuntasan

1 2

Pre Test I Post Test I

66 84

4 10

30,85 51,36

9 24

38 23

19,15% 51,06%

Dari tabel di atas dapat kita peroleh informasi bahwa telah terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika, meskipun ketuntasan klasikal belum tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa

penguasaan terhadap strategi memodelkan soal cerita matematika belum tercapai secara optimal. Proses kinerja siswa pada siklus I belum tercapai secara optimal, karena masih terdapat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam melaksanakan proses memodelkan soal cerita matematika. dilakukan perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Untuk itu perlu

Sehingga kesalahan-

kesalahan yang muncul pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II.

Refleksi a. Refleksi terhadap pengelolaan pembelajaran ditinjau dari kegiatan guru dan kegiatan siswa Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R pada tahap pendahuluan (tahap pertama) berupa diskusi awal, secara umum sudah dapat dikategorikan baik. Pada tahap

pendahuluan ini guru memotivasi/mengkomunikasikan tujuan pembelajaran,

117

menginformasikan deskripsi singkat metode dan materi pembelajaran, dan menghubungkan materi pelajaran dengan sebelumnya. Pada tahap kegiatan inti (tahap kedua) siswa bekerja secara mandiri, secara umum dapat dikategorikan baik. Namun ada beberapa kelemahan pada tahap ini. Kelemahan yang dialami siswa pada tahap ini antara lain:

Kemampuan siswa untuk menentukan topik umum yang terdapat dalam soalsoal LAS masih berkategori cukup. Sebagai contoh, ketika ditanyakan topik matematika yang ada pada soal, masih ada siswa yang menjawab topik matematikanya berupa informasi yang ada pada soal, misalnya apabila kalimat soal berbunyi tentang rambutan, maka masih ada siswa yang menjawab topiknya adalah rambutan.

Kemampuan siswa untuk menentukan dan mengamati model matematika yang sesuai juga masih berkategori cukup. Sebagai contoh, masih ada siswa yang belum mampu menentukan model yang sesuai dengan soal, misalnya mereka masih menuliskan rumus umum yang ada pada bahan ajar.

Kemampuan siswa untuk menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan juga masih berkategori cukup. Sebagai contoh, masih ada siswa yang belum mampu menyimpulkan hasil perhitungan yang mereka peroleh.

Interaksi

siswa

dalam

bekerja,

menampilkan

jawaban

di

kelas,

membandingkan jawabannya dengan jawaban temannya juga masih berkategori cukup. Kemampuan siswa bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya juga masih berkategori cukup. Sedangkan kelemahan yang dialami guru pada kegiatan inti antara lain:

118

Kemampuan guru untuk meminta siswa menampilkan jawabannya di kelas dan mendorong siswa membandingkan jawabannya dengan jawaban temannya masih berkategori cukup. Kemampuan guru untuk mendorong siswa bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya masih berkategori cukup. Memberikan latihan mandiri (portofolio) masih berkategori cukup. Dari berbagai kelemahan siswa dan kelemahan guru yang ditemui dalam pembelajaran siklus I ini, maka guru perlu melakukan perbaikan terhadap tindakan pembelajaran agar kelemahan-kelemahan ini tidak terjadi atau terulang di siklus berikutnya. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi kelemahan-

kelemahan tersebut antara lain: 1. Guru merubah cara belajar individual menjadi cara belajar kelompok. Setiap kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar siswa yang berkemampuan tinggi dapat membantu temannya yang mengalami kesulitan belajar atau berkemampuan rendah. 2. Guru memberikan bantuan bagi kelompok belajar berupa langkah-langkah acak dalam menyelesaikan soal-soal yang ada pada LAS. 3. Guru melakukan pendekatan kepada siswa di saat pembelajaran dengan cara memberikan penguatan dan motivasi agar siswa tidak lagi harus malu/ragu untuk berinteraksi dalam bekerja, menampilkan jawaban di kelas, membandingkan jawabannya dengan jawaban temannya, bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya.

119

4.

Guru mengamati siswa dengan berkeliling dan mengamati aktivitas siswa dalam setiap kelompok terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar.

b. Refleksi terhadap kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika Pada akhir dari pelaksanaan siklus I, guru mengadakan tes siklus I kepada siswa untuk melihat peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa hasil tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika dalam pokok bahasan pecahan memiliki nilai rata-rata 51,36. Dengan nilai tertinggi adalah 84 dan nilai terendah adalah 10. Siswa yang tuntas sebanyak 24 orang dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 23 orang. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa secara klasikal hanya mencapai 51,06%. Artinya, hasil belajar siswa belum memenuhi standar ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu 80%. Sehingga perlu diadakan siklus lanjutan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. Penyebab dari rendahnya keberhasilan siswa pada siklus I dikarenakan masih ada siswa yang belum mampu menentukan topik yang terdapat dalam soal, sehingga mereka kesulitan untuk menentukan model matematika yang sesuai dengan soal. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena kurangnya keberanian siswa untuk bertanya kepada guru atau temannya untuk menanyakan hal-hal yang tidak/kurang dimengerti pada saat pembelajaran. Untuk itu, perlu diadakan

perbaikan dalam tindakan pembelajaran sebagaimana yang telah diungkapkan.

120

4.1.3.2. Siklus II Kegiatan pembelajaran pada siklus II siswa bekerja secara kelompok dengan alokasi waktu tiga kali pertemuan. Adapun rincian kegiatan pada siklus II ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Perencanaan Pada tahap perencanaan, guru mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pada saat pelaksanaan pembelajaran antara lain:
a.

Membuat skenario pelaksanaan tindakan berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk tiga pertemuan.

b. Membuat lembar observasi: untuk melihat bagaimana suasana belajar

mengajar di kelas ketika pendekatan metakognitif PQ4R dilaksanakan, kegiatan guru, dan kegiatan siswa.
c.

Membuat alat bantu mengajar yang diperlukan dalam rangka membantu siswa memahami konsep-konsep matematika dengan baik berupa bahan ajar dan Lembar Aktivitas Siswa.

d. Mendesain alat evaluasi untuk melihat apakah materi matematika telah

dikuasai oleh siswa berupa tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal.

Pelaksanaan Tindakan Pada siklus II, sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R pada pokok bahasan pecahan, terlebih dahulu dilakukan pre test (tes awal) memodelkan soal cerita matematika untuk siklus II. Pre test ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam

121

memodelkan soal cerita matematika sebelum dilaksanakan siklus II. Bentuk pre test ini adalah uraian sebanyak lima soal. Indikator kemampuan memodelkan soal cerita matematika yang diukur adalah kemampuan: mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika; memilih, menerapkan, dan

menerjemahkan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah; dan menggunakan pemodelan untuk menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika. Pre test memodelkan soal cerita matematika dilakukan pada Senin, 15 November 2010 (2 jam pelajaran) pukul 11.30 12.40. Berdasarkan hasil pre test memodelkan soal cerita matematika siklus II (dapat dilihat pada lampiran 16 halaman 410) yang telah dianalisis maka diperoleh nilai rata-rata = 39,15; nilai tertinggi = 74; dan nilai terendah = 8. Gambaran tentang distribusi kemampuan awal memodelkan soal cerita matematika siklus II dinyatakan pada tabel berikut ini. Tabel 4.9. Deskripsi Data Kemampuan Awal Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus II) No 1 2 3 4 5 Nilai Tes 0 20 21 40 41 60 61 80 81 - 100 Jumlah Banyak Siswa 9 19 12 7 47

Menurut KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah yaitu 60, maka diperoleh hasil pre test kemampuan memodelkan soal cerita matematika siklus II bahwa siswa yang memenuhi ketuntasan individu yaitu mencapai KKM ada 12 orang, sedangkan 35 orang tidak tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan klasikal hanya mencapai 25,53%. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

122

siswa mengalami kesulitan dalam memodelkan soal cerita matematika. Selanjutnya dilaksanakan siklus II. Pelaksanaan tindakan pada siklus II dilaksanakan tiga kali pertemuan yaitu: Tabel 4.10. Jadwal Pelaksanaan Tindakan Pada Siklus II No
1

Pertemuan
Pertemuan Ke-8

Hari / Tanggal
Selasa/16 November 2010

Waktu
08.40 09.15 09.30 10.05

Materi
Operasi Campuran Pecahan Perbandingan Skala Hitung Pada

2 3

Pertemuan Ke-9 Pertemuan Ke-10

Kamis/18 November 2010 Jumat/19 November 2010

07.30 08.05 08.05 08.40 08.05 08.40 08.40 09.15

Pemberian tindakan pada siklus II difokuskan terhadap pemberian stimulus kepada siswa untuk menyelesaikan soal-soal pada Lembar Aktivitas Siswa secara kelompok. Tindakan pada siklus I terdiri dari tiga tahap yaitu: a. Tahap pertama: diskusi awal Pada tahap pertama ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Guru membagi siswa ke dalam 8 kelompok dan siswa duduk pada kelompok yang telah ditentukan oleh guru.

.Guru menjelaskan tujuan mengenai materi yang akan dipelajari. Guru membimbing siswa menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru tentang materi yang akan dipelajari.

Guru memberikan langkah-langkah yang harus diselesaikan siswa untuk masing-masing soal pada LAS secara acak dan siswa memperhatikan langkah-langkah acak yang diberikan oleh guru..

123

Penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru tentang materi yang akan dipelajari.

b. Tahap kedua: siswa bekerja secara mandiri. Pada tahap kedua ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Guru membimbing siswa untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual. Berkeliling memberikan metakognitif. memandu siswa dalam menyelesaikan soal yang dengan bersifat

stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan

Sedangkan kegiatan siswa pada tahap kedua ini meliputi:


-

Siswa mempelajari materi dengan menggunakan metode PQ4R yaitu: Siswa mensurvei soal-soal yang ada pada LAS dan

Langkah 1, preview.

menentukan topik umum dalam soal-soal pada LAS.


-

Langkah 2, question.

Siswa menuliskan apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan dalam soal-soal pada LAS.


-

Langkah 3, read. Siswa membaca soal secara cermat dan menentukan model matematika yang sesuai.

Langkah 4, reflect. Siswa mengamati formula yang digunakan untuk masingmasing soal.

Langkah 5, recite.

Setelah siswa memahami formula yang telah ditentukan

sebelumnya, siswa menyelesaikan soal-soal pada LAS dengan menggunakan formula yang telah ditentukan. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi.

124

Langkah 6, review.

Setelah menyelesaikan soal-soal pada LAS, siswa

menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan untuk masing-masing soal pada LAS. Siswa memusatkan pada kesalahan agar siswa dapat mengoreksi sendiri melalui petunjuk guru. c. Tahap ketiga: refleksi dan rangkuman Pada tahap ketiga ini, tindakan yang dilakukan meliputi:

Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful).

Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi materi dalam masalah yang lebih luas.

Membuat rangkuman yang yang merupakan rekapitulasi dari apa yang

telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Rangkuman disusun sesuai dengan materi.

Observasi Selama kegiatan pelaksanaan siklus II yang terdiri dari tiga kali pertemuan, para observer (pengamat) melakukan pengamatan terhadap

pengelolaan pembelajaran, kegiatan guru dan kegiatan siswa.

125

Observasi Pengelolaan Pembelajaran Observasi secara langsung dilakukan pada proses pembelajaran. Hasil

observasi pengelolaan pembelajaraan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 18 halaman 415. Apabila hasil observasi dikategorikan berdasarkan tahap

pelaksanaan tindakan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.11. Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus II Menurut Kategorinya No 1 2 3 4 Kategori Pendahuluan Kegiatan Inti Penutup Pengelolaan Waktu Nilai Kategori 4,890 4,640 4,585 5,000 Keterangan Baik Baik Baik Sangat Baik

Berdasarkan informasi pada tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai ratarata untuk masing-masing kategori pengamatan dengan nilai maksimum adalah lima, diperoleh kategori pengelolaan pembelajaran jika diurutkan dari yang tertinggi ke terendah yaitu pengelolaan waktu (5,000); pendahuluan (4,890); kegiatan inti (4,640); dan penutup (4,585). Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:

126

Gambar 4.5.

Deskripsi Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus II Menurut Kategorinya

Dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan yaitu pengelolaan pembelajaran dikatakan baik jika rata-rata setiap tahap pengelolaan pembelajaran lebih besar atau sama dengan tiga. Oleh karena nilai kategori untuk setiap tahap pembelajaran lebih besar dari tiga, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pembelajaran memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan pecahan. Observasi Kegiatan Guru Hasil observasi kegiatan guru secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 19 halaman 419. Berdasarkan hasil observasi kegiatan guru dan merujuk pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat diketahui bahwa kegiatan guru pada pertemuan 8,9,10 berkategori sangat baik. Jika dipersentasekan secara umum untuk tiga kali pertemuan diperoleh hasil 94,17%. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan yaitu jika 90% RS 100% maka kegiatan guru dikategorikan sangat baik, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan guru pada siklus II berkategori sangat baik. pembelajaran. Observasi Kegiatan Siswa Hasil observasi kegiatan siswa secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 20 halaman 422. Berdasarkan hasil observasi dan merujuk pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat diketahui bahwa kegiatan siswa pada pertemuan 8, 9, dan 10 berkategori sangat baik. Jika dipersentasekan secara umum untuk tiga kali Artinya guru mampu mendukung aktivitas selama kegiatan

127

pertemuan diperoleh hasil 92,50%. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan yaitu jika 90% RS 100% maka kegiatan siswa dikategorikan sangat baik, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan siswa pada siklus II berkategori sangat baik. Artinya siswa mampu mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran.

Evaluasi Evaluasi dilaksanakan di akhir siklus II yaitu pada Senin, 22 November 2010 (2 jam pelajaran) pukul 11.30 12.40. Evaluasi dilakukan dengan

memberikan tes memodelkan soal cerita matematika sebanyak lima soal. Tes ini diikuti oleh 47 orang siswa kelas VA. Tes ini dilakukan secara individual. Siswa bekerja sendiri secara mandiri. Proses yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal tes adalah dengan mengaplikasikan pendekatan metakognitif PQ4R yaitu dengan tahapan preview, question, read, reflect, recite, dan review. tersebut yaitu:
a. Preview : siswa mengidentifikasi soal dan menentukan topik yang sesuai

Adapun rincian tahapan

dengan soal.
b. Question : siswa menuliskan apa yang diketahui dan yang ditanyakan dalam

soal.
c. Read :

siswa membaca soal dengan cermat dan memilih model matematika

yang sesuai dengan soal.


d. Reflect

siswa mengamati model/formula yang telah dipilih, kemudian

mengubah model/formula sesuai dengan informasi yang ada pada soal.

128

e. Recite :

siswa menyelesaikan soal dengan menggunakan model yang telah

ditentukan.
f. Review : siswa menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan.

Tahap selanjutnya adalah guru memeriksa hasil kerja siswa untuk mengetahui keberhasilan/kegagalan siswa dalam materi yang telah dipelajari. Bagi siswa yang telah berhasil memodelkan soal cerita matematika dengan baik diberikan pujian sebagai motivasi. Sedangkan bagi siswa yang belum berhasil memodelkan soal cerita matematika diberikan bimbingan agar siswa tersebut mampu bekerja secara mandiri. Dari hasil pemberian tes dapat dilihat bermacammacam jawaban siswa dalam menyelesaikan soal. Berikut ini adalah beberapa contoh pola jawaban siswa untuk tes memodelkan soal cerita matematika siklus II. Nomor soal: 1

129

Perbedaan ketiga pola jawaban di atas yaitu pada proses pengerjaannya. Pada pola jawaban 1, siswa mengerjakan dengan dua langkah yaitu menggunakan operasi perkalian, lalu hasilnya dilanjutkan dengan operasi pembagian. Pada pola jawaban 2, siswa mengerjakan dengan operasi pembagian berurut dari kiri ke kanan. Sedangkan pada pola jawaban 3, siswa mengerjakan dengan dua langkah yaitu menggunakan operasi pembagian, lalu hasilnya dilanjutkan dengan operasi pembagian tahap kedua. Ketiga proses pengerjaan ini memberikan hasil pengerjaan yang sama. Nomor soal: 2

130

Perbedaan ketiga pola jawaban di atas yaitu pada proses pengerjaannya. Pada pola jawaban 1, siswa mengerjakan dengan operasi hitung campuran pengurangan dan perkalian dengan menggunakan operasi dalam tanda kurung terlebih dahulu. Pada pola jawaban 2, siswa mengerjakan dengan perkalian terlebih dahulu, lalu hasilnya dikurangkan. Sedangkan pada pola jawaban 3, siswa

mengerjakan dengan pengurangan dalam tanda kurung lalu hasilnya dioperasikan dengan perkalian.

131

Nomor soal: 3

Perbedaan antara kedua pola jawaban di atas yaitu pada pola jawaban 1, siswa mengerjakan sekaligus untuk perkalian masing-masing suku lalu hasilnya dibandingkan dan disederhanakan. Sedangkan pada

pola jawaban 2, siswa menyelesaikan dengan dua tahap yaitu menyelesaikan perkalian masing-masing suku lalu hasilnya

dibandingkan. Kedua pola jawaban ini memberikan hasil yang sama.

132

Nomor soal: 4

Perbedaan ketiga pola jawaban di atas yaitu: pada pola jawaban 1,

133

siswa mengerjakan dengan mencari nilai untuk salah satu nilai perbandingan, kemudian dilakukan operasi pengurangan untuk mencari nilai lainnya. Pada pola jawaban 2, siswa mencari nilai untuk masing-masing nilai perbandingan dengan cara yang sama yairu menggunakan perbandingan kemudian operasi perkalian. Sedangkan untuk pola jawaban 3, siswa mengerjakan sudah lengkap dengan model matematika yang sesuai dengan soal. Nomor soal: 5

Perbedaan kedua pola jawaban di atas yaitu: pada pola jawaban 1, siswa langsung mengkonversikan satuan jam ke satuan menit.

134

Sedangkan pada pola jawaban 2, siswa menunjukkan langkah mengkonversi satuan jam ke satuan menit dengan operasi perkalian. Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus II (dapat dilihat pada lampiran 16 halaman 410) yang telah dianalisis maka diperoleh nilai rata-rata = 77,23; nilai tertinggi = 98; dan nilai terendah = 20. Gambaran tentang distribusi tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus II dinyatakan pada tabel berikut ini. Tabel 4.12. No 1 2 3 4 5 Deskripsi Data Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus II)

Nilai Tes Banyak Siswa 0 20 1 21 40 2 41 60 8 61 80 9 81 - 100 27 Jumlah 47 Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus II, diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4.13. Deskripsi Data Ketuntasan Klasikal Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus II) No 1 Tes Tes Memodelkan Soal Cerita Matematika Siklus II Tuntas 41 Tidak Tuntas 6 Persentase Ketuntasan 87,23%

Data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

135

Gambar 4.6. Deskripsi Data Ketuntasan Klasikal Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus II)

Menurut KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah yaitu 60, maka diperoleh hasil tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika pada siklus II bahwa siswa yang memenuhi ketuntasan individu yaitu mencapai KKM ada 41 orang, sedangkan 6 orang tidak tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan klasikal mencapai 87,23%. Sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas

dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama atau di atas kriteria ketuntasan minimal yaitu 60. Berdasarkan hasil tes memodelkan soal cerita matematika pada siklus II, ketuntasan klasikal mencapai 87,23%. Artinya, ketuntasan klasikal dicapai, maka siklus berhenti dan pembelajaran berhasil. Jika tes kemampuan awal (pre test siklus II) dibandingkan dengan tes memodelkan soal cerita matematika siklus II (post tes siklus II) diperoleh data sebagai berikut:

136

Tabel 4.14. Deskripsi Peningkatan Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika (Siklus II)
No Tes Nilai Tertinggi Nilai Terendah RataRata Tuntas Tidak Tuntas Persentase Ketuntasan

1 2

Pre Test II Post Test II

74 98

8 20

39,15 77,23

12 41

35 6

25,53% 87,23%

Dari tabel di atas dapat kita peroleh informasi bahwa telah terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika, dan ketuntasan klasikal tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan terhadap strategi memodelkan soal cerita matematika tercapai secara optimal. kinerja siswa pada siklus II tercapai secara optimal. Proses

Refleksi a. Refleksi terhadap pengelolaan pembelajaran ditinjau dari kegiatan guru dan kegiatan siswa Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R pada tahap pendahuluan (tahap pertama) berupa diskusi awal, secara umum sudah dapat dikategorikan baik. Pada tahap

pendahuluan ini guru memotivasi/mengkomunikasikan tujuan pembelajaran, menginformasikan deskripsi singkat metode dan materi pembelajaran, dan menghubungkan materi pelajaran dengan sebelumnya. Pada tahap kegiatan inti (tahap kedua) siswa bekerja secara mandiri, secara umum dapat dikategorikan baik. Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus I tidak terulang pada siklus II. 25% kegiatan guru berkategori baik dan 75% kegiatan guru berkategori sangat baik. Sedangkan kegiatan siswa 25%

berkategori baik dan 75% berkategori sangat baik.

137

b. Refleksi terhadap kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika Pada akhir dari pelaksanaan siklus II, guru mengadakan tes siklus II kepada siswa untuk melihat peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa hasil tes kemampuan memodelkan soal cerita matematika dalam pokok bahasan pecahan memiliki nilai rata-rata 77,23. Dengan nilai tertinggi adalah 98 dan nilai terendah adalah 20. Siswa yang tuntas sebanyak 41 orang dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 6 orang. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa secara klasikal mencapai 87,23%. Artinya, hasil belajar siswa memenuhi standar ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu 80%. Sehingga dapat dikatakan pelaksanaan tindakan berhasil dan siklus berhenti. Hal ini didukung faktor dari siswa yaitu siswa mampu menentukan topik yang terdapat dalam soal, sehingga mereka dapat menentukan model matematika yang sesuai dengan soal. Selain itu, hal ini juga didukung keberanian siswa untuk bertanya kepada guru atau temannya untuk menanyakan hal-hal yang tidak/kurang dimengerti pada saat pembelajaran. 4.1.3. Kemampuan Metakognitif Siswa Data tentang kemampuan metakognitif siswa yang diperoleh dari inventori strategi-strategi metakognitif dianalisis untuk memperoleh kesimpulan. Kriteria keberhasilan tindakan, apabila kemampuan metakognitif siswa minimal berkualifikasi cukup baik. Hasil analisis kemampuan metakognitif siswa secara rinci dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 413, sedangkan secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

138

Tabel 4.15. Deskripsi Kemampuan Metakognitif Siswa NO 1 2 3 4 5 Kualifikasi Jumlah Siswa Persentase Sangat Kurang 0 0% Kurang 6 12,77% Cukup 10 21,28% Baik 9 19,15% Sangat Baik 22 46,81% Jumlah 47 100% Informasi pada tabel di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.7. Deskripsi Data Kemampuan Metakognitif Siswa

Berdasarkan data di atas, diperoleh bahwa siswa yang minimal berkualifikasi cukup baik ada 41 orang berarti mencapai 87,23%. Dengan

merujuk kepada kriteria ketuntasan klasikal yaitu 80%, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan metakognitif siswa kelas VA memiliki kemampuan metakognitif yang baik.

4.1.4. Kemampuan Siswa SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika

Berdasarkan hasil nalisis data pada siklus I dan siklus II diperoleh data kemampuan siswa SD dalam pemodelan soal cerita matematika sebagai berikut. Tabel 4.16. Deskripsi Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika

139

No

Tes

Nilai Tertinggi

Nilai Terendah

RataRata

Tuntas

Tidak Tuntas

Persentase Ketuntasan

1 2 3 4

Pre Test I Post Test I Pre Test II Post Test II

66 84 74 98

4 10 8 20

30,85 51,36 39,15 77,23

9 24 12 41

38 23 35 6

19,15% 51,06% 25,53% 87,23%

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kemampuan memodelkan soal cerita matematika dari siklus I kepada siklus II. Pada siklus II, kriteria ketuntasan klasikal telah tercapai yaitu 87,23%. Hal ini menunjukkan indikator keberhasilan pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya pada pokok bahasan pecahan. 4.2. TEMUAN PENELITIAN Berdasarkan hasil pengamatan guru dan diskusi dengan observer, mulai dari siklus I sampai siklus II (10 kali pertemuan) yang telah dilaksanakan mulai Senin,25 Oktober 2010 sampai dengan Selasa, 23 November 2010 terdapat beberapa hal yang ditemukan saat pembelajaran berlangsung, yaitu: 1. Proses adaptasi pendekatan metakognitif PQ4R Pada tahap adaptasi pendekatan metakognitif PQ4R diperoleh hasil bahwa rata-rata persentase respon siswa terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah 91,49%, hal ini menunjukkan respon siswa terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah positif. Sedangkan rata-rata persentase respon guru terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah 88,89%, hal ini menunjukkan respon guru terhadap pendekatan metakognitif PQ4R adalah positif.

140

2.

Pelaksanaan pendekatan metakognitif PQ4R a. Pada siklus I, sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R, terlebih dahulu dilakukan pre test (tes awal) memodelkan soal cerita matematika. Setelah dianalisis diperoleh hasil sebagai berikut: nilai rata-rata = 30,85; nilai tertinggi = 66; nilai terendah = 4; tuntas = 9 orang; tidak tuntas = 38 orang; dan ketuntasan klasikal = 19,15%. b. Hasil observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus I yaitu pendahuluan berkategori baik dengan rata-rata 4,210; kegiatan inti berkategori baik dengan rata-rata 4,110; penutup berkategori baik dengan rata-rata 4,145; dan pengelolaan waktu berkategori baik dengan rata-rata 4,640. c. Hasil observasi kegiatan guru pada siklus I secara umum berkategori baik dengan persentase 84,11%. d. Hasil observasi kegiatan siswa pada siklus I secara umum berkategori cukup dengan persentase 78,57%. e. Hasil evaluasi tes memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus I yaitu: nilai rata-rata = 51,36; nilai tertinggi = 84; nilai terendah = 10; tuntas = 24 orang; tidak tuntas = 23 orang; dan ketuntasan klasikal = 51,06%. f. Kelemahan yang dialami siswa pada siklus I antara lain dalam hal menentukan topik umum yang terdapat dalam soal-soal LAS, menentukan dan mengamati model matematika, menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan, interaksi dalam bekerja, menampilkan jawaban di kelas,

141

membandingkan jawaban dengan jawaban temannya, dan kemampuan bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya. g. Kelemahan yang dialami guru pada siklus I antara lain dalam hal meminta siswa menampilkan jawabannya di kelas, mendorong siswa

membandingkan jawaban dengan jawaban temannya, mendorong siswa bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru/temannya, dan memberikan latihan mandiri (portofolio). h. Pada siklus II, sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif PQ4R, terlebih dahulu dilakukan pre test memodelkan soal cerita matematika. Setelah dianalisis diperoleh hasil sebagai berikut: nilai rata-rata = 39,15; nilai tertinggi = 74; nilai terendah = 8; tuntas = 12 orang; tidak tuntas = 35 orang; dan ketuntasan klasikal = 25,53%. i. Hasil observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus II yaitu

pendahuluan berkategori baik dengan rata-rata 4,890; kegiatan inti berkategori baik dengan rata-rata 4,640; penutup berkategori baik dengan rata-rata 4,585; dan pengelolaan waktu berkategori sangat baik dengan rata-rata 5,000. j. Hasil observasi kegiatan guru pada siklus II secara umum berkategori sangat baik dengan persentase 94,17%. k. Hasil observasi kegiatan siswa pada siklus II secara umum berkategori sangat baik dengan persentase 92,50%. l. Hasil evaluasi tes memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus II yaitu: nilai rata-rata = 77,23; nilai tertinggi = 98; nilai terendah = 20;

142

tuntas = 41 orang; tidak tuntas = 6 orang; dan ketuntasan klasikal = 87,23%. m. Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus I teratasi dengan cara merubah cara belajar individual menjadi cara belajar kelompok, memberikan bantuan kepada siswa, serta melakukan pendekatan kepada siswa dengan cara penguatan dan motivasi agar siswa tidak lagi harus malu/ragu untuk berinteraksi dalam bekerja. 3. Kemampuan metakognitif siswa Kemampuan metakognitif siswa kelas V SD bervariasi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil sebagai berikut: siswa yang berkualifikasi kurang = 6 orang (12,77%); siswa yang berkualifikasi cukup = 10 orang (21,28%); siswa yang berkualifikasi baik = 9 orang (19,15%); dan siswa yang berkualifikasi sangat baik = 22 orang (46,81%). Secara umum dapat

disimpulkan bahwa siswa yang minimal berkualifikasi cukup baik ada 41 orang (87,23%). Hal ini telah menunjukkan ketuntasan klasikal. 4. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika mengalami peningkatan. Pada siklus I, nilai rata-rata kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita adalah 51,36 dengan ketuntasan klasikal 51,06%. Sedangkan pada siklus II, nilai rata-rata kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita adalah 77,23 dengan ketuntasan klasikal 87,23%.

4.3. DISKUSI HASIL PENELITIAN

143

Pada bagian ini akan dipaparkan deskripsi dan interpretasi data temuan penelitian. Deskripsi dan interpretasi dilakukan terhadap penerapan pendekatan metakognitif dan kemampuan memodelkan soal cerita matematika. 4.3.1. Penerapan Pendekatan Metakognitif Melalui penerapan pendekatan metakognitif siswa dapat memiliki kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Melalui tahap-tahap yang ada pada pembelajaran

pendekatan metakognitif, diharapkan siswa dapat menerapkannya dalam memodelkan soal cerita matematika. Untuk itu diperlukan keterampilan untuk mengembangkan kemampuan metakognitif untuk mendukung kemampuan memodelkan soal cerita matematika. Sehingga hasil belajar siswa dapat terus ditingkatkan. Penerapan pendekatan metakognitif dalam memodelkan soal cerita matematika dilakukan dalam 3 tahap yaitu: a. b. Tahap pertama: diskusi awal Tahap kedua: siswa bekerja secara mandiri dengan langkah PQ4R Pada tahap preview siswa mensurvei soal dan menentukan topik umum dalam soal. Pada tahap question siswa menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal. Pada tahap preview dan question ini, siswa mencapai kemampuan untuk mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika. Tahap selanjutnya yaitu read di mana siswa membaca soal dengan cermat dan menentukan model matematika yang sesuai dengan soal. Pada tahap reflect siswa mengamati model matematika yang digunakan untuk masing-masing soal. Pada tahap read dan reflect ini, siswa mencapai

144

kemampuan untuk memilih pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Tahap selanjutnya yaitu recite di mana siswa menyelesaikan soal dengan menggunakan model matematika yang telah ditentukan. Pada tahap ini, siswa mencapai kemampuan untuk menerapkan dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah. Tahap terakhir yaitu review di mana siswa menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan. Pada tahap ini, siswa mencapai kemampuan menggunakan pemodelan untuk menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika. c. Tahap ketiga: refleksi dan rangkuman Dari temuan penelitian, diketahui bahwa pengelolaan pembelajaran pada siklus I dan II berkategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika dengan pendekatan metakognitif PQ4R dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan pecahan. Meskipun ditemui

kelemahan-kelemahan pada siklus I, namun pada siklus II kelemahan-kelemahan tersebut dapat diatasi melalui perbaikan tindakan sehingga hasil pembelajaran lebih baik. Apabila ditinjau dari kegiatan guru untuk setiap siklus, maka terjadi peningkatan kegiatan guru yaitu pada siklus I berkategori baik dengan persentase 84,11% menjadi berkategori sangat baik dengan persentase 94,17% pada siklus II. Peningkatan kegiatan guru sebesar 10,06% menunjukkan kemampuan guru mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran. Peningkatan ini terjadi

karena guru dapat memainkan perannya dalam pembelajaran sesuai dengan tahapan-tahapan pada pendekatan metakognitif PQ4R melalui berbagai cara

145

seperti yang dikemukakan oleh Asrori (2008) yaitu melalui pelabelan, proseduring, demonstrasi, aplikasi, dan refleksi. Sedangkan untuk kegiatan siswa pada setiap siklus juga terjadi peningkatan yaitu pada siklus I berkategori cukup dengan persentase 78,57% menjadi berkategori sangat baik dengan persentase 92,50% pada siklus II. Peningkatan kegiatan siswa sebesar 13,93% menunjukkan kemampuan siswa mendukung aktivitas selama kegiatan pembelajaran. Hal ini terjadi karena

penerapan pendekatan metakognitif menekankan pada siswa bekerja secara mandiri dengan menerapkan tahapan-tahapan pendekatan metakognitif PQ4R. Siswa dapat bekerja secara mandiri didukung salah satu komponen penting dari metakognisi yaitu pengetahuan diri. Hal ini sesuai dengan pendapat Flavell

(1979) yaitu pengetahuan diri mencakup pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam kaitannya dengan kognisi dan belajar. Pengetahuan diri ini juga mencirikan seorang ahli, bahwa dia tahu ketika dia tidak mengetahui sesuatu dan kemudian dia mempunyai strategi-strategi tertentu untuk mencari informasi yang dia butuhkan. Peningkatan pengelolaan pembelajaran, kegiatan guru, dan kegiatan siswa ini sesuai dengan dasar bahwa pelaksanaan pembelajaran semestinya

membiasakan siswa untuk melatih kemampuannya, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal. Hal ini juga sesuai dengan tujuan metakognitif yaitu memonitor dan mengatur tindakan untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan kecakapan melihat dan mengatur strategi dan kemajuan mereka saat menyelesaikan soal. Para siswa dapat juga dibantu dalam mengembangkan kebiasaan memonitor diri mereka sendiri setelah kegiatan penyelesaian soal

146

berakhir. Diskusi singkat setelah soal selesai dapat difokuskan pada apa yang dikerjakan dalam penyelesaian soal. Hal ini juga senada dengan hasil penelitian Hepsi Nindiasari (2004) yang menyatakan bahwa secara umum siswa memiliki sikap positif terhadap pembelajaran metakognitif dan pada umumnya guru berpendapat pembelajaran metakognitif baik untuk dilaksanakan, serta dalam pembelajaran metakognitif siswa aktif mengikuti proses jalannya pembelajaran.

4.3.2. Peningkatan Kemampuan Memodelkan Soal Cerita Matematika

Kemampuan siswa untuk memodelkan soal cerita matematika merupakan salah satu kemampuan matematika yang perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan beberapa kompetensi yang harus dimiliki siswa untuk memodelkan soal cerita matematika. Kompetensi yang dimaksud antara lain kompetensi untuk

memahami masalah real dan menciptakan suatu model berdasarkan realita, menciptakan suatu model matematika dari model real, menyelesaikan problemproblem matematika dalam model matematika, menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam situasi real, dan memvalidasi solusi. Untuk mencapai

kompetensi tersebut, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan pembelajaran tersebut adalah pendekatan metakognitif. Penelitian ini melihat peningkatan kemampuan memodelkan soal cerita matematika siswa kelas V SD melalui penerapan pendekatan metakognitif. Berrdasarkan hasil analisis data, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Begitu juga dalam hal ketuntasan klasikal terjadi peningkatan. Hasil evaluasi tes

memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus I yaitu: nilai rata-rata = 51,36

147

dan ketuntasan klasikal = 51,06%. Sedangkan hasil evaluasi tes memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus II yaitu: nilai rata-rata = 77,23 dan ketuntasan klasikal = 87,23%. Peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu sebesar 36,17%. Pada akhir siklus II terdapat 6 orang siswa yang tidak tuntas. Untuk itu diperlukan upaya agar keenam siswa tersebut dapat mencapai ketuntasan belajar. Keenam siswa yang mengalami kesulitan belajar ini diberikan perhatian khusus dalam proses belajarnya. Misalnya dengan cara memberikan bantuan belajar

langsung dari guru maupun teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi, memotivasi siswa agar mampu berinteraksi dengan guru dan teman sejawatnya dalam pembelajaran, mengamati aktivitas belajar siswa tersebut dengan perhatian yang lebih banyak, serta memberikan lebih banyak latihan kepada siswa maupun dalam bentuk portofolio. Dari hasil analisis siklus I dan siklus II terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika sebesar 36,17%. Hal ini

dimungkinkan karena penerapan pendekatan metakognitif melalui tahap-tahap pembelajarannya. Di mana pada setiap tahap pembelajarannya, kemampuan-

kemampuan yang diperlukan untuk memperoleh kemampuan memodelkan soal cerita matematika dapat dikembangkan. Peningkatan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika ini didukung kompetensi siswa dalam pemodelan sebagaimana yang dikemukakan oleh Blum & Keiser (dalam Parlaungan, 2008) yaitu kompetensi untuk memahami masalah real dan untuk menciptakan suatu model berdasarkan realita, menciptakan suatu model dari model real, menyelesaikan problem-problem matematika dalam model

148

matematika, menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam situasi real, dan memvalidasi solusi. Hal ini senada dengan hasil penelitian Yenny Suzanna (2004) yang menyatakan pendekatan metakognitif lebih baik daripada pembelajaran

konvensional. Selain itu, juga didukung oleh penelitian Eti Herawati (2004) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika dan penyelesaiannya hendaknya siswa membaca soal cerita yang dihadapi kemudian membuat gambar representasi semi konkrit dari bilangan/kuantitas yang ada pada soal cerita dan memberikan tugas latihan dalam kelompok kecil. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan pada bagian terdahulu diambil kesimpulan yang berkaitan dengan penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan sebagai berikut: 1. Penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk

mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yaitu: hasil observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus I dan siklus II berkategori baik, hasil observasi kegiatan guru pada siklus I berkategori baik dan pada siklus II berkategori sangat baik, hasil observasi

149

kegiatan siswa pada siklus I berkategori cukup dan pada siklus II berkategori sangat baik. 2. Terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yaitu: a. Hasil evaluasi tes memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus I yaitu: nilai rata-rata = 51,36; nilai tertinggi = 84; nilai terendah = 10; tuntas = 24 orang; tidak tuntas = 23 orang; dan ketuntasan klasikal = 51,06%. b. Hasil evaluasi tes memodelkan soal cerita matematika di akhir siklus II yaitu: nilai rata-rata = 77,23; nilai tertinggi = 98; nilai terendah = 20; tuntas = 41 orang; tidak tuntas = 6 orang; dan ketuntasan klasikal = 87,23%. c. Sedangkan bagi siswa yang tidak tuntas pada akhir siklus II diberikan tindakan tambahan misalnya dengan cara memberikan bantuan belajar langsung dari guru maupun teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi, memotivasi siswa agar mampu berinteraksi dengan guru dan teman sejawatnya dalam pembelajaran, mengamati aktivitas belajar siswa tersebut dengan perhatian yang lebih banyak, serta memberikan lebih banyak latihan kepada siswa maupun dalam bentuk portofolio.

4.2. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat mengajukan saran-saran untuk pembelajaran matematika khususnya pada tingkat Sekolah Dasar, yaitu:

150

1.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika.

2.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan mutu dan inovasi pembelajaran.

3.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi guru dalam upaya meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran agar aktivitas siswa dalam pembelajaran juga meningkat.

4. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif mengutamakan

siswa bekerja secara mandiri. Oleh karena itu, guru hendaknya berupaya untuk merubah pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented) menjadi pembelajaran berpusat pada siswa (student oriented). Diharapkan guru dapat menerapkan langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif PQ4R. 5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengadaptasi langkah-langkah yang ada dalam penelitian ini dan memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini.

151

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan kelima. Jakarta : Rineka Cipta. Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima. ________________. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima. Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Cetakan pertama.

Cheong, Agnes Chang Shook & Christine C, M. Goh. 2002. Teachers Handbook On Teaching Generic Thinking Skills. Singapore: Prentice Hall. Desoete, A. 2001. Off-Line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities. Faculteit Psychologies en Pedagogische Wetenschappen. Universiteit-Gent.

152

(https:/archive.ugent.be/retrieve/917/ 801001505476.pdf diakses 30 Oktober 2008). Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Fadillah, Syarifah. 2008. Representasi Dalam Pembelajaran Matematika. (Online), (http://fadillahatick.blogspot.com/2008/06/reoresentasimatematik.html, diakses 13 Juli 2010). Hamson. 2003. The place of mathematical modeling in mathematics education. In S. J. Lamon, W. A. Parker & K. Houston (Eds.). Mathematical modeling: A way of life. Academic Press. Herawati, Eti. 2004. Analisis Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Menerjemahkan Soal Cerita Ke Dalam Model Matematika dan Penyelesaiannya. Bandung: UPI. Hergenhahn, B.R dan Matthew H. Olson. Theories of Learning (Teori Belajar). Edisi ketujuh. Cetakan kedua. Jakarta: Kencana. Huston, Kelley. 2008. Solving a Math Story Problem Five Easy Steps for Completing Any Problem, (Online), (http://middle-school-lessonplans.suite101.com/article.cfm/solving_a_math_story_problem, diakses 30 Oktober 2008). Kadir. 2003. Panduan Pengajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Irfandi Putra. Kholil, Anwar. 2008. Teori Vygotsky tentang Pentingnya Strategi Belajar, (Online), (http://anwarholil.blogspot.com./2008/04/teori-vygotskytentang-pentingnya.html, diakses 14 Juli 2010). K, Abdul Hamid. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Medan: Pascasarjana UNIMED. Miranda, Yula. 2010. Pembelajaran Metakognitif Dalam Strategi Kooperatif Think-Pair-Share Dan Think-Pair-Share+Metakognitif Terhadap Kemampuan metakognitif Siswa Pada Biologi Di SMA Negeri Palangkaraya, (Online), (http://www.ilmupendidikan.net./2010/03/16/pembelajaranmetakognitif.php, diakses 13 Juli 2010). Nindiasari, Hepsi. 2004. Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau Dari Perkembangan Kognitif Siswa. Bandung: UPI. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: PT. Grasindo.

153

ONeil Jr, H. F. & Brown, R.S. 1997. Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: CRESSTCSE University of California. Parlaungan. 2008. Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Medan: USU. Shoenfeld, A. H. 1992. Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan. (http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf, diakses 30 Oktober 2008). Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Edisi Pertama. Cetakan kelima. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Sumiati & Asra. 2008. Metode Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima. Supardjo. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika Gemar Berhitung 5B untuk Kelas V SD dan MI Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Suzanna, Yenny. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Bandung: UPI. Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Belajar. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Cetakan kedua. Bandung: PT. Intima. Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara. Walle, John A. Van De. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.

154

Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.

Anda mungkin juga menyukai